34. Kamu Tak di Sini
Bolehkah kita mengulang masa-masa indah itu,
Kutak mengerti apa yang terjadi hingga berakhir,
Bagaimanakah kabarmu,
Berhasilkah lupakanku?
Diriku yang bodoh ini masih mendamba hadirmu ....
[Fiersa Besari—Nadir]
Segalanya terasa membaik. Hanya untuk mereka yang tidak meresahkan apa pun tentang hari ini dan besok; karena mereka bersama orang-orang yang dicintai.
Ini hanyalah masalah waktu, hiburnya berkali-kali. Meski yang dia tunggu, mungkin mulai melupakannya. Tapi dia belum ingin berhenti. Setitik harapan masih dia biarkan tumbuh di hatinya. Lalu separuh hatinya mulai dia paksa berhenti berharap dan melepaskan—yang selalu gagal.
Riak ombak sekali lagi membelai kakinya lembut. Senja kesekian yang dia nikmati sendiri. Laut dan langit jingga menawarkan tempat terbaik untuk mengenang banyak hal. Sejam sudah berlalu. Dia ingin di sini lebih lama. Menikmati waktu sendiri. Menarik diri dari kebisingan kota—dari penatnya siklus hidup yang berulang.
Kali ini kepalanya memutar percakapan tempo hari. Seseorang yang tidak dia sangka, datang menemuinya.
Dengan senyum lebar, lelaki itu menunggu Regan di lobi apartemen. Regan setengah tidak percaya lelaki itu datang. Dia kira, tujuh tahun yang lalu adalah akhir bagi mereka. Karena sejak hari itu, Regan berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mencoba menemui lelaki yang sepantasnya dia panggil ‘Papa’.
Lelaki yang seharusnya membuat Regan percaya bahwa dunia tidak semenakutkan yang dia kira.
“Tujuh tahun ini, saya selalu bermimpi buruk.”
Mereka duduk sejajar, terpisahkan meja kaca. Regan masih diam. Arman kembali melanjutkan. “Setelah bertemu kamu waktu itu ... atau setelah saya menyakiti kamu lebih tepatnya, hidup saya tidak tenang.”
“Kenapa harus merasa demikian?” bertanya lirih. Dia menatap lelaki itu lurus-lurus, meski pemandangan ibu kota di malam hari terbentang dari jendela apartemen jauh lebih menenangkan.
“Hari itu, bukan hanya kamu yang datang menemui saya.”
“Ody,” gumamnya. Fakta itu, Regan tahu. Hanya saja dia tidak tahu apa yang Ody dan lelaki ini bicarakan. Sejauh mana perempuan itu mengambil andil kali ini.
“Ody berteriak marah di depan saya. Keamanan hampir menyeretnya keluar. Tapi ada satu kalimatnya yang membuat saya tertampar.”
Regan diam. Menunggu kelanjutan.
“Semua orangtua ingin memiliki anak sebaik Regan.” Arman mengembuskan napas. “Kalimat itu terus menghantui saya setelah hari itu. Saya beberapa kali menemui Ody, karena saya malu bertemu denganmu. Dari Ody, saya pelan-pelan mulai mengenal Regan.”
“Saya tidak mengharapkan pengakuan dari Anda. Tapi saya berterima kasih untuk darah yang Anda donorkan.”
Arman melepas lipatan tangan di antara kedua lutut. “Ody menelepon saya sambil menangis. Kebetulan saya ada di Jakarta.”
“Ya, mungkin hanya kebetulan. Saya beruntung karena Anda kebetulan berada di Jakarta. Saya mungkin sudah mati kalau Anda ada di Bandung.”
“Kamu keras kepala seperti mamamu.” Arman tersenyum santai. Meski anak lelakinya menatap dingin. “Sebagai seorang Ayah yang seharusnya membesarkan putranya dengan baik, saya merasa malu bertemu denganmu seperti ini. Sangat malu, karena saya gagal sebagai Ayah.”
“Setidaknya Anda punya anak lelaki yang lain. Anda boleh gagal di saya. Toh, sudah berlalu, ‘kan? Tidak ada yang perlu diperbaiki.”
