16. Yang Tidak Pernah Berubah (2)

  Gerimis tetap turun sendu ketika mobil Regan meninggalkan kedai nasi goreng. Sisa percakapan mereka berjalan apa adanya. Mengobrol ringan seputar isu sosial. Mengenang beberapa hal yang perlu saja. Sisanya, benar-benar diam. Mereka tidak sedang mengenang. Atau mungkin memang seharusnya bersikap seperti orang asing saja.

  Tapi gerimis yang turun membawa banyak kenangan menyeruak di kepala. Menyerang dari berbagai sisi.

  “Mobil baru?” Ody akhirnya menanyakan hal ini. Memecah sunyi yang menyekat. Tidak ingin diam dan larut dalam kenangan yang siap terputar di kepala.

  “Yaps.”

  “Oh iya, mobil kamu yang dibeli Mas Dipta udah ringsek.”

  “Kenapa?”

  “Tiga tahun lalu Mas Dipta kecelakaan. Mobilnya rusak parah di bagian depan.”

  Regan membahasi bibir, bingung harus merespons seperti apa. Jadi, Ody kembali mengambil alih percakapan. “Aku dengar Gita udah pindah ke sini ya?”

  “Iya, udah. Sekitar dua minggu yang lalu.”

  “Gimana? Kerasan sama rumah baru?”

  “Kerasan. Cuma kadang masih takut. Padahal rumahnya nggak angker. Jadi, beberapa kali aku harus tidur di sana. Nemenin.”

  Ody hanya manggut-manggut seraya melarikan pandangan keluar jendela yang buram oleh gerimis.

  “Kalian kalau dilihat-lihat kayak keluarga bahagia.” Ody teringat ketika di supermarket. “Kamu, Gita dan mamanya.”

  “Iya, ya? Mungkin karena kami selalu keep in touch.”

  Sadarkah Regan jika kalimatnya barusan sangat tidak adil untuk Ody? Kenapa hanya Ody yang disingkirkan dari hidupnya? Kenapa hanya Ody dan tidak yang lain? Memangnya Ody benar-benar membebani? Seberapa banyak membebani hingga Ody harus disingkirkan?

  Ody pias menatap kaca yang semakin memburam. Sedang membujuk hatinya untuk menekan perasaan apa pun yang tidak perlu. Dia harus waras. Dia tidak harus menangis untuk lelaki ini lagi. Tidak, setelah semuanya. Mereka boleh menghabiskan banyak waktu di masa lalu. Tapi tidak di masa depan.

  Dering ponsel membuatnya sadar. Satu nama yang sudah dia tebak akan menelepon, muncul di layar.

  “Halo, Mas.”

  Regan melirik sebentar sebelum kembali fokus ke depan.

  “Kamu masih di kantor? Aku jemput ya.”

  “Ini udah perjalanan pulang.”

  “Sama siapa?”

  “Temen, Mas.”

  “Oh ya udah, hati-hati, Dy.”

  “Mas di mana?”

  “Baru pulang dari nyari baju.”

  “Tumben? Biasanya ‘kan Mas paling males kalau nyari baju.”

  “Ini beda. Sabtu ini ‘kan hari spesial.”

  “Oh ya? Emang Sabtu nanti ada apa?”

  “Melamar kamu.”

  Ody menelan ludah.

  “Aduh, harusnya aku bilang langsung. Nggak lewat telepon begini. Jadi nggak so sweet ‘kan. Aku mau lihat secara langsung wajah kaget kamu.”

  “Mas ... yakin Sabtu ini?”

  “Tuh ‘kan kamu pasti kaget. Aku tunggu di lobi yaa.”

  “Hah?”

  “Aku udah di apartemen kamu sebenarnya. Mau ngasih kebaya sama batik. Tadi Mama yang pilih.”

  Ody semakin linglung. Tunggu. Kenapa Sabtu? Kenapa secepat ini? Dan kenapa dia baru diberitahu sekarang?

  “Mas ....”

  “Kamu sampai mana? Aku udah risi dilirik terus sama mbak-mbak resepsionis ini.”

  Mau tak mau, meski masih kaget, Ody tertawa juga.

  “Jangan ketawa, aku makin kangen.”

  “Apa sih. Udah ya, Mas. Lima belas menit lagi aku sampai apartemen.” Ody menyudahi sambungan itu.

  “Re, boleh mampir bentar ke minimarket lampu merah depan?”

  Regan mengangguk. Segera menyalakan lampu sein ketika minimarket yang dimaksud Ody sudah terlihat.

  “Minimarket baru Mas Iyan. Baru buka awal tahun ini.” Ody melepas sabuk pengaman. Regan juga melakukan hal yang sama. “Mau turun juga?”

  “Udah berapa cabang sekarang?”

  “Sepuluh ada mungkin.”

  “Mas Iyan ada di sini?”

  “Kemungkinan besar ada.”

  “Oke, mau nyapa pengantin baru.”

  Tapi muncul di pintu minimarket bersama Regan bukanlah ide bagus. Dan tebakannya benar. Begitu Ody mendorong pintu kaca, cengiran lebar segera menyambutnya.

