5. Sebatas Suara

🎶 Merindukanmu—D'masiv (covered by Alya, Rama, & Kevin)



Ody menekan ikon hijau di layar, menghidupkan loudspeaker, lantas meletakkan ponselnya di atas meja. Dia bergerak ke kasur, mencari kuciran, seraya menyapa seseorang yang ada di balik sambungan—setelah merasa tidak ada sahutan.

“Pagi, Mas Dipta.”

“Aku nunggu. Kirain lupa.”

“Apaan sih. Diucapin selamat pagi aja udah bahagia gitu.” Ody tertawa seraya mengucir rambut panjangnya.

“Ya ‘kan beda kalau yang ngucapin kamu. Manis aja gitu.”

Padahal Ody menjawab biasa, tidak dimanis-maniskan. “Gas terosssss.”

Di seberang sana, Dipta tergelak. Setelah tawanya reda, dia ingat tujuannya menelepon Ody. “Liputan jam berapa? Aku jemput, ya.”

“Liputan siang. Nggak usah. Nanti Daffa mau jemput, Mas. Bukannya seharian ini mau rapat pemegang saham?”

“Iya, makanya. Mau lihat kamu dulu, biar semangat. Nanti seharian bakal kangen.”

Ody pura-pura batuk.

“Terus ini kamu mau ke mana?”

Dengan waspada, Ody mengedarkan pandangan. Refleks saja. Jangan-jangan ada CCTV yang dipasang di beberapa sudut. Begitu tidak menemukan hal mencurigakan, Ody bertanya. “Kok tahu?”

“Wanginya sampe sini nih.”

“Tahu ah.” Ody beralih ke kulkas, mengambil satu botol air mineral.

“Yang tadi bukan gombalan, Ody. Kamu tanya, ya aku jawab.”

Ody memasukkan beberapa perlengkapan yang wajib dibawa ke dalam ransel andalannya. Mengabaikan sanggahan Dipta. “Aku mau main ke rumah Kenzi. Mau lihat kamar barunya.”

“Kenzi udah mau tidur sendiri?”

“Ini mau dicoba sih. Kelihatannya aja nggak rewel, tapi manja.”

“Iya, kayak kamu.”

“Nggak ya.”

“Ya udah. Have a nice day, Dy.”

You too, Mas. Semangat dong!”

“Iya.”

Sambungan terputus. Ody sudah menyandang ransel di bahu kirinya, sementara tangan kanannya meraih jaket di gantungan.

Dia mencegat taksi di depan gerbang gedung apartemen. Baru saja masuk ke dalam taksi, ponselnya bergetar.

“GUE OTW KE APARTEMEN LO!”

Ody terlonjak kaget. Bahkan sopir taksi ikut mengerem mendadak. Sambil menghela napas sabar, Ody mencoba waras. “Nggak apa-apa, Pak. Biasalah saya punya Medusa di rumah. Udah biasa begini.”

Taksi kembali melaju.

“Gue telanjur jalan ini.”

“Katanya lo liputan siang?!”

“Mau ngapain ke apartemen?”

“Lo udah di mana? Naik taksi warna apa? Nopol berapa? Gue cegat.” Maya merepet cepat. “Cepetan! Penting ini. Menyangkut hajat hidup gue.”

Ide yang buruk. Yang ada Pak Sopir akan menyangka kalau taksi ini akan dibegal. Ody mencari aman. “Gue otw ke rumah Kenzi. Kalau penting dan harus ketemu sekarang, gue tunggu di sana aja. Nggak usah ngedrama di jalanan.”

“Oke.”

Ody menatap heran layar ponselnya yang sudah gelap. Sepenting apa hingga harus heboh sepagi ini?

***

“Mas ada niatan beli apartemen?”

Masih fokus dengan kuas dan dinding di depannya, Regan tak kunjung menjawab. Dia mendengar, hanya saja sedang mencari jawaban yang tepat. Sayangnya, memang tidak ada jawaban yang tepat.

Adriana pasti mendengar percakapannya semalam dengan Tante Fatma.

“Nyewa, Dri, bukan beli.”

“Ya sama ajalah. Kenapa harus apartemen? Rumah selalu terbuka untukmu, Mas.”

“Baru rencana, Dri. Belum sempat nyari.”

