29. Seperti Seharusnya
Everytime we say goodbye, Baby, it hurts ....
Lady Gaga—Always Remember Us This Way
Lelah memperhatikan adiknya yang berkemas dari tepi kasur, Maya akhirnya ikut duduk di dekat koper. Membantu melipat baju-baju yang sudah disiapkan Ody untuk dibawa selama—entahlah Maya juga tidak tahu seberapa lama adiknya akan melalang buana. Ody adalah lembaran kertas putih kosong. Tidak terbaca. Dirinya sulit memahami adiknya ini. Bilangnya dua tahun, tapi siapa tahu bisa lebih.
Maya ikut menolak keputusan Ody. Persetan dengan impian. Maya tidak percaya dengan hal seperti itu. Semua keluarga sudah membujuk, tapi adiknya ini luar biasa keras kepala. Mana mungkin tidak keras kepala kalau memilih melepas pekerjaan yang nyaman di kantor Papa dan memilih menjadi jurnalis dua tahun lalu.
“Dek ....”
Gerakan melipat Ody sempat terhenti. “Kenapa?”
“Kenapa mesti lari dari Regan?”
Ody menatap kakaknya. “Biar cepet kelar, Mbak, urusan hati yang menye ini.”
“Kalau cuma urusan hati yang menye, lo bisa liburan dulu ke Puncak atau Lombok, atau mana. Nggak perlu jauh-jauh.”
“Berat, Mbak. Aku juga nggak jamin setelah pulang nanti, bisa lupain rasa bersalah ke Mas Dipta atau nggak.” Ody berdiri, mengambil tumpukan celana dari lemari.
“Lalu ngelupain Regan? Itu poin utamanya, ‘kan? Tapi sengaja banget dijadiin alasan paling akhir. Capek tahu nggak lihat kalian kucing-kucingan. Kalau mau bersama, ya udah. Urusan lo sama Mas Dipta udah kelar. Regan juga nggak ada yang lain. Ya tapi, di satu sisi, gue sangat mengerti posisi lo. Cinta nggak akan cukup, ‘kan?” Maya bingung jika harus menempatkan diri di posisi Ody. Ribet. Rumit.
Di sela kegiatannya, Ody mengangguk. Beberapa hari ini dia sudah berpikir berkali-kali bahwa keputusannya ini sudah tepat. Dia semakin yakin jika mengambil kesempatan itu adalah pilihan bijak. Dia tidak bisa jika membayangkan harus bertemu Regan setiap hari. Jelas hatinya akan luluh. Dan mungkin, suatu hari nanti dia akan disakiti lagi. Atau jika ingin memulai semuanya lagi dari awal, Ody butuh waktu. Banyak waktu.
“Dek,” Maya meraih satu tangan Ody. “Gue pengin lo bahagia. Kalau misal keputusan ini bisa membuat lo lebih baik, gue dukung. Lo selalu tahu apa yang lo pengin. Kadang gue iri lihat Ody yang gigih. Kadang gue iri lihat Ody yang keras kepala, nggak bisa dinasihatin. Tapi gue benci lihat Ody yang nangis. Jadi, kalau ini yang terbaik, ya udah. Kita semua bakal dukung apa pun itu yang bikin lo bahagia.”
“Makasih, Mbak.” Ody tersenyum, diam-diam terharu melihat sisi manis kakaknya.
Maya menyusut sudut matanya dengan ujung sweater. Malam itu, mungkin salah satu waktu terbaik yang mereka lewati. Meski Ody sempat terkejut melihat sisi melankolis kakaknya. Bahkan, lihat, seorang Maya menyeka air mata karena menangisi keputusan Ody. Adik yang selama ini selalu dia ajak bertengkar, tentang apa saja. Banyak waktu yang mereka isi dengan pertengkaran yang tidak penting. Tapi bagi keduanya, waktu-waktu itu amat berharga. Kebersamaan mereka yang selalu unik.
Malam itu, Maya tidur di apartemen Ody. Bahkan sepanjang malam, Maya terus terjaga. Dia menggenggam satu tangan adiknya. Sejak mendengar keputusan gila Ody seminggu yang lalu, dia menjadi gusar. Jika setiap bertemu Ody, dia akan memancing ribut, maka semingguan ini dia bersikap lebih baik. Bahkan sering menatap adiknya dengan sendu.
