27. Selangkah Menjauh

🎶 Geisha—Rahasia

  Sejak malam itu, Ody sempurna menjauh. Regan tidak lagi bertemu dengan perempuan itu di lift atau lobi. Ody tidak ada di mana pun. Seperti ditelan bumi. Atau seperti bayangan yang kehadirannya tidak ingin diketahui. Regan sepenuhnya sadar, ini salahnya. Salahnya yang terburu-buru mengungkapkan perasaannya tanpa memahami posisi Ody sebelumnya. Ini memang mudah dan sederhana untuknya—setelah dia hampir mati dan wajah Ody muncul membawa segala harapan. Tapi barangkali sudah menjadi rumit bagi Ody.

  Atau jalan mereka memang sudah berbeda.

  “Pagi, Re.” Anggun menyapa ketika lewat di belakang kubikelnya. Hari ini dia sudah  kembali masuk kerja.

  “Mbak.”

  “Kenapa?”

  Regan sudah membuka mulut, tapi ragu.

  “Mau tanya apa?”

  “Ody pulang ke rumah?”

  “Iya.”

  “Dia baik-baik aja, ‘kan?”

  Anggun duduk seraya mengerutkan dahi. “Dia sehat kok. Emang kenapa? Pas di apartemen, dia ada gejala sakit?”

  “Nggak sih, Mbak. Aku cuma khawatir aja.”

  “Anak itu emang suka bikin khawatir. Kami tadi dibikin kaget dengan rencana dia.”

  “Rencana apa, Mbak?” Persetan dengan anggapan jika dia terlalu ingin tahu urusan Ody.

  Anggun nampak berpikir sebelum menjawab. “Belum fix, Re. Mas Kinan masih ngebujuk tadi. Kalau-kalau Ody mau berubah pikiran.”

  Regan terpaksa menelan rasa ingin tahunya.

***

Ody berhasil membuat lantai lobi kantornya banjir lokal. Barusan dia—dengan tidak sadar—menabrak ember besar yang berisi air pel. Tidak cukup membuat banjir lokal, Ody juga jatuh terjerembap. Seragamnya kuyup. Daffa berlari mendekat, membantu Ody bangun, sambil melempar senyum lebar ke beberapa karyawan yang lewat—yang menatap Ody dengan aneh.

“Bangun, udah gede juga, jalan pake jatuh. Malu-maluin.” Daffa segera membawa Ody ke lift setelah perempuan itu bilang maaf ke petugas kebersihan karena telah mengacaukan pekerjaannya.

“Mikir apaan? Sampai ember segede gitu ditabrak.” Daffa melepas jaket jinsnya dan mengulurkannya ke Ody.

Ody menggeleng, menolak jaket itu. “Emang gue lagi sial aja. Tadi turun dari bus juga hampir oleng masuk got kok.”

“Ck. Bangga, ya?”

Ody meninju lengan rekan kerjanya itu.

“Kenapa sih? Soal tawaran itu? Bukannya lo udah deal, ya?”

“Ya, salah satunya. Gue nggak cuma drama di sini tapi juga di rumah. Ya, you knowlah. Gue anak bungsu. Bontot. Izinnya berlapis-lapis.”

“Jadi, udah mengantongi izin dari siapa aja?” Daffa terkekeh.

Dengan lesu, Ody menggeleng.

“Ya lo juga sih. Kenapa iseng ikutan segala. Giliran diterima, malah pusing ‘kan?”

“Tapi kapan lagi coba gue jalan-jalan gratis. Malah dibayar pula.”

“Dua tahun hlo, Dy. Apalagi syaratnya ketat banget. Kejar tayang soalnya.” Daffa bersedekap. “Okelah, sebagai partner lo di lapangan, gue nggak meragukan seorang Ody lagi. Lo bahkan bisa diajak hidup di tengah hutan. Nggak ngeluh, manja, cengeng dan sebagainya. Tapi, ya, perempuan seumuran lo ini harusnya udah keluar-masuk salon. Mempercantik diri. Nyari calon suami. Belajar dandan.”

