25. Mencoba Memperbaiki

Kejutan update! 🐨🐨🐨

----------

Kotak besi berukuran 3 x 7 meter itu senyap dan dingin. Pendingin lebih menusuk tulang ketika hanya ada mereka berdua. Tadi tidak sengaja bertemu di lobi, padahal tidak janjian. Akhirnya pun terpaksa satu lift.

Saling membisu. Yang satu menatap angka di dinding-berharap angka cepat berganti. Yang satu sibuk membuka laman kabar terbaru. Mengupgrade berita yang mungkin dia lewatkan tanpa membaca koran di pagi hari.

Pukul lima pagi ketika mereka keluar dari lift. Adriana menghela napas lega. Seakan di dalam tadi dia menahan napas. Sementara Diana sudah menempelkan keycard di mesin detektor. Mesin itu berdenging, menolak akses.

"Masmu ganti password?"

Adriana tidak siap dengan pertanyaan itu. Wajahnya pasti terlihat bodoh. Pegangan tangannya di plastik semakin erat. "Mas Regan nggak bilang."

Diana langsung mengetuk pintu. Tiga kali. Tetap tidak dibuka.

Adriana tanpa disuruh mengeluarkan ponsel, mendial cepat. Terdengar nada sambung. Mengabaikan lift yang berdenting. Hingga dia mendengar deringan ponsel kakaknya dari arah belakang.

Keduanya menoleh galak. Regan yang hendak nyengir lebar, seketika menciut. Takut ditatap dua perempuan di depan apartemennya dengan tatapan laser.

"Kamu ganti passwordnya?"

"Iya, habisnya keycard-nya hilang, Ma."

"Terus Mas dari mana?" Adriana ikut menghakimi.

"Semalem nginep di rumah Kiki."

"Obatnya gimana? Kamu minum semalam?" Diana khawatir.

Dengan takut-takut, Regan menggeleng. Tapi dia cepat membela diri. "Jadi kemarin dari kantor, nggak sempet pulang. Sama temen kantor langsung diantar ke rumah Kiki. Karena kalau-"

"Alasan!" Adriana memotong galak.

Regan diam, tidak berani membela diri. Dia mendekat, menempelkan keycard yang baru sambil menerima tatapan curiga adiknya. Mamanya juga bersedekap. Sepertinya marah karena Regan lupa membawa obatnya.

"Besok check up pagi." Diana mengingatkan.

Adriana melangkah masuk lebih dulu, meletakkan barang belanjaan.

"Bukannya sore, Ma?"

"Tadi pihak rumah sakit telepon, dimajuin. Tapi, Mama besok pagi ada rapat direksi-"

"Aku sendiri nggak apa-apa." Regan segera mengerti. "Atau nggak, minta ditemenin Ody."

Dari kulkas yang terbuka, Adriana mencibir terang-terangan. "Ya kalau Kak Ody-nya mau."

"Harus mau."

"Aku free kok besok pagi." Seraya memasukkan beberapa buah ke kulkas. "Sama aku aja."

"Nggak usah, Dri. Daripada nemenin ke dokter, mending kamu ngerjain revisian."

Satu jeruk melayang. Diana menangkapnya tidak sengaja.

Adriana membeku.

"Kalian ini. Udah besar tapi masih kayak anak kecil." Diana meletakkan jeruk di atas kitchen island. "Nanti coba tanya Ody dulu, Re. Kalau pagi dia lebih fleksibel."

Regan menjulurkan lidah ke adiknya.

Diana membuat sarapan sederhana. Bubur oats dengan campuran madu. Sepanjang sarapan, Regan kembali membuka 'kesempatan' untuk mama dan adiknya. Tapi, sepertinya dia harus bersabar lagi. Tidak mudah mencairkan gunung es. Dari awal, dia bilang jika tidak berharap banyak. Tapi dia tidak ingin menutup kemungkinan.

Selesai sarapan, Regan berpindah ke sofa tengah. Adriana sedang fokus menggerus obat tabletnya. Mama sedang membereskan dapur-menyortir makanan beku di freezer.

"Kak Ody kalau Minggu bangun siang?" Adriana bertanya seraya mengulurkan sendok yang berisi gerusan obat.

Regan menerimanya. "Nggak tahu."

