11. Tahu Diri
Satu pesan masuk. Setelah membacanya sekilas, membalas cepat, Regan segera mengemasi barangnya. Mematikan layar komputer dan berdiri seraya menyandang tas berbentuk tabung. Pekerjaannya sudah selesai sejak tadi. Jadi dia hanya menunggu pesan masuk. Beberapa karyawan juga masih bertahan di kantor. Entah mengukir kuku atau sedang menonton drama Korea. Bukan akhir bulan, jadi mereka bisa bersantai di weekend seperti ini.
“Babang Regan mau ke mana? Buru-buru amat. Mau kencan sama siapa?” Anto menegur sambil memainkan bantal leher. Suaranya dikeras-keraskan. Dia sengaja membuat para perempuan di lantai ini patah hati nasional. Dan memang berhasil membuat kepala para perempuan yang tadi menatap layar komputer lekat-lekat, langsung mendongak maksimal. Yang sedang mengecat kuku, sampai menyenggol botol kutek. Tumpah lalu ngomel sendiri.
“Apa sih, Mas. Orang janjian sama temen kok.”
Anggun ikut menoleh. “Re, minta nomor rekening dong. Susah banget dimintain dari kemarin.”
“Temen apa temen?” Lalu pura-pura terbatuk.
Tapi Regan lebih memilih menanggapi Anggun. “Nggak usah, Mbak. Traktir ngopi aja kapan-kapan.”
“Nggak bisa gitu. Dua hari cuma dihargai kopi? Apalagi Kenzi suka banget sama muralnya.” Anggun meraih dompetnya di meja. “Aku kasih cash aja—”
“Regan, janjiannya sama temen cewek atau cowok?” Tania menyahut tidak sabaran, hingga tanpa sadar memotong kalimat Anggun. Yang dipotong kalimatnya padahal menoleh tajam.
Regan melirik jam di tangan. Dia memperhitungkan waktu. “Cewek.”
Tania menghempaskan diri ke kursi seraya menepuk dada atas sebelah kiri.
“Tania, tunggu abang di parkiran.” Anto menyisir rambutnya yang klimis dengan jemari. Tania membuat gerakan ingin muntah.
“Serius, Mbak. Nggak usah.” Regan kembali ke Anggun yang masih sabar menunggu. “Ganti kopi aja.”
“Maksudnya ngopinya bareng Ody gitu, ya?” Anggun memperparah situasi. “Soalnya aku nggak suka ngopi.”
“Bukan, Mba—”
“ODY SIAPA LAGI?” Tania mulai kesurupan.
“Iya, gampang bisa diatur.” Anggun mengedipkan mata. “Sana, keburu macet.” Regan kemarin sempat cerita kalau hari ini temannya dari Bandung pindahan ke sini. Tapi memang dasarnya Anggun yang malas ikut menjelaskan. Biar saja semua salah paham.
Hingga pintu lift tertutup, Regan masih mendengar teriakan itu. “SIAPA ODY, REGAN? JELASIN DULU!”
***
Pukul lima sore, Regan sampai di sebuah kompleks yang cukup minimalis. Sesuai dengan permintaan Gita waktu itu, Regan akhirnya menemukan salah satu rumah yang eco friendly atas rekomendasi dari teman Kiki.
Regan disambut dengan pelukan hangat Tante Dewi. Cukup lama. Punggungnya ditepuk-tepuk. “Tante kangen sekali.”
“Tante apa kabar?”
“Baik, Re. Kamu kok kurusan?”
“Regan kejar setoran buat modal nikah, Ma.” Gita yang berdiri di depan pintu, tidak tahan untuk meledek.
“Loh, udah mau nikah?” Tante Dewi melepas pelukannya.
“Belumlah, Tan.” Regan terkekeh. Lalu menoleh ke Gita. “Udah lihat isi rumah?”
“Belum. Kami baru sampai. Sekalian nunggu kamu. Kata Gita, kantor kamu nggak jauh dari sini.”
Rumah itu berada di deretan tengah dari gerbang kompleks. Hanya ada tiga banjar. Rumah-rumah dengan bentuk minimalis tapi memiliki jalan yang lebar.
Gita dan mamanya tidak perlu repot-repot membawa perabot. Rumah ini sudah lengkap. Mungkin hanya perlu membeli beberapa barang untuk pelengkap.
Begitu pintu utama dibuka, Gita dan mamanya sibuk menatap sekitar. Mengagumi desain bangunan yang simpel dan pas pada tempatnya. Sementara Regan melepas tas tabungnya, meletakkannya di sofa, dan mulai mengecek isi rumah satu per satu. Dia mulai dengan mengetes lampu di ruang utama. Lampu ri teras depan. Lampu di dua kamar. Di ruang tengah. Di ruang makan yang langsung bergabung dengan dapur. Kemudian ke kamar mandi. Mengecek shower dan seluruh keran air yang ada di dalam rumah.
