15. Yang Tidak Pernah Berubah


Satu pesan singkat masuk ke ponselnya beberapa menit yang lalu. Dari sederet angka yang tidak dia kenal. Lima kata yang coba dia abaikan. Tapi nyatanya cukup mengganggu. Ponselnya di atas meja masih menampilkan pesan itu.

“Eh, balikin catokan gue.”

“Udah. Lo lupa naruh kali.”

“Nggak mungkinlah. Lo pasti ngaku balikin, ternyata belum!”

“Fitnah!!”

“Mbak.” Regan menyela suara bising di divisinya.

“Hm?” Anggun memundurkan kursinya seraya menggigit apel. Sedari tadi dia tidak berhenti mengemil buah.

“Soal waktu itu ... nggak usah.”

“Soal apa?” Kening Anggun berkerut.

“Yang itu ....”

“Soal apa, Regan?” Anggun mulai gemas.

“Yang ngopi bareng Ody.”

“Oh.”

“Nggak usah, Mbak.”

  Satu asumsi melintas di kepalanya. “Ody ngajak kamu ngopi?”

  “Makan siang.”

  “Ada angin apa?” Anggun menegakkan duduknya. “Aku belum ada ngomong apa-apa ke Ody padahal.”

  “Nggak tahu, Mbak. Katanya penting.”

  “Datang aja. Ody kalau bilang penting, biasanya penting beneran.”

  “Tapi ....”

  “Kamu khawatir soal Dipta? Tenang, dia nggak cemburuan kok ....” Anggun baru sadar kalau salah ucap. Dia menatap tumblr di atas mejanya. Tapi tidak ada yang salah dengan kalimatnya. “Tapi, dia memang harus cemburu mulai sekarang.”

Regan manggut-manggut lalu meraih ponselnya. Dia mengetik balasan cepat. Menolak untuk bertemu.

Anggun menoleh. “Kamu bales gimana?”

“Aku lupa, Mbak, kalau siang ini mau ketemu klien baru.”

Di tempat duduknya, Anggun menatap prihatin.

***

Pesan dari nomor yang sama datang lagi sorenya. Ketika Regan baru saja selesai bertemu klien. Di teras restoran, dia mengusap layar, mendapati sepuluh missed call dan satu pesan. Tanpa firasat apa pun. Hingga isi pesan membuat langkahnya tergesa menuju parkiran.

Jalanan utama ibu kota macet menjelang petang. Regan harus menekan klakson berkali-kali. Dia tidak peduli dengan umpatan-umpatan ketika dia menyalip sembarangan. Fokusnya hanya menekan gas kuat-kuat. Dia harus segera sampai di rumah sakit. Memastikan sendiri apa yang tertulis di pesan tadi.

Dia kalap, sejadi-jadinya. Seperti orang kesetanan dia berlari ke lobi rumah sakit. Dia sudah menekan paniknya, berusaha tenang, tapi tidak bisa. Petugas jaga yang dia tanyai pun tampak kaget.

“Pasien bernama Diana, Sus. Tolong cari lagi yang teliti.”

“Tidak ada, Pak.”

Regan mengusap wajah. “Nyonya Danu.”

Petugas itu kembali ke komputernya. Mencari nama yang dimaksud. Nihil. Tidak ada. “Maaf, Pak, tidak ada.”

Regan menjauh dari meja itu. Mengeluarkan ponsel dan mencari nomor yang belum sempat dia namai. Panggilan pertama, nomor tidak aktif. Regan makin panik. Panggilan kedua masih sama. Panggilan ketiga, terdengar nada sambung empat kali sebelum suara lain muncul.

“Mama di mana, Dy?!”

***

Di kamar besar itu, menyisakan mereka berdua. Suara pendingin ruangan berdesis. Menjadi satu-satunya suara di ruangan itu. Lima menit yang lalu, semua orang meninggalkan ruangan ini. Membiarkan dua orang itu saling ‘menyapa’. Meski hingga sekarang, lima menit sudah berlalu seperti jeda yang lama. Belum ada kalimat sapaan, yang sebenarnya, masing-masing dari mereka harapkan.

“Mama tadi buru-buru, jadi nggak lihat kalau ada motor lewat.” Diana membuka suara. Ditatapnya lekat-lekat kepala anaknya yang menunduk duduk di samping ranjang. “Mama kira kamu akan datang. Mama tidak ingin kamu menunggu lama.”