  Iyan nyengir ganjil kemudian pura-pura terbatuk ketika Regan muncul di belakang Ody. Sungguh menyenangkan melihat mereka berdua muncul di pintu minimarket. Seperti de javu saja.

  “Mau beli es krim ember?”

  Regan dan Ody terdiam. Iyan semakin gencar menggoda. “Jangan pasang wajah bego, dong. Dulu kalian ‘kan suka makan es krim ember berdua. Masa’ lupa? Padahal rasanya baru kemarin kalian berantem di minimarket. Lucu juga kalau diingat. Nggak berasa ya udah lewat tujuh tahun.”

  “Mbak Maya ada, Mas?” Ody mengabaikan apa pun yang dia dengar barusan.

  “Tadi pamitnya ke salon. Dara juga ikut.”

  “Dara? Udah sebesar apa sekarang, Mas? Waktu itu nggak ketemu di nikahan lo.” Regan menyahut ketika nama itu disebut.

  “Dia kena cacar waktu itu.” Iyan berkacak pinggang di balik meja kasir. “Berubah banyak dia. Pipinya udah nggak gembul sejak kenal Maya.”

  “Diapain emangnya, Mas?”

  “Detox atau apalah itu.”

  Ody yang sedang memindai isi lemari pendingin, menyahut. “Diajak jadi kambing.”

  Regan menoleh, terkekeh.

  “Habis dari mana kalian? Kok bisa bareng. Ody selama lo nggak ada, pasti bareng Dipta mulu. Ini tumben lain sopirnya.”

  “Nggak sengaja ketemu di jalan.” Dijawab dengan santai.

  Iyan menyeringai. “Sengaja juga nggak apa-apa sih. Gue nggak suka ngadu domba kok, Re.” Dia memelankan suaranya, melirik Ody dan kembali menatap Regan. “Dia emang bahagia sama Dipta. Tapi dia lebih bahagia sama lo.”

  Regan sempat terdiam. Lalu mengibaskan tangannya. “Ngaco lo, Mas. Calon bini orang. Gue nggak berani nikung.”

  “Yee, serius nih. Apa karena gue terbiasa lihat kalian berdua dulu? Pas masih lucu-lucunya. Sekarang kalian kayak orang asing. Nggak nyangka gue. Lo jahat ninggalin Ody gitu aja.”

  Kalimat itu menampar Regan.

  “Kita masih temenan, Mas. Nggak usah nyinyir.” Ody meletakkan dua botol air mineral di meja kasir. Mengeluarkan dompet, hendak membayar.

   Iyan melotot ke Ody. “Ipar kurang ajar. Pake mau bayar segala.”

  Ody menghela napas dan menatap Iyan lekat. Bukan karena umpatan barusan. Ody  dengar semua yang Iyan katakan ke Regan. Tapi bagian yang menyebalkan adalah dia tidak bisa mencegah beberapa orang yang juga memiliki kenangan atas mereka.

  Mereka pamit sebelum Iyan menggoda lagi.

  Ody mengangsurkan satu botol ke Regan. “Sampai sini aja, Re.”

  “Eh?”

  “Nggak usah antar sampai apartemen.”

  “Kenapa?”

  “Cuma lima menit jalan.”

   Regan berpikir sebentar. Lalu mengangguk. Dia dengan cepat bisa menemukan alasannya sendiri. “Oke, hati-hati. Dan makasih untuk hari ini.”

   Di samping mobil, mereka berdiri berhadapan. Terpisahkan jarak satu meter. Ody menatap botol di tangannya. “Apa pun yang dibilang Mas Iyan, jangan diambil hati ya.”

  “Iya.”

  “Dan satu hal lagi.” Jeda sejenak. “Kita masih bisa berteman, ‘kan?”

  Regan menatap Ody yang menunduk. Dia hendak menjawab, tapi kalah cepat.

  “Atau misal nggak, juga nggak apa-apa.” Ody mencoba tersenyum. “Kamu benar, aku mungkin udah berubah tanpa aku sadari. Nggak ada yang benar-benar pasti di dunia ini, ‘kan? Tahu kamu sehat dan baik-baik saja, itu cukup. Jangan pernah terbebani dengan apa-apa, Re. Biar langkahmu ringan.”

  “Dy, aku ....” Suara getaran ponsel milik Ody menghentikan kalimat Regan.

  Ody hampir lupa kalau ada yang menunggunya. “Duluan, ya. Aku udah ditunggu.” Bertemu tatap dengan Regan sekilas sebelum berbalik.

  “Sebentar, Dy.” Regan berlari, menghadang di depan Ody. “Kenapa kamu begini?”

  Ody menatap bingung. “Begini gimana?”

  “Kamu harusnya marah. Bukan sebaliknya, mempertanyakan pertemanan di antara kita. Kamu pikir setelah aku nyakitin kamu, memangnya apa yang aku harapkan?”

  Ody tersenyum. “Apa sikapku yang ini juga membebani?”

