19. Benang Merah
🎶 We All Lie-Hajin (Ost. Sky Castle)
Keluarga Regan sudah berkumpul di koridor UGD ketika Ody berhasil menyelesaikan liputan dan menyusul ke rumah sakit. Menekan rasa khawatir dan takut berkali-kali agar dia tidak salah ucap di depan kamera. Beruntung hujan menyamarkan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Ody menghubungi Adriana, nama itu yang terlintas pertama kali di kepalanya. Mengabari cepat apa yang sudah terjadi. Kemudian terpatah-patah menjelaskan ke Tante Diana lewat telepon. Dalam perjalanan ke rumah sakit, di dalam taksi, Ody juga menghubungi satu nama. Seseorang yang juga berhak tahu tentang kondisi Regan.
Dia tidak mengira jika begitu tiba di rumah sakit, semua orang sudah berkumpul. Tante Diana, Om Danu, Om Ardi, Tante Fatma, dan Adriana. Di sudut yang lain, ada Ari dan Kiki. Semuanya tertunduk, sisanya menatap dinding dengan kosong. Namun jauh di dalam hati, mereka membatin doa. Tetap berharap yang terbaik. Meski Ody sendiri ragu, setelah melihat bagaimana kondisi Regan ketika ditandu tadi.
Ody memutuskan untuk duduk di dekat Ari dan Kiki. Belum ada yang membuka mulut. Tanpa bertanya, Ody tahu bahwa Regan masih dalam penanganan dokter. Pendingin koridor mulai menusuk kulitnya.
Suara isak tangis Adriana terdengar. Fatma memeluknya, seraya membisikkan kalimat penenang. Ody menyeka pipinya yang kembali basah. Di pintu koridor, muncul Gita dan mamanya dengan wajah yang tak kalah cemas. Pertemuan yang tidak memungkinkan. Tapi mereka sudah di sini. Lagi pula, bukan itu yang terpenting sekarang.
Ari dan Kiki memberikan kursinya untuk Gita dan mamanya. Mereka berdiri di samping Ody. Tapi Gita dan mamanya bukanlah orang terakhir yang datang. Seseorang baru saja tiba. Napasnya terengah.
Diana berhenti menyeka pipi dan terbelalak melihat siapa yang datang.
Seorang suster keluar dari pintu ruang UGD. "Kami membutuhkan darah B rhesus negatif. Segera."
***
Ody menatap kursi kantin rumah sakit yang kosong. Ada dua penjaga kantin yang juga terkantuk-kantuk.
Pukul sebelas tepat ketika Ody mengusap layar ponselnya. Satu jam setelah Regan dipindahkan ke kamar ICU. Begitu mendapat donor darah, Regan dibawa ke ruang operasi. Empat jam lamanya, semua orang harus kembali menunggu. Kembali dijejali perasaan takut. Mengharap kabar yang melegakan akan muncul dari balik ruang operasi.
Dokter menjelaskan singkat jika bagian kiri kepala Regan sobek. Ada material entah apa yang masuk ke luka-yang cukup dalam-itu. Tidak cukup hanya kepala, tangan kiri Regan pun patah di dua titik. Dokter harus memasang gips. Belum termasuk dengan jahitan lebar di bahu dan luka baret di wajah.
Ari, Kiki, Gita beserta mamanya sudah pulang ketika Regan keluar dari ruang operasi. Sementara Ody memilih menyingkir untuk menjernihkan pikiran. Terlalu banyak suara di kepalanya. Hingga rasanya dia ingin meledak.
Karena apa yang terjadi delapan jam ke belakang, cukup untuk menamparnya berkali-kali. Di saat dia sudah yakin dia siap melangkah meninggalkan apa pun tentang Regan, dia dihadapkan pada keraguan. Dia kembali meragu. Hati kecilnya mulai bertanya. Apa yang dia rasakan bukanlah sekadar rasa empati. Bukan itu. Jika kemarin-kemarin dia bisa mengelabui hati kecilnya dengan pembenaran-pembenaran, sekarang justru logikanya bersepakat dengan hati kecilnya.
Omong kosong soal melupakan, Dy!
Hati kecilnya mulai menghakimi. Sudut hati yang sudah dia tipu selama ini.
Kamu bahkan tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kehilangan Regan!
Suara kedua. Ody semakin pias. Kebenaran itu semakin dekat. Mendekati apa yang sudah dia sangkal bertahun-tahun. Kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menggantikan Regan di hatinya. Kenyataan bahwa kehadiran Mas Dipta tidak pernah cukup.
Selama ini kamu egois. Kamu bahkan menyakiti Mas Dipta!
Di tengah kantin yang kosong, Ody kembali menangis. Tanpa suara. Dia sudah berusaha menelan tangisnya, tapi tidak lagi bisa terbendung.
Detik berikutnya, usapan lembut terasa di bahunya. Menyadari siapa pemilik tangan itu, tangis Ody semakin dalam. Isakan kecil lolos dari bibirnya.
Kedua tangannya saling meremas di atas pangkuan. Gemetar berkata, "Mas Dipta ... aku minta maaf."
