32. Yang Tidak Pernah Hilang


🎶 Nidji—Jangan Lupakan

   Hari ini entah hari ke berapa, sejak percakapan terakhirnya dengan Ody di bandara. Dia tidak tertarik menghitung sudah berapa hari dia melepas Ody pergi begitu saja. Tanpa bisa dia menahan kepergian perempuan itu.

   Lagi pula, Re, punya hak apa kamu hingga bisa menahan kepergian Ody?

  “Nanti malem nggak lupa, ‘kan?” Kiki bahkan terpaksa harus datang ke sini, mewakili Ari yang sedang sibuk mengurus ini-itu. Karena akhir-akhir ini Regan susah dihubungi. Nomornya memang aktif, puluhan chat yang dikirim pun masuk ke ponselnya, hanya saja tidak dibaca. Setiap kali ditelepon, hanya dibiarkan hingga sang penelepon bosan dan berhenti sendiri.

   Kiki lama-lama stres menghadapi lelaki patah hati ini. Kalimatnya barusan hanya dijawab dengan anggukan.

   “Mau pulang jam berapa? Gue tungguin sekalian. Bisa mati gue sama Ari kalau lo nggak nongol nanti malem.”

   “Nggak usah berlebihan gitu. Nanti gue pasti dateng kok. Pulang duluan aja.”

   Namun, Kiki enggan beranjak. Dia melipat tangan dan mengamati kerangka bangunan di depannya. Rumah yang sudah mulai dibangun seminggu yang lalu. Dengan bantuan Kiki, Regan berhasil mendapatkan lahan itu dengan potongan harga. Regan senang bukan main. Sebulan setelahnya, Regan mulai mengaplikasikan hasil desainnya sendiri.

   Hari beranjak sore. Senja di belakang mereka mulai tergelincir ke batas cakrawala. Deretan lampu di sekitar pagar pembatas sudah menyala. Regan masih tergugu di tempatnya. Seakan jika bergerak sedikit saja, retakan di hatinya akan semakin parah.

  “Gue udah bisa bayangin kalau rumah lo bakal bagus banget nanti.” Kalimat penghibur yang coba Kiki lontarkan.

  Akhir-akhir ini, sejak kepergian Ody beberapa bulan lalu, Regan adalah dua kepribadian yang berbeda. Jika menemui Regan di kantor atau lingkungan rumah, maka dia adalah pribadi yang biasanya. Regan yang disayangi banyak orang. Regan yang punya banyak teman. Regan yang gampang tertawa.

   Tapi Regan yang di sini, adalah Regan yang sangat berbeda. Regan yang seolah datang dari belahan bumi yang lain. Regan yang tidak tersentuh. Regan yang selalu tergugu membelakangi senja. Regan yang kehilangan seluruh hati dan menyisakan raga kosong.

   Hanya Kiki yang paham. Sahabatnya ini memang pandai memakai topeng.

   Dia tidak heran lagi ketika harus ikut larut dengan suasana yang tidak bisa dijelaskan ini. Debur ombak mengisi kekosongan di antara mereka. Ada beberapa keluarga kecil yang jalan-jalan sore, melintas di dekat mereka. Salah satu yang mengenal Kiki dan maminya, menyapa. Dibalas dengan lambaian ramah.

   “Kenapa tetap bangun rumah ini?”

   Pertanyaan itu berhasil menarik Regan dari dunianya.

   “Buat ditinggali.”

   Kiki nyaris mengumpat. Tapi dia berhasil menahan diri. Dia bangga. Sungguh. Level kesabarannya kini meningkat tajam setelah menghadapi Regan yang mendadak jadi alien jika berada di tempat ini. Jauh sebelum ini, dia sudah terbiasa mendapati Regan yang lain. Harusnya dia sudah terbiasa. Jadi dia harus berbangga—

   “Ki, dia bakal pulang, ‘kan?!”

   Astaga. Kiki kaget.

   “Pulang dong. Orang sahabatnya mau nikah kok. Bisa digorok lehernya sama Rana kalau dia nggak dateng.”

   “Gitu, ya?”

   “Ho’oh.”

   “Yakin?”

   “IYA.” Kiki mulai menahan kesal sambil menggaruk lengan. “Udah, ayo balik. Gue sebel digigitin nyamuk.”

   “Nanti malam, Ody juga ada?”

   “Kalau itu nggak tahu.” Kiki berdiri, menepuk pipinya ketika seekor nyamuk hinggap. “Jangan berharap dulu. Gue takut sepanjang acara lo bakal kayak begini.”