Ngomong-ngomong soal Ody, ini hari Minggu. Kemungkinan besar perempuan itu pulang ke rumahnya, atau justru ... tunggu sebentar, dia seperti melupakan sesuatu.

Menyingkirkan kaki Adriana yang ditumpukan ke kakinya, Regan mengambil ponsel di atas meja. Membuka chat yang belum terbaca. Seketika dia mendecak, lupa akan rencana hari ini. Padahal semalam Anto sudah mengingatkan.

"Ma,"

"Kenapa?" Diana menoleh.

"Aku harus jenguk bayi."

"Bayi siapa?" Adriana menengadah di punggung sofa.

"Ponakannya Ody."

"Aku antar, Mas." Dengan cepat, Adriana bangun dan mencari kuciran rambut.

"Nggak usah."

Gerakan mengucir Adriana terhenti. "Kenapa? Emangnya Mas Regan bisa nyetir sendiri?"

"Kiki udah otw. Aku-nya aja yang lupa."

Adriana kembali menghempaskan tubuh ke sofa. Regan masuk ke kamar, ganti baju dan mengambil dompet. Lantas mendekat ke mamanya, mengecup sebelah pipi. "Pergi dulu ya, Ma. Kiki udah di bawah."

"Hati-hati. Mama di sini sampai siang."

Regan mengangguk. Lalu beralih ke Adriana yang asyik menekuri ponsel seraya rebahan. Dia usil menyentil dahi adiknya, alih-alih mengecup pipi.

"Sakit tahu!!!"

***

"Lo ngapain pulang segala kalau ujung-ujungnya kita ketemu lagi? Belum juga tiga jam."

Regan memasang sabuk pengaman. "Gue setor muka dulu ke Mama sama Adriana."

"Dimarahin tadi?" Mobil melaju meninggalkan kawasan apartemen.

"Biasalah."

Kiki tidak bertanya lagi. Dia fokus menyetir. Regan sibuk menggulir chat di grup yang ribut sekali. Anto yang mengamuk karena para perempuan yang minta dijemput ke rumah masing-masing, bahkan belum mandi ketika dia datang.

Apa Regan tidak kepagian?

"Udah sarapan, Ki?"

"Udah."

"Mau sarapan lagi?"

Kiki melirik bingung. "Lo kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa."

"Oh, gue tahu."

"Apa? Jangan sok tahu."

"Grogi ya mau ketemu Ody?" Kiki tertawa memukul setir.

"Grogi apaan. Gue tiap hari juga ketemu kok."

"Ya tapi beda. Ini mau ketemu Ody dan keluarganya. Berasa mau lamaran ya?" Kiki tertawa lagi. Dia puas bisa menggoda Regan. "Lo sih malah pake hem. Pake batik dong, biar rapi. Biar kelihatan mau lamaran beneran."

Regan tahu, percuma saja membela diri ketika digoda Kiki. Lebih baik diamkan, biar saja sampai puas.

Hampir mendekati rumah Kinan, Regan semakin berdebar. Kiki benar. Rasanya seperti ingin melamar Ody saja. Atau justru sebaliknya, Regan malu bertemu dengan keluarga Ody setelah apa yang dia lakukan.

Tepat ketika mobil Kiki memasuki halaman, rombongan Anto juga datang. Kiki seketika menyugar rambut menyambut kedatangan para perempuan dari divisi Regan, yang tentu saja memilih fokus ke Regan.

Kiki tetap memaksa menyalami mereka. "Kenalin, gue Kiki. Sohibnya Regan."

Demi sopan santun, mereka menyalami Kiki. Sudah. Begitu saja. Kiki yang bersiap membuka mulut, harus menerima kekalahan sebelum maju berperang.

Mereka masih di halaman. Anto membuka bagasi, mengeluarkan hadiah untuk Anggun. Hasil patungan mereka kemarin. Dibelikan beberapa macam peralatan bayi. Banyak. Hingga memenuhi bagasi. Tak apa. Demi keponakan bersama.

"Masih sepi ya?"

"Kita datang kepagian?"

"Anto sih! Ngeburu-buru. Eyeliner gue jadi tebel sebelah ini."

"Alis gue juga panjang sebelah!"

"Lipstik gue sampe ke gigi!"

Anto pura-pura cool.

"Sumpah, anjir. Tiap hari begini pemandangan lo?" Kiki berbisik.

