24. Tentang Hati
Gak sempet mindah ke lepi, gengs. Jadi tulisan apa adanya versi note hp yak. Hepi reading. ❤
—————
"Seriusan, Dy, daripada nyicil apartemen, mending beli mobil kemarin. Ke mana-mana nggak usah dijemput."
"Gue turut ngasih penghasilan buat sopir taksi dan bus hlo, Mbak."
"Lo mau ke Bandung naik taksi atau bus juga?"
"Jadi nggak ikhlas nih jemput?!"
"Nggak ikhlas-lah. Gue 'kan harusnya nebeng Papa Mama semalem. Lo semalem dihubungi susah. Gue terpaksa nyetir pagi-pagi."
Nyinyiran Maya dan kemacetan di pagi hari bukanlah perpaduan yang pas. Dengan mata yang masih segaris, Ody harus mendengar kakaknya berkomentar seperti biasa. Mengomentari apa saja. Berujung pada omelan tidak jelas. Apakah selamanya kakaknya harus berkomunikasi dengannya dengan cara seperti ini?
Sejak dulu sudah begini. Jadi, sekali lagi, Ody mencoba maklum dan sabar.
"Target utama gue 'kan apartemen, Mbak."
"Jangan sok idealis. Lo nggak cocok."
"Bukan idealis. Tapi bertahap gitu."
"Oh iya. Gue inget. Waktu itu lo mau beli mobil tapi dilarang Mas Dipta 'kan?" Maya terkekeh. "Biar apa? Biar dia bisa antar-jemput lo."
Ody diam saja. Meski sudah keki setengah mati.
"Jadi gimana kehilangan sopir kesayangan, heh?" Masih saja. Padahal Ody sudah mengalah dan diam.
"Biasa aja."
"Eh, eh. Gimana bisa Regan tetanggaan sama lo gitu?" Maya membanting topik. Teringat dengan Regan yang muncul di pintu tadi, persis di sebelah apartemen Ody.
"Nggak tahu." Ody menatap keluar jendela. "Mbak Anggun beneran mau normal lagi?"
"Keputusannya masih nanti, setelah dicek lagi. Kalau Mas Kinan sih udah setuju dari dulu-dulu. Mbak Anggun-nya nih yang masih ngotot pengin normal."
Jadi, inilah alasan Ody sekarang duduk di mobil bersama Maya. Pagi-pagi membelah kepadatan jalanan ibu kota, memasuki tol luar kota, menuju Bandung. Jika dulu Kenzi lahir di Jakarta, maka kali ini calon adiknya Kenzi lahir di Bandung. Atas keinginan dari pihak keluarga Mbak Anggun.
"Mbak, sarapan dulu bisa? Gue dari semalem belum makan."
Di rest area, Maya menepikan mobilnya. Sebelum keluar dari mobil, dia sempat nyinyir lagi. "Ketimbang kelihatan kayak orang lapar, lo lebih kelihatan galau. Lo mulai galau ya tetanggaan sama Regan?"
Ody melirik kesal. Menahan diri tidak menjambak rambut kakaknya.
***
Sampai di rumah sakit bersalin yang cukup besar di Bandung, persis ketika Anggun masuk ke ruang operasi. Kinan tersenyum lebar, sedikit cemas, menyambut kedatangan dua adiknya.
"Yaah, lo gagal jadi samsak jilid dua, Dy." Maya kemudian mencari tempat duduk.
Ody mengabaikan. Di balik Kinan yang masih berdiri di depannya, beberapa meter dari tempatnya berdiri, dia mendengar suara itu. Ody memiringkan kepala untuk memastikan. Kinan menoleh, lalu menatap adiknya.
Dipta sedang mengobrol dengan papa.
"Dipta baru balik dari Ausie. Nggak tahu siapa yang ngabarin Anggun mau lahiran. Aku juga kaget dia tiba-tiba ke sini." Kinan menepuk bahu adiknya. "Karena dokter menyarankan caesar, aku udah tenang, Dy. Selesaikan yang pengin kamu selesaikan."