Dia tidak tahu cara merangkai kalimat yang baik. Selama ini dia selalu menyerahkan urusan apa pun yang bersangkutan dengan Ody kepada Kinan. Membiarkan Kinan yang maju untuk menghibur Ody yang sedih. Sementara Maya hanya bisa berdiri di kejauhan. Takut jika kalimat yang keluar dari mulutnya justru memperparah situasi.
Dia ingat Ody kecil yang manis. Ody yang selalu dijahati teman-temannya karena terlalu baik. Ody yang suka jika rambutnya dikepang dua. Ody yang setiap malam suka menyelinap ke kamarnya, karena tiba-tiba terbangun mimpi buruk dan susah tidur lagi. Ody yang tidak pernah menangis ketika jatuh dari sepeda.
Ody, yang, amat sangat dia sayangi.
Beranjak besar, Ody tidak banyak berubah. Ody masihlah sama. Dan Maya tetaplah Maya. Dia bukanlah Kinan yang penyabar. Maya punya cara sendiri untuk berkomunikasi dengan Ody. Kalau boleh jujur, dia suka ekspresi yang ditunjukkan adiknya ketika dia mengomel tidak jelas. Meributkan hal-hal sepele. Termasuk merebutkan Mas Dipta.
Mas Dipta. Salah satu potongan cerita yang barangkali ingin dia simpan sendiri dan tidak ingin Ody tahu. Apa yang terjadi pada Ody sekarang, mungkin karena salah satu keputusannya juga.
Enam tahun lalu, ketika melihat Ody menangis di pelukan Kinan, Maya punya cara sendiri untuk menghibur adiknya. Dia memberi kesempatan Mas Dipta lebih banyak untuk masuk ke kehidupan Ody. Membiarkan hari-hari Ody dilewatkan dengan penuh tawa. Meski butuh waktu, Mas Dipta berhasil mengalihkan dunia Ody. Maya mundur dengan pasrah. Toh, dia tahu dari awal lelaki itu mencintai Ody. Percuma dia menjadi penghalang.
Maya kira enam tahun sudah cukup membuat Ody berpindah hati. Tapi setelah kepulangan Regan, dia sadar. Enam tahun mungkin cukup untuk melupakan. Tapi enam tahun milik Ody berbeda. Maya terlalu percaya diri jika Mas Dipta lebih dari cukup untuk menggantikan posisi Regan.
“Dek, kenapa mesti rumit?” Maya menoleh, berkata lirih. Menatap adiknya yang pulas. “Kalau lo cinta Regan, kenapa mesti pergi? Kalian berhak bahagia.”
***
Sebuah sentuhan di bahu menyadarkannya dari lamunan panjang.
“Hah? Mama tanya apa?”
“Mama nggak tanya. Ayo, obatnya udah dapet.” Diana menepuk bahu Regan agar lekas berdiri dari kursi tunggu. Pagi ini, Regan melepas gips di tangan kirinya ditemani sang mama.
“Semingguan ini kenapa, Re? Ada hal yang mengganggu? Kamu sering bengong kayak tadi.” Diana mengutarakan keheranannya seminggu ini setelah mengamati perubahan anak lelakinya.
“Nggak ada, Ma.”
Diana menghela napas. Mobilnya berhenti di lampu merah. “Ini soal Ody, ya?”
“Bukan.”
“Iya. Ini soal Ody. Udah kebaca jelas di dahi kamu, masih aja bohong.” Diana terkekeh. Kemudian dia berubah serius. “Jadi kamu dengar dari siapa soal kepergian Ody?”
Regan terkesiap. Mamanya tahu?
“Iya, Mama tahu. Kamu lupa kami gedungnya bersebelahan? Kabar itu udah tersebar di kantor. Kandidat pendamping Brian Genta—”
“Apa sih hebatnya Brian Genta-Brian Genta itu,” potongnya.
Diana tersenyum melajukan mobilnya. “Iya. Masih hebatan anak Mama kok.”
Seminggu ini, sejak dia mendengar kabar rencana Ody ini dari Mbak Anggun, Regan sempat tidak percaya. Membayangkan perempuan itu akan pergi jauh saja, sudah membuat Regan frustrasi. Iya. Regan tahu. Ini yang mungkin Ody rasakan dulu ketika dirinya bersikap seperti anak kecil yang suka lari dari masalah. Betapa pengecutnya dia.
