8. Chit-chat

🎶 Jika—Melly G. Ft. Ari Lasso (covered by Aviwkila)

“Makasih, Pak.” Adriana selesai menandatangani surat bukti penerimaan. Berbalik sambil membaca nama yang tertera di kertas tebal itu.

“Ada paket buat Mas nih. Aku taruh di meja, ya.”

“Dari siapa?” Regan yang hari ini berdandan ala kuli lagi; celana jeans selutut, kaus hitam oblong, dan topi yang dipakai terbalik—untuk menyibak rambut bagian depan yang mulai memanjang. Mural di dinding utama memang sudah jadi. Regan hanya menambahkan beberapa yang kurang saja. Besok restoran siap dibuka.

“Iyan.”

Regan mendekat dengan kuas di tangan, tangannya sudah belepotan cat. “Oh, Bang Iyan.”

“Siapa?”

“Temenku. Mau nikah bulan depan. Kemarin nggak sengaja ketemu di restoran deket kantor, lagi ngurus katering.”

“Kalau Kak Maura kapan tuh?”

“Dua bulan lagi.”

“Banyak ya yang mau nikah.” Adriana manggut-manggut. Lalu dengan tampang innocent menatap kakaknya. “Mas Regan kapan nikah?”

Regan mendecak, mengayunkan kuas di tangan. Adriana melesat kabur sambil tertawa menyebalkan.

“Memangnya belum ada yang cocok, Re?” Fatma membawakan segelas es sirup dan bakwan jagung. Menaruhnya di meja terdekat.

“Aku memang belum niat nyari, Tan.” Regan mengembalikan kuas ke kaleng cat dan berjalan ke westafel, mencuci tangan.

Fatma mengamati pekerjaan Regan yang sudah rampung. Tersenyum. “Cinta pertama memang susah dilupakan.”

“Mudah kok, Tan.”

“Apa iya?”

“Cinta pertama jadi bagian masa lalu. Nggak bisa jadi bagian masa depan. Apa yang ada di masa lalu, pasti terlupakan.” Regan duduk, meminum es sirupnya. Asal saja mengucapkan itu.

Fatma menunggu sampai Regan selesai minum. “Atau sebaliknya, yang pertama sudah telanjur mendapat tempat.” Diakhiri dengan senyum penuh makna. “Hati-hati kalau ngomong, Re.”

“Tante sengaja nih.” Regan cemberut mengambil bakwan jagung. “Pasti dihasut sama Adriana.”

“Eh? Enak aja. Tante anti hasut-hasut klub ya.” Dengan terkekeh geli, Fatma kembali ke dapur.

***

Senin sore, restoran Adriana resmi dibuka. Hanya perayaan sederhana dengan tumpeng. Banyak teman kuliah Adriana—yang super berisik—datang, ikut meramaikan pembukaan restoran.

Dan tak lupa, duo Dakocan beserta ibunya. Kalau kalian ingin tahu, mereka masih sama dengan dulu. Sekarang mereka mengenakan serba pink magenta. Begitu datang langsung memilih duduk di dekat jendela. Ribut sekali ingin membantu Adriana—sengaja mencari muka karena ada Regan—tapi berhasil dikembalikan ke tempat duduk semula oleh Adriana.

Ada satu koki—teman Ardi—yang sejak tadi gesit memasak di dapur. Belum ada pelayan yang direkrut, jadi Regan—yang hari ini bisa pulang lebih awal—turun tangan menjadi pelayan dadakan. Membuat teman-teman perempuan Adriana menggigiti kuku. Lalu dengan galak Adriana merebut buku menu dan bolpen. Tidak membiarkan kakaknya dipandangi seperti itu.

“Pesan aja. Nggak usah main mata sama kakak gue. Colok nih.” Sambil mengacungkan bolpen ke mereka.

Regan pamit dari lingkaran itu ketika melihat Kiki muncul di pintu. Dia berniat menghampiri tapi membeku begitu melihat siapa dua orang yang datang di belakang Kiki.

