35. Melepasmu? [End]


🎶 She—Apalah Arti Cinta

   Ballroom hotel sudah disulap dengan apik. Kursi-kursi yang dihias dengan pita-pita, sudah terisi separuh. Langit-langit hotel penuh dengan rangkaian bunga yang menjuntai indah. Ijab kabul dimulai satu jam lagi. Tapi calon mempelai laki-laki sudah tiba. Terlihat cukup gugup. Beberapa kali membuang napas.

   Di kursinya, Regan tidak melepas pandangan dari pintu ballroom. Satu pintu yang menjadi akses utama. Beberapa orang kru WO masih berlalu-lalang. Melengkapi perlengkapan yang masih kurang. Mengecek sekali lagi, memastikan tidak ada yang terlewatkan.

   “Pintunya nggak akan lari meski lo tinggal kedip.”

   Regan menghela napas dan melepas pandangan dari pintu.

  “Gue yakin Ody datang kok,” lanjut Kiki.

  “Iya. Gue tahu.” Regan tersenyum pias. “Gue cuma—”

  “Nggak sabar? Udah kangen banget emang?” Kiki seakan membaca pikirannya.

  “Iya, gue kangen. Tapi gue juga takut.”

  Kiki merangkul bahunya. “Takut kenapa?”

  “Gue takut. Tapi nggak tahu takut kenapa.”

  “Lo takut, karena nanti lo bakal ketemu dia, tapi setelah ini mungkin dia bakal pergi lagi. Lo takut, karena dia cuma bisa dilihat sebentar.” Kiki membantu menerjemahkan perasaan sahabatnya itu.

  Regan menatap pintu lagi. “Gue takut dia benar-benar berubah.”

  “Ketakutan itu cuma ilusi, Re. Belum tentu semua ketakutan jadi nyata. Lagian nih ya—”

  Suara Kiki tiba-tiba mengabur. Digantikan dengan sosok yang muncul di pintu yang sempurna menyita seluruh perhatian Regan. Sosok itu sempat mengedarkan pandangan sebelum bertanya ke salah satu orang berseragam yang kebetulan lewat. Dia terlihat mengangguk beberapa kali sebelum mulai melangkah meninggalkan pintu.

  Meski sosok itu mengenakan topi hitam dan masker, Regan bisa mengenali dengan mudah. Rambutnya yang dikucir kuda, bergerak ketika dia sedikit berlari mengikuti salah satu kru menuju ke pintu di sisi kanan ballroom.

  Regan sontak berdiri. Rangkulan Kiki terlepas begitu saja.

  “Lo mau ke mana? Ody mau dandan. Mepet waktunya. Nanti juga lo bisa ngobrol sama dia.” Kiki berhasil menahan dan menarik Regan kembali duduk. Sementara mata Regan masih terus mengikuti punggung itu hingga hilang di balik pintu.

  “Gue cuma pengin lihat dia sebentar, Ki.”

  “Nanti aja. Kalau sekarang, yang ada lo malah bikin ribet di sana.”

***

  “Aduh, sumpah gue deg-degan.”

  Ody mengusap lengan sahabatnya. “Tarik napas. Tahan tiga hari.”

  Dibalas dengan cubitan di tangan. Ody tertawa. “Nggak lucu ah. Kapan sih ini masuknya? Lima menit lagi ya? Semenit? Atau berapa?”

  “Kalau deg-degan, remes aja tangan gue.”

  “Pengin makan orang gue.”

  Terdengar suara dari sisi kanan Rana. Sang mama memukul lengannya. “Kamu ini bisa nggak sih kalem? Heran Mama, ada ya pasien yang nyaman sama kamu?”

  “Mama ih. Buktinya aku masih kerja di sana, ya jelaslah aku dicintai para Bunda.” Rana beralih ke Ody. “Lo tadi lihat Ari?”

  Ody mengingat sebentar dan mengangguk.

  “Ganteng banget ya calon suami gue?” Rana menaik-turunkan alisnya.

  “Iya, ganteng, banget.” Ody mengatakan penuh penekanan.

  “Regan mah kalah gantengnya.” Rana sudah tergelak, tapi buru-buru mengatupkan bibir. Dia kemudian menatap pintu di depannya, menghela napas. Memutuskan tidak cerewet lagi.

