17. Bahagia?
🎶 Mytha—Begitulah
Jalanan ibu kota di pagi hari cukup lengang. Tanggal merah. Banyak penduduk kota yang berlibur ke luar kota. Melupakan penatnya kemacetan ibu kota. Meninggalkan bertumpuk pekerjaan yang nyaris membuat tenggelam. Tapi mungkin saja, di antara gedung-gedung percakar langit, ada yang masih terpekur di kubikel. Berkutat dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya.
Gita membuka jendela di sampingnya. Menghidu aroma pagi yang bercampur dedaunan. Sepanjang kanan dan kiri, penuh dengan pepohonan hijau. Di bangku kemudi, Regan melakukan hal yang sama. Membuka jendela, membiarkan udara sejuk membelai pipi.
Dua jam berselang, mereka sampai di sebuah rumah di kaki bukit. Dewi turun dari mobil dan melangkah cepat, menyambut pelukan wanita renta di beranda rumah. Gita menyusul mamanya. Sementara Regan membuka bagasi, menurunkan dua koper dan satu paper bag besar.
“Ini siapa?” Wanita renta itu bertanya ketika Regan sampai di beranda.
“Regan, Oma.” Diciumnya punggung tangan yang sudah keriput.
“Calon suaminya Gita?”
Regan tersenyum canggung. Lengannya ditepuk-tepuk.
Gita cepat meralat. “Bukan, Oma. Regan ini anak lelakinya Mama.”
“Cocok ya, Ma, jadi mantunya Dewi.” Dewi menatap Regan. Dia hanya bercanda. Lalu wajahnya berubah serius. “Regan yang menjaga kami selama ini, Ma. Sudah Dewi anggap seperti anak sendiri.”
“Kalau memang teman spesialnya Gita, Oma tidak keberetan.”
Dengan iseng, Gita merangkul Regan. “Serasi nggak, Oma?”
Dewi mencubit pinggang anaknya. Gita mengaduh dan menyingkirkan tangannya dari Regan.
Di rumah yang cukup klasik ini, Oma tidak tinggal sendiri. Ada dua orang kepercayaan yang menemani. Sudah dianggap keluarga sendiri.
Mereka sempat berbincang sebentar di ruang tengah. Seorang Bibi membawakan teh hangat dan kudapan. Obrolan masih seputaran saling bertukar kabar. Regan lebih sibuk mengamati desain rumah yang didominasi warna cokelat kayu. Nyaman dan teduh.
“Danu ke mana?”
Semuanya terdiam seketika. Ruang tengah itu mendadak senyap. Mencekik.
“Kenapa nggak ikut?”
Gita hendak menjawab, tapi tangan Dewi menahannya. Memberi isyarat untuk diam saja. Seperti yang sudah-sudah, biarkan dia yang menjawab. “Mas Danu masih di Frankfurt. Mama jangan khawatir, Mas Danu selalu kasih kabar setiap hari.”
Oma menghela napas. “Kapan dia pulang dan berhenti bepergian jauh?”
Regan menatap ke Gita yang menunduk, menekuri lantai. Lantas beralih ke Dewi yang masih tersenyum, membujuk Oma. “Mama, kita sudah pernah membahas hal ini. Aku dan Gita tidak keberatan dengan keputusan Mas Danu.”
“Mama mengerti, Wi. Mama hanya tidak ingin kalian kesepian.” Oma menyeka sudut matanya. “Mama tahu Gita sudah besar. Dewasa. Dia jauh lebih cukup untuk menemanimu.”
“Aku nggak akan kesepian, Ma. Jangan khawatir.” Dewi beringsut ke ujung sofa untuk meraih tangan mamanya di sofa yang lain. “Mas Danu titip salam untuk Mama.”
Saat itu juga, Gita berdiri. Melangkah cepat menuju pintu belakang. Regan yang sempat melihat kilat amarah itu, lekas berdiri. Menyusul Gita yang langkahnya semakin cepat meninggalkan halaman belakang rumah, menuju pintu gerbang belakang.