“Ma,”
“Iya, Sayang?”
“Aku harus mulai dari mana?”
Diana menoleh sebentar sebelum kembali fokus ke depan. “Pesawat Ody berangkat jam dua.” Satu tangannya meraih tangan kanan Regan, meremasnya. “Kesempatan itu mungkin kecil sekali. Kita tahu Ody bagaimana. Dia nggak semudah itu dibujuk. Tapi, temui dia. Entah akan bagaimana, terima dan hadapi, Re.”
“Aku takut kehilangan dia, Ma.”
***
Regan: Dy, sebelum km take off, bisa ngomong sebentar? Aku tunggu di kafe bandara, arah jam 10 dr tempat km berdiri
Satu chat masuk lima menit yang lalu. Ody sempat menimbang-nimbang. Tapi akhirnya dia pamit ke beberapa kru yang ada di dekatnya. Dia minta waktu lima belas menit. Mereka take off setengah jam lagi.
Salah satu kafe bandara itu mendadak senyap. Lama mereka terdiam. Menunggu salah satu bersuara dan memecah sunyi yang mencekik. Hitungan detik yang tidak pernah sederhana bagi keduanya.
Waktu terus berdetak. Salah satu dari mereka harus siap melepaskan.
Napas terengah Regan mulai berangsur normal. Dihelanya napas sekali lagi. “Dy, jadi aku ditolak ya?”
“Kamu tahu sendiri jawabannya.” Ody menemui sepasang mata itu, setelah lebih dari satu menit menatap kosong pada dinding kaca.
“Kenapa harus pergi?”
“Aku ngejar impianku sekaligus kerja.”
“Kamu lari.” Regan membantah.
“Harus gimana lagi ngomongnya?”
“Berapa lama?”
“Aku nggak tahu.”
“Terus aku gimana?”
Ody menatap dingin. “Gimana apanya? Kita bisa hidup normal. Enam tahun kita fine-fine aja. Hidup kamu, ya milik kamu. Hidupku, juga biar jadi urusanku. Kita nggak ada kewajiban untuk saling mengkhawatirkan, ‘kan?”
“Ini bukan masalah itu.”
“Lalu apa?” Ody bersedekap. “Kamu ngejar aku ke sini dan minta waktu, buat apa?”
“Jangan pergi.” Lirih tapi penuh penekanan.
“Kamu nggak ada hak untuk melarangku, Re.”
“Aku mohon, Dy. Pikirkan sekali lagi.”
“Mau aku pikirkan sepuluh kali pun, keputusanku tetap sama.”
“Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Memangnya kita apa?” Ody menamparnya telak.
“Oke. Beri aku alasan logis atas keputusan mendadak ini.” Regan mengusap wajahnya yang pias. Mencoba tetap waras meski isi kepalanya sudah sekusut benang. Segala perasaan sesak—marah, sedih, kecewa pada dirinya sendiri, rindu, takut kehilangan, cemas—merongrongnya sejak tahu rencana kepergian Ody. Dan rasanya dia ingin meledak sekarang setelah Ody—tentu saja—akan bersikap seperti ini.
“Kenapa kamu seegois ini?” tanya Ody lirih tapi tajam. “Kamu bahkan nggak kasih aku kesempatan waktu itu. Kamu memilih menyingkirkan aku dari hidupmu, tanpa aku tahu apa penyebabnya. Menjadi Ody yang bisa kamu bodohi selama beberapa tahun.”
Regan menunduk. Menggeleng. “Aku ingin kamu mendapatkan lelaki yang lebih bai—”
“Dan lelaki baik itu sudah aku sakiti.” Ody memotong. “Kamu tahu hal apa yang paling menyakitkan? Ternyata kamu nggak mengenalku dengan baik. Ody yang lugu ini bahkan percaya sama Regan.”
Regan menatap perempuan itu dalam. Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Dia tetap membiarkan Ody dalam hidupnya. Apakah sekarang mereka bisa bahagia? Apakah Ody tidak akan mempermasalahkan statusnya di masa lalu? Apakah Ody tidak jijik dengannya? Lihatlah, perempuan ini berasal dari keluarga baik-baik. Dibesarkan dengan penuh cinta kedua orangtua. Dikelilingi oleh orang-orang yang begitu menyayangi. Sementara dirinya, sempat tidak diinginkan.