“Nggak usah. Buang duit. Mending uangnya buat beli mobil.”

Regan masih sabar.

“Kalau nggak, sana cari calon istri. Buat modal—”

Regan berbalik, meletakkan kuas di kaleng cat. Dia melangkah cepat ke adiknya. Tanpa sempat menghindar, Adriana terpaksa harus mencium ketek kakaknya yang asem itu.

“MAS!!!”

Beberapa saat Regan baru melepas pitingan itu. Dia melesat menuju ruangan yang ada di dekat dapur sebelum kena amukan Adriana. Dia juga harus segera mandi. Sudah jam enam lewat.

***

Ody tiba di rumah yang berada di tengah kota itu ketika Anggun membuka pagar. Sudah siap dengan setelan kerjanya.

“Ody? Tumben ke sini pagi? Biasanya larut malam.”

“Mumpung liputan siang, jadi mau lihat kamar barunya Kenzi. Mbak mau berangkat sekarang?” Taksi sudah berlalu.

Anggun mengangguk, membiarkan gerbangnya terbuka. “Sarapan belum? Mas Kinan masih di meja makan. Berantakin meja sama anaknya.”

“Dasar.” Ody tertawa. “Jalan kaki, Mbak? Nggak capek?”

“Udah terbiasa, Dy. Cuma lima menit ini. Sekalian olahraga ringan. Hirup udara segar. Kena sinar matahari pagi. Lihat anak-anak main di taman.”

“Terdengar menyenangkan. Aku temenin jalan deh.” Ody menarik gerbang agar tertutup. Anggun tidak menolak.

“Kenzi beneran udah mau tidur sendiri, Mbak?” Mereka berjalan di aspal setapak, melewati taman yang penuh anak-anak playgroup sedang bermain. Ada satu air mancur di tengah taman.

“Semalam sih belum mau, Dy. Masih takut katanya. Padahal udah ditemenin papanya. Coba ditinggal tengah malam, eh kebangun. Nangis.”

“Terus?”

“Aku sama Mas Kinan ada rencana gambar-gambar temboknya. Kebetulan Kenzi suka sama Gajah. Jadi kepikiran untuk gambar itu di tembok.”

“Kalian mau gambar sendiri?”

Anggun tertawa. “Apa sih, Dy? Yang ada Kenzi mimpi buruk lihat gambar bikinin kita. Tadi Mas Kinan bilang, ada temennya yang bisa mural gitu.”

“Oh, kirain.”

Mereka sampai di gerbang gedung tempat Anggun bekerja. “Dah, sampai sini aja. Nggak berniat nemenin jalan ke lantai sepuluh, ‘kan?”

  “Nggaklah, Mbak. Makasih. Pemandangan di sana nggak jauh beda sama kantorku. Tak sanggup.” Ody sudah pernah ke lantai sepuluh, sekali, dulu, ketika kakak iparnya itu ngidam kue pancong—yang kebetulan ada di dekat kantor Papa.

Ponsel Ody menjerit. Tadi di dalam taksi dia iseng mengganti dering khusus untuk kakaknya; dari dering normal menjadi lagu underground.

“Siapa?” Anggun bertanya.

“Medusa.” Ody melambaikan tangan ke Anggun, yang dibalas dengan senyum. Dia lekas berbalik sambil menempelkan ponsel ke telinga.

“Iya, iya. Ini udah jalan ke situ. Sabarrr.” Ody bahkan mempercepat langkah. Anggun sedikit merasa lucu dengan hubungan kakak-adik yang absurd itu. Kinan yang bilang sebenarnya. Maya dan Ody tidak pernah bisa akur. Tapi anehnya, keduanya bisa saling melengkapi dalam hal tertentu.

Baru akan melangkah, satu suara muncul di belakangnya.

  “Pagi, Mbak.”

Anggun menoleh sedikit kaget. Senyumnya segera mengembang. “Eh? Pagi ... Regan.”

***

Ody mengusap dahinya dengan jengkel. Dia kira ada apa sampai kakaknya ini heboh bukan main sampai ada niatan ingin mencegat taksi segala. Dia kira ada hal yang maha penting yang sangat mendesak. Ternyata hanya masalah sepele; gedung yang diincar kakaknya sudah overload.