***
Dari balik masker yang dia kenakan, napasnya tercekat melihat kondisi anak lelakinya seperti ini. Dokter tidak bisa memastikan kapan Regan akan bangun. Bisa hitungan minggu, bahkan bulan. Regan akan tertidur selama itu dengan banyak selang yang menempel di tubuhnya.
"Re, kamu masih marah?" Diana bermonolog. Mengusap tangan kanan Regan yang penuh baret dengan hati-hati. "Atau kamu masih ingin menghukum Mama?"
Pintu berkerit pelan, terbuka.
"Mama salah, Regan. Mama yang salah." Diana mulai menangis lagi. Setengah hari ini, dia tidak berhenti menangis. Banyak hal yang dia sesali untuk kesekian kali. "Kalau saja Mama bisa memperbaiki semuanya, Mama akan memilih kamu. Mama akan mendengar semua mau kamu. Sehingga kamu tidak perlu pergi dari sisi Mama. Kamu tidak akan kesepian di Bandung, tidak akan disakiti oleh Papa kandungmu. Tidak akan mengalami semua ini. Dan kita akan hidup bahagia. Cukup kita."
"Kalau saja Mama bisa mempertahankan keluarga kita, kamu tidak akan kehilangan Adriana. Kamu tidak perlu pergi dari rumah. Kita akan hidup bahagia seperti keluarga lain." Diana tersenyum di sela tangisnya. "Keluarga, yang Mama tahu, kamu impikan selama ini."
Penyesalan itu tidak terhenti di sana. "Kalau saja Mama tidak serakah, kamu masih bahagia hidup dengan Adriana. Keluarga yang akan menjagamu dengan baik. Tapi Mama ...," Terbata-bata. "... juga sudah merusaknya."
Di depan pintu, Adriana juga menangis. Sama seperti Diana, dia terjaga semalaman dan tidak berhenti menangis. Tidak ingin suara tangisnya mengganggu, Adriana memutuskan untuk keluar.
Bersandar di dinding dekat pintu, Adriana pelan-pelan merangkai penjelasan di kepalanya sendiri tentang apa yang dia dengar tadi. Ada sesuatu yang tidak dia tahu. Semua yang terasa janggal sejak semalam, ketika semua orang berkumpul di sini.
***
Rapat bulanan baru saja selesai. Sepanjang rapat, Ody memaksa dirinya untuk fokus. Dia tidak mengantuk meski terjaga semalaman di jendela apartemen, menatap malam. Hanya saja pikirannya bercabang ke mana-mana. Dia tidak ingin melakukan apa-apa dan hanya ingin mendekam di apartemen. Mengunci diri dan tidak bertemu dengan banyak orang.
Namun, tadi pagi Mas Dipta muncul di depan apartemen. Menjemput. Tidak ada tanda-tanda kecewa di wajahnya. Membuat rasa bersalah Ody kian menggunung. Sama seperti semalam ketika lelaki itu menjemput ke rumah sakit, pagi tadi, Mas Dipta juga memilih diam. Mengerti jika Ody sangat kacau dan mungkin belum bisa diajak bicara.
Pagi ini dia juga harus menerima tatapan aneh, juga pertanyaan apakah dia sakit. Ody memang pucat. Matanya pastilah sembap. Efek dari menangis kemarin dan tidak tidur sejak semalam.
Keluar dari ruang rapat, belum sempat Daffa menegur, Ody sudah berbelok ke toilet. Dia masuk ke salah satu bilik, mengunci pintu. Lantas duduk di atas kloset dan kembali menangis.
Yang menjejal di kepalanya tidak hanya tentang Regan yang belum siuman-tadi Adriana memberi kabar tanpa diminta. Tapi juga tentang Mas Dipta.
Dia malu bertemu dengan Mas Dipta setelah semuanya. Kemarin sore, ketika dia menangis di taksi dalam perjalanan menuju rumah sakit, terpatah-patah dia menelepon Mas Dipta. Menjelaskan apa yang sudah terjadi. Merusak rencana yang sudah tersusun. Mengecewakan keluarga Mas Dipta, dan mungkin keluarganya sendiri.
Ody terpaksa harus membuat ponselnya dalam mode silent ketika secara berurutan Mas Kinan dan Mbak Maya meneleponnya. Jika Mas Kinan berhenti pada panggilan ketiga. Maka kakak perempuannya tetap menerornya lewat chat.
Dan sekarang, nama Mbak Anggun muncul di layar. Ody mengangkatnya. Dia tahu, Mbak Anggun tidak akan mengungkit hal itu sekarang.
"Dy?"
"Aku di kantor, Mbak."
"Nangis lagi?"
Ody menghela napas. Mengerjapkan mata agar berhenti menangis.
"Kabar Regan gimana? Nanti rencana temen-temen kantor mau jenguk." Anggun bertanya hal lain.
"Jangan dulu, Mbak. Regan masih di ICU. Nanti aja kalau udah dipindah ke rawat inap biasa."
"Oh, oke."