Lalu, apa bedanya sekarang? Jika saja dulu dia memercayai Ody dan tetap menerima uluran tangan perempuan itu, mungkin dia tidak akan duduk di sini dan menunggu detik-detik kehilangan yang mencekiknya. Menatap perempuan di depannya penuh penyesalan.
Regan tiba-tiba menciut di kursinya. Keberaniannya menguap entah ke mana. Predikat anak haram kembali memenuhi kepalanya. Membayangkan bagaimana tatapan yang akan orang berikan padanya. Meski tentu saja Regan yang sekarang, berbeda. Orang mungkin tidak akan mengungkit hal itu. Tapi dia sendiri, justru merasa tidak pantas memiliki Ody.
“Dy ....”
Pada pot kecil di dekat jendela, Ody melarikan pandangan ke sana. Dia mengumpulkan keberanian untuk mempertegas keputusannya. Bahwa ini bukan hanya tentang pekerjaan dan menghindari lelaki ini, tapi lebih dari itu.
Tanpa mengalihkan pandangan, Ody mulai merangkai penjelasan. “Aku pergi dengan tiga alasan. Pertama, impian. Ini salah satu mimpiku, mengelilingi dunia. Yang mungkin nggak akan aku dapatkan di lain kesempatan. Alasan kedua, aku ingin menjauh dari Mas Dipta. Aku ingin memberi banyak ruang untuknya. Karena setiap bertemu, aku selalu merasa bersalah. Merasa bahwa aku orang paling jahat di bumi ini. Perempuan yang nggak bisa melihat ketulusan seorang Dipta.” Perempuan bodoh yang masih terjebak dengan masa lalu.
Menghela napas, Ody mengalihkan pandangan ke Regan. Menatap persis ke manik mata. “Alasan ketiga, kamu. Segala tentang kamu dan kita, terasa salah.”
Satu tangan Ody terangkat, menghentikan Regan yang hendak menyela.
“Re, aku nggak mau kamu salah paham. Aku bersikap baik layaknya teman bukan karena apa-apa. Aku selalu bilang bahwa kita tetap bisa berteman. Apa yang pernah dan sedang kita rasakan, sudah cukup. Lebih baik kita hentikan.” Ody mencoba tersenyum—yang semoga saja tidak terlihat menyedihkan.
“Kenapa aku harus berhenti?”
“Aku capek.”
“Aku nggak.”
“Kamu ngerti apa maksudku.” Suara Ody meninggi, tatapan mereka bertemu. “Aku mohon sama kamu. Berhenti menatapku dengan tatapan itu. Berhenti tanya apa yang bukan menjadi urusan kamu. Dan jangan pernah merasa berhak untuk melarangku pergi. Kita hanya teman.”
Regan menyandarkan punggung. Menghela napas. Menatap Ody dengan sedih. Ini tidak seberapa. Kalimat Ody tidak sebanding dengan apa yang dia pernah ucapkan dulu. Tapi rasanya sudah sesakit ini. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya Ody waktu itu.
Tiba-tiba saja wajah terluka Ody hadir dalam ingatannya. Masih terngiang jelas. Sore itu, di antara rintik hujan, perempuan ini menangis. Dia tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena sudah membuat perempuan itu menangis. Bahkan, hingga sekarang, perasaan bersalah itu masih menggelayut di hatinya. Sebanyak apa pun kata maaf yang dia ucap, tetap tidak mengurangi beban itu.
Ody tiba-tiba mengembangkan senyum. Regan tahu itu bukan senyum bahagia. Tapi sebaliknya. Manifestasi segala marah dan kecewa yang ditahan bertahun-tahun.
“Aku nunggu enam-tujuh tahun untuk bilang ini ke kamu. Dan sekarang mungkin waktunya.” Ody menelengkan sedikit kepalanya. Memandang lelaki di depannya sedalam mungkin. “Re ... aku berteman dengan kamu bukan karena kasihan. Bukan karena aku empati dengan semua yang kamu alami. Aku memang dibesarkan di keluarga yang hangat, tapi tidak lantas aku memandang kamu sebelah mata. Tapi sepertinya kamu menilaiku berbeda. Jadi, maaf, kalau Ody yang dulu selalu ikut campur. Merasa sok paling bisa memahami kamu. Merasa paling ada saat kamu butuh. Merasa paling, paling mengerti dengan kondisimu saat itu.”
