7. Reuni (2)

🎶Semua Tentang Kita—PeterPan (covered by Aviwkila)


Untuk kalian, yg kangen interaksi Regan-Ody 💃

————————

“Pulang jam berapa, Dy?”

“Nggak usah jemput, Mas.” Ody tidak mau merepotkan. Mas Dipta tadi sudah repot-repot menjemput ke kantor BNN, tanpa diminta.

“Langsung pulang aja, ya. Kamu mending istirahat.”

“Udah sampai sini juga. Nggak enak sama yang lain. Katanya pertemuan kali ini penting.” Ody merogoh ranselnya. Mencari masker bersih.

“Ya udah kita ke apotek dulu. Beli obat.”

“Nggak usah, Mas. Aku udah biasa gini.” Ody bersiap membuka pintu setelah memakai masker.

“Oke. Tapi nanti harus telepon. Aku jemput, jam berapa pun.”

Kalau tidak dituruti, bisa-bisa Ody dipaksa pulang lagi. “Iya, iya.”

Badannya luar biasa tidak keruan. Sebenarnya sudah terasa tidak beres sejak kemarin. Tapi Ody terlalu memaksakan tubuhnya. Besok dia bisa tidur seharian, hiburnya pada diri sendiri.

Dia mendorong pegangan di pintu diikuti dengan suara lonceng. Restoran luar biasa ramai. Ody harus hati-hati kalau tidak ingin menyenggol pelayan yang membawa piring-piring. Baru beberapa langkah, Dipta menyusul.

“Kamu nggak bawa jaket tadi?” Dipta memasangkan jaket hitam miliknya ke tubuh Ody.

Ody mencoba mengingat. Dirinya bahkan tidak sadar kalau masih mengenakan seragam kantor. Dia juga lupa membawa baju ganti. “Ketinggalan di mobil kantor kayaknya, Mas.”

“Jangan lupa telepon nanti.” Dipta menepuk kepala Ody dengan lembut sebelum berbalik.

Setelah ini, Ody siap dengan sorakan seperti yang sudah-sudah. Bukan kali ini saja Mas Dipta mengantarnya. Entahlah. Beberapa tahun ini Mas Dipta selalu muncul di mana-mana.

“Duh, duh, duh. Yang diantar si Husband Material!”

  See? Ody mengibaskan tangan. Dengan langkah gontai langsung menuju ke meja para perempuan setelah Rana melambaikan tangan. Dia hanya melambai sekilas ke meja-meja yang lain, terlalu lelah untuk menyalami mereka satu per satu.

  “Na, tolong mintain teh hangat aja.”

Rana menoleh, mencari pelayan yang kebetulan lewat dan menyebutkan permintaan Ody.

Ody menyandarkan punggungnya. Tanpa sadar memejamkan mata. Beberapa saat seperti itu sampai teh hangatnya datang. Dia terbangun, menurunkan masker, dan menyesap tehnya.

“Jadi gimana nasib si Aktor ternama itu? Filmnya udah mau rilis loh. Dia malah bikin ulah. Gimana sih?” Salah satu dari mereka bertanya.

“Masih diperiksa tadi. Nunggu hasilnya lama banget.”

“Hasil lab-nya gimana?” Rana ikut menyahut.

“Positif.”

Potek hati gue.”

Ody kembali menaikkan maskernya. Dia tidak mau menularkan virus. Dia memang belum sampai bersin-bersin. Tapi sejak tadi hidungnya gatal. Meski begitu, Ody tetap melibatkan diri dalam obrolan di meja ini. Menanggapi beberapa hal. Menjawab beberapa isu yang sedang berkembang. Mereka menghindari membicarakan politik. Terlalu berat.

Hingga sebuah tawa terdengar oleh telinganya. Secara naluriah, Ody mencari suara tawa itu. Terpisahkan beberapa kursi, matanya menangkap sosok itu. Sedang tertawa lebar.

Tawa yang ... ternyata masih dikenali dengan baik oleh Ody.

***

“Ini seriusan. Kok pada nggak percaya sih!” Gita mendengkus sebal.

Gita sedang bercerita entah apa. Sesuatu yang menyeramkan atau apalah itu. Tapi Regan yang berada di sampingnya tidak mendengarkan. Sejak pintu restoran dibuka setengah jam yang lalu, fokusnya benar-benar pecah.

“Kambing tetangga mati semua, Re.” Kiki melempar kacang atom.

“Hah? Apa hubungannya?”