Regan enggan melepas tatapan dari jemari-jemarinya yang saling menaut. Dia belum siap dengan pertemuan ini. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia lontarkan, tapi tertahan dengan mudah oleh ego.

“Kalau-kalau kamu khawatir, ini hanya luka kecil, Re.” Diana menggigit bibir. Menahan isak yang nyaris keluar. “Tidak pernah sebanding dengan semua luka yang Mama beri untuk kamu.”

Tentang luka itu, Regan sudah mencoba menerima. Tidak ada dendam yang memberangus hati. Hanya saja sisa kemarahan itu membuat dinding egonya tetap kukuh. Entah akan runtuh oleh apa nanti. Atau biarkan begini saja. Regan sudah terbiasa. Dia bukan lagi remaja tanggung yang polos, mengharapkan semua hal berjalan seperti yang dia inginkan.

Dia sudah terbiasa kecewa. Jadi bukan masalah jika dia mati kesepian.

“Ma ....” Regan mendongak. Tatapannya bertemu dengan mamanya. Yang kalau saja Regan sadar, semua kerinduan tertuang jelas di sana. Di matanya, Mama tidak pernah berubah. Meski muncul banyak kerutan di wajah dan rambutnya yang memutih. Mamanya tetap cantik. Secantik dulu.

Regan melanjutkan, tercekat. “Maaf karena sampai detik ini aku masih marah.”

Diana mengangguk. Mengerti. “Sejak kamu pergi dari Mama, banyak hal yang Mama sesali. Bahkan, semuanya, Regan. Mama tidak berani memimpikan bertemu kamu seperti  sekarang. Mama ... terlalu malu.”

Tapi semarah apa pun Regan, bukankah bagi anak lelaki, Mama adalah cinta pertama dalam hidupnya? Perempuan pertama yang mengenalkannya pada dunia. Perempuan pertama yang mengantarkan tidurnya dengan dongeng-dongeng. Perempuan pertama, yang peluknya bisa menenangkan badai.

Kenangan itu tanpa ampun menyeruak bagai video hitam putih yang memenuhi tiap jengkal otak dan hatinya. Regan membiarkan dirinya disiksa oleh kenangan itu. Hingga satu tangan Mama menggenggamnya. Menariknya dari kubangan kenangan yang siap menelannya.

“Ketika Mama menjadi satu-satunya tempat kamu pulang saat itu, Mama sangat mengecewakan. Hingga Mama tidak berani meminta kamu untuk pulang. Kamu sudah sebesar ini. Kamu terlihat baik-baik saja. Setelah banyak waktu yang kamu lewati tanpa Mama, apa semuanya terasa lebih mudah, Re?”

Terlihat lebih mudah. Tapi untuk yang menjalani, tidak pernah semudah dan sesederhana itu. Tidak bisa terhitung berapa banyak Regan menatap langit malam. Mengadu banyak hal pada sunyi.

“Sebelum kamu pulang, boleh Mama peluk sebentar?”

Regan beranjak. Setelah menepis keraguan, dia memeluk perempuan yang tetap menjadi cinta pertamanya. Merasakan kehangatan yang bertahun-tahun sudah hilang dari hidupnya. Kepalanya diusap lembut.

“Apa Mama bahagia?” Pertanyaan yang pernah Regan tanyakan dulu.

Diana menangis. “Apa Mama terlihat bahagia?”

***

Ketika dia menutup kamar mamanya dari luar, Ody langsung berdiri. Tapi buru-buru menahan diri untuk tidak melontarkan pertanyaan apa pun.

Danu juga berdiri ketika Regan melangkah ke arahnya. Dia siap jika anak itu akan memuntahkan semua kemarahannya selama ini.

“Tolong jaga Mama, Om.” Hanya itu dan Regan memutuskan untuk tidak berlama-lama di sana. Dia takut akan kalap dan membuat keributan di rumah itu. Dia bahkan tidak memberi kesempatan Danu untuk menjawab.

Ody menyusul Regan sedikit kewalahan. “Tunggu, Re, tunggu.”

Tiba di depan mobilnya, Regan berbalik. Ody justru terdiam, lupa dengan hal yang ingin dia katakan.

“Mau bicara apa?”

“Sambil jalan aja.”

“Memangnya nggak dijemput Mas Dipta?”

Ody merasa tersindir. “Oke, aku pesan taksi aja.”

“Masih aja sensi. Masuk, Dy. Kamu utang penjelasan.” Regan menekan kuncinya. Terdengar suara bip.