“Semuanya oke. Cuma lampu teras belakang mati ternyata. Coba dicatat, apa yang mau dibeli. Aku sekalian mau ke supermarket.”
“Aku sama Mama ikut. Mau beli-beli persediaan kulkas juga.”
***
“Ini kenapa isinya junk food semua?” Ody mendecak melihat list belanjaan Mas Dipta.
“Aku ‘kan belum ada istri, jadi masak yang simple-simple aja.” Dipta mendorong troli ke bagian rak mi instan. Mengambil lima bungkus.
“Contoh Mbak Maya tuh, Mas. Dia bisa makan daun aja.”
“Mau dibayar berapa juga, aku nggak mau makan salad, Dy. Tapi mungkin beda kalau yang buatin istri, apa aja aku bakal makan.”
Ody memutar bola mata dengan jengah. Lalu memaksa troli berhenti di deretan sayur. Dia memasukkan banyak jenis sayur, secara random, ke dalam troli. Dipta hanya cemberut melihatnya.
“Awas aja kalau beli banyak sayur gini, tapi kamu nggak mau masakin.”
“Iya, iya. Nanti dimasakin.”
Dipta yang ada di belakang Ody, tersenyum lebar. Dia tidak lagi protes ketika perempuan itu memasukkan sayur lagi ke troli mereka. Dia hanya menurut saja, mendorong troli dan mengikuti langkah Ody.
Sekarang ke bagian buah. Ody meraih plastik dari gulungan dan mengambil banyak lemon.
“Kamu mau buat maskeran lemonnya?”
“Ganti kopi sama air lemon hangat. Cangkir di apartemen Mas Dipta tuh sampai menghitam semua.”
“Ya tinggal beli cangkir lagi.”
Ody hanya menghela napas, dan kembali melangkah. Dipta padahal sudah siap kena omel.
Kalau sudah urusan belanja begini, Ody menjadi super galak.
“Bukan yang itu, atasnya lagi. Yang kanan, bukan kiri.”
“Dy, aku ke toilet sebentar ya. Tunggu di sini.”
Ody mengangguk. Lantas kembali ke suara tadi. Terpisahkan rak yang tinggi menjulang, dari celah tisu-tisu yang ditumpuk, Ody melihat tiga orang persis berada di sisi kanannya.
“Kok kayaknya lebih lucu yang sebelah kanan, ya?”
“Re, ini nih yang bikin Tante males belanja bareng Gita. Milih satu barang rasanya udah mau pagi aja.”
Regan tertawa. Tapi tetap mengambilkan lampu tidur yang ditunjuk Gita.
Diam-diam Ody menyimak. Kebetulan lorong tempat dia berdiri, sepi. Dia berdiri membelakangi rak. Mendengar tawa di belakangnya—lorong sebelah—dengan jelas. Juga obrolan ringan yang, kalau boleh Ody jujur, sangat berbeda ketika lelaki itu berbicara dengannya.
“Gimana tempat kerja baru?”
“Asyik, Tan. Orang-orangnya unik. Jadi berasa kayak rumah sendiri. Mungkin nanti aku nggak butuh apartemen, soalnya bisa sekalian tidur di kantor.”
“Syukur deh. Beda nih sama sebelah. Gita bilang lingkungan kerjanya kayak kanebo semua.” Tante Dewi merapat ke Regan, berbisik. “Dulu awal jadi Kepala Bagian, suka ngeluh ini-itu. Tante sempat khawatir. Tapi sekarang, dia udah betah. Kalau nggak ditelepon, nggak pulang.”
“Segitunya, Tan?” Regan tergelak.
“Aku dengar ya kalian gosipin aku.” Gita masih berdiri di rak bingkai—setelah tadi selesai dengan urusan lampu tidur. Tiba-tiba terlintas pikiran konyol. “Kapan-kapan foto keluarga yuk, Ma?” Mengingat tidak ada satu pun foto mereka bersama.
“Boleh. Kapan atur aja. Mama ngikut.” Tante Dewi menoleh ke Regan. “Kamu longgarnya kapan, Re?”
“Eh? Maksudnya?”
“Ikut foto.”
“Aku fotoin aja deh, Tan.”
“Re, kamu sudah kami anggap bagian dari keluarga.” Lalu menatap Gita. “Oke, gini aja. Kita fotonya kalau Regan longgar.”
“Bisa diatur.” Gita mengacungkan jempol.
“Dy?”
“Hah?”
“Ngelamun?”
“Iya, eh, nggak.”
“Kamu mau beli sesuatu lagi?”
“Nggak ada, kita langsung ke kasir aja.” Ody meninggalkan Mas Dipta di belakangnya.
“Hei, kasirnya belok ke kanan, Dy!”
Sontak Regan menoleh ke sisi kirinya. Mengedarkan pandangan lewat celah rak. Tapi tidak menemukan siapa-siapa di sana.
