23. Jangan Bercanda!


🎶 Waktu yang Salah—Fiersa Besari (covered by Della Firdatia)


“Dri, bisa kupas bawangnya?”

Adriana menoleh ragu. Regan menghentikan tangannya yang menekan remot TV. Dia menatap mama dan adiknya secara bergantian.

Melihat adiknya yang masih mematung, Regan menyenggol bahunya. “Tuh, bantuin Mama masak.”

“Ma, Adriana punya restoran hlo.”

Diana tetap memotong wortel dengan santai. “Oh ya?”

“Iya.” Lirih sekali.

“Re, coba ajak Ody makan malam.”

“Mungkin udah tidur, Ma.”

“Dicoba dulu.”

Regan berdiri setelah berpikir sebentar. Sampai di depan apartemen Ody, dia mengetuk dengan tangan kiri. Ketukan kedua, pintu terbuka. Ody muncul dengan rambut basah. Baru selesai mandi.

“Boleh masuk?”

Ody terlihat ragu.

“Boleh masuk?” ulangnya lagi. “Pintunya dibuka aja.”

Ody mundur, membuka pintu lebih lebar.

“Mama ngajak makan malam.” Regan duduk di sofa tanpa disuruh. Dia harus di sini lebih lama.

“Maaf, aku udah kenyang.”

Lalu suara perut Ody mematahkan kalimatnya sendiri. Regan menahan senyum.

“Oke, lima menit lagi aku ke sana.” Setelah merasa tidak bisa menolak tawaran itu.

“Belum matang.”

Terus kenapa lelaki ini duduk di sini? Untuk apa?

“Mama dan Adriana butuh ruang berdua.”

Akhirnya Ody mengerti. Dia tidak lagi bertanya-tanya. Justru dengan cuek mengambil handuk dan sisir lalu duduk di sofa, berhadapan dengan Regan, terpisahkan oleh meja kaca.

“Selama di rumah sakit gimana?” Ody bertanya, tidak sengaja.

“Kayak dua orang asing.” Regan tersenyum getir. Dia menatap Ody yang masih sibuk mengeringkan rambut dengan handuk. “Kalau pas aku koma, mereka begitu juga ya?”

Gerakan tangan Ody terhenti. Dari sela rambut, dia mengerjap. Menjawab diplomatis, “Bukannya mereka dari lama begitu ya?”

Sejenak Regan mengedarkan pandangan. Apartemen ini terlalu simpel untuk ukuran seorang perempuan. Ody masih sama. Tidak terlalu feminin. Bahkan cenderung cuek dengan urusan seperti ini.

“Aku ingin hubungan mereka mencair. Meski aku nggak bisa berharap banyak. Adriana selama ini nyaman dengan keluarganya. Mereka sudah nyaman dengan hidup masing-masing.”

Ody sangat paham. Meski lelaki ini bilang begitu, dia pastilah tetap berharap jika mamanya dan Adriana bisa dekat. Layaknya ibu dan anak perempuan. Tidak ada apa pun yang bisa menyangkal jika mereka sedarah. Sekali pun waktu sudah membentang kian jauh. Mengubah banyak hal.

Masih membiarkan rambutnya acak-acakan setelah dikeringkan, Ody meraih ponsel di atas meja. Dia membuka aplikasi chat, kembali mengetik beberapa kalimat. Dia tidak bosan menghubungi Mas Dipta.

Terakhir dia bertemu dengan lelaki itu adalah hari di mana dia pingsan di lobi. Yang artinya mereka hanya bertemu di klinik. Setelah itu, Mas Dipta seperti ditelan bumi. Bukan Ody tidak berusaha untuk mencarinya. Dia sudah mendatangi kantor Mas Dipta, tapi tidak pernah bisa menemui lelaki itu. Mencoba mendatangi apartemennya, tapi kosong.

Apa mungkin Mas Dipta pulang ke Lampung?

“Dy?”

“Hm?”

“Kok nggak dijawab?”

Kening Ody berkerut. “Sori. Tanya apa tadi?”

“Kamu ... masih memimpikan rumah di tepi pantai?”

Ody harus menjawab apa? Kenapa lelaki ini melempar pertanyaan seperti ini? Sudah lama dia mengubur impian itu. Mungkin karena pekerjaan yang membuatnya terbiasa dengan keramaian. Hingga pada akhirnya dia lupa dengan tempat yang tenang dan damai—yang sempat dia impikan.