Mereka melewati jalan setapak yang cukup lebar. Rumput yang tumbuh di kanan dan kiri jalan masih basah oleh embun. Regan dengan sabar mengikuti, tidak menghadang dan membujuk Gita untuk kembali.
Bahkan ketika melihat perempuan itu tetap berjalan seraya mengusap pipi, Regan masih menahan diri.
Gita berhenti di tengah jembatan kayu. Menatap beningnya air sungai yang mengalir di bawahnya. Air matanya kembali menetes. Menggigit bibir, menahan isak yang keluar dari mulutnya.
“Git ....”
“Aku pengin sendiri, Re.”
Tapi mana mungkin Regan meninggalkan Gita dalam keadaan begini? Gita butuh teman bicara. Dia tidak bisa melampiaskannya hanya dengan air mata.
“Oma belum tahu?”
“Please, Re. Aku pengin sendiri.”
“It’s fine, Git.” Regan tahu kenapa Gita mengusirnya. Karena mungkin apa yang keluar dari mulutnya akan menyakiti Regan.
“Re, tolong, biarin—”
Regan menarik lengan Gita agar menghadap ke arahnya. Maju selangkah dan memeluknya. “Jangan dipendam. Keluarin semua.”
Untuk sesaat Gita terdiam.
“Papa pernah menjadi figur seorang ayah, suami dan menantu yang baik. Menjadi tempat di mana kami merasa aman. Hingga kami percaya tidak ada yang bisa memisahkan kami.” Gita kembali menangis. “Kami tidak pernah sanggup memberitahu Oma tentang semuanya.”
“Setiap kami berkunjung, Mama harus menyiapkan alasan ke mana suaminya. Entah negara mana lagi yang disebut. Jenis pekerjaan apa yang sedang suaminya kerjakan hingga tidak bisa pulang barang sehari. Mama harus bisa meyakinkan Oma jika suaminya baik-baik saja di mana pun berada. Dan untuk yang kesekian kali, Oma percaya.” Isakan lolos dari bibir Gita. “Aku tahu, Mama mungkin lebih sakit ketika mengatakan kebohongan-kebohongan itu. Menambal celah suaminya di sana-sini. Tetap menjaga kehormatan suaminya di depan Oma.”
Regan menepuk-nepuk punggung Gita. Sebilah pisau baru saja menancap di hatinya. Seakan setiap tetes air mata Gita yang jatuh di bahunya, turut mencekiknya.
“Oma memang tidak perlu tahu semuanya. Cukup kami yang kecewa.”
Entah untuk yang ke berapa kali, Regan kembali merasa bersalah. Dia tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada kalimat yang mampu keluar dari bibirnya. Dia hanya bisa memeluk Gita seperti ini. Yang dia harapkan pelukan ini bisa menenangkan.
***
“Kenzi ikut Papa aja yuk?” Kinan berusaha mengambil alih anaknya dari gendongan Ody.
Namun Kenzi berkilah, enggan menyambut uluran tangan papanya.
“Tante Ody capek kalau kamu minta gendong terus.”
Ody hanya meringis. Sepanjang jalan dari Jakarta ke Bandung, Kenzi tidak mau lepas. Bahkan hingga sekarang, mereka sudah sampai di rumah mertua Kinan.
“Jadi naik gondola?” Kinan beralih ke Dipta.
“Ody sih yang pengin.”
“Kok aku? Yang ngajak ‘kan Mas Dipta.”
“Udah, pergi sekarang aja.” Anggun muncul. “Kalian nanti sore langsung pulang soalnya. Ayo, Kenzi, turun. Eyang masakin ayam kecap hlo.”
Kenzi langsung beringsut minta diturunkan dari gendongan. Hah, ternyata semudah ini. Ody menatap kakaknya, mencibir.
“Kami pamit, ya.” Dipta merangkul Ody dengan satu tangan.
Bukannya mengikuti langkah istrinya, Kinan justru termangu, menatap mobil Dipta yang meninggalkan halaman.