Ody menepuk dahinya dan berbalik arah.
***
Harum masakan segera tercium ketika Regan turun dari tangga portabel. Selesai mengganti lampu di teras belakang. Gita yang selesai mandi, langsung bergabung ke meja makan. Rambutnya yang basah bahkan awut-awutan, belum disisir.
“Nginap di sini ‘kan, Re?”
Regan berpikir sebentar. Selama ini, dia masih nomaden. Kadang tidur di restoran Adriana. Kadang pulang ke rumah Om Ardi. Tapi, mungkin Gita dan Tante Dewi butuh teman. Masih penyesuaian. Jadi, dia setuju. “Boleh, Tan. Tapi aku tidur di sofa tengah aja.”
“Kenapa?” Gita mengernyit. “Aku bisa tidur sama Mama.”
“Ya biar luas aja.” Regan menarik kursi, duduk. Tante Dewi dengan sigap mengambilkan nasi dan lauk. Padahal Regan sudah berniat mengambil sendiri.
Selesai makan, Tante Dewi masuk ke kamar. Memindah baju miliknya dari koper ke lemari. Sementara Gita ikut meluruskan kaki di ruang tengah. Menatap layar pipih yang menayangkan acara talkshow.
“Aku lihat Ody di supermarket tadi.”
Regan mulai memindah channel dengan bosan. Jadi sekilas suara yang dia dengar tadi memang suara Ody. “Terus?”
“Mau nyapa tapi jauh. Terus dia udah keluar dari antrean kasir.”
“Sendiri?”
“Sama ... yang waktu itu nganter ke reuni.”
“Oh, Mas Dipta.”
“Iya, kali. Beneran mau nikah mereka?” Gita mendadak ingin tahu.
“Iya. Aku udah konfirmasi ke orangnya langsung. Tinggal nunggu dilamar.”
“Yeee, itu mah belum pasti.”
Regan masih mengganti channel televisi. Gita nyaris jengah melihat layar yang berubah-ubah setiap detik.
“Udah pasti kok.”
“Emang lamarannya kapan?”
“Bulan-bulan depan.”
Dengan kesal, Gita merebut remot televisi dari tangan Regan dan membantingnya ke karpet bulu super tebal di bawah kakinya. Kemudian mengganti posisi duduknya, menekuk kaki di sofa dan menghadap ke Regan. “Kamu rela Ody sama orang lain?”
Regan mendecak. Kenapa harus pertanyaan yang serupa? Kenapa semua orang ribut menanyakan bagaimana perasaannya? Memang di dahinya tertulis kalau dia dan Ody ada hubungan spesial, yang sebentar-sebentar pasti dihubungkan dan selalu dipertanyakan. Ayolah, sudah bertahun-tahun lewat, kalau memang Ody sudah mantap dengan pilihannya ... ya sudah. Regan akan dukung. Kalau pun masih ada perasaan yang tersisa, biarkan dia ikhlas dengan sendirinya. Ini cuma masalah waktu. Regan yakin bisa mengatasi perasaannya.
Bertahun-tahun pula, dia juga yakin Ody sempurna sudah melupakannya. Nyatanya, perempuan itu bisa mengobrol dengan santai. Terlihat biasa saja. Dan tidak terganggu dengan kecanggungan yang bahkan Regan rasakan. Dia cukup bersyukur ketika Ody, alih-alih menyumpahinya, justru bersikap sebaliknya. Membuat Regan merasa lebih kurang ajar. Dia sudah siap menerima sikap dingin dari perempuan itu. Tapi yang dia temui justru Ody yang sama dengan yang dia kenal dulu.
Atau dirinya saja yang sudah terlalu jauh?
“Serius?”
“Hm?” Regan ternyata sempat melamun.
“Ikhlas?”
“Stop asking that annoying question.”
“Iya, terserahlah.” Gita menyingkir dari sofa. Memilih membantu mamanya menata baju.
Regan menyandarkan punggung di sofa. Mengusap wajah. Katakanlah, jika dia ingin memperjuangkan Ody, dia harus mulai dari mana? Taruhlah jika Ody mulai menata masa depan dengan Mas Dipta, apakah etis jika Regan datang dan merusaknya?
Jadi kenapa semua orang bisa menanyakan hal itu? Apa Regan mencintai Ody? Apa dia ikhlas Ody dengan yang lain? Apa dia tidak cemburu? Apa dia tidak bla-bla-bla?
Dan lagi, bukankah dia terlalu percaya diri? Mas Dipta jelas jauh lebih baik segala-segalanya dibanding dirinya. Oke, salahkan saja Regan yang merusak semuanya sejak awal. Dia sadari itu bagian dari kebodohannya.
Tapi, percayalah, Regan hanya berusaha tahu diri. Itu saja.
***
Another surprise update! 😚
Ada yg kangen Kiki? Doi belum nongol lagi 😂
Kamis, 3/12/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top