Lima menit yang lalu, Mas Kinan berhasil kabur dengan dalih ada rapat mendadak. Beruntungnya. Mungkin kakaknya itu tahu kalau yang berhubungan dengan Maya ini pasti ribet.

“Masa’ iya gue harus mundurin akadnya? Orang udah fix kok, dicatat KUA. Kalau mundur, yang ada gue bisa-bisa akadnya tahun depan. Pak Penghulu-nya udah bilang kalau list-nya udah full akhir tahun ini. Nggak bisa tuker tanggal, Odyyyyy.” Maya menggigiti bantal sofa yang dia pegang.

   Entah ini semacam marriage blues atau bagaimana, tapi kakaknya terlihat kekanakan. Dan panik yang berlebihan.

“Ya kalau nggak, akad dulu deh di rumah. Baru resepsi, yang entah kapan, nunggu gedungnya itu kosong.”

Kenzi yang tadinya sibuk dengan lego di meja, sekarang menatap kedua tantenya secara bergantian. Mata belo-nya menatap ingin tahu.

“Ya mana bisa gitu. Gue nggak mau ribet. Sekalian aja. Satu hari kelar.”

“Ya udah, akad sekalian resepsi di halaman rumah aja. Kayak Mas Kinan dulu, bedanya ini akad sekalian.”

“Nggak bisa. Temen-temen gue mau ditaruh di mana? Mereka banyak. Ini undangan yang mau gue sebar bahkan empat kali lipatnya Mas Kinan dulu.”

“Ya biarin aja nangkring di atas tenda.”

BUK!

Satu bantal melayang ke wajah Ody.

Kenzi mengerjap sekali-dua kali. Kemudian menghambur ke Ody. Hampir menangis ketika Ody diam saja. Panik sendiri.

“Tante is fine, Kenzi. Nggak apa-apa.”

“Aku juga tantemu, Kenziiii.” Maya berlagak sedih, seperti Tante yang tidak dianggap.

Mbak Yati—pengasuh Kenzi—dengan sigap membawa Kenzi menyingkir dari ruang tengah. Lama bekerja dengan Mas Kinan, membuatnya mudah tanggap dengan keadaan. Kapan harus bertindak. Kapan harus mengamati.

“Ini nikahan impian gue, Dy. Hueeeee.”

Iya, Ody sangat paham. Bagaimana kakaknya itu merancang sendiri bagaimana konsep pernikahannya nanti. Ingin perfect tapi tidak mau ribet.

“Mama-Papa gimana?”

“Sama kayak ide lo barusan.”

Ody mengambil bantal yang tadi dilempar ke arahnya, meletakkannya di sofa dan melangkah ke meja makan. Membuka tudung nasi. Dia mengambil piring dan sendok bersih. “Lo nggak ngantor, Mbak?”

“Gue cuti.”

Dengan pelan Ody mencibir.

“Gue harus gimana ini, Dy?”

“Jakarta luas, Mbak. Kenapa harus ngotot gedung itu sih?” Ody kembali ke sofa dengan sepiring nasi goreng dan segelas air putih.

Kenzi tiba-tiba mendekat—meninggalkan Mbak Yati entah di mana. Langsung mengambil tempat di antara kedua kaki Ody. Jadilah selain menyuapi diri sendiri, Ody harus menyuapi Kenzi yang mendadak rusuh ingin ikut makan.

Tidak ada sahutan, Ody fokus mengunyah. Kenzi sibuk bergelayut di pahanya sambil mengunyah juga. Dia kira kakaknya itu diam karena berpikir, tapi ternyata sedang mengacungkan ponselnya tinggi-tinggi. Melakukan video call.

“Kenapa, May?”

Ody menelan makanannya dan melirik.

  “Mbak, anakmu dikasih nasi goreng tuh sama Ody.”

“Aduh, itu ‘kan pedes tadi. Suruh lepeh, Dy. Buruan. Buruaaan!”

Ody panik meletakkan piring di meja. Dia segera mengangkat Kenzi dan berlari ke westafel. Tapi percuma. Sudah tertelan. Kenzi nyengir menggemaskan di depan kaca westafel. Lagi pula cuma tiga suapan kecil kok.

***

Gerakan tangannya di atas mouse terhenti. Matanya masih terpancang lurus ke layar lebar di hadapannya. Proyek pertama yang langsung dia tangani. Ada sepetak draft yang sudah dikerjakan separuh.