Regan mengangguk.

"Apa perlu gue nyamar jadi orang culun terus masuk ke divisi cewek cantik di kantor gue?" bisiknya lagi.

Regan menoleh dengan jengah. Sempat berpikir jika jabatan CEO membuat sahabatnya ini tekanan batin, alih-alih gemilang. Semakin hari, kalimat yang keluar dari mulutnya semakin absurd.

"Teman-temannya Mbak Anggun?"

Suara itu menarik semua perhatian.

Yaya menggumam. "Kayak pernah lihat."

"Jangan lupa napas." Kiki menyenggol lengan Regan pelan.

Regan tersenyum ketika Ody dengan wajah ramah mendekat. Dengan tunik putih dan celana kain mocca, Ody terlihat cantik. Meski baginya, Ody yang biasa tetap cantik. Kali ini ada sedikit riasan di wajahnya.

Ody menyalami satu per satu seraya mengenalkan diri. Termasuk Anto yang memasang wajah terkesima. Regan menatapnya kesal. Untung ada Kiki yang berdiri di antara mereka.

"Setahu gue Mbak Anggun nggak punya adik."

"Aku adik iparnya."

"Kita kayak pernah ketemu."

Ody mencoba mengingat. "Oh iya, waktu itu kita ketemu di lift."

"Wah, bener. Pantes nggak asing."

Kiki berdeham. "Fyi, Ody ini calonnya Regan hlo."

Anto tersenyum penuh makna saat para perempuan menahan napas-sekaligus menahan jeritan.

Regan menatap Ody. Memperhatikan reaksi perempuan itu. Tapi wajah itu terlihat tenang, tanpa ekspresi apa pun.

"Bukan." Ody mengibaskan tangan, tersenyum. "Jangan percaya sama Kiki, ya. Dia suka sebar hoax."

Ya, tanggapan Ody memang begitu seharusnya. Regan harusnya tidak kecewa. Jelas-jelas Ody menjawabnya seraya tersenyum. Apalagi Kiki mengatakannya dengan iseng, tanpa berpikir situasi, seperti biasanya.

"Eh, ayo masuk. Kenapa jadi ngobrol di sini." Ody tergelak.

Anggun menyambut di depan pintu. Mencium pipi para perempuan berisik di divisinya. Kiki membantu Anto membawa barang bawaan. Regan ingin membantu tapi Kiki menolak tegas.

Mereka duduk melingkar di ruang depan yang sudah dibentangkan karpet. Sofa-sofa sementara dipindahkan ke garasi.

"Acara jam berapa? Kita kepagian ya, Mbak?"

"Dua jam lagi. Nggak kepagian kok. Udah pada sarapan belum?"

Anto hendak menjawab, tapi Tania mencubit lengannya.

"Udah kok, Mbak. Udah." Yaya buru-buru menjawab sebelum Anggun berdiri.

"Eh, serius hlo ya. Kalau belum, ambil sendiri ke belakang. Anggap aja rumah sendiri."

"Dah, nggak usah. Kita ngobrol di sini aja, Mbak."

Kinan lantas muncul, mengembangkan senyum dan menyalami teman-teman istrinya. Bergabung sebentar, mengobrol beberapa hal.

"Mbak, pengin lihat Baby Kina dong." Yaya menyela di antara pembicaraan.

Bersamaan dengan Ody yang muncul seraya menggendong Kina. Diikuti Kenzi yang setia mengekori Ody-memegang ujung tuniknya.

Regan memperhatikan bagaimana Ody menggendong Kina. Dengan hati-hati, Ody memindahkan Kina ke pangkuan Anggun. Ada bantal kecil sebagai alas. Kina masih lelap. Semua mendekat dengan antusias. Ingin menoel pipinya yang kemerahan tapi tidak tega-takut membangunkan.

"Lucu banget sih, Mbak."

"Cantik."

"Ini sih semuanya mirip Mas Kinan."

"Iya, maklum. Anak cewek. Mirip bapaknya." Anggun tertawa. "Tuh, yang mirip sama aku, malah nempel ke tantenya terus."

Kenzi yang baru bangun tidur, masih rewel. Minta ditepuk-tepuk punggungnya. Ody selalu siaga jika Kenzi mode rewel begini. Bahkan tadi ngambek, tidak mau menyalami teman-teman mamanya.