“Selamat datang di Adriana’s Kit—” Adriana tidak bisa menyelesaikan kalimatnya.

“Halo, Dri.” Ari melambaikan tangan, juga melempar senyum. Seakan tidak ada fakta yang baru dia dengar satu jam yang lalu. Seakan, hanya sebatas, tidak melihat Adriana dalam waktu yang lama.

Sementara Adit hanya mengangguk saja ketika bertemu tatap dengan Adriana.

Kiki melayangkan satu tangan ke bahu Regan. Meremas bahu itu pelan. “Hehehe, gue udah cerita ke mereka.”

Regan menatap Ari dan Adit secara bergantian. Mulutnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu.

“Duduk di mana kita?” Adit berdeham. Memecah kebekuan.

“Lo nggak lihat restoran lagi sibuk?” Kiki meraih buku menu di meja dekat pintu. “Bantuin dulu. Baru makan. Siapa tahu gratis.”

“CEO gadungan!” Ari mendengkus. Dia hanya bercanda.

Regan masih bingung. Sampai tepukan kedua mampir di bahunya. “Di Singapura lo belajar ngelamun?”

“Hah?”

“Kenapa kalau orang ganteng begonya termaafkan? Nggak adil.”

***

Empat gelas es kopi baru saja diantarkan ke meja mereka oleh Adriana. Kiki melepas dua kancing teratas kemejanya, merasa kegerahan. Meski tangan kanannya sudah mengipasi dengan buku menu. Meski AC sudah menyala maksimal. Tetap saja.

“Ini yang mau ngomong duluan siapa?” Kiki merasa jengah dengan kebekuan ini.

Regan cepat menyahut. “Gue. Biar gue jelasin semuanya.”

Namun Ari mencegah. “Nggak usah. Kiki udah cerita garis besarnya. Itu udah cukup. Nggak perlu diceritain lagi.”

“Gue minta maaf,” gumam Regan.

“Kenapa nggak cerita dari awal?” Adit masuk ke obrolan.

Kiki dengan cepat mengirimkan tatapan laser ke Adit. Dia tadi sudah menceritakan apa yang dia ketahui. Semuanya. Termasuk soal Gita dan mamanya—yang ini Kiki kelepasan. Jadi, Adit tidak perlu lagi mempertanyakan kenapa Regan tidak cerita sejak awal. Apalagi yang kurang jelas?

“Oke, maaf. Lupain aja pertanyaan gue.” Lelah ditatap aneh oleh Kiki, dia akhirnya menyerah. “Dan gue minta maaf karena sempat deketin Riana—maksud gue Adriana.”

Barulah Regan bisa tersenyum. “Nggak apa-apa. Justru karena lo deket sama Adriana, gue jadi sering lihat dia.”

“Tapi sekarang doi kepincut tuh sama tetangga.” Kiki menunjuk Adit dengan bibir yang mengerucut.

“Wah, gila. Udah mau nyusul Maura aja.” Ari melempar gulungan tisu ke Adit.

“Belumlah. Baru juga ngerintis usaha kopi. Masih lama.” Adit jadi tersipu sendiri begitu disinggung tentang si Tetangga. “Yang ada Ody tuh yang mau nyusul Maura.”

Kedua kalinya dalam lima menit ini, Kiki mengirim tatapan laser ke Adit lagi.

Meski Ari bisa membaca kode yang Kiki berikan. Tapi sekalianlah, dia bertanya. Pertanyaan yang sudah terpendam lama. “Sekian tahun, masih cinta sama Ody?”

Kiki menyerah. Dia mengangkat kedua tangan ke udara dan meraih es kopinya. Terserahlah. Biar saja Regan menghadapi penghakiman ini.

“Kenapa tanya itu lagi?”

“Ya sayang aja kalau gue ngalah, tapi ternyata lo nggak cinta ke dia. Dan ujung-ujungnya dia malah nikah sama orang lain. Gue nyesek kemarin dia diledekin mau nikah sama si siapa itu ....”

