20. Sebatas Kaca


  Dua hari sudah berlalu sejak Adriana datang menemuinya ke kantor. Ody membiarkan pertanyaan Adriana menggantung tanpa jawaban. Pertanyaan itu mudah terlupakan karena kesibukan. Dua hari ini Ody sengaja tenggelam dengan pekerjaan.

  Puncaknya, dia jatuh pingsan di lobi. Kemudian dilarikan ke klinik di depan kantor. Menghabiskan satu botol infus. Tertidur cukup lama. Begitu membuka mata, sudah ada Dipta yang duduk di samping ranjangnya.

  Ody mencoba bangun dengan denyutan di kepala yang menusuk. Dipta sigap membantunya bangun. Meraih segelas air putih di meja dan membantu Ody minum.

  “Kalau capek, istirahat. Kamu ‘kan udah besar, Dy. Tahu kapan tubuh kamu butuh istirahat.” Dipta kembali duduk. Menatap cemas.

  “Seharusnya kamu marah, Mas. Bukan begini.”

  “Untuk apa aku marah?”

  “Aku udah bikin kecewa.”

  Dipta menatap cincin yang masih melingkar di jemari Ody. “Aku udah bilang ini kemarin. Kalau kamu belum siap, aku bisa nunggu lagi, Dy.”

  “Mas berhak bahagia.”

  “Aku bahagia.” Dipta menatap Ody dalam. Membuktikan bahagia lewat binar mata.

  Ruangan itu sejenak senyap.

  “Mama kamu di luar, Dy.” Dipta mengalihkan. Dia tahu Ody ingin sendiri dan mungkin sementara tidak ingin bertemu dengannya. “Dokter klinik tadi bilang kalau infus kamu habis, boleh pulang.” Dipta mengangkat tangannya, menyentuh pipi Ody.

  “Aku udah nyakitin hati Mas Dipta.” Penglihatan Ody buram oleh air mata.

  Tangan Dipta berpindah ke jemari Ody, menggenggamnya lembut. Memaksa seulas senyum. “Kita bisa bicarakan ini nanti. Yang penting kamu sehat dulu.”

***

  “Ma ....”

  “Apa?”

  “Mama marah?”

  “Kenapa harus marah? Kamu ini, tadi tanya sama Dipta gitu. Sekarang tanya Mama marah nggak. Nggak sekalian itu Pak Min ditanya?” Mama memang sedikit ketus. Tapi itu bukan karena dia marah perihal Ody yang membatalkan acara kemarin lewat telepon. Lebih karena dia khawatir melihat anak bungsunya begini.

  Mama meraih kepala Ody dan membawanya ke pelukan. “Dy, kamu itu anak kesayangan kami. Adik kesayangan Mas Kinan dan Mbak Maya. Di saat kedua kakakmu sudah bukan tanggungjawab kami lagi, kamu satu-satunya prioritas Mama dan Papa. Kalau ada apa-apa, cerita. Jangan begini, Sayang.”

  “Ody nggak kenapa-kenapa kok.”
Mama menepuk tangan Ody sedikit keras. Gemas. “Kenapa harus acara pingsan segala. Kalau kamu begini terus, apartemennya Mama jual, biar kamu pulang ke rumah.”

  “Jangan dong, Ma. Apartemen itu ‘kan belinya pake uangku sendiri.”

  “Makanya nurut.”

  “Iya.”

  Mama mengusap-usap lengan anaknya. Menjawab lebih serius. “Nggak ada yang marah, Dy. Orangtua Dipta mengerti bagaimana hubungan kalian. Malam itu mungkin mereka kecewa. Beruntung Dipta bisa membesarkan hati. Justru dia yang membatalkan acara itu, jadi bukan hanya sepihak. Ya, mungkin ini yang terbaik untuk kalian. Kinan sudah mewanti-wanti Mama sejak awal, menjelaskan kekhawatirannya ketika melihat Dipta dan kamu dekat. Kinan sudah tahu akan berakhir seperti ini.”

  Selalu saja Mas Kinan yang pada akhirnya mengerti. Meski sejak menikah, perhatian Mas Kinan otomatis terbagi. Kakaknya sudah punya prioritas lain. Ody tidak pernah keberatan. Dia bukan lagi adik manja yang minta diperhatikan.

  “Kakakmu yang perempuan itu bahkan nyap-nyapan di rumah. Kamu ditelepon susah, dichat nggak dibalas. Nyari di apartemen nggak ada. Mau nyamperin kamu ke kantor, tapi berhasil ditahan Iyan. Daripada bikin ribut di kantor.”

  Ody tersenyum. Lalu mendongak, menatap mamanya dengan mengiba. “Aku pengin pulang tapi takut ada Mbak Maya.”

  “Tenang. Udah ada pawangnya sekarang.”

  Keduanya terkekeh bersama.

  “Mama pengin kamu tidur di rumah. Yang lama pokoknya. Kamu kurusan begini, mau Mama balikin kayak dulu. Kamu mau dimasakin apa nanti?”

  Ody mengeratkan pelukannya. “Apa aja, Ma.”

***

  Setelah selesai makan malam, meminum obat yang diresepkan, Ody naik ke kamarnya. Dia bersiap tidur, menaikkan selimut ketika pintunya terbuka dari luar. Kenzi muncul di pintu, meringis lebar.

  “Kenji bobok sini ya?”