“Vava?” Arman tersenyum lagi. “Dia ikut ke sini. Tapi enggan diajak masuk. Dia lebih memilih menunggu di parkiran padahal jelas dia merindukan kakaknya.”
Nama itu hampir terlupakan oleh Regan. Anak itu ... sudah sebesar apa sekarang? Kalau dia tidak salah kira, mungkin Vava sudah duduk di bangku SMP. Wajahnya pasti sudah banyak berubah.
“Jadi, tujuan Anda datang ke sini untuk apa?” Regan mencoba memperpendek percakapan ini.
“Berdamai dengan masa lalu, meluruskan beberapa hal, dan melihatmu lebih dekat.”
***
Sudah larut ketika Regan meninggalkan tepi pantai. Ketika mobilnya memasuki tol dalam kota, dia menghubungi satu nomor. Dia sempat takut jika panggilannya akan mengganggu. Tapi hanya butuh tiga nada sambung—di detik terakhir Regan hendak berubah pikiran—teleponnya diangkat.
Mama sudah menunggu di depan gerbang dengan sweater.
“Habis dari mana?”
“Maaf ganggu Mama.”
Diana mengenakan sabuk pengaman. “Mama nggak bisa tidur. Kebetulan kamu telepon. Ayo, katanya pengin ditemani makan, mau makan di mana?”
“Mama lagi pengin apa?”
“Rawon?”
Regan mengangguk. Melajukan mobilnya meninggalkan jalan depan rumah mamanya. Ah, kenapa terasa aneh menyebutnya dengan ‘rumah mama’? Apa karena Regan tidak bisa hadir di dalamnya? Tidak menjadi bagian dari rumah itu sendiri.
Dia kadang ingin bilang betapa dia merindukan menunggu Mama pulang kerja, selarut apa pun. Makan malam bersama, hanya berdua. Entah terakhir kapan mereka makan malam bersama. Semakin Regan mencoba merenungi segalanya, semakin dia merasa sendiri.
“Mama.” Mobil berhenti di lampu merah.
“Iya, Sayang?”
Regan meremas setir tanpa sadar. Bagaimana dia harus mengatakannya? Mau dimulai dari mana dulu? Terlalu banyak yang menjejal di kepalanya. Ingin dia muntahkan semuanya. Tapi di satu sisi, dia tidak ingin melukai perasaan Mama.
Klakson yang bersahutan memaksa Regan melajukan mobilnya. Menahan sejenak luapan hati yang nyaris tidak bisa ditahannya.
“Berhenti dulu.” Diana tiba-tiba khawatir. “Re, berhenti dulu.”
Regan akhirnya membelokkan mobilnya ke lapangan rumput yang cukup luas. Berhenti tepat di tengah-tengah. Usapan lembut di bahunya membuat tenang.
“Kamu pengin cerita sesuatu?”
Dijawab dengan gelengan. Regan tidak tahu harus mulai dari mana.
“Sini, sebentar.” Diana merengkuh punggung anak lelakinya dengan kedua tangan. Dia tahu, sejak mendengar suara Regan di telepon tadi, bahwa sesuatu telah terjadi. Atau mungkin bom waktu itu akan meledak sekarang.
“Mama pasti menyulitkanmu selama ini.” Tangannya menepuk-nepuk punggung yang dia dekap. “Mama membuat posisi kamu serba salah.”
Isakan kecil lolos dari bibirnya. Tidak. Dia tidak lagi menyalahkan mamanya. Dia hanya merindukan berada di sekitar Mama tanpa ada jarak. Tanpa ada beban. Tanpa dibatasi. Tapi sekarang, atau mungkin sejak beberapa tahun lalu, Regan belajar untuk memahami jika manusia memiliki banyak tujuan. Bisa jadi, dirinya hanya opsi. Pilihan kedua atau ketiga. Atau kesekian. Bukan prioritas.
“Ada dua hal yang ganggu pikiranku, Ma.” Regan menarik diri, hingga dia bisa menatap mamanya.