  Pintu besar itu dibuka dari dalam. Ody sebisa mungkin menyeimbangkan langkah Rana yang sempat grogi. Dia bahkan harus mengangkat ekor kebaya yang memberati langkah Rana. Aduh, jangan-jangan Rana memang belum sempat gladi bersih? Atau memang Rana yang kelewat grogi?

  Meja di tengah ballroom sudah dekat. Ari tidak bisa menyembunyikan senyum di wajah. Rana juga malu-malu membalas senyum Ari.

  Ody tidak sempat memperhatikan sekitar. Begitu memastikan Rana sudah duduk di sebelah Ari, Ody segera mencari tempat duduk kosong. Acara ijab kabul segera dimulai, Ody duduk secara asal.

  Dua detik kemudian, Ody baru sadar jika dia duduk berhadapan dengan Regan. Terpisahkan oleh meja panjang tempat Ari dan Rana bersanding.

***

  Selepas acara ijab kabul yang berjalan lancar, Ody sempat meminta maaf karena dia harus bergegas ke rumah sakit. Memeluk Rana lama. Berjanji jika nanti malam dia pasti datang ke acara resepsi.

  Hari ini dia pulang dengan dua kabar. Kabar bahagianya, Rana dan Ari mengucap janji suci pagi ini. Kabar sedihnya, begitu tiba di bandara, dia mendapat kabar jika Mas Kinan kecelakaan. Ody sempat panik dan menangis di dalam taksi. Tapi Mbak Maya berhasil meyakinkan jika Mas Kinan akan baik-baik saja. Meski bahu kanannya harus dioperasi, ada tulang yang patah.

  “Aku antar, Dy.” Regan menyusul ketika Rana memberitahunya soal Mas Kinan yang kecelakaan.

  “Eh? Nggak usah.”

  “Daripada kamu nunggu taksi.”

  “Seriusan, nggak usah.”

  “Dy, jangan ribet. Ayo, aku antar. Aku janji nggak akan bahas apa pun tentang kita atau tanya macem-macem.” Regan mencoba meyakinkan. Berhasil. Ody akhirnya mengangguk dan mengikutinya ke parkiran.

  Di dalam mobil, Ody terus memantau kondisi kakaknya lewat Mbak Maya.

  “Aku udah otw ke situ.”

  “Cepetan. Kina rewel.” Mbak Maya lanjut mengomel. “Kina kenapa harus kayak kakaknya sih? Diemnya cuma sama lo.”

  Ody tahu tanpa perlu kakaknya mengomel seperti itu. Dalam kondisi tertentu, jika Kina rewel dan susah dihibur, maka mamanya akan menelepon Ody. Tidak banyak yang dilakukan Ody. Wajahnya hanya perlu muncul di layar, otomatis Kina akan diam sendiri. Seringnya, Ody akan bercerita banyak hal—yang gadis berumur satu setengah tahun itu tak mengerti. Tapi anehnya, ampuh membuatnya diam.

   Sampai di rumah sakit, Ody melangkah cepat melewati koridor-koridor. Mbak Maya tadi menyebutkan letak ruang operasi tapi tidak dengan denahnya. Rumah sakit ini luas.

   “Sebelah sini, Dy.” Regan menyentuh bahu Ody. Dia sudah bertanya ke petugas jaga letak ruang operasi khusus bedah tulang.

  Berjalan kira-kira empat ratus meter dari lobi, mereka menemukan ruang operasi Kinan. Ody yang masih full make up dan berkebaya, langsung menghambur memeluk Mbak Anggun yang duduk tabah dengan Kenzi di sebelahnya.

  “Operasinya bakal lancar, Mbak. Jangan cemas.” Ody bersimpuh di depan Mbak Anggun, menggenggam satu tangannya. Kenzi dengan manja, menggelayut memeluk leher Ody.

  “Kamu makin kurus aja.” Mbak Anggun tersenyum. Pipinya penuh bekas air mata.

  Tangisan Kina mengalihkan. Ody beranjak dari sana, mengambil alih Kina dari gendongan Mbak Maya. “Nggak ada orang di rumah, jadi Kenzi sama Kina terpaksa diajak ke sini.”

  Sambil menepuk-nepuk punggung Kina, Ody melangkah meninggalkan koridor itu. Dia menghampiri Regan yang berdiri di sayap kanan.