Kiki mengedikkan bahu kiri, tanpa suara, berkata. “Kalau kangen, samperin.”

“Ngomong apa, Ki?” Gita penasaran dengan yang dilakukan Kiki barusan.

“Apa sih lo? Jadi takut gue sama lo.” Kiki menatap Gita dengan sengit. “Gue sering nongkrong di balkon malam-malam. Karena cerita lo, gue jadi kepikiran. Gimana kalau ada rambut menjuntai gitu?”

“Harusnya mereka yang takut sama lo.” Adit menyahut tenang.

“Kok bisa?”

Ari siap tertawa. “Takut lo sepik-sepikin.”

“Gue nggak se-desperate itu!”

“Tapi bener juga. Gue jadi inget ....”

Kiki menggeleng kuat-kuat. Menghentikan niatan Regan.

“Inget apa?” Gita menyahut.

“Itu, Dek Nana, kamu masih inget?”

“Cucunya Bu Sum? Kenapa dia?”

“Re, sumpah ya. Kalau sampai lo ngomong, persahabatan kita end ya!”

“Nah, iya. Dulu Kiki deketin Nana ‘kan ya? Terus kelanjutannya gimana? Ditolak beneran, ya?”

Regan, dengan sedikit bersalah, mengangguk.

Meja itu kembali ramai.

Belum cukup, Gita menambahkan. “Bentar. Aku ingat sesuatu. Nana pernah cerita ke aku, katanya risi gitu lihat Mas Kiki yang cengar-cengir.” Dengan penuh penekanan di ujung kalimat.

Fix. Gue jadi tahu salah gue apa!”

Kali ini Regan tidak bisa menahan tawanya. Jadi hanya karena alasan sesederhana itu? Iya, bisa sih. Mungkin Nana takut dan jadi waspada. Akhirnya misteri ditolaknya Kiki terjawab sudah setelah sekian tahun.

Merasa ada yang menatapnya, Regan menoleh.

Detik-detik yang merambat pelan. Dia membiarkan dirinya dipeluk udara yang terasa membeku. Hingga sesuatu yang hangat menelusup hatinya. Percakapan di mejanya sudah berganti topik. Kembali terdengar samar. Tapi Regan terkunci oleh tatapan itu.

Entah siapa yang akan memutus tatapan lebih dulu. Regan memilih menunggu. Hingga detik berikutnya, perempuan itu menyerah ketika suara Maura menyita seluruh perhatian.

Maura sudah berdiri, membawa bertumpuk undangan tebal. Dibantu beberapa temannya, dia mulai membagikan undangan pernikahan itu.

“Wajib datang ya, Re.” Maura sudah sampai di depannya. “Kalian semua juga wajib datang.” Segera meralat. Padahal Kiki sudah membuka mulut, siap protes.

***

Pukul 23.40. Ody sudah tidak nyambung dengan obrolan di meja. Dia sesekali menutup mata. Rana sudah menyarankan agar Ody pulang saja. Tapi dia menolak.

“Kita ke klinik gue, yuk. Gue kasih infus.” Rana sudah khawatir. “Badan lo panas gini.”

“Gue cuma demam biasa, Bu Bidan.” Ody menyingkirkan tangan Rana dari dahinya. “Nanti gue minum obat yang lo kasih aja. Masih kok.”

“Oke, gue cariin taksi sekarang.” Rana tidak membawa mobil tadi. “Atau nebeng di mobilnya Ari. Lo pulang ke apartemen ‘kan? Kalian searah kalau gitu.”

“Aduh, nggak usah. Anak-anak ‘kan masih ngobrol di sini. Gue chat Mas Dipta aja.”

“Ehem! Udah ada yang mau nyusul Maura nih!” Rana memang menyebalkan. Mana sengaja dikeras-keraskan pula. Seolah memproklamirkan kalau lelaki yang memakaikan Ody jaket tadi memang spesial.

“Mau nikah lo, Dy?” Kiki gatal untuk tidak menyahut.

Ody malas menjawab.

“Iya dong. Nih, buktinya.” Rana yang menjawab. Dia meraih tangan kiri Ody dan mengangkatnya ke udara. Semua orang menoleh, tertarik.

Satu cincin terpasang di jari manis itu. Berkilau di bawah lampu gantung.

Ody sudah menarik tangannya, tapi Rana tidak membiarkan. Dia hanya menghela napas. Sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Sontak siulan terdengar. Berbagai sahutan silih berganti.

“Makkkk, berlian asli!”