“Apa?” Diana menangkup kedua pipi Regan. Menghapus setitik yang menetes dengan ibu jari.
“Papa datang menemuiku kemarin.”
“Dia menyakitimu lagi?”
“Mama tahu?”
Diana tersenyum sendu. Tangannya beralih menggenggam kedua tangan Regan. Dia mengerti arah pertanyaan Regan. “Ody cerita semuanya, Re.”
“Aku harus gimana, Ma?”
“Jika kamu bisa memaafkan Mama, barangkali hatimu cukup lapang untuk memaafkan papamu, Re.”
“Aku sudah memaafkan Papa. Jauh sebelum hari ini.” Regan menatap rintik kecil yang jatuh di kaca depan. “Tapi kenapa aku merasa sebaliknya? Aku ingin marah karena aku merasa ditinggalkan.”
Diana mengusap tangan Regan dalam genggaman. “Kamu boleh marah, Regan. Ada Mama di sini. Kamu boleh meledakkan bom itu sekarang. Biar tak menumpuk di hati. Terlalu berat, bukan?”
Dibawanya punggung tangan Mama ke pipi kanan.
“Maafkan kami, Re. Sebagai orangtua, kami seharusnya merangkulmu. Membesarkanmu dengan baik. Memberi arti rumah yang sesungguhnya.” Diana ikut menangis. “Mama punya kesempatan itu. Mama diberi kesempatan untuk membesarkanmu. Tapi yang Mama lakukan adalah melepasmu.”
Regan tidak ingin melihat mamanya menangis seperti ini. Dia tidak bermaksud membuka luka lama. Dia hanya ingin didengarkan.
“Ma ....” Dia merengkuh mamanya. “Aku nggak suka lihat Mama nangis. Apa yang terjadi di masa lalu, biarkan tetap di belakang. Mama tetap Mama yang terbaik buatku.”
Meski untuk beberapa hal, Regan sadar, ada yang tidak bisa diperbaiki lagi.
***
Sebuah tepukan terasa di pipinya. Awalnya pelan, membuai, lama-lama menjadi kasar. Regan sontak membuka mata. Mengerang pelan ketika mendapati wajah Kiki begitu dekat.
Regan menendang kaki Kiki menjauh. Dia siap berbalik, mencari posisi nyaman. Tapi timpukan bantal di kepala membuatnya kembali terjaga. Sedetik. Dua detik. Ini bukan sofa di apartemen, di kantor atau di restoran Adriana. Bukan juga di rumah Kiki.
Setelah mengerjapkan mata berkali-kali, akhirnya dia sadar ini di mana.
Regan menoleh. “Gue tidur berapa lama?”
“Dua jam mungkin?”
“Serius?!” Regan refleks bangun dan berganti posisi duduk. Mengenyit ketika pusing langsung mendera. “Ari sama Rana udah balik?”
Kiki yang bersedekap, hanya geleng-geleng sambil mendecak. “Jelas belumlah, Ody aja baru dateng.”
Tahu bagaimana ekspresi Regan sekarang?
Kedua matanya yang memerah melebar seketika. Wajah yang semula suntuk, mendadak berbinar. Mengusap wajah. Tergagap. “O-Ody ... pulang? Dia di sini?”
Kiki sengaja diam dan mengulur waktu. Regan menatapnya penuh harap.
“Ya nggaklah.” Kiki menjawab enteng.
Dalam gerakan cepat Regan meraih bantal sofa, menyambit Kiki tanpa ampun. Tak hanya sekali. Sambitan Regan baru berhenti ketika bantal menyasar ke wajah Rana yang tiba-tiba muncul. Kalau saja Rana tidak lewat, Regan sudah lompat dan memiting Kiki.
Kiki segera memasang badan ketika Rana bergerak menuju Regan. “Tolong ampuni budak cinta yang fakir cinta itu.”
“Apa sih? Gue mau lewat!”
“Oh, kirain.” Kiki segera menyingkir. Rana berlalu, terlihat buru-buru. Sepertinya telepon penting. Mungkin dari rumah sakit.