“Dipta!” Kiki menyambar. Kemudian pura-pura sibuk menatap dinding penuh mural di sisi kirinya. Sambil bersiul menyebalkan. Mengabaikan Regan yang menoleh padanya.

“Kalau lo mau deketin dia lagi—”

“Ngapain?” Ari memotong. “Lo pikir gue belum move on, Re?”

“Tadi lo bilang ....”

“Gue cuma pengin tahu aja reaksi lo gimana.” Ari tertawa. “Soalnya pas reuni kemarin lo datar aja lihat Ody diantar-jemput sama lelaki, yang katanya calon suaminya itu.”

Kiki sekarang beralih ke tanaman pot kecil di bingkai jendela. Mengamati tanaman kaktus itu seakan baru melihatnya.

Regan membenarkan posisi duduknya. “Ya terus gue harus gimana? Marah? Buat apa? Gue sama Ody nggak ada apa-apa. Gue bahkan lost contact udah lama.”

“Cemburu. Lo harusnya cemburu. Astaga!” Kiki tidak tahan untuk tidak menyambar lagi. Dia sudah menaikkan kedua tangannya, siap menjambak-jambak rambut Regan yang ada di sampingnya. Tapi begitu melihat Adriana lewat, dia menurunkan tangannya.

“Kenapa lost contact?” tanya Ari serius.

Regan menelan ludah. Dia menjawab jujur dengan risiko mendapat bogem mentah dari Ari. Atau memilih tidak menjawabnya—daripada harus berbohong.

“Lelaki yang kemarin antar-jemput Ody, bukannya lebih baik dari gue ya?” Alih-alih menjawab, Regan justru melempar pertanyaan.

Lebih baik itu ditakar pake apaan?” Kiki melirik kesal.

“Semuanya. Latar belakang keluarga, pekerjaan, kedewasaan ...” Regan mengambil jeda, “... status sosial, ya semacamnya.”

“Halah!” Kiki mengibaskan tangan. “Cinta ya, cinta. Mau panuan kek. Bodo amat. Lo ribet banget sih.”

Adit tergelak.

  Namun tidak dengan Ari yang masih gemas dengan satu pertanyaan yang coba dialihkan Regan. “Gue tanyanya sederhana banget. Cuma butuh jawaban iya atau nggak.”

  “Biar dia sendiri yang tanya.”

  “Ody mana mungkin tanya gitu?” sergah Ari.

  “Kalau dia sekali lagi tanya, bakal gue jawab.”

  “Lo laki, Re. Kenapa justru lo yang nunggu?” Ari masih mengejar.

  “Udah ya, udah. Mari kita ganti topik. Gue udah bosen bahas ini. Biarin aja. Semua bakal nikah pada waktunya. Ody mau nikah sama siapa, biarin. Regan mau nikah sama yang lain, juga biarin.” Kiki memutus topik itu sampai di sana.

  Ari tidak tahu kalau Regan bahkan tidak bisa menunggu—karena dia sudah menyerah sejak lama.

  Fakta bahwa dirinya sudah menyerah atas Ody dan segala hal yang berhubungan dengan perempuan itu, membuat Regan membisu. Membiarkan meja diambil alih oleh cerita Kiki.

***

Dengan bosan Ody memainkan beberapa helai rambut Kenzi yang mencuat di bagian tengah kepala. Sudah satu jam dia duduk menyandar di sofa toko kain dengan Kenzi di pangkuan. Tapi kakaknya belum selesai juga memilih kain. Jangankan memilih kain, memilih warna saja mungkin belum selesai.

Ngomong-ngomong, sekarang sudah pukul sepuluh malam. Ody masih mengenakan seragam kerja. Tapi hebatnya, bocah tiga tahun di pangkuannya ini belum mengantuk. Mentang-mentang jarak toko kain hanya sepelemparan batu dari rumah Mas Kinan, Maya dengan semena-mena menarik Ody ke butik.

“Kenzi nangis dong. Biar kita bisa pulang.”