“Sengaja ‘kan lo, Mbak?”

“Hahaha!”

“Kalian pulang aja daripada ngerusuh di rumah.” Anggun pura-pura mengusir.

“Yakin, Mbak. Kenzi nggak kenapa-kenapa kok. Cuma tiga suapan kecil.” Ody mencoba meyakinkan. Tapi tetap saja Anggun merasa khawatir. Kenzi memang tidak rewel soal makanan. Hanya saja Anggun masih terlalu hati-hati dengan asupan makanan yang masuk ke Kenzi.

Kamera kemudian mengarah ke Kenzi yang naik ke atas sofa dan menggelayut manja di punggung Ody. Kedua tangannya merangkul leher tantenya. Maya sibuk bercerita masalahnya. Tentang gedung dan akad. Lagi-lagi, jawaban Anggun juga sama dengan yang diberikan Ody.

Suara Kenzi yang tertawa terdengar. Ody melancarkan serangan hingga Kenzi merasa kegelian. Mereka saling menggelitik di atas sofa yang lebar itu.

“Nggak ada solusi lain nih?”

“Nanti coba aku tanya Mas Kinan. Dia banyak kenalan owner gedung. Yang penting acaranya lancar, May.”

“Tante Odyyyy, udaaahhh, geliiiii.”

“Siapa suruh kamu gemesin!”

Regan mengusap wajahnya. Menyerah. Dia tidak lagi bisa pura-pura tidak mendengar. Sementara telinga dan hatinya mengenal baik sebentuk suara itu.

***

“Nggak turun makan siang, Re?”

Regan menoleh sebentar ketika Anggun menggulir layar ponsel. “Bentar lagi, Mbak. Tanggung ini.”

“Aku mau pesen ayam bakar madu. Mau sekalian?”

“Ngidam ya, Mbak?”

“Iya sepertinya. Gimana mau sekalian?”

“Boleh. Maaf ngerepotin, Mbak.”

Setengah jam kemudian, pesanan mereka datang. Anggun hendak berdiri ketika Regan menawarkan diri mengambilkan pesanan mereka ke lobi.

Mereka makan di meja panjang yang ada di dekat jendela. Kubikel-kubikel masih kosong, jam istirahat tersisa setengah jam lagi. Beberapa pegawai yang sepertinya sudah beristri, menikmati bekal makan siangnya di kubikel masing-masing sambil menonton video di Youtube.

“Lama nggak lihat kamu, Re. Terakhir ....”

“Enam tahun lalu.” Regan membantu menjawab.

“Nah, iya. Jadi enam tahun ini ke mana?” Anggun mengunyah, menunggu jawaban.

“Dua tahun, masih di Bandung, nyelesain kuliah. Satu tahun, balik ke sini, kerja. Terus iseng apply job ke Singapura, Mbak.”

Anggun manggut-manggut. “Tiga tahun di Singapura? Hebat kamu.”

“Biasa aja, Mbak. Vibes-nya masih sama kok dengan di sini.”

“Bukan itu sih. Tapi pengalaman kamu. Kamu bisa bikin draft sendiri pula. Drafter kita jadi bisa fokus ke mega proyek yang ruwet itu.”

Regan hanya tersenyum. Mengalihkan ke topik yang lebih ringan. “Udah berapa bulan, Mbak?”

“Enam.” Anggun meringis. “Ini anak kedua, Re. Anak pertama tadi yang berisik di video call.”

“Oh, yang tadi.” Regan menelan ludah.

“Iya. Paling manja kalau sama Ody.”

Regan hampir tersedak. Dia segera meraih tumblr-nya. Kemudian menimbang-nimbang akan mengajukan pertanyaan apa—karena nama itu sudah telanjur disinggung.
“Ody ....”

“Kabar Ody baik.” Anggun seakan mengerti kalimat Regan selanjutnya. “Tapi sibuknya nyebelin.”

“Ody, ehm ....” Lagi-lagi gagal meneruskan kalimatnya.

“Jadi jurnalis di salah satu TV swasta. Udah dua tahun. Sebelumnya ikut kerja di perusahaan Papa, tapi nggak tahu kenapa keluar. Nggak betah mungkin. Akhirnya kerja sesuai ijazah. Dan emang, dia kelihatan lebih happy dengan kerjaan sekarang.”