“Mas, kenapa?” Anggun mendekati suaminya. Kenzi sudah berlarian memasuki rumah eyangnya.
“Ody kelihatan bahagia, ya?”
“Sejauh ini, Ody bahagia, Mas.”
“Ody beda, Sayang. Dia bukan Maya yang bisa mengekspresikan apa yang dia rasa.”
Anggun menyentuh lengan suaminya. “Aku tahu Mas khawatir. Tapi Mas harus percaya kalau Dipta yang terbaik untuk Ody.”
***
“Aku menghabiskan masa kecilku di rumah Oma.”
Mereka duduk di atas batu hitam besar yang terletak di antara aliran sungai. Siang yang tidak terik. Sejuk tanpa mendung yang menaungi langit. Gita ingin menenangkan diri sebelum kembali. Setidaknya menunggu sisa air mata di pipi kering.
“Dulu aku sering main di sungai ini. Memancing bersama Papa. Mencari kepiting kecil. Mendengar Mama yang mengomel karena kami pulang basah kuyup. Tapi Oma selalu membela kami.”
Regan bisa membayangkan betapa bahagianya masa kecil Gita. Besar di tengah keluarga yang lengkap. Tumbuh dengan kasih sayang yang melimpah. Masa-masa yang mungkin tidak dimiliki Regan jika tidak mengenal Om Ardi.
“Kamu beruntung, Git.”
“Ya. Amat beruntung.” Gita menoleh. Menatap separuh wajah Regan. “Kamu mau cerita sesuatu?”
“Tentang?” Tatapan mereka bertemu.
“Sejujurnya, aku nggak sengaja dengar apa yang kamu dan mamaku bicarakan di rumah sakit. Enam tahun yang lalu.” Gita bisa merasakan keraguan di mata Regan. “Tapi aku nggak maksa untuk cerita. Hanya kalau memang mau cerita, aku siap dengarkan.”
“Rumit, Git. Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
“Pelan-pelan aja.”
Regan menatap aliran sungai di bawahnya. “Enam tahun lalu, aku bertemu Papa. Aku nggak berharap apa-apa. Aku sudah siap dengan banyak kemungkinan. Termasuk kehidupan Papa yang mungkin sudah bahagia dengan keluarganya sendiri. Aku hanya ingin bertemu, melihat wajahnya, mendengar suaranya. Sesederhana itu. Tapi aku tidak siap dengan kemungkinan yang lebih menyakitkan.”
Diambilnya jeda beberapa saat. Sesak mulai menjalar di dadanya.
“Beberapa fakta yang seharusnya tidak aku tahu, keluar dari mulut Papa. Beberapa hal yang disembunyikan Mama belasan tahun. Kenyataan yang aku sendiri nggak bisa terima ... sampai sekarang.”
Gita meraih tangan Regan. Menguatkan. Regan tersenyum. Berterima kasih. Dia sudah jauh lebih kuat untuk mengatakan hal ini.
“Kamu tahu seberapa pengecutnya aku? Aku menyakiti seseorang, yang seharusnya tidak pantas disakiti. Lantas melarikan diri. Pergi sejauh yang aku bisa. Hanya untuk tahu kalau aku tidak sedang melarikan diri. Aku hanya menghukum diriku sendiri.”
“Seseorang itu ....”
“Perempuan yang mungkin masih ada di sisiku sekarang.”
Gita membatin satu nama.
“Jadi ini alasan kamu pilih kerja di Singapura?”
“Aku udah dorong dia mundur sejauh mungkin, Git. Tapi begitu aku balik dari Bandung, dia datang. Dia nunggu. Dia nggak pernah berubah.”
“Kenapa kamu harus melangkah sejauh itu, Re? Aku yakin dia akan menerima kamu dan semua masa lalumu.”