Bocah itu hanya mengerling saja. Fokusnya masih ke video kartun yang Ody putarkan di ponsel.

“Orangtuanya Mas Dipta kapan ke Jakarta?” Maya mendekat dengan gulungan kain.

“Bulan depan.”

“Mau gue beliin seragam sekalian. Posturnya sama ‘kan kayak Papa-Mama?”

  “Kalau lihat di foto sih lebih ke perawakan mertuanya Mas Kinan.”

“Oke.” Lalu pergi dari hadapan Ody.

Ody baru ingat kalau ada satu roti gandum di ranselnya. Dia belum makan dari siang. Baru juga turun dari taksi, Maya sudah menariknya ke butik ini. Kenzi bahkan rewel ingin ikut.

Dia menyuap potongan kecil ke mulut Kenzi. Lalu sepotong besar ke mulutnya sendiri. Dia, untuk yang kesekian kalinya, akan tabah menunggu kakaknya selesai. Dia sudah terbiasa dengan urusan menunggu seperti ini.

Beberapa menit kemudian, pintu kaca didorong dari luar. Ody masih sibuk mengunyah. Tapi sebuah suara membuatnya menoleh.

“Ody?”

“Eh, hai. Git.” Ody bangun dari rebahannya. “Mau nyari kain?”

“Oh, nggak. Kebetulan lewat, mau ke coffee shop sebelah. Terus lihat kamu di sini. Lagi nunggu siapa?”

“Ini nemenin kakakku. Nyari kain.”

Gita masih berdiri di dekat pintu. “Sambil nunggu, mau ngopi bareng di sebelah?”

“Kopi, ya? Boleh deh. Duluan aja. Nanti aku nyusul.” Ody pamit ke Maya kemudian menyusul Gita semenit kemudian. Maya juga menolak dititipi Kenzi. Jadi bocah itu tetap setia di dekapan Ody. Malah sekarang dia yakin kalau Kenzi sudah terlelap di bahunya.

Tak terasa, sekarang Kenzi sudah seberat ini.

Bahkan Ody cukup kesusahan untuk mendorong pintu kaca karena kedua tangannya menahan tubuh Kenzi. Ody hendak mendorong pintu dengan bahu kanannya ketika ada satu tangan menyentuh gagang pintu.

Seketika pintu terdorong. Terbuka cukup lebar.

Ody menatap tangan itu. “Thanks.” Kemudian mencari keberadaan Gita di dalam kafe.

“Re, Dy, sebelah sini.” Gita melambai dari meja sayap kiri.

Yang dipanggil menoleh bersamaan. Regan membiarkan Ody melangkah lebih dulu. Dia bisa melihat wajah batita terlelap di bahu itu. Kenzi?

  “Kalian masih aja kompak. Bisa dateng barengan.” Gita tersenyum menyambut. “Padahal niatku cuma mau nyamperin Regan yang lembur.”

  “Ya udah aku pulang aja.” Ody setengah bercanda.

  “Eits, tunggu dulu. Belum selesai.” Gita tertawa, lalu menatap Regan yang juga terlihat bingung. “Aku lihat Ody nunggu bosen di toko kain sebelah, Re. Aku ajak aja ke sini.”

  Regan hanya menggumam dan mengangkat tangannya. Salah seorang pelayan mendekat, membawakan buku menu.

  “Anak siapa, Dy? Imut banget.” Gita baru sadar kalau sejak tadi Ody tidak sendirian. Dia ingin mencubit pipinya, tapi takut akan membuatnya bangun.

   “Anaknya kakakku. Tadi padahal melek. Eh, cepet banget tidurnya.”

  “Kalian mau pesan apa?” Regan menyela.

  “Samain aja.” Ody dan Gita mengatakannya secara bersamaan.

  Setelah mencatat, pelayan tadi pergi.

  “Ada mega proyek, Re, sampai lembur gini?” Gita melempar pertanyaan. Sementara Ody membuka ponselnya. Membuka chat grup divisi yang sudah ratusan. Siapa tahu ada yang penting selain Daffa yang seringnya nyampah di grup. Atau jokes garing-nya Mas Luthfi yang mencoba melucu.

