Surat untuk Regan
Di malam-malam sunyi, kutemui dirimu terjaga dan tergugu. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang membuatmu tercenung. Tak kudapati kata yang menyelip di antara hela napasmu. Kamu memilih bungkam, bahkan kepadaku. Padahal aku terus menunggu hingga kamu bicara dan mengadu padaku.
Besoknya, kamu memilih menjadi sibuk. Apakah kamu sedang lari (lagi)? Lari tidak akan menyelesaikan apa pun, Regan. Kamu sedang marah? Muntahkan saja semua. Akan kudengarkan dengan sabar. Biar tak terus menjejal di hati. Aku tidak ingin melihatmu kesusahan dengan rantai beban itu. Jika bisa, ingin kuiringi langkahmu, agar ringan.
Pernah suatu malam, aku melihatmu tertawa. Tawa yang begitu lepas. Kamu sedang berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Perempuan. Dia siapa, Regan? Kenapa wajahmu penuh binar? Sesaat, aku iri. Aku ingin menjadi perempuan itu.
Untuk Regan, yang sekarang memilih menjauh dari semua orang. Padamu, pernah kutawarkan sebentang lengan. Meski dingin, percayalah, setidaknya kamu merasakan kehadiranku. Aku ada. Dan kamu tidak sendirian meratap malam.
Malam itu, akhirnya kamu kembali padaku. Kutawarkan lagi sebentang lengan. Tapi kamu menolak. Kamu hanya terus bungkam. Bukan hanya padaku, tapi pada semua orang. Kamu, lagi-lagi, memilih hancur sendirian.
Regan,
Apa baik-baik saja setelah tahu semuanya?
Apa baik-baik saja setelah menyakiti perempuan, yang sudah menjadi pemilik sebagian hatimu?
Apakah baik-baik saja setelah tahu bahwa kamu tidak pernah diinginkan?
Tidak pernah diinginkan. Sebentuk kalimat yang memberagus hatimu. Apa dia juga hendak membakar ragamu? Lalu apa yang tersisa? Selain hari-hari yang harus dijalani. Memaksamu terus melangkah tanpa tahu di mana batasmu.
Sama halnya dengan aku, yang tak tahu di mana batas sabarmu. Aku tidak akan membandingkan dengan lautan samudra, jelas lebih dari itu. Apakah seluas langit yang mahaluas?
Kutitipkan pesan yang semoga saja sampai padamu. Tetaplah kuat, Regan. Sesekali, jika terlalu berat, menangislah. Aku ada. Kamu tidak pernah sendirian. Akan kupeluk bersama malam, yang kujanjikan tidak akan sunyi. Tapi bagaimanalah, jika kamu terus menghamba malam sunyi?
Jika langkahmu terasa melelahkan, berhentilah. Sebentar saja. Sadari keberadaan mereka, yang sangat amat menyayangimu tulus. Kamu tidak perlu ke mana-mana, ada mereka. Bukankah mereka adalah rumah untukmu? Bukankah kamu ingin pulang?
Pulanglah dengan segala maaf. Tidak ada cara lain, Regan. Pulanglah, dan maafkan orang-orang yang sadar tidak sadar menyakitimu.
Pulanglah.
Aku ingin melihatmu tertawa lagi seperti malam itu.
Berjanjilah untuk bahagia, Regan.
Jangan pernah datang lagi padaku.
Tertanda,
Aku—udara yang menyaksikan hancurmu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top