  “Mas Kinan?”

  “Belum keluar dari ruang operasi.”
Kina memang sudah diam, tapi tangannya usil memainkan rambut Ody yang disanggul. Beberapa anak rambut lepas. Ody membiarkan.

  “Boleh gendong Kina?”

  “Kina sama Om Regan dulu, ya?” Ody berusaha melepas rangkulan Kina di lehernya. Ketika tidak melihat keberatan di wajah Kina, Ody mengasurkan gadis kecil itu ke dekapan Regan.

  “Kina wajahnya mirip kamu, Dy.”

  Membenarkan anak rambut yang lepas, Ody mengiyakan. “Kalau mau balik ke gedung lagi, nggak apa-apa.”

  “Nanti aja sekalian. Kamu dandan dari rumah atau di sana?”

  “Di sana. Tapi aku pulang ke apartemen dulu.”

  “Bukannya ada penghuni baru? Aku lihat mereka kemarin.”

  “Justru itu, mau tandatangan kontrak.”

  “Kenapa buru-buru?”

  “Ya?”

  “Kamu kayak mau pergi lagi besok.”

  “Iya. Berangkat pagi.”

  Regan tersenyum, yang semoga saja tak terlihat menyedihkan. Dia senang bisa mengobrol santai dengan Ody seperti ini, tanpa mengikutkan segala hal di masa lalu. Dia kira Ody akan tinggal setidaknya dua hari.

  “Dy ....”

  “Apa?”

   Tentang cincin yang berukir itu. Tentang tujuh-delapan lalu di Bandung ... tidak. Tidak. Regan tadi sudah berjanji tidak akan membahas apa pun tentang mereka. Akan terdengar egois jika dirinya memaksa Ody membicarakan hal itu.

  “Nggak jadi. Lupa mau bilang apa tadi.”

***

  Mas Kinan keluar dari ruang operasi pukul empat sore. Ody dan Regan sempat mendekat, pamit. Ody bahkan memeluk kakaknya sambil menangis. Maya turun tangan, dia menggeplak punggung Ody. Bilang soal jahitan yang sakit jika dipeluk seperti itu.

  Kina diserahkan ke Mama. Ody belum sempat bicara dengan Papa dan Mama. Tapi dia berjanji, nanti malam akan menginap di rumah.

  Tiba di apartemen, Regan membiarkan Ody bertemu dengan calon penyewa. Sementara dirinya bergegas mandi.

  “Dy, kalau mau mandi. Bisa mandi di apartemenku,” pesan Regan sebelum menutup pintu. Ody hanya mengacungkan ibu jari.

   Selepas mandi, menunggu Ody yang belum juga mengetuk pintu, Regan duduk sambil menyalakan laptop. Meneliti kembali draft yang dia buat semalam. Tak lama, pintunya diketuk. Regan nyaris tersandung karpet demi membuka pintu itu. Astaga, norak sekali dia.

  “Udah selesai urusannya?” Pintu terbuka, memunculkan Ody di sana.

  “Udah.” Ody nampak ragu. “Boleh numpang mandi?”

  “Boleh.” Regan membuka pintu lebih lebar. “Kamu bawa baju ganti?”

  “Bawa.”

  “Oh, oke. Handuk barunya aku taruh di gantungan.”

   Ody meletakkan ranselnya di sofa. Tanpa sengaja melihat layar laptop Regan. Itu susunan kerangka, yang dia tahu bagian dari pekerjaan Regan. Dia ingin bertanya, tapi sesaat ragu. Mereka tidak punya waktu untuk basa-basi dan saling bertanya. Sudah sore. Hampir jam lima. Belum jika mereka terjebak macet. Sedangkan acara dimulai pukul tujuh.

  Bahkan Ody terpaksa mengeringkan rambutnya di dalam mobil dengan kipas angin portabel. Sepanjang perjalanan, keduanya kompak diam. Tidak ada yang mengambil inisiatif untuk memecah hening. Hingga mobil Regan sampai di halaman hotel.

  Mereka masuk ke ruang yang berbeda. Ody masuk ke pintu di sebelah kanan, khusus untuk perempuan. Sementara Regan masuk di pintu yang berseberangan, di mana Kiki menyandar dengan mata menyipit dan dua jari yang mengelus dagu.