Regan senang mendengarnya.

“Oh ya, udah ketemu Ody belum?”

Baru akan menjawab, suara menyebalkan mengeinterupsi dari belakang mereka. “Mbak Anggun curang, ah. Diem-diem ikut berkompetisi juga.”

“Nyuri start,” imbuh yang lain.

“Inget bojo di rumah, Mbak.”

Anggun menoleh. Dia tidak marah, apalagi tersinggung. Sebaliknya, dia amat sangat pengertian dengan para jomlo desperate yang tersebar di lantai ini. “Kalian apa sih? Nih ya, sebelum Regan kerja di sini, aku udah kenal dia enam tahun yang lalu.”

Tania—salah satu dari mereka—langsung bersimpuh di samping kursi Anggun. Menunduk kelewat dramatis. “Ampun, Nyai.”

Sementara yang lain melipir ke kubikel masing-masing sambil tertawa.

Regan hanya tertawa melihat tingkah mereka. Kemudian membereskan meja dan berdiri. Dia melangkah ke westafel, mencuci tangan. Anggun beralih ke ayam bakar kedua. Baru akan menyuap potongan daging ke mulut, mejanya digoyang.

“Mbak, Mbak ... doi jomblo, ‘kan? Nggak ada mantan terindah, ‘kan?”

“Berisik, ah. Sana, sana. Aku mau lanjut makan. Jangan ganggu.”

“Iiihhhh, kasih tahu duluuuu.”

Baru saja Regan menghempaskan diri di kursi, ada satu cup es kopi tersodor di mejanya. Dia mendongak, mengikuti tangan yang meletakkan cup itu.

Regan disambut dengan senyum yang sangat lebar.

“Makasih, Ya. Tapi aku udah kenyang.”

“Cukup nama depan kita yang kamu tolak. Ini cuma es kopi, ditolak juga. Nggak aku kasih pelet kok.”

Anggun tanpa menoleh, menyahut. “Yaya, jangan berharap banyak. Nanti sakit sendiri.”

“Mbak Anggun jahat!”

“Aku cuma kasih peringatan. Regan ini, kelihatannya aja macem kalian, jomblo. Tapi diem-diem udah ada yang punya.” Diucapkan dengan tenang sekali, sambil menikmati sensasi rasa ayam bakar madu di mulutnya.

“SIAPA, MBAK? SIAPAAAA?!”

“Ditunggu hestek patah hati nasional-nya.” Salah seorang pegawai lelaki menyahut sambil bersiul. Lalu merentangkan kedua lengannya lebar-lebar dari kubikelnya. “Abang siap menjadi bahu untuk menangis. Akan kuobati patah hati kalian. Abang janji. Bisa dibuktikan nanti.”

Tidak ada yang menghiraukan. Para perempuan pura-pura sibuk ke komputer atau mencatat entah apa di notes. Seakan barusan tidak ada yang bicara. Hanya angin lewat.

“Awas ya kalian. Tunggu pembalasan aing.”

Anggun tertawa.

“Makasih kopinya, Ya.” Regan hampir lupa kalau Yaya masih berdiri di sebelahnya. “Besok nggak usah kasih lagi, ya.”

“Kalau udah ada yang punya, dipake dong cincinnya. Biar kesannya nggak kasih harapan. Jadinya kami juga nggak berharap.” Yaya kemudian berbalik pergi dengan lesu.

   Regan mengernyit dalam. Siapa pula yang memberi mereka harapan? Astaga. Apa perlu dia beli cincin sekarang juga?

***

——————


Noted:

Kata baku: jomlo, telanjur
Kata tidak baku: jomblo, terlanjur

Itu hanya dua contoh yg ada di bab ini👆

Di dialog boleh pake kata tdk baku, sementara di narasi pake kata baku. Tapi jujur, ada beberapa kata yg nyaman ditulis dlm bentuk tidak baku-nya. Kayak dua contoh di atas. Karena udah terbiasa kan ya. Udah nyaman. Susah mupon 😂

Di dalam dialog pun, aku masih sering full kata baku, tapi akhir-akhir ini aku mulai nyelipin kata tdk baku.

See you Sabtu 🐨

Rabu, 12/12/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top