“Nggak terlalu.”

“Oh.”

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa.”

Situasi semakin canggung. Ody tetap berusaha fokus ke layar ponsel. Meski dia bisa merasakan sepasang mata sedang menatapnya lurus-lurus.

“Beberapa hari yang lalu, kamu datang ke rumah sakit ... kenapa nggak masuk ke ruanganku?”

Ponsel di tangan Ody meluncur ke karpet.

“Oh, itu ....” Ody mencoba mencari alasan—alih-alih mengingat—sambil mengambil ponselnya. “Nyari Rana, tapi belum datang. Terus Daffa telepon. Ada artis yang masuk bui lagi. Jadi harus buru-buru ke Kapolda.”

“Daffa siapa?”

Eh? Ody menelan ludah. Sedikit panik. Dari sekian pertanyaan, kenapa Regan lebih tertarik bertanya soal Daffa-siapa? Ody pikir lelaki ini masih akan merongrong alasan-kenapa-dia-tidak-menjenguk.

“Temen kerja.”

“Yakin?”

Ody menatap lelah. Dia sedang diinterogasi atau bagaimana? Yang ada, seharusnya dia yang menginterogasi Regan atas banyak hal selama hampir tujuh tahun ini.

Ponselnya yang bergetar memutus tatapan mereka. Ody mengusap layar. Mendapati balasan yang dia tunggu.

Mas Dipta: Kamu nyari aku, Dy?

Baru akan mengetikkan balasan, ponselnya bergetar lagi. Kali ini panggilan masuk. Tanpa berpikir panjang, Ody menggeser ikon hijau.

“Dy, aku cinta sama kamu.”

Untuk yang kedua kali, ponsel lepas dari tangan Ody. Sebelum menempel di telinga, benda pipih itu meluncur begitu saja.

Ody ternganga menatap lelaki di depannya. Sulit dipercaya.

“Bilang apa kamu, Re?”

“Aku cinta sama kamu.”

“Bilang sekali lagi.”

“Aku cinta kamu.”

“Jangan bercanda!”

“Aku serius.” Regan berkata tegas. Menatap Ody dalam. Tidak membiarkan Ody melepas pandangannya. “Jadi, berhenti mencemaskan lelaki lain. Berhenti tersenyum dengan lelaki lain. Dan berhenti mencintai lelaki lain.”

Ody ingin menampar dirinya sendiri demi meyakinkan jika dia salah dengar. Peduli setan dengan wajahnya yang terlihat bodoh.
Ponsel yang masih tergeletak di atas karpet sudah redup layarnya. Ody membiarkan.

“Makan malam sudah sia—” Kalimat Adriana menggantung. Dia berhenti di pintu yang terbuka. Sedikit bingung dengan situasi antara kakaknya dengan Ody. Keduanya hanya saling tatap dalam diam.

“Kenapa, Dri?” Regan bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

“Makan malam udah siap.” Adriana mengulangi lirih.

Ody tersenyum ke arahnya. Seraya meraih ponsel, dia berdiri meninggalkan sofa. Lupa menyisir rambutnya yang awut-awutan, dia mengikuti langkah Adriana.

Regan sempat tersenyum sebelum bangkit dari sofa. Ditatapnya punggung Ody sebelum duduk di meja makan. Mari lihat, seberapa pengaruhnya kalimat tadi untuk perempuan ini.

Meja makan yang berukuran tidak terlalu besar itu diisi oleh percakapan Ody dan Diana. Entah menggosipkan siapa, Regan tidak kenal dengan nama-nama yang disebut. Mungkin rekan kerja Diana yang kebetulan Ody kenal.

Menyadari jika mereka sudah roaming, tanpa perlu dikode, Ody menoleh ke Adriana yang duduk di sebelahnya. “Restoran gimana? Lancar jaya?”

“Lancar jaya. Kemarin ngerekrut tiga karyawan.” Regan sengaja menjawab agar Ody mau menoleh ke arahnya.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Regan tetap lekat memandangi Ody. Sementara yang ditatap, memilih menunggu jawaban Adriana sendiri.