Regan tergugu.
“Aku mungkin tidak benar-benar mengenal seorang Regan. Sama halnya dengan kamu, yang tidak benar-benar mengenalku.”
Dia ingin sekali mematahkan kalimat Ody. Tapi separuh hatinya menyuruhnya diam. Logikanya mendadak bisu.
“Perasaan yang hadir di antara kita, menjadi percuma. Sia-sia. Kamu seenaknya pergi, lalu datang merusak semua yang coba aku tata. Kamu pikir setelah aku menyakiti Mas Dipta, aku bisa memikirkan tentang kita?” Ody seperti bertanya pada dirinya sendiri. Tapi di hatinya, dia tidak menemukan jawaban apa-apa.
Ody tidak menggeser pandangannya sama sekali. “Aku memang mencintai kamu lebih dulu. Ya, katakanlah aku naif. Aku dulu sempat percaya jika ada kita di masa depan. Aku masih memercayai itu dua-tiga tahun lalu, karena aku masih nunggu kamu. Tapi, saat kamu pulang, aku sadar. Di dunia ini nggak semua hal yang kita inginkan bakal terwujud.”
“Kita bisa mulai semuanya pelan-pelan, Dy. Aku tahu hal ini mungkin sederhana untuk orang lain, tapi nggak buat kita. Kalau kamu butuh waktu untuk memikirkannya lagi, nggak apa-apa, aku tunggu.” Regan takjub pada dirinya sendiri yang masih bisa berpikir di saat seperti ini. Karena sejak tadi yang ingin dia lakukan adalah memeluk Ody seerat mungkin.
“Kamu tahu apa hal menyakitkan lainnya, Re? Saat kita menyadari bahwa kita memiliki perasaan yang sama, tapi takdir tidak mengizinkan kita bersama.”
“Kita bisa memperbaiki semuanya—”
“Apanya yang mau diperbaiki? Aku sudah mundur. Aku tidak ingin terlibat apa pun lagi dengan kamu. Sudah cukup. Tidak perlu ada yang diperbaiki. Jalan kita memang begini, Re. Jadi, untuk apa memperjuangkan hal yang sia-sia? Jangan menyusahkan diri kamu sendiri.”
Regan berusaha tenang meski hatinya remuk-redam. “Jujur sama hati kamu, Dy.”
Ody menggeleng. “Aku rasa cukup. Keputusanku udah jelas. Nggak ada yang perlu kita bahas lagi. Yang berlalu, biarkan. Kita tetap masih bisa berteman. Dan aku minta satu hal, lupakan apa pun tentang kita. Hidup ini nggak melulu untuk satu orang, Re.”
“Aku akan nunggu kamu, Dy. Sampai kapan pun.” Regan memilih menjadi bodoh dengan semua kalimat Ody. Dia memaklumi sikap Ody yang defensif terhadapnya. Perempuan itu tentu saja lelah dengan semua ini. Ody mungkin sudah menyerah.
Ponsel yang bergetar memutus tatapan putus asa di antara mereka. “Aku udah ditunggu. Aku harap, kamu selalu bahagia, Re. Di mana pun, kapan pun.”
Tanpa menunggu jawaban, Ody berdiri, meraih pegangan koper di sebelahnya. Menatap lelaki itu sekali lagi sebelum berbalik, mengabaikan wajah terluka itu.
Meninggalkan meja dan melangkah menuju pintu kafe. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa setelah ini, semuanya akan baik-baik saja. Ini bukan masalah besar yang perlu dia ributkan atau sesali di kemudian hari. Karena ini yang dia inginkan.
Ody hanya perlu memaksa hatinya untuk ikut beranjak dari sana. Menghentikan suara-suara penuh penghakiman di kepalanya. Menahan segala hal yang membuatnya ingin kembali ke meja itu dan memeluk Regan sebentar saja sebelum pergi. Membujuk hati kecilnya untuk terus melangkah dan tidak menoleh—atau semuanya akan berantakan.
Namun, dia membiarkan ketika air matanya luruh diam-diam.
***
Minggu ini gak double update yaa. See you next weekend! ❤
Sabtu, 30/03/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top