   “Emang gue kenapa?”

   “Tahu, ah.”

***

  “Selamat, Cantik, atas pertunangannya.”

  “Eh, lo sakit?!”

  “Demam berdarah, Na. Nggak usah panik gitu. Gue udah ditangani.”

  Rana gemas. “Lo di mana? Lo harusnya di sini. Gue lagi bahagia banget, Dy. Lo malah terkapar sakit gitu.”

  Layar pipih itu menampilkan separuh badan Ody yang terbaring di atas ranjang putih. Tangan kirinya diinfus. Wajahnya pucat. Benar-benar menyedihkan jika ingat Ody sedang sakit dan jauh dari rumah. Jauh dari orang-orang yang bisa merawat.

  “Tenang aja, Na. Banyak kru kok di sini. Gue dijagain banget. Jadi nggak merasa nelangsa banget pas sakit tapi jauh dari rumah. Eh, awas ya ngadu sama Mama atau Medusa. Gue takut diseret pulang sekarang juga.”

  “Tapi tetep aja gue khawatir. Lo di mana sih? Ngaku sama gue. Janji deh nggak bakal bocorin ke Regan.”

  “Na ....”

  “Iya, iya. Yang penting hati-hati.”

  “Cantik banget sih, Bu Bidan.”

  “Gue emang cantik dari dulu. Ari aja kecantol pada akhirnya. Kenapa sih kalian telat nyadarnya? Gue mesti patah hati dulu, ditinggal gebetan nikah, baru deh Ari nyadar. Kenapa gue mesti nunggu lama?”

“Tapi pada akhirnya, kalian bentar lagi nikah.” Ody terkekeh geli.

  Rana terdiam. Dia baru sadar sesuatu. Dia harusnya tidak perlu mengeluh hal seperti itu pada Ody. Pada seseorang yang hatinya sudah diberikan kepada waktu.

  “Dy, kata Mama, tamu-tamu dari pihak Ari udah datang. Andaikan kalau boleh turun sambil pegang ponsel, gue pasti live gini deh.”

  “Udah mau mulai ya acaranya? Lancar ya, Na. Maaf, nggak bisa datang.”

  “Nggak apa-apa. Nanti pas gue nikahan lo kudu datang. Sampai nggak, nggak usah nunggu Medusa, biar gue sendiri yang seret lo pulang.”

  “Takut gue.”

  “Dy, baik-baik di sana. Cepet sembuh.”

  “I’m all fine, Na.”

  Ketika mendengar ketukan di pintu, Rana mengakhiri sambungan. Dia sempat termenung sesaat. Sebelum akhirnya beranjak dari meja rias. Masih mencemaskan soal Ody.

***

  Regan harus menelan semua rasa kecewa ketika Ody tidak muncul di acara pertunangan Ari dan Rana. Sepanjang acara, Kiki adalah orang yang paling sibuk mengajaknya bicara. Tidak membiarkannya melamun barang semenit saja. Tiap dia memasang wajah sendunya, Kiki akan mengalihkan. Melempar lelucon yang sama sekali tidak lucu, tapi Regan tetap membalasnya dengan tawa yang garing.

“Re, bisa bicara sebentar?”

  Bahunya ditepuk pelan dari belakang. Regan menoleh. Mendapati Dipta yang mengisyaratkan untuk mengikutinya ke teras samping. Acara inti sudah selesai, menyisakan obrolan santai dua keluarga seraya menikmati hidangan yang disediakan.

  Tunggu, Dipta ada di acara ini? Kenapa sejak tadi Regan tidak menyadari keberadaannya?

  “Rana yang ngundang saya.” Seakan menjawab isi pikiran Regan barusan.
Dipta memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Terlihat menimbang sebentar apa yang hendak dia katakan. Regan tidak bisa menebak. Tapi dia yakin, ada hubungannya dengan Ody. Termasuk jika dia mendapat bogem mentah dari Dipta. Itu mungkin lebih pantas dia terima ketimbang tatapan bersahabat yang Dipta tunjukkan.

  “Kamu mikir saya bakal hajar kamu habis-habisan?” Dipta menebak dengan benar. “Saya hanya mencoba memahami posisi Ody dan tidak mencari pembenaran, lalu mencari pelampiasan. Kalau pun iya, seharusnya saya lakukan ketika kamu pulang dan mengacaukan semua yang coba saya perjuangkan.”

  Regan tetap tenang. Meski dia bisa merasakan kekecewaan yang luar biasa dari lelaki di depannya.