“Yang tadi, Dy? Ya ampun, ya ampun, lo beruntung banget!”

“Gue masih bisa nikung nggak, Dy?”

“Hati gue potek dua kali!”

Ari juga jail menimpali. “Hatiku ikut sakit hlo, Dy. Kamu diam-diam mau nikah ternyata.”

Kiki menggebrak meja. Berdiri sambil menunjuk Ody. “Kok lo mau nikah nggak bilang-bilang sejak awal?!”

“Emang kenapa harus bilang sama situ sejak awal?” Rana membalas sinis. “Mau bayarin sewa gedung? Bayarin EO-nya?”

“Ya nggak gitu juga ....” Kiki kembali duduk dengan kikuk. Diam-diam melirik ke arah Regan. Yang justru terlihat datar-datar saja. Kiki melanjutkan. “Tapi ya ... harus bilanglah sejak awal. Mana bisa tiba-tiba nikah gitu.”

Ody menarik tangannya dengan sebal. Dia memukul lengan Rana yang tersenyum puas sekali. Ody malas meralat apa pun. Kepalanya berdenyut.

Getaran ponsel menyela riuh-rendah suara. Satu nomor asing. Bukan nomor negara ini, tapi dari Singapura. Regan berdiri, meninggalkan meja yang ramai, menuju ke halaman depan restoran yang justru lengang. Sudah lewat tengah malam. Angin bertiup dingin.

Ody juga berdiri, hanya melambaikan tangan, menyesal karena tidak bisa bergabung hingga acara selesai. Daripada dia pingsan di sini dan malah merepotkan banyak orang. Mas Dipta mengabari jika sudah hampir sampai.

“Kalau nikah kabar-kabar ya, Dy!”

Maka Ody hanya mengangguk saja.

“Undang Via Vallen dong, Dy!”

Ody mengacungkan satu jempolnya.

“Suvenirnya emas batangan ya, Dy!”

Dibalas dengan dua acungan jempol. Di balik maskernya, Ody tertawa.

“Heh! Pada berisik! Belum tentu ya Ody nikah sama yang tadi.” Sudah tahu dong siapa yang akan berseru demikian.

Rana yang tidak terima, sontak berdiri. “Diem aja deh, Buntelan Ketek! Lo dari tadi sensi banget. Ody mau nikah sama siapa juga hak dia!”

Kalau saja Ari tidak menahan bahunya, Kiki sudah akan berdiri dan lompat ke meja sebelah.

“Kenapa jadi galakan lo sih? Mana bisa pamer mau nikah tapi undangan aja belum nyetak. Apalah guna cincin berlian. Mau segede gaban juga berliannya, belum ada janur melengkung.”

“Udah, udah.” Ari menengahi. “Buruan pulang, Dy. Hati-hati, ya.”

Di sisi lain, Maura juga menahan Rana. “Lo kenapa sih ngeladenin si Rombeng? Jangan diambil hati kenapa.”

“Ya gue kesel. Mereka cowok sih. Mana ngerti.” Rana bersungut-sungut.

Ody melambaikan tangan sekali lagi sebelum melangkah ke pintu utama restoran. Mendorong pintu kaca super tebal itu dengan kekuatan ekstra. Berjalan tiga langkah dari pintu, dia mendapati punggung itu.

I will send the address as soon as possible. Deeply sorry for occupying you. But the stuff is quite important for me. I didn’t check twice when left the room that day.

Regan sudah selesai berbicara dengan pemilik gedung apartemen yang mengabarkan ada benda tertinggal di unit apartemennya. Dengan kesimpulan bahwa pemilik gedung itu berbaik hati mengirimkan barangnya besok pagi. Dia hendak berbalik, kembali ke dalam restoran ketika suara sepatu berhenti di sebelahnya.

  “Ada yang ketinggalan?”

Suara itu nyaring tanpa ditelan ramainya malam. Meski terucap dari balik masker.

Regan memang mendengar langkah kaki mendekat, yang kemudian berhenti di sebelahnya. Dia tidak perlu menoleh untuk memastikan siapa. Dia sudah tahu. Semudah ini mengenali perempuan yang bertahun-tahun dia jauhi. Hanya sebatas kehadiran. Bukan suara atau pun sentuhan di bahu.

“Iya. Ada satu rancang bangunan yang ketinggalan di lemari apartemen.” Regan membasahi bibir. Tiba-tiba saja gugup melanda. Bagaimana tidak canggung? Mereka tidak bicara sejak empat tahun lalu—ketika dirinya mendapati Ody menunggu di stasiun. Yang sekaligus menjadi awal dari segalanya bagi mereka. Menepis perasaan dengan cara masing-masing. Membunuh rindu yang hadir tak mengenal waktu.