Ody masih membujuk Kenzi di pangkuannya. Berbisik. "Abang, itu teman-temannya Mama udah jauh-jauh jenguk Dedek Kina hlo. Masa' nggak mau nyalamin?"

Semua orang rumah mulai membiasakan memanggil Kenzi dengan embel-embel 'abang'. Sekaligus menyadarkan Kenzi jika dia sudah punya adik sekarang. Meski sejak hamil, Mbak Anggun sudah mengenalkan Kenzi pada sang adik.

Ody kira Kenzi masih ngambek. Tapi setelah mengucek mata, Kenzi bangkit dari pangkuannya. Melangkah ke lingkaran teman-teman mamanya.

Yang pertama menyambut adalah Regan. Karena sejak tadi dia memusatkan perhatiannya ke Ody. Dia juga melihat bagaimana Ody mencoba membujuk Kenzi.

"Halo Ganteng, namanya siapa?" Regan bertanya ramah.

"Kenji, Om." Kenzi meraih tangan Regan dan membawanya ke pipi kanan.

"Tangan Om cakit?" tanyanya polos.

"Iya." Regan masih menahan tangan Kenzi. "Kenzi kalau main harus hati-hati, ya. Biar nggak sakit begini."

Dengan polos, Kenzi mengangguk. Lalu beralih ke Kiki. Untung tidak kena usil. Kenzi berlanjut menyalami yang lain.

Memang tidak dijaili Kiki, tapi tetap saja dijaili Tania dan kawan-kawan.

"Kenzi, cepet gede dong."

"Anakmu calon-calon ganteng ini, Mbak."

"Anak gue masih kecil. Jangan halu kejauhan." Anggun menyergah.

"Bibit unggul. Bakal jadi idaman sekantor."

"Kenzi, Kenzi, tembak aku dong."

Kenzi membentuk jemarinya seperti pistol, kemudian mengarahkannya pada Yaya. Bibir kecilnya mendesis. "Pyussss. Dolll!"

Seketika semua orang tertawa. Kenzi yang malu, segera berbalik dan menghambur ke Ody yang juga terpingkal. Ody nyaris terjengkang karena Kenzi memeluknya erat-erat.

Regan menyimpan tawa itu.

Tawa yang menghangatkan hati.

***


Ketuk. Tidak. Ketuk. Tidak. Ketuk. Tidak.

Dia sudah mondar-mandir di depan apartemen Ody sejak lima menit yang lalu. Kemarin saja dia sangat yakin jika pagi ini Ody bisa menemaninya check-up. Tapi setelah dipikir lagi, apa tidak terlalu percaya diri? Dan lagi, dia akan merepotkan perempuan itu.

Regan menyerah. Dia mendial nomor Adriana seraya melangkah ke lift. Ketika suara adiknya muncul di seberang sana, Regan menahan lift agar tetap terbuka. Ody melangkah ke arahnya.

"Mas? Halo?"

"Dy, dijemput atau naik taksi dan sebagainya?"

"Naik bus."

"Buru-buru ... nggak?"

Ody melihat jam di tangan. "Nggak. Kenapa?"

Regan membasahi bibir. Sialan. Dia gugup. "Anu ... itu ...."

"Apa?"

"Kamu bisa nyetir?"

Kening Ody otomatis mengernyit. Tapi tetap menjawab. "Bisa. Tapi mungkin bakal ditilang."

Baiklah. Regan tidak heran. Ody selama ini dikelilingi orang-orang yang siaga mengantar dan menjemput. Jadi dia maklum.

"Aku boleh bareng kamu naik bus?"

"Boleh."

Lift berdenting. Pintunya membuka ke kedua sisi. Ody melangkah keluar sambil mengecek ponsel.

Mereka duduk di halte yang lumayan sepi. Duduk dengan jarak tiga jengkal. Ody mengeluarkan sepasang earphone.

Sementara Regan lupa jika ponselnya masih tersambung dengan adiknya. Dia menempelkan ponsel ke telinga. Merasa bodoh karena lupa mematikannya tadi.

"Udah di restoran, Dri?"

"Di kampus, Mas."

"Ngapain?"

"Nunggu dosen sambil dengerin orang yang lagi usaha pedekate sama first love-nya tapi kayaknya gagal."