  “Saya kalah. Saya harus akui itu. Saya kalah dengan kamu yang bertahun-tahun memilih meninggalkan Ody. Sementara, di antara tahun-tahun itu, saya coba mengumpulkan kepingan-kepingan hatinya. Tapi saya tetap kalah.” Dipta menghela napas. “Sampai di suatu hari, saya beranikan diri untuk melamar Ody. Hari itu hari di mana Ody bersedia melepas cincin yang melingkar di jari manisnya. Ody mulai membuka hatinya untuk saya.”

  Regan berdiri pias. Hilang sudah semua ketenangan yang coba dia pertahankan. Seakan kalimat Dipta turut menghakiminya. Bahwa dia tidak hanya menyakiti Ody, tapi lelaki di depannya ini harus tersakiti karenanya.

  “Cincin itu Ody beli sehari setelah kamu berangkat ke Singapura. Kenapa saya ingat? Saya yang temani dia beli cincin itu.” Dari saku kiri celana, tangan Dipta membawa sebuah cincin yang juga dikenali Regan. Cincin yang Dipta diam-diam temukan di gondola waktu itu.

  “Cincin itu awalnya tanpa nama. Saya nggak tahu kenapa cincin itu tiba-tiba ada ukiran nama kamu.”

  “Ya?” Regan sempurna terperangah.

  “Sebodoh itu Ody mencintai kamu, Re.” Dipta tertawa pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Sama bodohnya dengan saya yang memaksa Ody untuk menerima saya.”

  Regan menatap kilauan cincin yang Dipta sodorkan. Sekilas dia bisa melihat ukiran namanya di bagian dalam cincin. Jadi, ini cincin yang dia kira adalah cincin pertunangan Ody dengan Dipta. Tapi alih-alih cincin pertunangan mereka, cincin itu justru berukir namanya?

  Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya Ody pikirkan sampai membuat ukiran namanya di dalam cincin itu?

  “Ody mungkin kehilangan cincin ini. Atau sebaliknya, dia sudah lupa kalau cincin ini hilang. Kamu bisa kembalikan ke Ody kalau dia pulang nanti.”

  Regan mengambil alih cincin itu. Tertegun lama. “Aku nggak ngerti, Mas. Gimana bisa Ody ... gimana bisa dia ....”

  “You never lose her.”

  “Tapi aku udah nyakitin dia.”

  “Ya. Dan sialnya, kamu tetap dicintai Ody.”

  Regan kehilangan kata-kata. Dipta memegang satu bahunya. Tersenyum singkat sebelum berbalik pergi.

***

  “Lo di sini sejak tadi? Gue cariin juga.” Kiki menghampiri dengan piring yang penuh nasi dan lauk yang menggunung. Satu kerupuk bahkan jatuh tanpa bisa dicegah. “Yaah, yaah, kerupuk gue.”

  Regan mengabaikan. Dia masih memandangi cincin di tangannya.

  “Cincin siapa?”

  Tidak dijawab. Kiki duduk di pembatas teras, menyendok suapan pertama. Sambil sesekali menatap sahabatnya yang mematung seperti orang bodoh.

  “Re, gulai ayamnya enak. Lo nggak mau makan?”

  Regan bergeming.

  “Nih, gue suapin kalau lo males ambil sendiri.” Kiki siap mengulurkan satu suapan besar. Tapi begitu tangannya terulur, seketika Regan berbalik. Langkahnya tergesa.

  Kiki dengan panik meninggalkan piring di sebelahnya. Dia takut sahabatnya itu tiba-tiba kesurupan dan tidak sanggup lagi menahan rindu. Dia takut kalau selama di teras tadi ada jin yang merasuki—oke, Kiki mulai ngaco. Tapi karena khawatir, dia menyusul Regan. Hanya berjaga-jaga kalau yang dia pikirkan sungguhan terjadi.

  Dengan langkah lebar-lebar, Regan menghampiri Rana yang sedang berbincang dengan teman-temannya.

  “Na, tolong telepon Ody buat gue.”

  Rana terlihat terkejut dengan Regan yang tanpa tedeng-aling langsung mengatakan hal demikian.

  “Nggak.”

  Kiki sigap mendukung sahabatnya. Bahkan sudah mengirim sinyal ke Rana agar menuruti saja perkataan Regan.

  “Gue mau ngomong penting.”

  “Hal penting kayak apa?”

  Regan masih waras dan mengingat ini di mana. Dia tidak bisa mendesak Rana meski setengah mati dia menahan diri. “Plis, Na. Gue cuma pengin dengar suara dia. Semenit, atau setengah menit. Gue janji nggak akan lebih.”