"Udah ya, Mbak."
"Sarapan sepi nggak ada kamu."
Ody tersenyum.
"Dy ... nggak ada yang marah sama kamu. Kalau memang ingin menjauh dulu, nggak apa-apa. Tenangin diri dulu. Kami siap mendengar penjelasan kamu kapan pun."
"Makasih pengertiannya, Mbak." Ody meremas tisu di tangannya. "Aku baik-baik aja kok. Nggak usah khawatir."
"Nggak khawatir gimana. Kamu lagi nangis gitu. Apa? Mau bilang kelilipan? Mbak ke kantor kamu sekarang juga terus seret pulang ya!"
Telepon ditutup setelah Anggun kembali mengatakan bahwa tidak ada yang marah. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Ody merasa sedikit lega.
Selesai membasuh muka, Ody keluar dari toilet. Daffa sudah bersedekap tangan di dinding dekat pintu.
"Dy, gue khawatir tahu!"
"Kenapa?"
"Yang kemarin."
"Udah lupain aja." Ody berhenti. "Muka gue kelihatan gimana emangnya?"
"Muka lo kayak mayat hidup." Daffa berkata jujur. "Lo butuh tidur. Pulang aja, izin ke Mas Luthfi."
"Nggak usah." Ody duduk di kubikelnya. "Anggap aja gue lagi PMS."
Baru saja dia duduk, ponselnya kembali berkedip. Kali ini nama Adriana muncul di layar.
"Adriana siapa?" Daffa ternyata masih berdiri di dekat kubikelnya. "Eh, jangan-jangan yang nunggu lo di lobi?"
"Nunggu?"
"Tadi pas lo di kamar mandi, anak lobi telepon. Katanya lo ada yang nyari."
Tanpa membuang waktu, Ody bergegas menuju lift. Dia tidak tahu untuk apa Adriana sampai harus mencarinya ke kantor. Dan bukannya cukup lewat telepon.
Adriana berdiri ketika orang yang dia tunggu muncul dari dalam lift. Ody segera paham jika ada yang ingin Adriana bicarakan. Jadi dia membawanya ke kafetaria. Memesan dua cangkir cokelat hangat.
Mereka sama-sama menyedihkan. Bekas air mata di pipi, mata bengkak, wajah pucat dan mungkin perut yang jarang mendapat asupan beberapa hari terakhir.
"Aku berasa ngaca, Dri."
"Jangan sampai sakit, Kak." Adriana memaksa tersenyum. "Aku ganggu Kak Ody?"
Ody menggeleng. "Ada apa, Dri?"
"Mas Regan belum bangun. Karena di sana ada Ma-maksudku Tante Diana, jadi aku pengin nyari udara segar dulu."
Entah kenapa mendengar Adriana menyebut nama mamanya sendiri dengan sebutan 'Tante' membuat Ody prihatin. Mau bagaimana pun, Ody pernah menjadi bagian hidup Regan. Turut melihat dan mengerti apa yang terjadi.
Cokelat hangat pesanan mereka sudah datang. Aromanya sedikit menenangkan. Tapi tidak ada satu pun yang menyesap cokelat itu.
"Aku yakin ada alasan lain." Ody menatap kepulan asap di cangkirnya.
Adriana tersenyum enggan. "Aku ingin tahu sesuatu."
"Tentang?"
"Semua yang belum aku tahu, Kak."
Ody memejamkan mata sebentar. Kepalanya tiba-tiba berdenyut. "Semua? Semua yang mana maksud kamu, Dri?"
"Apa pun tentang Mas Regan."
"Kamu salah orang kalau begitu." Ody membuka matanya. Lalu menyandar di punggung kursi. "Kamu tahu sendiri gimana hubungan kami beberapa tahun belakangan. Kami lost contact." Aku bahkan bukan lagi apa-apa di hidupnya.
"Aku yakin Kak Ody tahu-"
"Dri ... dengar." Ody menatap Adriana lurus-lurus. "Apa pun yang Regan lalui seorang diri, dan beberapa hal yang kamu nggak ketahui, yang kalau pun aku tahu, hal itu bukan lagi menjadi urusanku."
Dari pengakuan Adriana, Ody jelas bisa menebak jika banyak rahasia yang masih disimpan Regan dari adiknya ini. Adriana memang berhak tahu. Tapi bukan dari mulut Ody.
"Aku harus balik kerja. Kamu lebih baik pulang, Dri." Ody meninggalkan selembar uang di atas meja dan berdiri. Meski dia tidak tega meninggalkan Adriana seperti ini, tapi dia tidak ingin berakhir dengan duduk dan menceritakan semuanya.
"Orang yang mendonorkan darah untuk Mas Regan ...."
Kalimat itu berhasil menghentikan langkah Ody.
"... Kak Ody yang membuatnya datang?"
Ody menoleh tanpa berbalik. Menatap punggung Adriana.
"Bagaimana Kak Ody bisa mengenal Papa kandung Mas Regan?"
***
Selamat datang pembaca baru. Semoga betah ❤
Sabtu, 23/02/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top