“Seperti yang dibilang Mas Regan.”

Regan melihat bibir itu tertarik ke atas.

“Kapan-kapan kita mampir minta sarapan yuk, Tan?” Ody beralih ke Diana. Terlihat antusias. “Aku belum sempat mampir ke sana soalnya.”

Diana mengangguk ragu. “Boleh, Dy.”

Regan sungguh menghargai niat Ody untuk mencairkan suasana. Meski sejak tadi perempuan itu sibuk menghindar bersitatap dengannya. Dia maklum, Ody barangkali masih terkejut dengan ungkapannya tadi.

Setelah ini, dia berharap Ody akan bertanya sekali lagi. Dan Regan akan menjelaskan semuanya. Seperti seharusnya.

***

Regan salah mengira jika Ody akan menuntut penjelasan. Karena yang terjadi adalah besoknya Ody tidak bisa ditemui. Apartemennya kosong ketika Regan coba mengetuk pintu—meski belum siap dengan alasan kenapa dia bertamu pagi-pagi sekali. Dia ingin menelepon Ody, tapi ragu.

Siangnya, Regan turun ke lobi. Dia bosan ada di kamar seharian. Duduk-duduk di lobi sambil memainkan ponsel. Begitu bosan, dia menelusuri taman apartemen. Lewat di tepian kolam renang. Masih dengan hati yang bertanya-tanya.

Apakah ungkapannya kemarin sudah tepat? Bagaimana jika Ody justru semakin menjauh?

Berhenti di salah satu kanopi dan duduk, Regan memutuskan menelepon Ody. Dia tidak ingin menduga-duga lagi.

Terdengar nada sambung. Regan lega, setidaknya nomor Ody aktif dan tidak memblokir nomornya. Tapi panggilan pertama tidak diangkat. Dia mencoba lagi. Tetap tidak diangkat.

Barulah panggilan ketiga, akhirnya terdengar suara selain nada sambung. Tapi bukan suara Ody yang menyambutnya. Melainkan suara-suara gemuruh di tengah keramaian. Regan mengerutkan dahi. Menebak situasi sebentar.

Ody sedang di tengah-tengah para demonstran?

Karena tak kunjung mendengar suara Ody, Regan mengakhiri panggilan. Memutuskan untuk bangkit dan kembali ke apartemennya. Di tengah perjalanan, ketika tiba di lobi bagian belakang, dari layar pipih yang menempel di tembok, terlihat lautan manusia memenuhi istana negara.
Regan mendekat untuk melihat lebih jelas. Di layar tertulis besar-besar: MAHASISWA DARI BERBAGAI UNIVERSITAS MENUNTUT LENGSERNYA PRESIDEN.

“Zaman memang sudah edan.” Salah satu security berkomentar.

Yang lain menimpali. “Gue takut kerusuhan 1998 terulang lagi.”

“Wajar kok kalau mahasiswa turun ke jalan. Kemarin udah demo sebenernya, tapi cuma satu universitas. Itu pun nggak diliput media. Sekarang, sebanyak ini, kalau nggak diliput media, ya kebangetan.”

Jadi, Ody ada di sana?

Membayangkan bagaimana Ody harus berdesakan dan terdorong, membuatnya ngilu. Meski dia yakin Ody tidak akan mengeluh, merepotkan, dan sebagainya. Tapi tetap saja Ody itu perempuan.

“Pak, kalau demo gitu, wartawannya nggak apa-apa, ‘kan?”

Semua menoleh bingung. Regan tahu kalau pertanyaannya aneh. Dia sudah menahan diri tidak bertanya, tapi entah kenapa refleks saja.

“Pacarnya Mas jadi wartawan?” Salah satu OB bertanya.

Regan mengangguk. Lalu menggeleng.

“Bukan pacar? Calon istri ya maksudnya?”

Regan berdeham. “Bukan, Pak. Cuma teman.”

“Ooh, teman.”

“Semoga baik-baik saja, Mas. Demonya sejak tadi pagi soalnya. Ini kalau siang nggak dibubarin dengan gas air mata, lalu-lintas lumpuh total. Atau paling buruk, mahasiswa semakin tersulut dan merusak fasilitas publik.”

“Gas air mata?” Regan tercengang.
Yang lain menambahi. “Nggak cuma gas air mata, Mas. Kadang aparat negara terpaksa pakai kekerasan.”