  Posisi duduk ini salah. Tidak seharusnya Regan duduk berhadapan dengan Ody. Jadinya dia tidak perlu menatap perempuan itu secara terus-terusan. Tambahkan dengan Kenzi yang ada di dekapannya. Regan tidak tahu kenapa melihat perempuan dengan seorang batita menjadi semenarik ini.

  “Re?” Sebuah sentuhan terasa di lengannya.

  “Eh, tanya apa tadi?”

  “Ada mega proyek?”

  Regan mengusap wajah kebasnya. “Ada trouble lebih tepatnya.” Tapi dia tidak mau membahas lebih lanjut. “Gimana supermarket? Kamu kok di Jakarta terus akhir-akhir ini?”

  “Iya, udah dua hari ini. Karena aku mau dimutasi ke sini, jadi tengok-tengok dulu tempat baru. Sambil ngurusin pindahan.”

  “Tante Dewi ikut pindah?”

  “Tentu.”

  Kopi mereka datang. Menyela obrolan sekilas. Juga menghentikan aktivitas Ody men-scroll chat yang biasa dia abaikan.

“Ada rekomendasi hunian hijau-hijau gitu, Re? Mama bakal suka.”

“Nanti coba aku tanyain temen-temen. Kapan resminya dimutasi? Seneng dengarnya.”

“Minggu depan. Aku padahal nggak ngajuin surat pindah. Tahu-tahu aja dimutasi. Ya aku oke-oke aja. Ganti suasana. Meski ya ujung-ujungnya balik ke sini lagi.”

Ody akhirnya sadar kalau dia hanya menjadi obat nyamuk di sini. Mau pamit duluan, tapi kopinya belum tersentuh. Mana dia sudah telanjur nyaman duduk di kursi super nyaman ini. Sungguh licik yang punya restoran ini. Pintar membuat orang malas bangkit dan betah mengobrol lebih lama. Lagu jazz yang diputar secara random dari piringan hitam membuat kopi lebih nikmat.

“Kerjaan lancar, Dy?” Merasa Ody sejak tadi hanya diam, Gita mencoba adil.

“Lancar. Selamat btw dimutasi ke sini. Jadi dekat ‘kan kalau mau ketemu-ketemu.” Ody tersenyum seraya melirik ke lelaki di depannya.

“Iya, makasih.” Tapi masih ada yang Gita ingin tanyakan. “Ceritain dong pengalaman seru selama ngeliput. Aku lumayan tertarik sama kerjaan yang nantang gitu.”

“Apa, ya? Baru dua tahun aku, Git. Belum dapat pengalaman banyak.” Ody merendah.

“Pas dua tahun ini aja. Apa yang udah kamu laluin? Suka-dukanya deh,” desak Gita.

“Sukanya, dikejar waktu. Nggak tahu, senang aja rasanya lari-larian ngejar narasumber. Ngejar jam tayang berita.” Ody tersenyum bangga. “Dukanya, nunggu narasumber berjam-jam. Udah macem gembel di emperan gedung pemerintah, kapolda, rutan, KPK, BNN, dan lain-lain.”

“Terus-terus?” Gita semakin tertarik.

Dari balik cangkir yang disesap kopinya, mata Regan juga tak lepas dari sosok itu. Yang terlihat berbinar bercerita tentang pekerjaannya. Terlihat betapa dia begitu mencintai pekerjaannya sebagai jurnalis.

“Nggak enaknya, kena dorong-dorong. Desak-desakan. Pernah juga kena lemparan batu pas ngeliput demo. Dijahit delapan. But I am okay with that.”

“Dijahit delapan? Memang setelah itu, Mas Kinan nggak maksa kamu resign?” Akhirnya Regan tidak sabar menyahut.

Ody menatapnya, setelah sejak tadi hanya menoleh ke arah Gita. Ada jeda yang lama. Meski dia sendiri juga tidak tahu kenapa pertanyaan itu membuatnya terdiam.