Tatapan Ody akhirnya bertemu dengan Dipta.
"Mas," lirihnya pada Kinan ketika Dipta berdiri dan menuju ke arahnya.
"Kalian perlu bicara." Kinan tersenyum, meyakinkan.
Di salah satu koridor rumah sakit yang sepi, mereka berdiri di sana. Menatap langit siang yang kelabu lewat dinding kaca. Mendung, tapi belum hujan.
"Regan apa kabar?" Pertanyaan itu mengawali percakapan.
Ody menunduk. "Sudah membaik."
Dipta tersenyum, melihat Ody yang menunduk sekilas sebelum kembali ke depan. "Aku turut senang mendengarnya."
"Mas ke Ausie? Sejak kapan?"
"Setelah dari klinik waktu itu, aku berangkat."
"Soal kemarin lusa ... waktu Mas Dipta telepon. Aku ...."
"Aku dengar, Dy. Tapi aku bisa apa?" Dipta menghela napas. "Bukannya memang seharusnya begitu? Regan harus bilang itu. Karena memang kenyataannya begitu."
Rasa bersalah Ody kian bertumpuk-tumpuk di hati. Sesak. "Hal apa yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahan, Mas?"
"Kesalahan apa? Bukan salah kamu sepenuhnya, Dy. Berhenti memasang wajah penuh dosa begitu." Meski setengah bercanda, Dipta tidak bisa menutupi lukanya sendiri. "Kalau mau cari siapa yang salah, aku-lah yang salah. Aku sudah diperingatkan Kinan sejak awal. Tapi aku tetap maju."
"Mas Dipta nggak salah apa-apa." Seraya mengusap sebelah pipinya yang basah.
"Aku mengabaikan perasaan kamu yang sebenarnya dan tetap memaksakan tentang kita. Aku tahu bagaimana kamu melihatku selama ini. Tatapan yang juga kamu berikan untuk Kinan. Sayang seorang adik perempuan pada kakak lelakinya. Sebatas itu." Dipta menghela napas. "Bodohnya, aku tetap mengabaikan dan terus berharap. Maaf, Dy, kalau selama ini kamu merasa terbebani dengan keberadaanku."
Ody menggeleng seiring dengan tangis yang gagal dia redam.
"Tahun-tahun yang aku lewati sama kamu, semuanya menyenangkan, Dy. Kamu nggak salah, karena aku yang maju. Kamu nggak pernah minta ditunggu. Aku sendiri yang memilih nunggu. Sejak awal, aku tahu hal ini mungkin akan terjadi. Aku bisa kehilangan kamu sewaktu-waktu." Dipta mengusap wajah. Tangisan Ody mengusiknya. Dia ingin bergerak, memeluknya. Tapi tidak bisa. "Hanya saja, aku nggak tahu kalau secepat ini aku kehilangan kamu."
Dipta menatap kepala Ody yang menunduk menyembunyikan air mata. "Aku sangat menghargai segala usaha yang kamu lakukan untuk menerimaku, Dy. Melupakan Regan tidak semudah itu, 'kan? Maaf sudah memaksamu untuk melangkah bersama."
Dipta tidak mau naif. Bertahun-tahun dia menghabiskan banyak waktu dengan Ody, tapi tidak lantas bisa mengubah isi hatinya. Dia sadar diri setelah Kinan mencoba memperingatkan. Dari banyaknya ketidakpastian, jauh di lubuk hatinya, Dipta berharap suatu hari Ody akan membalas segala perasaannya. Setitik asa yang membuatnya terus maju. Dalam beberapa situasi, dia merasa menang. Merasa kebahagiaan yang dia tunggu tinggal selangkah lagi.
"Dy, udahan dong nangisnya."
Ody tetap menangis. Dipta menahan diri tetap di tempatnya.