Regan sudah pias. Berbagai kecemasan menyerangnya. Dia panik, tapi tidak bisa apa-apa.

Hal seperti itu sudah menjadi bagian dari Ody sehari-harinya, hibur hati kecilnya.

Ya, Ody akan baik-baik saja.

***

Dengan satu plastik putih di sisi kirinya, Regan menunggu di sofa lobi. Satu menit yang lalu, wajah Kiki muncul di layarnya. Regan seketika kaget melihat layarnya yang berubah menjadi blink-blink.

“Lo di mana?!”

“Di bursa perjodohan.”

“Masih aja. Makanya nyari sendiri. Tinggal tunjuk, CEO ini.”

“Adriana aja deh. Boleh nggak?”

“Sembarangan!”

“Dia bakal cocok sama gue.”

“Gue yang nggak ikhlas!”

“Iya, iya, santai. Lo lagi ngapain? Di mana? Jangan kelayapan dulu.”

“Di lobi.”

“Ngapain?”

“Nunggu.”

“Eh, nanti gue tidur situ ya.”

“Nggak boleh. Adriana mau tidur di tempat gue.”

“Yaaah.”

“Tuh, yang barusan lewat cantik tuh.” Regan melihat seorang perempuan lewat di belakang Kiki.

“Lo mana tahu sih cewek cantik? Selama ini yang lo tahu cuma Ody, Ody, dan Ody.” Kiki mengejek. “Ngaku sama gue, lo duduk di lobi nunggu Adriana apa Ody?”

Ini, bagaimana si manusia satu ini, menjadi orang serba-tahu?

“Gimana lo tahu kalau gue—”

“Ari yang cerita. Dia dapat info dari adik lo.”

“Gue nggak sengaja. Pas ke sini kemarin, juga kaget. Ternyata kita sebelahan tinggalnya.”

“Anjir. Beruntung banget lo. Modusin tiap hari dong.”

Modusin gimana? Kalau Ody kabur-kaburan begini?

“Malam, Pak.”

“Nah ‘kan, itu suaranya Ody!” Kiki tertawa puas.

Regan mendongak, melihat Ody melintas setelah menyapa petugas security. Dengan cepat Regan mematikan video call dan berdiri. Melangkah cepat hingga berhenti persis di sebelah Ody yang menunggu lift terbuka.

“Baru pulang, Dy?” Regan lalu merutuki diri sendiri. Pertanyaan bodoh.

Dilihatnya Ody yang mengangguk pelan. Anak rambutnya basah. Rambut yang dia yakini terkucir rapi tadi pagi, kini sedikit berantakan. Beberapa anak rambut lepas dari kuciran.

Lift terbuka. Mereka melangkah masuk. Ody memencet angka sepuluh ketika tahu tangan Regan tidak bisa menekannya. Satu tangan masih digips. Satunya membawa plastik dari minimarket samping gedung.

Mundur dua langkah, Ody bersandar di dinding lift. Kedua tangannya bersedekap. Matanya terpejam. Lelah luar biasa. Dia bahkan tidak ingin pulang. Kalau bisa tidur di kantor lagi seperti yang sudah-sudah. Tapi mengingat besok pagi-pagi dia harus ke Bandung, membuatnya harus tidur dengan nyenyak dan nyaman malam ini.

Lift berdenting. Ody otomatis membuka mata. Seraya mengusap-usap tengkuknya, Ody melangkah keluar. Mengabaikan lelaki yang sekarang menjadi tetangganya. Dia hanya menghindari dirinya mengamuk. Dia lelah dan jika mengobrol dengan Regan sekarang, maka dia akan ingat dengan ungkapan lelaki itu tadi malam. Dia sudah lelah badan, tidak ingin lelah hati juga.

Regan menghela napas melihat pintu apartemen Ody yang baru saja berdebam lirih. Di satu sisi, dia mengerti jika perempuan itu lelah dan tidak ingin diganggu.

Mungkin besok dia bisa mengobrol dengan Ody.

Di balik pintu yang tertutup, Ody sempat berhenti sejenak. Menyandar di pintu. Menghela napas dalam-dalam.

***




Diketik: 15/02/2019
Dipublish: 01/03/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top