Seraya masuk ke mobil, Ody mencibir pelan. Justru lelaki itu yang punya banyak utang penjelasan padanya.

Mobil Regan bergabung dengan padatnya lalu lintas di malam hari. Ody mulai menceritakan kronologis kenapa tangan Diana sampai diperban.

“Oke, sori, niatnya ngajak makan siang memang sama Tante Diana. Aku berniat mempertemukan kalian. Tante Diana udah excited. Sampai nggak bisa dihubungi kalau ternyata anaknya nggak bisa datang. Sampai restoran, aku kaget lihat kemeja putih Tante Diana yang penuh darah.”

Regan menginjak rem mendadak. Hampir saja menabrak mobil di depannya. Dan Ody hampir mencium dasbor. Dia dengan gemas, cepat-cepat mengenakan sabuk pengaman yang lupa dia pakai tadi.

“Tante Diana sedih begitu tahu kamu nggak bisa karena ketemu klien. Sementara aku panik lihat darah yang terus netes.”

“Aku nyari di rumah sakit yang kamu maksud, tapi nggak ada.”

“Penuh IGD-nya. Ponselku lowbat. Nggak bisa ngabarin kalau kita pindah ke klinik dekat kantor. Lagian kenapa harus ganti nomor segala?!” Ody mendadak galak.

Regan menoleh kaget.

“Sori, aku nggak maksud marah. Jangan diturunin di pinggir jalan.”

Regan kembali fokus ke jalan, sekaligus menahan senyum. “Dy, kamu bilang kantormu sama mamaku sebelahan ya? Berarti kalian sering ketemu. Atau paling nggak, kamu mungkin sering lihat mamaku ....”

“Iya, sering. Terus?”

“Boleh ceritain hal-hal yang udah terjadi selama aku nggak di sini? Hal-hal yang aku lewatkan.”

“Bisa. Sambil makan ya? Aku dari pagi belum makan.”

Begitu menemukan kedai nasi goreng yang ramai, Regan langsung menepikan mobilnya. Seingatnya, Ody doyan makan apa saja. Lagian ramainya kedai itu menandakan kalau nasi gorengnya pasti enak.

Mereka mendapat meja di luar, ada satu payung besar yang menaungi. Ody tidak mengeluh apa-apa soal kedai pilihan Regan. Dua teh hangat datang semenit kemudian, tapi mereka harus sabar menunggu pesanan datang. 

Regan menyesap teh hangatnya. Ody mengetuk meja dengan kukunya. “Nggak banyak yang berubah kok, Re. Jangan khawatir.”

“Banyak, Dy.”

“Setidaknya kabar tentang mamamu, itu yang terpenting.” Ody tidak ingin topik melebar ke mana-mana. Juga untuk mengantisipasi terbukanya kenangan lama milik mereka. Yang selalu mati-matian Ody pukul mundur.

Namun, duduk berdua dengan lelaki itu, di tengah keramaian, di antara sayup-sayup lagu yang dinyanyikan pengamen ... Ody terlambat, ruang kosong itu kembali tercipta.

Di bawah penerangan yang temaram, Regan bisa melihat wajah di depannya tersenyum. Dia seperti tertarik ke belakang, ke beberapa tahun silam, ketika duduk berdua dengan Ody sudah cukup untuk membuatnya bahagia. Tidak. Dia harus tetap waras. Ody yang duduk di depannya bukan lagi Ody yang dulu. Dan dirinya sendiri, mungkin sudah berubah banyak tanpa dia sadari.

“Tante Diana pindah rumah sejak kamu memutuskan kuliah di Bandung. Waktu itu aku nggak cerita apa-apa karena biar kamu tahu sendiri. Aku juga lost contact lama. Sampai dua tahun lalu aku kerja di media, dan ternyata kantor kami bersebelahan. Kami sering lunch bareng. Ngobrol banyak hal. Kamu tahu?” Ody menghela napas. “Di saat aku mulai bisa melupakan apa pun tentang kita, aku harus menghadapi Tante Diana yang setiap hari selalu bercerita tentang kamu.”

“Maaf ....”

“Sebentar, Re, aku belum selesai.” Ody terkekeh. Dia ingin menggigit lidahnya sendiri yang justru membawa embel-embel ‘kita’. “Tante Diana sangat rindu kamu. Aku bahkan bisa merasakan bagaimana beratnya penantian seorang Ibu. Sekali lihat, semua orang akan tahu bagaimana rindu itu menggunung. Nggak, aku salah. Tanpa bilang begini pun, kamu bisa lihat sendiri tadi.”