"Aku janji akan menemukan perempuan yang membuatku bahagia. Perempuan yang akan mencintaiku." Dipta akhirnya hanya meraih sebelah tangan Ody. Menggenggamnya lembut. "Dy ... berhenti merasa bersalah. Yang terjadi kemarin, biar jadi pelajaran untuk kita. Ke depannya semoga kamu semakin dewasa dan bisa mengerti yang hatimu inginkan. Dan untukku, semoga aku bisa menemukan perempuan yang secantik kamu."
Di sela tangisnya, Ody tertawa.
Seraya mengusap pipi, Ody berkata. "Yang jauh lebih cantik dari aku banyak kok."
"Cantik itu relatif tahu, Dy." Dipta merasa lebih lega. Ody sudah berhenti menangis. "Bagi kami, kaum lelaki, cantik bukan hanya soal wajah sempurna tanpa jerawat. Bukan kulit semulus barbie. Lebih dari itu. Hati punya aturan sendiri."
"Dulu kenapa Mas Dipta nggak suka Mbak Maya?" Ody penasaran dengan hal ini sejak lama.
"Kalau aku sama kakakmu, kira-kira sekarang bakal gimana?"
"Kalian bakal menikah, maybe." Ody mengangkat bahu.
"Kinan itu kayak ember bocor kalau ceritain tentang adik-adik perempuannya." Dipta tertawa kecil.
"Jadi kenapa bukan Mbak Maya, Mas?"
"Masalah hati, Dy. Kadang rumit kalau dijelasin."
Rumit, ya? Apakah serumit yang dia rasakan sekarang? Di satu sisi, dia lega bisa meluruskan beberapa hal dengan Mas Dipta. Dia senang ketika hatinya mulai jujur. Tapi di sisi yang lain, dia tidak mengerti. Sisi yang selama ini dia paksa mati suri.
"Apa pun yang terjadi, kita tetap bisa menjadi teman, Dy." Dipta meraih tangan kiri Ody. Menatap kilauan cincin di jari tengah. "Ikuti kata hatimu, Dy. Jangan terusan lari. Regan sudah di sini. Orang yang kamu tunggu selama ini."
Namun apakah ini adil untuk Dipta? Ody tidak bisa berbahagia begitu saja di atas sakit hati Dipta—lelaki yang selama ini dia hormati layaknya Kinan.
Dipta menarik cincin itu seraya membesarkan hati sekali lagi. Dia sadar diri, bahwa ini sudah tiba waktunya untuk menyerah dan melepas Ody. Bahwa besok-besok barangkali sudah tidak ada harapan. Dia juga tidak ingin egois dengan menahan Ody di sisinya. Karena cintanya memang tidak cukup untuk membuat perempuan ini bertahan. Tahun-tahun yang dia sangka akan mampu membuat hati Ody berpaling, nyatanya tidak.
"Kenapa Mas sebaik ini?"
Dipta mendekat selangkah, memeluk bahu Ody dengan satu tangannya. "Jangan nangis lagi."
"Kenapa aku juga sebodoh ini?" Ody mulai merutuki diri sendiri. "Aku seharusnya bisa mencintai kamu. Melupakan masa lalu. Menata masa depan dengan orang sebaik Mas Dipta. Tapi lihat, aku bikin keputusan yang menyakiti kamu."
"Aku memang tersakiti. Tapi mungkin nggak sebanding sama apa yang kamu rasakan, Dy." Tangannya naik ke kapala Ody, mengusapnya lembut. "Semua orang akan bodoh jika menyangkut soal cinta. Kalau dipikir, aku juga bodoh. Aku bersedia nunggu perempuan yang nggak pernah bisa aku miliki."
Ody bergerak, menenggelamkan wajah di bahu Dipta. "Aku malu sama Mas."
"Terus habis gini kamu mau menjauh gitu?" Dipta menepuk-nepuk punggung Ody. "Jangan ya. Jangan menjauh. Anggap aja aku pengganti Kinan."
"Bukannya itu berat, Mas? Lebih baik aku menjauh."
