6. Reuni
Kiki berbaik hati menjemput Regan ke calon restoran Adriana. Sabtu sore yang cerah. Mobil Kiki harus stuck di macetnya ibu kota yang tidak pernah berubah. Merayap pelan sekali. Kiki tidak lagi mengomel tentang macet blablabla. Dia sudah ada di level pasrah. Daripada buang energi.
“Apaan itu?”
“Cheesecake bikinan adik gue. Dia tahu bakal macet. Makanya dibawain. Gue nggak sempet makan siang tadi.”
“Restoran kapan buka?” Kiki mencomot satu potong. “Muralnya udah selesai, ‘kan? Tadi gue pegang-pegang dinding. Gue yang orang awam ini bisa ngerasain gimana mural itu kerasa hidup.”
“Tumben pake perasaan?”
“Nggak juga.”
“Buka Senin katanya. Harusnya minggu lalu, tapi gue minta mundur. Dindingnya nggak boleh dianggurin.”
Kiki bertepuk tangan lalu mencomot kue satu lagi.
“Lo laper apa doyan?”
“Enak sih. Gratis pula.”
“CEO apaan lo.”
Mobil bergerak maju, perlahan kemacetan mulai terurai. Kiki menyetir dengan santai. Padahal setahu Regan acara pukul tujuh. Sekarang sudah lewat jam enam.
“Kita nggak bakal telat kalau lo nyetir kayak siput begini?”
“Sengaja gue, sengaja. Justru bagus kalau udah pada ngumpul dan kita datang belakangan. Biar kejutan. Gimana kantor baru? Kalau nggak betah, perusahaan gue selalu terbuka buat lo. Tawaran lima AC itu masih berlaku sampai kapan pun.” Kiki merepet ke topik lain secara bersamaan.
“Lo mau mempekerjakan orang apa ngawetin nugget?” Meski dia tahu Kiki hanya bercanda, Regan toh menanggapi juga.
Kiki santai mencomot potongan cheesecake lagi.
***
Malam minggu. Jalanan penuh dengan kendaraan pribadi. Pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak. Kedai-kedai di pinggir jalan berjejalan. Restoran-restoran juga penuh di tiap sudut. Di salah satu restoran besar di pusat kota, empat meja panjang sudah direservasi. Satu per satu mulai berdatangan, mengisi kursi-kursi yang kosong. Sebelum duduk, mereka saling berpelukan, bertanya kabar.
Kiki mendorong pintu, di belakangnya entah kenapa Regan terlihat ragu. Meski tentu saja dia ingin bertemu dengan teman-teman yang turut mengisi harinya selama di masa putih abu-abu. Lama tak bertemu mereka. Sudah hampir sembilan tahun.
Adalah Ari dan Adit yang pertama berdiri ketika melihat Kiki datang bersama Regan. Kiki sudah merentangkan tangan, siap menerima pelukan, tapi ditepis oleh Ari yang bergerak ke arah Regan. “Astaga! Gue kangen!”
Regan menepuk punggung itu. “Kalian janji mau ngunjungin gue. Tapi cuma wacana.”
“Haha, sori. Gue sibuk ngurus cabang yang trouble.” Ari melepas pelukan.
“Iya, paham gue.”
Adit gantian maju memeluknya. Regan menepuk punggung itu. “Bos kopi nih. Kapan-kapan minta kopi ya.”
“Datang aja. Kapan pun. Gratis buat lo.” Adit terkekeh.
Empat meja sudah penuh. Regan berkeliling, menyapa dan menyalami satu per satu. Regan barangkali tidak terlalu mengenal sebagian dari mereka. Tapi tentu saja mereka masih ingat siapa Regan. Anak bandel yang menjadi kesayangan Bu Ida. Bahkan ketika sudah dewasa, di mata mereka, Regan masih sama. Selain wajahnya yang semakin maskulin, sisanya masih sama.
Kiki yang sudah duduk melambaikan tangan, memberi satu tempat di sebelahnya untuk Regan. Tapi ada satu meja yang belum dia sapa, yang sedari tadi sibuk mengobrol entah apa, saking seriusnya sampai mereka tidak menyadari kedatangan Regan di pintu tadi.
Saat Regan mendekat ke meja mereka, satu jeritan terdengar.
