[Dua]

Aku berjalan tergesa-gesa. Ku lirik jam tanganku. Waktu sudah menunjukan pukul 9, berarti aku sudah telat 30 menit lebih dari meeting yang sudah dijadwalkan.

"Pagi Mbak Kila," sapa satpam gedung ini. Hanya ku balas senyum singkat, langkah kakiku semakin cepat saat masuk lobby gedung.

Ku lihat banyak orang menatap aneh ke arahku. Tak ku pedulikan mereka, mereka punya mata. Ya pantes kan? Males amat baper sama orang cuma karna dia ngelirik doang.

Masuk dalam lift aku sedikit membenarkan tampilanku. Blouse hijau tua dan rok pensil sedengkul. Coba aku pakai sarung, bisa bebas langsung lari. Ku cek kembali dandananku lewat kaca lift.

Ku poles lagi gincu di bibirku. Kalau Pak Webek marah tinggal kedip-kedip manja aja udah. Luluh. Semalam aku pergi clubing bersama teman-temanku. Walau tidak pulang dalam kondisi mabok. Tapi tetap saja aku pulang pukul tiga pagi. Dan terlambat bangun.

Ting! Lift tiba di lantai 21. Lantai tempatku mencari pulus-pulus. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan menuju ruang meeting.

"Bosbes udah di dalem." Bagas memberi informasi padaku saat melewati kubikelnya.

Aku tersenyum, "thanks Gas."

Ku ketuk pintu terlebih dahulu, lalu membuka pintu. "Maaf saya terlambat."

"Oh... jadi ini ketua tim kalian? Telat 45 menit dari jadwal."

Ku angkat kepalaku. Bertemu sepasang mata jernih yang berdiri di samping proyektor. Bukan Pak Webek yang memimpin meeting kali ini. Tapi, Januar. Anaknya.

Shit. Aku mengumpat dalam hati. Kenapa mahkluk ini bisa ada di sini.

"Kenapa telat?"

Aku memutar bola mata, "macet, Pak," jawabku persis anak sekolah yang ketahuan telat oleh gurunya.

"Memang kamu hidup di Jakarta sudah berapa lama? Baru kemarin? Kenapa baru tahu kalau Jakarta memang macet?"

Aku diam. Harus ku jawab apa coba? Aku masih menatap pada Januar yang memang tampan sekali dengan kemeja slimfit putihnya.

"Kamu benar-benar tak mencerminkan contoh yang baik buat anak buahmu. Meeting penting tapi bisa telat hampir sejam sendiri.

"Kamu bisa seenaknya datang sesuka hati. Memang ini perusuhaan milik bapakmu....

Januar terus berucap entah apa. Yang jelas sedang ceramah panjang lebar. Dan aku memilih mengamati penampilannya. Menulikan telingaku.

Januar kenapa bisa hawt gini si? Kemeja putih rapi, celana bahan hitam, dan wangi yang semerbak. Ulaaalaaa

Mulut Januar masih komat kamit. Aku ya jelas diam saja. Biar kesannya aku memperhatikan padahal dalam hati nyanyi...

Sudah mabuk minuman ditambah mabok judi. Masih saja akang tergoda janda kembang tak sudi ku tak sudi. Sudah banyak buktinya suami mabuk janda. Lupa kasih sayang, juga tak pulang-pulang. Istri disengsarakan... ouwoooo....

"Bu Shakila, anda mendengarkan saya atau tidak?"

"Iya, Pak," bohongku nyari aman. Mana bisa dengerin kalau fokusku mengira berapa panjang isi tonjolan celana dia.

"Jadi, saya boleh masuk atau tidak?" Tanyaku saat semua orang sudah diam.

"Anda yakin mau presentasi dengan sendal jepit seperti itu?"

Terdengar grasak grusuk sekitarku. Orang-orang terlihat menahan tawa. Ku alihkan pandanganku pada kaki.

Anjiiir gue cuma swallow an choooy...

"Silakan keluar ruangan dan kembali lagi di meeting selanjutnya."

Kampreeet.

Aku langsung membuka pintu dan menutupnya sekali dorong. "Apa lo lihat-lihat." Bentak ku pada Niken yang kubikelnya berada di depan ruang meeting.

"Kenapa lo?" Itu pertanyaan dari Bagas.

"Januar itu kurang orgasme. Kurang pelepasan semalem. Makanya mencak-mencak nggak karuan." Dumelku sembari berjalan menuju lift. "Mulutnya emang harus disumpel pakai melon si Siska. Biar kicep. Biar ngenyot doang."

Aku terus menggerutu, tak ku pedulikan pandangan orang-orang yang menatapku aneh. Pantas saja aku merasa ada keganjilan dari diriku ternyata sendal jepit kampret ini ulahnya.

"Loh Mbak Shakila kok sudah turun?" Pak Barjo, satpam di sini bingung melihatku yang kembali turun. Dan keluar dari kantor

Aku terus saja mengumpati Januar, ku tarik semua kata-kataku. Dia nggak tampan. Dia burik. Jelek. Item. Methisil. Hidup pula. Tak ada bagusnya.

Hari ini kenapa aku sial sekali sih. Bangun kesiangan, ban mobil kempes, berangkat naik gojek, ketemu sama si iblis Januar yang entah datang dari planet mana, lalu ditendang dari ruang meeting.