“Aku malu, Git. Kami seperti bumi langit. Latar belakangku tidak cukup untuk membuatnya tinggal. Atau mungkin dia akan jijik begitu tahu semuanya.” Regan tersenyum getir. “Sebelum perasaan di antara kami semakin dalam, aku memutuskan untuk menyakitinya.”
Gita menghela napas. Mencoba mengerti dari sudut pandang Regan. Tapi di satu sisi, dia menyadari sesuatu. “Bukankah sulit melupakan Ody?”
“Mati-matian aku ngelupain dia.”
“Dan?”
“Gagal.” Regan tertawa sedih. Menertawakan dirinya sendiri. “Tapi aku akan coba lagi. Ini hanya soal waktu ‘kan?”
“Goodluck.”
“Sebentar lagi dia akan menikah. Semuanya akan terasa lebih mudah, Git. Aku pasti bisa ngelupain Ody.”
“Pas di Singapura, kalau kangen Ody, biasanya ngapain?” Gita bertanya serius. “Kamu selalu skype dengan kami dan yang lain. Sementara dengan Ody?”
“Kutitipkan pada langit malam.”
Gita memukul bahunya. “Apa banget sih!”
“Iya, iya. Dijawab serius nih.” Regan memperbaiki posisi duduknya, dia hampir jatuh tadi. “Aku hampir nggak punya barang kenangan dari Ody. Kalau kangen ya susah. Dan lagi, salah satu niatku ke Singapura ‘kan buat ngelupain dia. Jadi nggak sesering itu kangennya. Aku selalu berusaha untuk sibuk.”
“Tahu nggak?”
“Apa?”
“Kamu bisa seringan ini ngobrolin soal Ody. Bukannya itu berat?”
“Sejak aku pulang ke sini. Sejak melihat Ody bahagia dengan lelaki yang lebih baik. Aku mulai berdamai dengan hatiku, Git.”
“That's my boy.” Gita mengangkat satu tangannya. Mengacak rambut Regan.
Regan membiarkan sampai Gita menyingkirkan tangannya sendiri.
“Sori kalau obrolan kita jadi melebar ke mana-mana.”
“Aku jadi nggak penasaran lagi dengan hubungan kalian. Kamu sih, terbukanya cuma sama Kiki aja.”
“Aduh, itu anak emang kayak keajaiban dunia. Tiba-tiba timingnya pas. Dalam sekejap, dia tahu banyak hal.”
“Oh iya, soal Adriana ....” Gita sedikit hati-hati.
“Kapan-kapan main ya ke restorannya.”
“Siap.”
Regan tahu Gita ingin penjelasan lebih lengkap. “Meski kami nggak bisa tumbuh bersama, dia salah satu alasanku pulang juga. Aku mulai khawatir tentang pergaulan dia. Meski aku yakin orangtuanya bisa memastikan kalau Adriana tidak salah pergaulan. Tapi yang lebih penting, harusnya aku khawatir tentang skripsi dia yang molor.”
“Udah, biarin aja. Siapa tahu passion dia di food and beverage ‘kan?” Gita tersenyum. “Cukup memikirkan kebahagiaan orang lain, Re. Udah saatnya kamu mikirin diri sendiri.”
“Dengan cara begini, aku nggak akan kesepian, Git.”
“Kalau kamu mau tahu, kamu tidak perlu melakukan banyak hal, Re. Kehadiran kamu untuk orang-orang di sekitar, sudah lebih dari cukup. Kadang, pada saat-saat tertentu, aku akan menemukan sosok ayah yang hilang di diri kamu. Sosok kakak yang mengayomi. Sosok anak lelaki yang menjadi kebanggaan seorang mama. Jadi, seberapa buruknya masa lalu kamu, itu hanya masa lalu.”
Regan terpekur menatap dasar sungai yang dangkal.
“Aku tahu, untuk beberapa orang, dia mungkin bisa menjadi penghibur yang baik untuk orang lain. Tapi bukan untuk dirinya sendiri. Mulai sekarang, kalau ada apa-apa, belajar untuk cerita. Ya?”
“Thanks, Git. Jangan khawatir. Aku udah lebih dewasa sekarang.”