“Oh my God, mantan gebetan terindah gue!” Maura berdiri, meski heboh, dia hanya mengulurkan tangan. Yang disambut Regan.
“Makin blink aja lo.” Regan tersenyum.
“Mau nikah dese, makanya beda auranya.” Salah satu teman Maura—Regan lupa siapa namanya—menyahut.
“Nikah? Wah, selamat!”
“Iya.” Maura terkikik malu. “Lo harus datang ya.”
“Siap.” Kemudian Regan berganti menyalami yang lain. Meja ini khusus berisi para perempuan. Hingga tangannya sampai di Rana.
“Long time no see.” Hanya itu yang diucapkan Rana.
“Ya. Long time no see.” Regan melirik satu kursi yang kosong di sebelah Rana. Tersenyum tipis lalu memutuskan duduk di dekat Kiki.
Meja mereka berada satu deret dengan meja para perempuan tadi. Sedikit banyak Regan bisa mendengar apa yang mereka obrolkan. Topik masih berputar di rencana pernikahan Maura yang tinggal dua bulan lagi. Diselingi dengan remeh-temeh pekerjaan yang selalu dikeluhkan. Sampai di satu topik ....
“Ody nggak bisa dateng beneran?”
Rana melirik jam dengan bosan. “Chat terakhir belum diread.”
“Ngeliput apaan sih?”
“BNN lagi. Kasus si artis yang ternyata melibatkan aktor ternama.”
“Sibuk banget.”
“Beuuuh. Banget. Gue terakhir ketemu dia sebulan lalu. Itu pun kalau nggak maksa, nggak bakal bisa ketemu.” Rana terlihat mengetik sesuatu di ponselnya.
Di depan Regan, Adit masih sibuk menjelaskan cara meracik kopi. Kiki tadi bertanya, yang lain juga ikut mendengarkan dengan saksama. Sepertinya meracik kopi ini terdengar menyenangkan. Tapi fokus Regan terpecah. Tidak sepenuhnya bisa menangkap proses yang dijelaskan secara runut oleh Adit.
“Acara mulai jam berapa?” Regan bertanya setelah Adit selesai menjelaskan.
Ari yang menjawab. “Kita santai, Re. Nggak terlalu formal. Yang penting bisa kumpul, ketemu, ngobrol sampai lupa waktu. Udah lebih dari cukup.”
Beberapa pelayan mulai mengedarkan bergelas-gelas es soda.
“Ide siapa bikin reuni tiga bulanan?”
“Noh. Yang mau nikah noh.” Kiki menunjuk Maura dengan dagunya. “Kaget gue dengar dia mau nikah.”
“Iya, gue juga.” Ari menimpali. “Perasaan baru kemarin Maura heboh ngejar lo sampai bego rasanya.”
Adit masuk dalam percakapan. “Kita-kita ikut kena imbasnya ‘kan.”
Mereka tertawa bersama.
“Lelaki malang mana yang nikahin Maura?” Kiki menceplos. Lalu dihadiahi tinjuan Regan di lengan.
“Belain aja, belain. Mentang-mentang mantan fans terindah!”
“Pengusaha kelapa sawit, katanya.” Adit menjawab.
“Tajir melintir.” Kiki menyahut.
“Mungkin.”
Kiki kembali nyinyir. “Lo lihat aja cincinnya sebiji kelapa semua.”
Semua sontak menoleh ke objek pembicaraan. Dan seketika meja mereka kembali ramai oleh tawa. Beginilah kalau sudah berhadapan dengan Kiki. Trend fashion pun kena roasting.
“Lo mau kena gampar cincin sebiji kelapa itu?” Adit menantang.
“Ya jangan dong. Nanti Mami gue nggak ngenalin gue lagi. Anaknya udah nggak mulus lagi wajahnya.”
Ari masih terpingkal memegangi perutnya, takut kram.
“Receh banget sih lo, Ri. Gue jokes remeh aja lo ketawa kegirangan gitu.” Kiki mengedip ke Ari. “Duh, Mas Ari. Sayang ya kita satu spesies.”
“Jijik!” Adit melempar gulungan tisu.