“Lo konservatif juga, ya.” Ody mencibir.

“Soalnya Mama gue udah bilang gitu ke kakak gue yang cewek.”

“Tapi gue lebih muda setahun dari kakak lo.”

“Beda setahun ini.”

“Bilang aja lo nggak mau kehilangan partner kayak gue.”

“Sialan, tahu aja.” Daffa mendecak. Lift terbuka. Keduanya melangkah ke kamar mandi. Daffa mengekor saja. “Karena gue tahu, calon pengganti lo ini reputasinya kayak apa. Si anak mama yang manjanya minta ampun.”

“Siapa?”

“Putri Tidur dari divisi sebelah.”

Ody tertawa seraya melangkah ke salah satu bilik. Dia mengganti segaramnya dengan kaus lengan panjang berwarna dongker. Ketika dia selesai, Daffa masih di depan toilet.

“Kita hari ini liputan ke mana?”

“Belum tahu. Mungkin bakal dikasih tahu pas briefing. Semalem grup hening soalnya.”

“Ampun deh kalau nungguin sidang paripurna lagi. Nggak greget, ngantuk iya.”

“Susah ya kalau jiwa lo gladiator gini. Berasa tiap hari kudu terjun ke demo mulu. Nih ya, gue yakin banget, kalau lo lupa kode etik jurnalistik, lo pasti udah ikutan baku hantam.”

Ody duduk di kubikelnya. “Jiwa maso gue suka keluar gitu di tengah-tengah demo. Dengan catatan, demonya bener ya, bukan demo yang ditunggangi kepentingan politik.”

“Demo mana sih yang bersih dari politik dan propaganda?”

“Ada-lah, satu dua. Meski gue sendiri juga nggak yakin. Tapi ada lapisan masyarakat yang ingin perubahan.”

“Dy, jangan bijak. Nggak cocok.”

Ody melempar bantalan leher ke lelaki itu.

***

Sudah pukul delapan malam ketika Ody duduk di dalam bus. Malam cerah, meski langit tidak menumpahkan bintang-bintang. Bulan juga entah ke mana. Yang jelas tidak ada tanda-tanda hujan. Di dalam bus, hanya ada empat orang termasuk dirinya. Yang satu sibuk bertelepon dengan anaknya, mengatakan jika sudah dalam perjalanan pulang. Suara ibu-ibu di belakangnya juga terdengar sedang bertanya ingin dibawakan makan malam apa pada orang di seberang telepon. Dan remaja yang masih berseragam di seberangnya. Sesekali menatap ponsel, lalu membuang pandangan keluar jendela. Entah resah kenapa.

Ody menyandarkan kepala di jendela setelah mengamati sekitar. Dia melihat deretan ruko dan kedai di sepanjang jalan. Banyak hal menjejal di kepalanya. Tentang rencana itu. Ketidaksetujuan dari semua keluarga, terutama Mas Kinan yang menentang keras. Tentang Regan dan ungkapan cintanya dua hari yang lalu. Tentang Mas Dipta, yang entah kenapa masih membuatnya merasa bersalah.

Bus berhenti di halte depan apartemen. Dia tidak mungkin pulang ke rumah ataupun ke rumah Mas Kinan. Membiarkan situasi di rumah reda lebih dahulu, baru Ody berani bicara lagi. Dia akan menjelaskan sekali lagi, lebih hati-hati. Bukan dengan rentetan rencana yang membuat seisi meja makan menjadi kesal dengan keputusannya yang terkesan konyol dan gegabah itu.