“Mas Kinan sangat amat pengertian. Mungkin karena sudah terbiasa menghadapi Mbak Anggun yang passionate juga. Jadi udah nggak sekaku dulu. Justru Mbak Maya yang ngomel-ngomel.”

“Kenapa nggak kerja di divisi entertainment aja? Lebih aman, Dy.”

“Iya, memang lebih aman, Git. Tapi aku capek sama selebritis yang banyak drama.”

Tidak terasa, sudah satu jam mereka duduk mengobrol. Gita pamit ketika taksi pesanannya sudah tiba di depan kafe. Regan dan Ody juga berdiri.

Ketika keluar dari kafe, Ody bisa melihat kakaknya yang duduk sambil cemberut di kursi depan toko kain. Lampu toko sudah dimatikan. Pintunya sudah ditutup.

“Dijemput?” Regan masih di sebelahnya. Berdiri dengan canggung.

“Nggak. Ini mau balik ke rumah Mas Kinan. Dekat dari sini.” Ody menepuk-nepuk punggung Kenzi yang sepertinya terbangun. “Duluan, ya. Mbak Maya udah nunggu.”

“Oh, oke.”

Bersamaan juga dengan sebuah taksi yang merapat. Tanpa menunggu, Ody berbalik. Menghampiri kakaknya yang terkantuk-kantuk.

“Udah?” Dengan nada yang tidak menyindir. Tumben sekali.

“Lo udah selesai sejak tadi, Mbak? Kok nggak telepon atau panggil juga bisa.” Mereka mulai menyeberang, berjalan pulang.

“Nggak enak. Kalian asyik ngobrol gitu. Gue tunggu aja. Paling sepuluh menit selesai. Lo ‘kan tipe yang ngopi kilat gitu. Eh, ternyata satu jam. Ngobrolin apa aja sih?!”

“Ya ngobrol banyak.” Ody menjawab sekenanya.

“Lo lagi nostalgia sama Regan?” Maya enteng sekali bertanya. Melupakan bahwa mereka duduk di dalam kafe tidak hanya berdua, tapi bertiga. Kakaknya itu suka mengambil kesimpulan paling mudah.

“Nggak.”

“Gue jadi pusing lihat hubungan kalian.” Maya berhenti di depan rumah Mas Kinan.

“Kalian siapa?”

“Lo sama Regan.”

  “Selama bertahun-tahun ini, gue berhasil mengenyahkan bayangan Regan yang ada di sekitar lo. Mungkin karena gue terbiasa lihat lo ke mana-mana sama Mas Dipta. Bukan, ini bukan karena gue masih ada perasaan sama Mas Dipta. Lo jangan salah paham dulu.”

Ody tidak paham kakaknya ini ingin bicara apa sampai merembet ke salah paham segala.

Tangan Maya terangkat ke udara, menahan Ody yang ingin bicara. Karena dia belum selesai. “Entah gue yang siwer atau lo yang kelewat bego ....”

“Cepet deh Mbak mau ngomong apa. Gue udah kesemutan gendong Kenzi,” potong Ody kesal.

“Lo pikir nggak berat bawa banyak kain gini, hah?!” Maya balas berteriak sambil menaikkan empat plastik besar—masing-masing di tangannya ada dua. Dia menghela napas dalam-dalam. “Oke, kita ambil intinya aja. Kesimpulannya, lo bego banget, Dy.”

“Bego gimana maksudnya?” protes Ody, tidak terima. Hampir saja dia ikut berteriak kalau saja tidak ingat ini sudah malam, dan ada Kenzi di dekapannya.

Maya mendorong pagar dengan kakinya. “Ya lo pikir aja sendiri. Kalau nggak nyadar juga, lo emang bego beneran.”

***



Komen aja di sini. Apa pun lah. Bebasss asal sopan <(‾︶‾)>

Utk minggu ini aku update 2x. Kalau gak Sabtu ya Minggu.

Rabu, 26/12/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top