“Eh, eh, lo mau ke mana? Jangan ngambek dong!” Tangan Kiki ditepis kasar ketika mencoba mencekal lengan Regan.
“Regan kenapa?” Ari muncul dengan jas hitam. “Gimana, cocok di gue?”
“Cocok aja. Orang ganteng, sekali lagi, bebas. Gue fitting besok deh ya. Sekalian sama Adit. Regan lagi ngambek sama gue.”
“Lo apain dia?”
“Biasa. Antat bayi emang sensitif.”
“Lo juga keterlaluan. Gue denger ya tadi. Dan nggak cuma hari ini aja.” Ari meninju pelan dada Kiki. “Berhenti bercanda soal Ody yang pulang. Ngelihat dia diem aja, gue udah prihatin. Ini lo malah ngeledek.”
Kiki menepuk bibirnya berkali-kali. “Gue jadi merasa bersalah sama doi.”
“Sana kejar.”
“Nggak berani gue. Besok-besok deh gue minta maaf.”
***
Besok-besok? Kiki menyesal tidak mengejar Regan dan meminta maaf malam itu juga. Karena paginya, ketika mencoba menghubungi Regan, sahabatnya itu sudah di bandara. Ada proyek di luar kota, Kiki lupa kota mana. Nyawanya saja belum terkumpul, tapi Regan sudah siap menjemput rezeki.
Ngomong-ngomong, ini hari apa? Bukankah ini Sabtu?
Kiki menggeliat dan seketika membelalak melihat jam digital di atas nakas. Dia punya janji dengan Adit, si Manusia Ontime untuk fitting baju. Menendang selimut tebal yang melilitnya, Kiki bergegas ke kamar mandi.
Memakai kaus hitam yang dia ambil acak dari lemari dan celana ripped jeans, Kiki melajukan mobil menuju salah satu butik ternama ibu kota. Sebelum melesat dari rumah, dia sempat menyambar sandwich di meja makan—sisa sarapan yang dia lewatkan. Kalau hari libur, maminya tidak mau repot-repot membangunkannya.
Satu panggilan masuk, nama Rana muncul di layar. Kiki menggeser ikon hijau dan menekan loudspeaker.
“Macet, Cyiiin.”
“Lo sama Regan?”
“Enggak.”
“Regan nggak bisa gue telepon.”
“Lah, jelas. Orang dia lagi di pesawat.”
“Ke mana?! Kenapa lo biarin, hah?”
“Gue harus larang gitu?”
“Harusnya lo bilang dari kemarin kalau Regan pergi!” Terdengar dengkusan kesal. “Pergi ke mana?”
“Gue baru dikasih tahu pas dia udah di bandara, ya menurut ngana?”
“Ngapain sih keluar kota? Biasanya juga cuma sekitaran sini.”
“Kerja dia, kerja. Gue bukan istrinya yang tahu jadwal dia dan bantuin packing baju. Jangankan buat ngelarang-larang dia pergi.” Kiki mulai mengoceh. “Ralat, meski nih ya, misal gue jadi istrinya Regan, gue nggak akan jadi istri yang overprotective. Gue bebasin misal dia ke mana pun, asal—”
Tut. Tut. Tut.
Kiki memaki dua kali.
***
“Dunia ini memang super lucu!” Setelah hampir serangan jantung, Kiki menganga lebar. Mengucek mata. Menganga lagi. Jangan-jangan nyawanya memang belum terkumpul.
Oke, biar Kiki persingkat saja ceritanya. Dia sudah ngebut menuju butik, tapi sesampainya di butik dia tidak melihat sahabat-sahabatnya. Butik juga masih tutup, baru buka sejam lagi. Di depan butik, ada mobil Ari. Jadi kemungkinan, mereka ada di sekitaran sini. Sambil berjalan, Kiki mencoba menghubungi Ari. Saat panggilan diangkat, saat itu juga Kiki melihat mereka sedang sarapan di gerai roti seberang jalan.