Ody benar. Regan tidak perlu diyakinkan lagi bagaimana sang Mama rindu padanya. Rindu yang mungkin lebih besar dari yang Regan rasakan.

“Begitu juga dengan kamu. Tanpa bilang pun, aku tahu bagaimana rindu itu lewat mata.” Ody menatap lurus lelaki di depannya.

Regan belum siap menerima tatapan itu. Tapi dia mendapati dirinya hanyut. Lewat mata itu, Regan ingin sekali bilang betapa dia sangat merindukan dua wanita. Tidak hanya sang Mama. Tapi juga wanita di depannya ini. Andaikan saja wanita ini tahu, berapa banyak waktu yang dia lalui untuk mengenang tentang mereka.

  Namun, bagian yang menyedihkan adalah Regan tidak berani melangkah. Dia tidak punya keberanian untuk meraih tangan wanita ini.

Dia terlalu pengecut. Katakanlah begitu. Setiap dia berhasil mengumpulkan keberanian untuk muncul di hadapan Ody, masa lalu miliknya selalu membayang. Seruan-seruan muncul di kepalanya. Memaksanya kembali mundur. Kembali ke zona nyaman. Di mana hanya ada dia sendiri di sana.

Bagaimana dia bisa memiliki wanita sesempurna di depannya ini? Bagaimana dia bisa berani meminta untuk ditemani seumur hidup? Jika sebatas bertemu saja, dia malu.

Ody sempurna, tanpa cacat masa lalu. Sementara dirinya, hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang menyedihkan. Merelakan wanita ini untuk bersanding dengan lelaki yang lebih baik adalah keputusan bijak.

Dia akan ikut berbahagia melihat wanita ini bahagia. Segala hal yang terjadi besok, biarlah terjadi sebagaimana mestinya. Regan tidak akan menjadi penghalang. Dia hanya akan membesarkan hati. Dia sudah belajar bahwa dunia ini tidak melulu hanya satu nama.

Tatapan itu terputus ketika pesanan mereka datang. Uap nasi goreng segera menguar di udara. Ody kembali ke jalur sebelum dirinya melangkah terlalu jauh. “Kesehatan Tante Diana sempat menurun. Sering banget lihat wajahnya yang pucat. Beberapa kali nggak sengaja ketemu Tante Diana sama Om Danu di rumah sakit pas aku nemenin Mbak Anggun check-up.”

Ody mengaduk nasi gorengnya. Mempertimbangkan sesuatu. Dia takut menyinggung. Tapi dia sudah memendam ini lama. Pertanyaan yang sebenarnya sederhana. “Re ... kamu sudah memaafkan mereka?”

Regan menatap jalanan yang mulai basah oleh gerimis. “Aku sudah memaafkan mereka lama. Tapi bagian menerima, aku belum bisa sepenuhnya.”

“Maaf harus bilang ini.” Ody mengambil jeda. “Mereka bahagia, Re. Terlepas bagaimana Tante Diana kehilangan kamu.”

“Aku tahu.”

“Maaf kalau aku ikut campur.”

“Kalau kamu begini, aku seperti melihat Ody yang dulu.”

“Memangnya aku sekarang Ody yang berbeda?”

Regan mengangguk.

“Bedanya?” kejarnya.

“Kamu lebih cantik.” Regan mencoba berseloroh.

Namun Ody tidak tertawa. “Kamu juga berubah banyak, Re.”

“Oh ya?”

“Tapi anehnya, di saat-saat tertentu, kamu masih Regan yang dulu.”

“Banyak waktu yang udah terlewati, sangat wajar kalau kita bukan kita yang dulu.”

Ody tersenyum. “Atau sebaliknya, sebanyak apa pun waktu yang dilewati, seseorang masihlah sama. Supaya yang pergi, ketika kembali, tetap mengenali.”

Percakapan itu terhenti di sana. Dibiarkan menguap bersama angin malam yang berembus pelan di tengah keramaian. Berbanding terbalik dengan sunyi hati mereka yang mencari jawab.

***

———————

Sepuluh hari gak nulis, rasanya kaku semua. Gak cuma jari, tp imajinasi mendadak freezing 😭😭😭

Jadi, harap maklum kalo bab ini gaje abis (╥_╥)

Doakan lancar nulis Dekap, karena aku mulai kendor semangatnya 😔

Rabu, 23/01/2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top