“Rancangan untuk klien?”

“Bukan.”

Hening yang menghanyutkan. Ody ingin bertanya lebih lanjut. Tapi kembali dia telan rangkaian kalimat yang sudah dia tata. Untuk apa bertanya jika yang ditanya barangkali tidak menginginkan hal serupa. Ody memilih diam dan menatap jalanan lengang. Kepalanya tidak sesakit tadi. Mungkin dia hanya butuh ketenangan, bukan kebisingan seperti di dalam tadi.

   “Mau pulang sekarang?” Regan memecah gelembung sunyi di antara mereka.

  “Iya.”

  “Dijemput?”

“Iya.”

   Kembali hening. Ody semakin memeluk tubuhnya sendiri. Angin malam tetap menusuk meski dia sudah mengenakan jaket. Sementara Regan diam-diam meremas ponsel yang tergenggam di tangan kanannya. Dia menahan diri untuk tidak menoleh dan hanya menatap jalanan yang mulai kosong.

You look so fine.” Kali ini Ody yang memecah gelembung itu.

Regan menarik sudut bibirnya. Senyum yang ragu. Dia melempar kalimat yang sangat dia ingin ucapkan sejak melihat kemunculan Ody di pintu tadi. “Apa kabar?”

“Sangat baik.” Dengan nada yang begitu yakin. “Meski lagi gejala demam. Cuma kurang tidur aja.”

Glad to hear that.” Regan berdeham. “Get well soon, anyway.”

Thanks. Happy to see you again after several years.

Satu mobil merapat. Regan tentu saja langsung mengenali siapa yang menjemput Ody. Lelaki yang tadi menjadi penyebab Ody diledek habis-habisan soal menikah.

  “Jemputan kamu datang.”

“Oke, duluan. Have fun.” Ody mengurai lipatan tangan. Dia menatap lelaki di sebelahnya sekilas sebagai formalitas.

Lalu punggung itu hilang di balik mobil. Meninggalkan dirinya yang tergugu dipeluk angin malam.

I am not fine at all, Dy.

***

“Yang tadi Regan?”

“Iya.” Ody membuang pandangan keluar jendela. Mulai menyandarkan kepalanya. Namun matanya tidak bisa terpejam.

“Eh? Serius? Aku kira aku yang salah lihat.”

“Iya, beneran dia.”

“Lama nggak dengar kabar dia. Tahu gitu, tadi aku turun terus nyapa.”

Ody dengar tapi tidak ingin menanggapi. Dari jendela, dia beralih menatap cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Orangtua Mas Dipta kapan ke Jakarta?”

“Bulan depan. Udah nggak sabar ya ketemu mereka?” Dipta mengulurkan tangan kirinya, mengusap kepala Ody dengan lembut.

“Kalau aku sempat dan ada waktu, seharusnya aku yang mengunjungi mereka. Bukan sebaliknya.”

“Mereka ngerti kok sibuknya kamu. Lagian mereka juga sekalian jalan-jalan. Mumpung Papa juga udah paripurna jabatan. Jadi tinggal nikmati quality time berdua.”

Di balik masker, Ody tersenyum dan kembali ke kaca jendela. Berhenti menikmati ibu kota yang sudah larut, lantas mulai memejamkan mata.

***

——————

Gimana, kangennya terobati belum?

Ada satu clue di sini, yg nyelip pokoknya. Gak usah dicari. Nikmatin aja 😅

Dan, satu lagi.

Jadi begini, readers yg disayangi Regan. Aku akan balik ke cara lamaku: update tanpa jadwal.

Aku dlm hal ini lumayan tdk terorganisir. Kemarin udah nyoba update pake jadwal, dan berhasil selama sebulan kalo gak salah. Tapi, aku nyaman dgn cara lama. Lebih spontan aja. Apalagi aku kan moody parah. Yg kadang apa2 semau sendiri wkwk

Pdhl jobdesc baruku ngurusin jadwal. Pusing pala aing. Jadi cukup di real life aja, di sini gak mau ketemu jadwal lagi 😂

Kalo ada jadwal memang lebih disiplin update, tp kadang aku merasa tertekan *halah 😂

Tapi, kuusahakan setiap minggu cerita ini akan update 1-2 bab.

Terima kasih atas pengertiannya 😘

Selasa, 18/12/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top