Dipta mengeratkan pelukannya. "Selama di Ausie, selain kerja, aku juga memikirkan beberapa hal tentang kita. Aku sempat berpikir untuk pulang ke Lampung atau aku tetap di sini dan selalu ketemu sama kamu. Pekerjaan di sini belum selesai, jadi nggak bisa begitu aja pulang. Lalu aku juga mikir, nggak etis kalau aku tiba-tiba menjauh, sementara kamu sekeluarga sudah seperti rumah untukku."
Ody tidak bisa berkata-kata.
"Jadi, Dy, maaf ya sudah membuat kita sejauh ini. Sejak awal, aku harusnya cukup jadi teman kakakmu. Aku yakin, status itu sudah cukup untuk terus berada di samping kamu. Tanpa menyakiti kamu."
Tangisan Ody kembali pecah. Bahunya bahkan bergetar. Dipta menepuk-nepuk punggungnya lagi dengan sabar.
***
"BABY GIRL!"
Teriakan itu cukup untuk membuat goresan pensil Regan di atas kertas karton melenceng dari jalur. Selalu saja begini. Tapi lama-lama dia akrab dengan kebisingan di lantai ini.
"Woaaaah, Kenzi punya adik cewek! Sempurna banget sih. Duh, gue jadi pengin nikah."
"Sana cari suami dulu."
"Jangan diingetin dong. Sedih nih."
"Regan!"
"Apa?" sahut Regan tanpa menoleh.
"Nikah, yuk?"
"Wah, lo mau nikung Regan dari gue? Sini lo sini!"
"Emang gue takut? Lo yang ke sini!"
Regan menghela napas. Menoleh ke meja Anto. "Mas, ngopi?"
Anto melepas bantal leher dan berdiri. Regan menyusul. Mereka masuk ke pantri di lantai itu. Anto menarik kursi ke jendela, membuka kacanya dan mulai menyulut rokok.
"Disabar-sabarin aja. Kelakuan para perempuan di lantai ini emang haus kasih sayang."
Regan tertawa, ikut menarik kursi ke dekat jendela. Menggeleng ketika Anto menawarinya rokok.
"Kalau soal itu sih udah biasa, Mas."
Anto menepuk jidat. "Iya ya, gue lupa. Lo pasti jaman sekolah juga udah banyak penggemar. Udah biasa ya digombal-gombalin receh kayak tadi?"
"Sejak TK." Regan menambahi.
"Receh lo."
"Eh, anak-anak kantor mau jenguk ke Bandung, Mas?"
"Belum baca grup?"
Regan meringis. Dia malas panjat chat.
"Katanya pas syukuran di rumah Jakarta aja." Anto beralih ke tangan kiri Regan. "Masih sakit, Re?"
"Kalau kedinginan suka nyeri, Mas."
Dalam ingatannya, Regan yang ditemukan di bawah reruntuhan bangunan, masih membuat Anto ngilu. Dia ingin mengenyahkan ingatan itu, tapi tetap saja membekas. Bahkan dia sempat merasa bersalah.
"Mas, udahlah, gue baik-baik aja kok." Regan mengerti apa yang sedang Anto pikirkan.
"Ngomong-ngomong, perempuan itu siapa?"
"Yang mana?"
"Yang nangis pas lo ditandu ke ambulans."
Regan tersenyum. Hanya tersenyum. Tidak menjawab.
"Curiga gue." Anto menatap sengit. "Pantes aja nggak pernah mempan direcehin para perempuan di sini, tahunya udah punya pawang sendiri. Gue sebenernya udah nebak sejak awal. Mana mungkin lo seganteng ini jomblo mengenaskan. Nggak mungkin."
"Gue emang jomblo kok, Mas."
"Diem! Lo nggak usah nyindir gue." Anto mendecak. "Anak mana?"
Regan tersenyum lagi. Persis anak remaja kasmaran. Anto menatap geli. "Kapan-kapan ajak ke sini. Biar pada patah hati massal. Gue suka keributan."
***
Dah ya. Aku minggu ini kan rajin update. Minggu besok mau ngilang dulu yaa🐨
Jangan kangen 😝
Minggu, 03 Maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top