  “Kalian tadi pergi berdua. Datang pun berdua. Dan yang paling penting, rambut Ody basah.” Kiki mulai mengutarakan analisisnya. Suaranya meninggi. “Kalian habis ngapain, hah?!”

  Regan segera membungkam mulut comel Kiki dan mendorongnya masuk ke ruangan. Bisa runyam jika Kiki membuka mulut sedikit saja.

  “Ngomong sekali lagi!”

  “Nggak. Ampun, ampun!” Kiki menggeliat minta dilepaskan. Lalu bersiul menjauh dari Regan. Ketika sudah tidak dalam jangkuan Regan, dia tertawa kencang, memukuli dinding.

  “Kenapa dia?” Adit yang rebahan di sofa, menurunkan ponselnya dari wajah.

  “Kumat.”

***

  Seperti reuni mendadak, tamu undangan didominasi teman-teman semasa SMA dan kuliah. Rekan kerja baik Rana atau Ari. Ody tidak tahu jumlah pastinya berapa. Tapi ballroom yang mahaluas ini penuh.

  Setelah iring-iringan pengantin sampai di pelaminan, tugas Ody adalah menyapa para tamu undangan. Mengobrol semenit-dua menit dengan mereka, lalu pindah ke yang lain. Di dekat panggung pelaminan, tampak antrean untuk berfoto bersama pengantin.

  Lelah mengitari isi ballroom, Ody menyingkir dengan segelas jus jeruk yang dia ambil. Dia belum berselera makan. Meninggalkan kebisingan di belakangnya.

  “Nggak mau dansa?” Regan bergabung dengannya.

  “Udah mulai?”

  “Sebentar lagi mungkin.”

  “Nggak bisa dansa. Aku di sini aja.”

  “Mumpung kamu masih di sini, boleh bicara sesuatu?”

  “Boleh.”

  “Aku boleh nunggu kamu?”

  Ody menatap mata Regan. Lampu di sekitar mereka meredup. Digantikan dengan satu cahaya lembut di tengah ballroom. Lagu lawas Can’t Falling in Love terputar. Bagian tengah ballroom sudah diisi beberapa pasangan yang berdansa. Termasuk sang pengantin.

  “Mumpung kamu di sini, karena mungkin besok aku nggak bisa ketemu kamu, aku cuma mau bilang kalau kamu boleh pergi selama apa pun. Aku anggap ini balasan untukku. Jangan merasa terbebani karena aku nunggu.”

  “Kalau aku nggak minta ditunggu?” Pernyataan itu dibalik.

  “Kenapa aku nggak boleh nunggu?”

  “Cinta sejati itu sederhana. Tapi apa yang kita hadapi, terlalu rumit.”

  “Kalau kamu lelah, kamu boleh berhenti, Dy. Biar sisanya aku yang perjuangkan. Tapi aku minta satu hal sama kamu.”

  Ody menatap lebih dalam. Sepasang mata teduh itu menariknya. Dia takut akan tenggelam.

  “Jangan pernah melepasku.”

  Perlahan, senyum tersungging di bibirnya. “Bagaimana kalau hatiku berkata sebaliknya? Aku harus melepasmu, Re. Sama halnya dengan kamu, yang harus melepaskan kita.”

  “Aku nggak bisa.” Regan tetap keras kepala.

  “Kamu lebih dari tahu, ada banyak yang tidak bisa dipaksakan di dunia ini. Termasuk kita.”

  “Aku harus apa supaya kamu mau kasih aku kesempatan?”

  “Kenapa nggak kita serahkan ke waktu?”

  “Maksud kamu?”

  “Aku akan pulang ke kamu kalau memang itu jalannya. Atau sebaliknya, aku akan memutar lebih jauh, untuk kemudian bertemu dengan rumah yang lain.”

  Kalau saja Ody sadar, mata teduh itu meredup. Binarnya lenyap tanpa sisa. Percakapan mereka selalu berujung tak pasti. Sesuatu yang abu-abu. Regan tak bisa memahaminya.

  Ditatapnya Ody dengan kalah. “Lalu aku harus pulang ke mana, Dy?”

***



Siap-siap, daku mau boom update! 😎

Minggu, 05/05/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top