Aku duduk di halte depan gedung kantorku. Ku goyangkan kakiku kanan kiri bergantian, sudah lengkap penderitaanku. Lengkap dengan swallow.

Januar kenapa harus balik lagi sih? Kenapa dia nggak netap aja di dunia ghaib sana. Kan jadi terkenang masa lalu. Dan yang lebih membuatku tercengang. Januar kenapa sekarang berbeda 180 derajat daripada dulu.

Sok nggak kenal pula. Kampret kan? Padahal dulu ngemis cinta sama aku.

Ku tiup rambut depanku yang menutupi wajah. Beberapa orang lewat sambil memandangku. Mereka nggak pernah lihat cewek cantik duduk di halte apa?

Ku rasakan dingin di pipiku. Aku sudah hampir memuntahkan lahar panas saat ku lihat seorang lelaki duduk di sebelahku. Menyodorkan kaleng soda dingin padaku.

"Cewek cantik kalau nongkrong di halte itu berasa karunia rakyat jelata. Mikir harga bedaknya berapa, luntur nggak dipakai desak-desakkan di bus."

Ku ambil kaleng minuman tersebut, belum ku buka malah ku pukulkan pada kepala lelaki itu, "garing deh, Bran."

Ku lirik jam di pergelangan tanganku, "bolos ya lo? Masih jam kantor ini."

"Bos ya enak lah, mau jungkir balik di jalan raya juga anak buah diam saja."

Gibran kan memang lulusan Luar Negeri, jadi pantas dia dipandang lebih daripada yang lulusan dalam negri macam kami ini. Kerja siang malam dianggap biasa. Memang pemikiran orang Indonesia wajib diganti.

"Tapi pas lo metong ketabrak, anak buah pada syukuran."

Gibran tertawa, mengacak-acak rambutku, "jujur amat si lo, Kil. Jadi orang. Mulut kaya cabe rawit, pedes banget."

"Muluuut gue semanis lolipop kali, Bran."

"Kenapa bisa di sini?" Tanyanya kali ini tak ada nada bercanda.

Aku mendesah, "gue telat terus di usir sama bos dari ruang meeting."

"HAHAHA aji-ajian lo udah luntur ya. Masa bos lu ngusir."

Ku pukul dadanya, "gue mau ngeluarin jurus seribu bayangan. Terus gue sobek-sobek itu mulut bos. Tapi apalah aku makan juga dari perusahaan dia."

Gibran tertawa, "nggak tahu deh, Kil. Dari dulu tiap lihat lo tersiksa merana gini bawaan gue bahagia."

Kuampreet.

"Balik sana ke kandang lo," usirku. Kantor Gibran memang bersebrangan dengan gedung kantorku.

"Kasihan ntar cewek cantik digodain orang."

"Muluut lo, Bran. Kelamaan gagal move on ya lo jadi sinting begini."

"Mana ada gue gagal move on."

"Alaaah, bohong lo. Tapi thanks gue ada temen ngoceh di sini."

Gibran kembali tertawa, anak rambutnya pada terjatuh. Sumpah. Dia ganteng banget. Garis senyumnya bikin dia dapat nilai 100. Pantes saja temen se divisiku sering nongkrong di food court kantor dia. Nongkrongin ni manusia satu.

"Lo juga jomblo menahun, Kil. Thanks juga dah buat gue senyum bibir. Lagi suntuk aja sebenernya gue."

Hidung Gibran mancung, bahkan lebih mancung daripada punya Januar. Gibran lebih putih daripada Januar, tapi badan Januar lebih tinggi dan tegap.

Gibran sama Januar punya perut sobek-sobek nggak ya?

Kok jadi ngebandingin mereka ya, "suntuk kenapa lo?" Tanyaku.

"Suntuk, jenuh, bosen. Kerja tiap hari, gaji kebanyakan. Rumah kelar beli. Mobil udah lunas, tanah udah mulai investasi. Bingung mau ngabisin duit sendiri."

Semelekethe ini orang...

"Alaaah bilang aja lo pengin kawin." Ku dorong lengannya dengan telunjuku. Wow keras choooy...

"Kawin bisa diatur. Nikahnya yang susah," jawabnya defensif.

"Lo ganteng padahal, Bran. Umur udah 29. Masih bisa lah nunjuk dedek gemes yang baru lulus SMA."

"Ogah dedek gemes desahannya melengking kaya tikus kejepit. Mending sama yang mateng. Desahannya kaya harmoni lagu."

Hah? "Eanjiiir ya, mulut lo, Bran. Demennya desah-desahan."

Dia menatapku, mata Januar tergolong bening. Punya Gibran hitam pekat, "kita sudah lebih dari seperempat abad, Kil. Yang begini tu sudah bukan kejadian awam lagi. Lo bahkan lebih dari sekedar tahu."

Ku pukul lengannya, "Woya jelaaaas."

"Lo sendiri kenapa masih jomblo, Kil. Udah 28 tahun, cantik."

"Karena duit gue masih belum cukup buat sekedar dihabisin sendirian. Mobil belum kelar. Apartmen belum lunas. Investasi belum ada." Kubalik kata-katanya barusan.

"Kita saling melengkapi ya, Kil. Kaya isi kutang. Harus dua."

Ku geplak kepalanya.

"EHM!"

Januar berdiri di sana dengan tatapan hendak memakan ku.

Dia masih dendam karena kejadian masa lalu? Iya?

---

Tbc

Karanganyar, 10 Januari 2017

FatmaLotus

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top