  Regan mengusap wajah frustrasi.

  “Kamu maunya gimana? Aku harus marah? Iya, aku marah. Aku nggak habis pikir kenapa cuma aku yang kamu singkirkan dari hidup kamu. Sementara yang lain, mereka tetap tahu kabar kamu. Aku coba ngerti, memahami apa pun. Aku emang marah, tapi aku nggak bisa benci.” Ody mengatakannya setenang mungkin. Meski di hatinya, gemuruh itu terdengar jelas. Hingga dia takut akan lepas kendali dan menangis di sini.

  “Kenapa, Dy? Bukankah apa yang aku lakukan cukup untuk membuatmu benci?”

  “Kenapa harus kembali kalau hanya untuk mengacaukan semuanya, Re? Bertahun-tahun aku menata hidup, berusaha untuk melupakan apa pun tentang kita. Dan menerima fakta bahwa segala hal yang pernah aku impikan ... tentang kita ... hanya impian yang sia-sia.”

  “Aku udah bilang sejak awal kalau kita—”

  “Jangan naif, Re! Aku tahu apa yang kamu rasakan, meski kamu selalu mencoba menjadi abu-abu. Kenapa hanya aku yang menanggung perasaan ini?”

  “Nggak ada yang nyuruh kamu untuk nanggung perasaan!” Regan hampir tersulut. Lantas terdiam, menelan ludah. Menyadari sesuatu. “Dy, kamu masih ....”

  “Dy ....”

  Suara itu bukan milik Regan. Tapi berasal dari belakang Ody.

  Ody menoleh tanpa berbalik. Mendapati Mas Dipta berdiri tak jauh di belakangnya. Sedang tersenyum tipis. Berbanding terbalik dengan wajah Ody yang pias di bawah penerangan lampu jalan yang temaram. Wajah yang mungkin memerah menahan marah dan air mata.

  “Maaf bikin Mas nunggu lama.” Ody berbalik. Berusaha tersenyum. Namun sepertinya gagal. Senyumnya mungkin terlihat menyedihkan.

  “It’s okay, Dy. Iyan ngabarin kalau kamu di sini, makanya aku nyusul.” Mas Dipta mengulurkan tangan kanannya. Bertanya lembut, “Pulang sekarang?”

  Iyan sedang berdiri di depan freezer seraya menatap ke arah jalan raya. Dia memang sengaja mengabari Dipta. Dengan harapan mereka bertiga bertemu dan duduk bertiga, menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Atau paling tidak, biar Ody bisa tegas dengan pilihannya. Iyan ingin melihat Ody bahagia.

  Tanpa ragu Ody meraih tangan itu. Berusaha tidak berbalik ketika Mas Dipta beralih menatap Regan. “Thanks udah nganter Ody, Re.”

  Regan mengangguk pelan. Tapi matanya tidak lepas dari tangan Ody di dalam genggaman itu.

  Dia baru saja melakukan kebodohan yang lain malam ini.

***

  “Mas  ....”

  Mas Dipta berhenti ketika tangannya terasa diremas. Mereka sudah sampai di depan gerbang apartemen. Sepanjang jalan mereka saling diam. Ody sibuk menunduk, menatap keramik trotoar yang basah. Sementara Mas Dipta mencoba menepis prasangka-prasangka yang mengganggu.

  “Kenapa, Dy?”

  “Mas dengar semuanya?”

  Dirangkumnya kedua tangan Ody yang dingin. “Aku dengar semuanya. Maaf, Dy.”

  “Aku bisa jelaskan, Mas.” Ody menatap tangan hangat yang menggenggamnya.

  “Kita sudah sejauh ini, Dy. Aku nggak mau ada keraguan di antara kita.” Mas Dipta menghela napas. Meremas jemari Ody lembut. “Aku percaya sama kamu.”

   Jika Mas Dipta bisa seyakin ini atas hubungan mereka, kenapa Ody justru meragu? Apa yang perlu dia ragukan? Dia perlu bukti apa lagi agar percaya dengan lelaki ini? Bertahun-tahun, Mas Dipta selalu ada. Mengisi ruang yang kosong. Alih-alih meragu, dia seharusnya mulai belajar untuk mencintai Mas Dipta. Dan melupakan segala hal yang tidak mungkin menjadi nyata.

   Ody harus terima jika di dunia ini, apa yang dia miliki mungkin lebih berharga dari apa yang coba ingin dia pertahankan. Dan kali ini, dia harus melepaskan masa lalu jika tidak ingin kehilangan lelaki ini.

  “Bantu aku sekali lagi, Mas.”

  “Bantu apa?”

  “Melupakan Regan. Aku janji ini yang terakhir.”

***

Yaaak, semakin gaje permisah. Makin gak jelas maunya author gimana. Wkwk.

Benci Regan sepuas mungkin ya. Soalnya besok-besok kalian mungkin gak bisa benci lagi (?)

Btw, apa kabar readers kesayangan? Ada yg kangen aku? 😅😂

Minggu, 03/02/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top