Tapi meski begitu, mereka tahu apa yang keluar dari mulut Kiki memang hanya harus ditangkap sebatas bercanda saja. Jangan pernah diambil hati. Orangnya saja tidak pernah serius.
“Gue jadi meragukan ke-CEO-an lo.” Ari menggelengkan kepala sambil terkekeh geli.
“Kerja sama gue makanya. Lo sama Adit sih sok idealis.”
“Adit doang yang bisa idealis. Gue mah sebelas-dua belas sama lo. Nurut titah Kanjeng Ratu.”
“Nih, sebelah gue juga idealis. Nolak tawaran kerja sama gue.”
“Hah?”
“Ke mana aja, Buuu?” Kiki menyindir.
“Apa? Gue nggak ikutin obrolan kalian. Sampai mana?”
Lonceng di pintu berbunyi. Regan sontak menoleh. Tatapan mereka bertemu. Wajahnya perlahan mengembangkan senyum.
“Eh? Gita diundang juga?” Suara dari bangku para perempuan tertangkap Regan.
“Dia ‘kan masih angkatan kita juga. Nggak apa-apa. Gue yang sengaja undang kok.” Itu suara Maura.
“Regan? Kapan balik? Nggak kabar-kabar. Jahatnya!” Gita langsung menuju ke meja yang ditempati Regan.
“Udah seminggu ini di Jakarta. Sori lupa ngabarin.”
“Biasalah.” Kiki mengangkat satu tangannya, menggores-gores di udara dengan gerakan berlebihan. “Sibuk bikin mural sekarang dia.”
Adit dengan kesal memukul tangan itu.
“Mau duduk di mana? Di sini? Atau di sebelah?” Regan menawarkan sekaligus memotong apa pun yang akan Kiki lontarkan selanjutnya. Meski di bangkunya semua kursi sudah terisi, dia bisa mencarikan kursi tambahan.
“Di sini aja boleh? Tapi aku mau nyapa teman-teman dulu.” Gita menunjuk meja Maura.
Tanpa sadar Regan tersenyum. Seingatnya, semasa sekolah Gita menjauh dari semua orang. Tapi sekarang, betapa waktu sudah mengubah banyak hal, Gita menjadi pribadi yang murah senyum—bukan karena tuntutan pekerjaan lagi. Tapi senyum yang benar-benar datang dari hati. Regan sangat lega. Matanya terus mengikuti bagaimana Gita terlihat akrab dengan para perempuan di meja sebelah. Bahkan dengan Maura.
Tiga tahun ini, Regan melewatkan banyak hal.
Regan berdiri, mencarikan satu kursi kosong dari meja lain. Dia pun memaksa Kiki yang tadi di sebelahnya agar pindah ke samping Ari. Kiki pindah dengan menggerutu.
“Nyetir sendiri dari Bandung?” Regan bertanya ketika Gita duduk di sebelahnya.
“Iya.”
“Kabar Mama gimana?” Mereka mulai roaming.
“Sehat banget.”
“Kapan-kapan aku main ke Bandung, ya.”
Gita mengangguk senang.
Ari dan Adit kompak menatap Kiki, meminta penjelasan. Karena selama ini Kiki lebih dekat dengan Regan. Sementara yang ditatap cuek saja menggigiti sedotan. Pura-pura tidak peka.
“Belum diread juga?” Maura bertanya.
Rana masih berkutat dengan ponselnya. “Tadi pagi pas gue telepon, katanya mau diusahain datang. Tapi nggak janji. Nah itu dia!”
Lonceng di pintu kembali berbunyi. Kali ini yang mereka tunggu, akhirnya muncul di pintu.
***
Mau double update tp gak jadi 😝
Karena sebenernya liburan 2 minggu hanya kamuflase. Daku gak jadi libur gaesss 😑
Jadi, harus hemat-hemat update ini. Mungkin minggu depan hanya akan update malming aja.
Yg nyariin aku hari ini, ke mana kok gak update? Aku baru balik jam 8 tadi. Seharian gak sempet pegang hp. Ini pdhl tinggal ngedit tp baru sempet skrg 😔
Kalo kangen aku, bolehlah main ke lapak sebelah 😂
Kenalan gih sama Lingga, Raska dan Ndof daripada ngarepin Regan 😅✌
#usahaterosss
Sabtu, 15/12/2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top