“Udah tahu kenapa gue marah di telepon?!” Suara menyebalkan Rana menyadarkan Kiki.
Kiki mengangguk. Lalu menggeleng cepat. Matanya menuju pada satu sosok yang santai mengaduk teh hangatnya. “DY, SUMPAH LO JAHAT! BANGET!”
Ari menarik Kiki duduk sebelum menjadi tontonan. Kiki menepis tangan Ari yang mencoba mendorongnya duduk.
“Kenapa lo balik?!”
“Kenapa emangnya?” Ody menatap bingung. Kiki datang-datang langsung meneriakinya. Dan sekarang malah mempertanyakan kepulangannya. Bukannya bertanya kabar.
Kiki mengacak rambutnya sendiri, lalu duduk. Seperti cacing kepanasan. “Woaaaah! Dunia mempermainkan lo, Regan.” Bertepuk tangan heboh. Antara masih terheran-heran dan tak percaya. Masih tak habis pikir. Rasanya dia ingin menangis saat ini juga.
Men, bercandaannya kemarin sungguhan terjadi sekarang!
Maksudnya, tidak ada kabar apa-apa kemarin. Dan pagi ini, simsalabim abrakadabra ... Ody ada di sini! Tepat di depan mata. Sementara Regan entah ada di belahan Indonesia bagian mana.
Tidak, Kiki tidak akan minta ditampar untuk membuatnya percaya. Dia sudah sadar, meski dia yakin mulutnya masih seperti ikan. Ini sulit diterima akal sehatnya yang telanjur percaya jika Ody tidak akan muncul tiba-tiba begini. Bukankah kemarin perempuan itu masih menyusuri tepian sungai Seine sana?
Orang-orang yang mengisi meja sudah larut dalam obrolan. Ody sebenarnya yang lebih mendominasi percakapan. Apalagi Rana berisik bertanya apa saja. Ody juga dengan runut menjawab satu per satu. Sesekali tertawa. Adit yang tidak pernah akur dengan Ody, ikut bertanya tentang beberapa hal.
Kiki seperti orang bodoh di kursinya. Dalam hati dia terus memaki dan mengatai betapa bodohnya Regan. Kenapa harus keluar kota di hari libur begini? Lihat ‘kan, dia jadi tidak bisa bertemu Ody. Salahnya sendiri.
Seraya mendengar haha-hihi dengan hati yang coba ditabah-tabahkan, Kiki mencoba mengingat percakapannya dengan Regan di telepon tadi pagi. Sepotong kalimat Regan mendadak terlintas: gue di Bengkulu sampai Senin.
“Bengkulu!” celetuknya tiba-tiba.
Semua orang di meja menoleh padanya. Kaget. Percakapan sesaat terhenti.
“Regan di Bengkulu!” ulangnya lagi, dengan suara yang sama kerasnya. “Dy, lo stay berapa hari?! Jawab, cepet jawab!”
“Santai dong.” Rana menepis tangan Kiki yang menunjuk Ody. “Dia baru landing pagi ini juga. Dari bandara langsung ke sini.”
Kiki menatap Ody dengan sedih. Perempuan itu terlihat baik-baik saja. Bisa tertawa tanpa beban. Bahkan sama sekali tidak menanyakan keberadaan Regan. Atau setidaknya, berbasa-basi menanyakan kabar Regan. Tidak. Ody malah sibuk bercerita.
Ody menjawab tenang. “Gue cuma sebentar, Ki. Pesawat gue berangkat siang ini.”
Memang semudah itu ya melupakan Regan?
“Re, Re, lo boleh ganteng. Tapi kisah asmara lo lebih ngenes dari gue.” Kiki angkat tangan. Menyerah. Dia kemudian melambaikan tangan, memanggil pelayan mendekat. Memikirkan nasib Regan, dia jadi haus dan lapar.
***
Besok jangan nungguin ya. Kemungkinan Bab 35 bakal diupdate minggu depan, sekalian sama epilog. Makasih buat readers yg sabar dan tabah menunggu. Aku tahu, kalian jomblo 😂✌
Jumat, 03/05/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top