Dia tidak ingin diteriaki Kinan gila lagi. Atau Maya yang menunjuknya dengan garpu sambil mengatainya sinting. Ya, intinya sama saja. Hanya saja, Ody tidak menyangka jika reaksi dari kedua kakaknya seheboh itu. Dia kira, sejak dia memutuskan untuk menjadi jurnalis dan terbiasa meliput demo dan sebagainya, dia mendapat kelonggaran lebih. Nyatanya, hanya mengatakan rencana itu saja langsung dikatai gila.

Iya. Ody gila karena Regan selalu muncul di mana-mana. Bahkan sekarang ekor matanya menangkap lelaki itu duduk di sofa lobi. Dia yang sudah telanjur tiba di teras, bingung harus bagaimana. Yang jelas dia harus menghindari lelaki itu. Memasang wajah jutek semaksimal mungkin. Atau bahkan pura-pura tidak lihat dan langsung menuju lift. Menekan angka sepuluh—

“Malam, Dy.”

Ody menurunkan tangannya yang hendak menekan angka di dinding. Menghela napas panjang. Tidak peduli jika lelaki di sebelahnya melihat betapa suntuknya dia.

Sebagai jawaban, Ody hanya mengangguk pendek.

Di dalam lift, situasi semakin beku. Ody memilih menatap pintu lift. Sementara Regan menatapnya. Dia hanya perlu bertahan semenit lagi.

“Kamu susah ditemui,” kata Regan setelah diam yang membekukan. “Kalau kamu nggak mau dengar apa pun, setidaknya aku cuma mau bilang maaf.”

“Ya. Oke.” Ody membenarkan tali ranselnya. Lift berhenti di lantai sepuluh.

“Dimaafin beneran?”

“Iya.”

Pintu lift terbuka.

“Dy, tunggu sebent—” Regan mengejar, tapi berusaha tidak mencekal lengan Ody atau akan membuat perempuan itu semakin kesal.

  “Hai, Git.” Ody menyapa seseorang yang tertangkap matanya, sekaligus memotong kalimat Regan.

Gita yang tadi bersandar di dinding, langsung berdiri tegak dan tersenyum. Menutupi wajahnya yang sedih. “Halo, Dy.” Lalu memiringkan kepalanya. Orang yang dia tunggu ada di belakang Ody. “Kalian pulang bareng?”

“Siapa?”

“Kamu dan Regan.”

“Kita ketemu di lobi.”

Regan maju, hingga berdiri di sebelah Ody. “Udah lama, Git? Aku tadi di lobi, nggak lihat kamu ke sini.”

“Aku lewat atap,” selorohnya.

Ody yang tidak tahu harus apa, akhirnya pamit ke apartemennya. Tanpa peduli apa yang ditanyakan Regan pada Gita. Saat Ody menghadap pintu, siap menempelkan kartu aksesnya, dia melihat Gita yang menunduk dan tangan Regan mengusap bahunya.

Tidak ingin berdiri di sana terlalu lama, Ody mendorong pintu.

Ody masih berdiri di belakang pintu, menyandarkan punggungnya. Meneguhkan hati sekali lagi. Bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Bahwa kehilangan lelaki itu adalah salah satu bagian yang harus dia lewati. 

***

“Dilamar kok malah sedih sih, Git?” Regan mengajaknya ke atap gedung. Langit malam sedikit mendung, tidak secerah beberapa hari yang lalu. Gita selesai bercerita singkat tentang penyebab wajahnya ditekuk.

“Masalahnya aku nggak cinta dia, Re.”

Regan menggeser tubuhnya menyamping. Menatap wajah Gita yang tadi sedih, tapi sekarang mendadak cemberut.

“Mama gimana?”

“Belum sampai ke rumah, jangan deh. Tapi ini malu-maluin banget.”

“Emang dilamar di mana?” Dia menahan tawa atau perempuan ini akan semakin cemberut.

“Di supermarket, tadi. Di depan para karyawan. Dia entah pakai lagu mana, joget-joget, bawain bunga-bunga. Kebayang ‘kan malunya gimana.” Gita berujar gemas—lebih tepatnya kesal.