  “Boleh.” Ody menepuk kasur kosong di sebelahnya. “Sini.”

  Baru dua langkah, Maya muncul tepat waktu. Mencegah langkah Kenzi. Dia meraih tubuh Kenzi dan seketika menyesal. Menggumam. “Alamak. Ini anak makannya apa. Berat banget.”

  “Udah, lo tidur pokoknya. Kenzi biar tidur sama emak bapaknya.”

  “Mbak ....”

  “Apa? Nggak usah tanya gue marah apa nggak. Tiap hari muka gue emang begini.”

  “Mbak cantik kok.”

  “Iya, gue tahu.” Maya mengibaskan tangan. Sambil satu tangannya menahan Kenzi yang menggeliat di gendongannya. “Gue tunggu lo sehat dulu. Habis itu gue bantai. Gue nggak terima punya adik bego.”

  Ody hanya tertawa melihat pintu yang tertutup. Tapi baru beberapa detik, pintu kembali terbuka. Gantian Kinan yang melongok di daun pintu. “Tidur yang nyenyak ya, Dy. Nggak usah mikirin macem-macem dulu.”

  “Cuma mikir dua macem kok, Mas.”

  Kinan menegakkan tubuhnya. “Nanti aja dipikirinnya.”

  “Mas ....” Ody teringat dengan obrolannya dengan Mama di mobil tadi.

  “Apa?”

  “Love you.”

  “Ya.” Kinan menggaruk rambutnya. “You too.”

  Ody terkekeh.

  “Anggun tadi nitip ini. Katanya Regan belum siuman. Info dari Anto. Kalau-kalau kamu belum tahu.”

  “Iya. Makasih infonya.”

  “Dia bakal baik-baik aja ‘kan, Dy?” Kinan masih bertahan di daun pintu. “Aku lihat pas kamu liputan itu. Ngeri kalau lihat reruntuhannya. Ambruk semua gitu ya?”

  “Iya.”

  “Keajaiban kalau Regan selamat.”

  Ody terdiam. Ingatan tentang Regan yang bersimbah darah kembali mampir di kepalanya. “Kenapa aku tiba-tiba takut nggak bisa lihat dia lagi ya, Mas?”

  Kinan hanya tersenyum maklum.

***

  Sudah sepuluh menit Ody berdiri di depan kaca. Di dalam sana, terlihat Tante Diana yang sedang duduk menemani Regan. Mengajak berbincang. Meski dari tempatnya berdiri, Ody tidak bisa mendengarnya.

  Regan masih terbaring dengan selang di sekujur tubuh. Dokter bilang jika operasinya berhasil. Hanya saja belum pasti kapan Regan akan siuman. Hal yang sejujurnya, membuat beberapa orang berdiri di garis kepastian yang tipis. Bisa saja kabar buruk. Atau sebaliknya.

  “Nggak masuk?” Suara Ari hadir di sebelahnya.

  Ody menggeleng.

  “Gue sama Kiki tadi udah ke sana. Masuk aja, Dy.”

  “Nggak usah. Dari sini aja.”

  “Nggak kangen emangnya?”

  Jika situasinya berbeda, Ody akan memukul bahu Ari. Bisa-bisanya dalam situasi seperti ini, Ari menyinggung hal itu.

  Mengerti jika Ody tetap enggan masuk, Ari tidak memaksa lagi. “Dokter tadi habis cek. Keadaan Regan membaik dan seharusnya udah siuman. Nggak tahu, dia masih aja betah tidur.”

  “Mungkin dia lelah.” Ody meletakkan satu telapak tangannya di kaca. Seakan-akan bisa menyentuh tubuh yang terbaring itu.

  “Mungkin.” Ari mengangguk. “Dia perlu berhenti sebentar. Istirahat.”

  “Aku ternyata nggak tahu banyak tentang Regan selama ini. Tapi aku yakin, ada beberapa hal yang masih dia simpan sendiri.” Ari kembali melanjutkan.

  Ody menunduk. Tidak bisa berkata apa-apa.

  “Semuanya kayak mimpi tahu nggak, Dy? Sabtu siang kita janjian mau ke Singapur. Aku mau ketemu klien. Regan bisa nemenin. Aku pikir dia ingkar. Mana ponselnya nggak bisa dihubungi. Tahunya, dari TV aku lihat museum itu runtuh. Museum yang rencananya mau direnov Regan.”

  Pintu terbuka dari dalam. Ody tersenyum prihatin melihat wajah Tante Diana yang sayu. Terlihat kurang tidur.

  “Nggak mau masuk, Dy?”

  “Aku cuma mampir sebentar, Tan.”

  “Semua orang sudah ketemu Regan. Kamu nggak mau ketemu sebentar aja?” Diana masih membujuk.

  “Nanti sore aku mampir lagi, Tan. Sekarang aku udah harus ke gedung DPR.”

  “Bareng aku aja, Dy.” Ari menyalami tangan Diana. “Pamit, Tan.”

  “Kalian hati-hati.”

  Tangan Ody ditahan Diana lebih lama. Ditepuk-tepuknya tangan itu. “Dy ... temui Regan sore ini.” Wajahnya penuh harap. “Barangkali dia mau mendengarmu dan bangun.”

***







How's far? Gimana sejauh ini? Apakah masih nyesek? 👻

Karakter siapa yg paling berkesan sampai sejauh ini, gais? Let me know yaa.

Minggu, 24 Februari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top