  Namun Rana hanya bergeming. Dari sorot matanya, ada rasa ketidakpercayaan yang coba ditunjukkan. Regan memahami keterdiaman Rana sebagai penolakan.

  “Tega lo, Na.” Kiki bersungut, lantas cegukan. Dia menepuk-nepuk dadanya. Buru-buru meraih air minum di meja belakangnya sebelum mengejar Regan yang baru saja melangkah menuju pintu utama.

   “Regan mau ke mana?” Ari yang baru mendekat, entah dari mana, heran melihat punggung Regan yang menjauh.

   Seraya cegukan, Kiki asal menjawab. “Mau nyebur sumur dia. Gue mesti cegah.”

   Astaga. Repotnya mengurusi orang yang patah hati.

***

   “Oke, sekarang jam dua belas lewat.” Kiki menjatuhkan diri begitu saja di atas pasir. “Ngapain ya gue tadi siang repot-repot ke sini, bujukin lo supaya cepet pulang dan hadir di acara Ari, kalau ujung-ujungnya lo balik ke sini lagi?”

   Kiki mulai mengomel. “Kenapa kalau galau mesti jauh ke sini? Boros, Re. Lagian kenapa sih? Lo kesambet beneran di teras tadi? Selama ini, sejak Ody pergi, lo santai-santai aja. Kenapa mendadak minta nomor Ody? Lo nggak tahu gue nyaris mikir lo bakal lupa diri dan ngamuk di rumah Rana.”

  “Nggak ada yang minta lo temenin ke sini.”

  “Ya, ya, ya. Hamba yang salah, Tuan.” Kiki mengalah. Dia memang memaksa ikut di dalam mobil Regan. Sepanjang jalan, Kiki tak berhenti merapal doa. Regan menyetir seperti orang gila. Melanggar lampu lalu lintas. Menyalip sembarangan. Untung Kiki sudah kebal.

  “Gue tadi ketemu Mas Dipta.”

  “Mantannya Ody?” Kiki menjawab sendiri. “Iyalah, siapa lagi. Kalian ngobrol apa tadi?”

  “Soal Ody dan cincin ini.”

  “Nah, itu cincin siapa? Lo bawa-bawa mulu dari tadi.”

  “Cincinnya Ody.”

  “Yang kasih Mas Dipta?”

  “Bukan.”

  Kiki merebut cincin itu. “Jadi ini yang bikin lo mendadak pengin telepon Ody. Gara-gara ini doang. Yailaaaah. Eh, bentar, bentar, apa ini?”

  Regan membiarkan Kiki memaki di sebelahnya. “Anjir! Nama lo kenapa di sini?!”

  Duduk memeluk kedua kaki dan menyatukan kedua tangan, Regan menggeleng putus asa. Seketika Kiki memahami perubahan sikap sahabatnya itu. Memang sepele. Hanya sebatas ukiran nama di sebuah cincin. Tapi Kiki juga tahu, cincin ini adalah cincin yang sudah Ody pakai sejak lama.

   “Astaga. Ody ternyata sebucin ini.” Kiki segera membungkam tawanya sebelum meledak. “Nggak. Sori. Maksud gue, sejak kapan sih kalian saling suka? Gue penasaran. Jangan-jangan Ody nyatain cinta waktu SMA, itu emang beneran?”

  Regan hanya menghela napasnya yang sesak. Setelah ini, apalagi? Jujur, dia tidak siap menerima fakta-fakta yang lain. Kenapa tidak sederhana sebatas: Ody mengejar impiannya mengelilingi dunia sekaligus menghindarinya. Maka akan terasa mudah untuk Regan terima. Lalu dia akan memahami jika mungkin saja Ody marah dan kecewa. Dan suatu hari nanti, ketika Ody pulang, dia akan berjuang sekali lagi untuk mendapatkan perempuan itu. Karena lebih mudah menerima fakta jika selama ini Ody membencinya.

  Dia kini dia dihadapkan pada fakta yang membuatnya bahagia sekaligus sesak: dia tidak pernah kehilangan Ody.

  Namun, dalam waktu yang bersamaan, dia merasa kehilangan—ketika jarak dan waktu bukan lagi perkara mudah.

***



Aku rada galau pas nulis bab ini. Semoga tersampaikan ya maksud dari bab ini 😂

Oh iya, kalau berkenan mampir ke lapak Juna ya 😆

Next: Bab 33—Bandung, Tujuh Tahun Lalu

See you next weekend, gengs ❤

Sabtu, 13/04/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top