“Itu manis kali, Git. Malu gimana.” Regan akhirnya terkekeh.

Gita menoleh, semakin manyun. “Iya, manis, kalau dilakuin orang yang aku cinta. Tapi, duh, dia nggak banget. Bukan tipeku.”

Bullshit, Git. Cinta nggak ngenal tipe.”

“Tapi, percaya deh. Sama Kiki, juga masih mendingan Kiki.”

“Jadi ditolak tadi?”

“Iya, tapi dia bilang mau ke rumah. Bicara langsung ke Mama. Aku nggak tahu gimana cara supaya dia mundur.”

“Biarin ketemu Mama dulu. Siapa tahu menurut mamamu, dia baik untuk kamu.”

“Tapi kalau aku nggak bahagia, juga percuma.”

“Bahagia atau nggak, ‘kan belum dijalani.”

“Udah ketahuan dari awal. Kamu juga, aku ke sini mau curhat, tapi malah belain orang lain.”

“Ya kamu lucu sih.” Regan bergerak mengacak rambut Gita yang dicepol asal. “Emang orangnya gimana?”

“Aduh, capernya bikin geli abis. Setiap hari tuh ada-ada aja ulah dia yang bikin senewen. Dari kirim-kirim bunga, cokelat, kue, sampai kasih tas branded—yang akhirnya aku balikin sambil marah-marah. Emang aku nggak bisa beli sendiri?”

“Oh, jadi udah dicaperin. Masa’ belum luluh juga?”

“Gimana mau luluh kalau aku cintanya sama orang lain?”

“Wah, berat juga sih.” Regan kembali menatap ke depan.

Gita melirik lelaki di sebelahnya. Mencoba mencari pengalihan, karena ternyata Regan tidak bisa diajak curhat tentang hal ini. “Kamu tadi di lobi, nunggu Ody ya?”

“Yups.”

“Setiap hari?”

“Beberapa hari dia susah ditemui, padahal kami satu lantai. Apalagi tinggal sebelahan.”

“Kalian ada masalah?” tanyanya hati-hati.

“Ada.” Regan tersenyum. “Aku setengah mati kangen sama dia. Tapi nggak tahu ngomongnya gimana.”

“Kalian sering ketemu, tinggal bilang. Apa susahnya?”

“Kalau aja semudah itu. Tiap dia lihat aku, dari mukanya kelihatan dia pengin cepet-cepet kabur. Sama kayak tadi.”

“Ody ternyata rumit juga ya.”

“Semua perempuan rumit.” Regan mengoreksi. “Nggak adikku, nggak Ody, nggak kamu. Sama, ‘kan?”

Gita tertawa.

Tiba-tiba Regan baru menyadari sesuatu. Gita sudah menyebut hal ini dua kali dalam percakapan mereka. “Kamu lagi suka sama seseorang? Siapa?”

Gita menoleh kaget. Dia semakin terpaku ketika mata mereka bertemu. Regan menunggu jawaban darinya. Wajah lelaki itu tampak berbinar di atap yang temaram.

“Siapa? Kok aku nggak tahu?” ulangnya.

Menggosokkan kedua telapak tangannya yang dingin, Gita menatap ke arah lain. “Nanti juga tahu kok.”

“Jadi nggak dikasih tahu nih?”

“Aku ragu.”

“Kenapa?”

“Ada beberapa hal yang bikin aku mundur duluan.”

Beberapa saat, keduanya diam. Regan berniat mencairkan situasi. Dia tertawa kecil, bermaksud menggoda Gita. “Kalau cinta, ya perjuangkan, Git. Kenapa harus mun—”

“Dia mencintai perempuan lain, sebesar aku mencintai dia.”

Tawa di wajah Regan lenyap.

***




Makasih buat yg sabar nunggu cerita ini up. Dan maapkan aku yg suka ilang2an (biar dicari) 😄

Sabtu, 23/03/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top