“Iya, aku percaya.” Gita menyingsingkan celana jeansnya. Dengan cepat turun dari bebatuan dan merasakan dinginnya air. “Aku udah lama nggak bikin Mama ngomel, nih.”
“Nggak. Jangan ajak-ajak.”
“Mama nggak bakal tega ngomelin kamu. Percaya deh.” Gita berusaha menarik kaki Regan.
Gagal memaksa lelaki itu turun ke sungai, Gita menyatukan kedua telapak tangannya untuk mengambil air dan mengarahkannya ke Regan.
“Woi, woi. Curang ah.”
Gita tertawa kegirangan. Regan mau tak mau turun juga. Dia membalas Gita. Keduanya basah kuyup. Memang, begitu sampai di teras belakang—mereka tidak berani lewat depan—Dewi sudah menunggu dan siap mengomel.
“Kalian kenapa basah begini?!” Dia menatap galak anak perempuannya. “Kamu pasti ya yang ngajak Regan main di sungai? Aduh, nanti Regan harus pulang. Nanti kalau masuk angin gimana?”
“Gita nggak ngajak kok, Tan.”
“Nggak usah belain dia, Regan.” Dewi menyahut galak. Gita berlari masuk ketika mamanya lengah. Segera mencari handuk karena dia sudah menggigil.
“Bawa baju ganti, Re?”
“Bawa, Tan.”
“Tante ambilkan handuk. Begitu selesai, makan siang sama-sama.”
Regan mengangguk patuh. Dia mengambil kaus yang selalu ada di bagasi.
“Jadi pulang sore ini?” Dewi mengulurkan handuk bersih.
“Iya, Tan.”
“Nggak mau nginep?”
“Aku nggak minta cuti tambahan, Tan.”
“Ya sudah, ayo makan. Yang lain sudah di meja makan.”
***
“Nggak jadi aja deh, Mas.”
“Kenapa?”
“Lihat bawahnya serem. Gimana kalau gondolanya berhenti di tengah-tengah? Mati mesinnya. Terus kita kejebak, sinyal hilang, terus ....”
“Ssstttt.” Dipta menempelkan ibu jari di bibirnya. “Kamu kayaknya masih cocok di divisi entertainment, Dy.”
Ody meninju lengan Dipta dengan sebal.
“Jadi naik, Mas?”
“Jadi, Pak.”
“Ya udah naik aja sendiri.” Ody hampir berbalik, tapi berhasil ditahan.
“Dy, jangan gitu dong. Ini nggak serem kok. Jauh lebih serem lihat kamu kejebak di tengah para demonstran. Percaya sama aku.”
“Ya tapi bentar. Aku mikir dulu.”
Dipta mengangguk. Menoleh ke petugas gondola. “Sebentar ya, Pak. Calon istri saya ini susah-susah gampang.”
Mereka keluar dari antrean, memberi kesempatan ke keluarga kecil berikutnya yang ingin naik gondola.
“Tuh, lihat. Anak lima tahun berani tuh naik.”
“Ya udah kamu ikut naik sana. Aku tunggu di sini.” Ody sudah cemberut.
“Yaah, nggak seru dong, Dy. Aku maunya naik gondola sama kamu.”
“Tapi aku takut, Mas.” Dia mulai merajuk.
“Ada aku. Nggak usah takut.” Dipta meraih tangan Ody yang dingin. Dia mencoba menghangatkannya. Seketika menyesal sudah memaksa Ody. “Takut beneran, ya? Ya udah, kita cari makan. Kamu mau makan sesuatu?”
“Kita udah jauh-jauh sampai ke sini, Mas. Nggak lucu juga kalau nggak nyobain gondola.” Ody menarik napas dalam-dalam. “Oke, aku nggak apa-apa. Ayo kita naik.”
“Yakin?”
Sesaat Ody kembali ragu. “Iya. Ayo, keburu antreannya banyak lagi.”