Regan memejamkan mata. Menahan diri tidak mengumpat.

"Dri, dengar baik-baik. Mas mungkin cuma bilang ini sekali aja."

"Apa?"

"Mas restuin kamu sama Kiki."

"NO. THANKS."

Regan mematikan sambungan seraya tertawa kecil. Dia juga tidak bisa membayangkan bagaimana jika Kiki sungguhan dengan adiknya. Kalau itu Ari, mungkin akan dia pertimbangkan. Tapi sepertinya tidak mungkin Ari.

Sebuah bus merapat. Ody dan Regan berdiri. Bus yang agak penuh membuat mereka duduk sebangku.

Regan mati-matian menahan debaran jantungnya agar tidak terdengar oleh perempuan di sebelahnya.

***

Adriana: Kak Ody, kalo gk buru2, boleh minta tolong? Itu lelaki di sebelahmu, mau check up, tp gk ada yg bisa nemenin. Tlg temenin ya. RSnya searah sm kantormu, kak. Thx :)

Ody segera melepas earphone dan menyadari jika Regan sudah tidak di sampingnya lagi.

Kapan lelaki itu turun dari bus?

Dia cepat-cepat berdiri dan menekan tombol di dekat pintu, yang menandakan jika dia hendak turun. Menempelkan e-card dengan cepat pula.

Regan sudah tak terlihat di halaman rumah sakit yang besar sekali itu. Ody sampai ngos-ngosan untuk tiba di lobi utama. Dia menanyakan keberadaan Regan pada petugas. Kemudian diberi arahan untuk ke gedung sebelah, yang jaraknya pun ampun-ampunan.

Sampai di gedung yang dimaksud, Ody menarik napas dalam-dalam. Dia memang sudah lama tidak berolahraga. Tapi mengitari rumah sakit ini lebih berat ketimbang berdesakan dengan para demonstran.

Sesuai instruksi. Dia harus masuk gedung itu. Lurus terus. Lantas belok kanan. Persimpangan kedua, belok kiri. Dan sampai. Ody menumpukan kedua tangan di lutut sebelum menghampiri Regan yang sudah duduk, menunggu antrean.

"Dy?"

"Sumpah, gila. Mending ditilang daripada turun dari bus terus jalan ke sini."

Regan tersenyum. Dia bergeser. Memberi tempat Ody untuk duduk.

"Kamu tahu aku ke sini?"

"Adriana chat aku." Ody mengipasi diri. "Dapat antrean nomor berapa?"

"Sepuluh. Tapi serius kamu nggak sibuk?" Regan merasa tidak enak. Apalagi melihat Ody yang kecapekan seperti habis lari maraton.

Ody menggeleng.

Bahkan ketika masuk ke ruangan dokter. Ody harus diberi kejutan. "Istrinya Pak Regan?"

"Aku di luar aja deh." Ody siap berbalik. Tapi Regan berhasil menahannya.

Jadi Ody harus ikut duduk dan mendengar dokter-setengah baya dengan alis tebal-menjelaskan gambar di layar monitornya. Hasil rontgen tangan Regan terbaru. Dia turut mendengarkan saksama meski tidak begitu paham dengan bahasa medis.

Intinya, gips di tangan kiri Regan bisa dilepas setelah check-up sekali lagi.

"Dok, kalau bisa, kasih obat sirup aja." Regan menyela ketika dokter menuliskan resep di selembar kertas.

"Masih kesusahan nelan obat tablet dan kapsul?"

Regan memasang wajah sedih.

Dokter itu tiba-tiba menatap Ody. "Bu Regan, tolong pastikan Pak Regan bisa meminum obat tablet dan kapsul ya."

Ody mengangguk dengan bodohnya. Tapi seketika merutuki diri sendiri di dalam hati. Bagaimana dia bisa dengan mudahnya mengangguk? Bah!

Keluar dari ruangan dokter, Ody mengambil resep dari tangan Regan. Dalam perjalanan ke sini, tadi dia melihat tulisan apotek.

"Dy, apotek belok yang sini. Bukan sana." Regan menahan senyum melihat Ody berhenti dan cepat berbalik ke arahnya.

Wajah perempuan itu bersemu merah.

***

----------

Bab selanjutnya belum diketik. Jangan minta boom update 😹

Diketik: 04/03/19
Dipublish: 07/03/19

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top