Dipta tidak pernah melepas tangan Ody, bahkan ketika mereka sudah ada di dalam gondola. Kotak besi itu bergerak pelan, meninggalkan tepian. Tapi Ody masih saja menutup matanya. Dipta menggunakan kesempatan ini untuk mengeluarkan kotak kaca dari saku bagian dalam jaketnya.
“Dy, buka mata.”
“Nggak mau.”
“Justru kalau merem malah lebih takut.”
Ody akhirnya menurut. Meski pelan-pelan, dia membuka mata sepenuhnya. Matanya sontak mengerjap mendapati kotak putih sudah terbuka di depan matanya.
“Katanya Sabtu?” Ody menatap cincin dan Dipta bergantian.
Dipta terkekeh. “Cincin ini udah lama, Dy. Mau aku kasih ke kamu, tapi selalu ragu. Aku takut kamu belum siap melangkah bersamaku. Aku takut kamu belum melupakan Regan. Tapi, aku sekarang yakin. Aku mau kamu pakai cincin ini.”
“Terus Sabtu nanti ngasih cincin lagi, Mas?”
Astaga. Kenapa Ody menjadi lawak begini?
“Sampai Sabtu nanti, cukup pakai cincin ini.”
“Biar apa?”
“Biar aku nggak ragu lagi, Dy.”
Ody mengerti. “Maaf kalau aku selalu membuat Mas ragu.”
“Nunggu kamu itu menyenangkan, Dy. Seharusnya berat. Tapi aku happy. Bisa lihat kamu setiap hari. Menjadi bagian dari hari-hari yang kamu lewati. Dan sebentar lagi, menjadi bagian dari kamu.”
“Gombal.”
“Kamu mau terima cincin ini, Dy?”
Sejenak Ody terdiam. Menimbang beberapa hal. Dipta menunggu dengan sabar. Hingga dia menahan napas ketika Ody melepas cincin yang selalu dia pakai di jari manis.
“Dy ....”
Ody mendongak, tersenyum dengan mata berair. “Coba lihat, Mas pinter nggak milih cincin. Bisa pas di jariku apa nggak.”
Dipta justru mematung. Dia menunggu air mata yang menggenang itu luluh. Dia mengenal Ody dengan baik. Dalam beberapa situasi, Ody perempuan tegar. Tapi pada saat tertentu, Ody bisa menangis tanpa alasan. Kali ini, Dipta mengerti tanpa perlu bertanya.
Cincin itu. Seluruh hati Ody ada di sana. Pada sebentuk cincin sederhana yang berukir nama di dalamnya.
Seharusnya Dipta bahagia. Ody sudah melepas cincin itu. Bukankah semua penantian Dipta sudah tergenapi? Terjawab? Dia tidak perlu berdiri dengan penuh keraguan, sementara hatinya terus percaya bahwa suatu hari nanti Ody akan berpaling padanya.
Dan hari itu sudah tiba. Tapi bukan dengan tangisan Ody begini.
“Percaya, Mas. Aku hanya terharu.” Ody bisa merasakan bagaimana lelaki ini menatapnya khawatir.
“Kamu bohong.”
“Aku ingin memulai semuanya, Mas. Tolong yakinkan aku.” Buliran bening kembali mengalir di pipinya. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku ingin lepas dari bayangan apa pun tentang Regan.”
“Kalau kamu belum siap, aku bisa nunggu lagi, Dy.”
Ody mengusap kedua pipinya. Lalu menjulurkan tangan kirinya. “Ayo, Mas, kita mulai semuanya.”
***
——————
Apakah bab ini agak nyesek?
Aku nyesek pas ngetiknya 😔
Happy satnite anyway!
Kangen juga lama gak update. Kangen kalian!!! ❤❤
Selamat datang para pembaca baru *gelar karpet penuh beling*
😆😆😆
Habis gini mau ngilang lagi. Fokus ke tujuan utama. Nulis sampe kelar, baru boom update atau update sehari satu bab.
See you when I see you 🐨
Sabtu, 16/02/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top