1. 898 Kilometer


🎶 Fiersa Besari—Garis Waktu



Singapura, 06.20 SST.

Pagi yang kesekian di kota ini. Aroma pagi yang menguar dari jendela yang dibuka, menemani secangkir kopi yang baru selesai dia aduk. Menikmati sarapan yang sama setiap pagi. Dengan pemandangan yang sama selama tiga tahun ini. Dia punya banyak waktu untuk menikmati damainya pagi. Juga hangatnya matahari yang menerpa wajah.

Kopinya tandas, yang artinya dia harus meninggalkan meja di dekat jendela. Meraih mantel dan tas yang dia sampirkan di lengan kursi. Paginya yang lain lekas menyambut. Melewati pintu lobi, dia segera bergabung dengan pejalan kaki yang lain. Hari ini cerah—hangat—tapi bisa saja hari ini hujan akan turun. Karena yang sudah-sudah seperti itu. Cuaca di sini sama dengan di Indonesia, jadi dia mudah beradaptasi.

Apartemennya terletak di kawasan Orchard. Berdiri di antara deretan gedung tinggi di sana. Mempunyai akses langsung ke langit timur dan barat. Kalau sempat, dia bisa menikmati senja lewat jendela apartemen. Tapi faktanya, dia selalu menghabiskan senja di stasiun bawah tanah. Rutinitas menelannya. Membuat dia melupakan banyak hal. Memupus keinginan untuk menjelajah sebentang kota yang tidak pernah macet ini.

Lampu penyeberangan berganti warna, dia mulai melangkah. Suara ketukan sepatu di aspal ini menyenangkan juga. Dia tidak merasa sendirian. Ada yang melangkah di depan, belakang, dan samping kanan-kiri. Meski tujuan mereka tentu saja berbeda. Kalau sedang tidak terburu-buru, Regan akan mengedarkan pandangan. Meneliti sekilas ekspresi satu per satu. Sedikit menyenangkan. Kalau saja ada teman bicara, dia pasti sudah memparodikan bermacam ekspresi itu menjadi percakapan yang konyol.

Menuruni beberapa anak tangga, dia mengejar MRT. Menempelkan kartu ez-link dan melangkah ke salah satu sisi. Memilih tidak duduk. Meski banyak tempat duduk yang kosong. Satu tangannya meraih pegangan di atas, sementara yang bebas bergerak memasang earphone. Lagu-lagu ballad melantun sendu menemani kereta yang melaju kencang. Pemandangan silih berganti, tapi dia memilih memejamkan mata.

   Ini pelarian yang kedua. Regan tidak akan menyangkal. Sekembali dari Bandung, kurang lebih empat tahun lalu, dia sempat singgah di Jakarta. Singgah? Dia miris dengan kata yang dia pilih. Tapi memang begitu. Dia sempat bekerja di salah satu kantor konsultan, menjadi arsitek junior, sebelum menjemput keberuntungan ke negera tetangga.

   Jakarta, terlalu gamang bagi Regan untuk berada di sana. Dia tidak tahu pasti, yang jelas dia merasa tidak nyaman. Tidak ada yang salah dengan keluarga Adriana. Dia diberi ‘rumah’ terbaik. Juga hangat keluarga yang dulu sempat dia rasakan. Tapi barangkali, Regan tidak tahu caranya bersyukur. Rasanya baru kemarin Adriana marah seminggu setelah Regan memberitahu tentang rencana yang sudah dia putuskan sepihak. Tidak bisa diganggu gugat, bahkan dengan rajukan—super menyebalkan—Adriana yang memintanya tetap tinggal.

   Namun, tiga tahun berada ratusan kilometer dari Jakarta, Regan kadangkala merasa rindu. Dia bohong kalau merasa nyaman dan baik-baik saja di sini. Nyatanya, dia mudah sekali rindu dengan Adriana. Yang bersyukur sekali Adriana sangat rajin menghubungi, berisik selalu mengingatkan banyak hal. Lebih banyak menelepon untuk hal-hal sepele. Tapi Regan senang mendengar suara adiknya yang cempreng. Dia tidak ada di rumah, tapi selalu merasa pulang setiap melihat wajah Adriana di layar.

   Adriana, satu-satunya yang barangkali tersisa untuknya.

   Dua puluh enam tahun hidupnya, Regan kehilangan banyak hal. Dia tidak marah dengan Tuhan. Dia juga sudah lelah menyalahkan siapa-siapa. Dia juga berhenti untuk bertanya. Memangnya apa lagi yang perlu dia tanyakan? Kalau semua jawaban sudah dia terima dengan lapang. Dia tidak akan berandai-andai untuk memutar waktu. Buat apa kalau sudah begini garis takdirnya? Dia tidak bisa memilih untuk lahir dari keluarga mana. Tidak bisa memilih untuk tidak bertemu orang-orang yang akan menyakitinya.

   Namun, di sini, setidaknya, banyak luka yang terobati dengan sendirinya.

   Yang perlu Regan lakukan hanya terus melangkah maju. Tidak perlu menoleh. Jika dia tidak punya kenangan indah di masa lalu, dia masih punya sekarang dan besok. Regan tidak perlu cemas. Ada saja kebahagiaan yang menghampiri.

   Adriana, Om Ardi dan Tante Fatma. Yang tidak pernah absen muncul di layar tabletnya setiap menjelang tidur. Om Ardi kembali melukis. Adriana sering mengirim foto-foto ayahnya ketika melukis di rumah belakang. Tante Fatma yang tidak pernah berubah.

   Gita dan Tante Dewi. Yang setiap akhir pekan selalu menghubungi. Tante Dewi terlihat jauh lebih segar. Wajahnya semakin berseri. Gita mendapat pekerjaan lebih baik di supermarket. Hebatnya, dia menjadi Kepala Bagian.

   Kiki, Ari dan Adit. Yang selalu ribut mencanangkan akan mengunjungi Regan, bahkan sudah heboh menyusun tour itinerary. Tapi wacana tinggal wacana. Regan harus puas dengan fakta kalau hanya Kiki yang sampai di apartemennya. Ari sibuk mengurus perusahaan logistik yang sudah jatuh ke tangannya. Adit? Sibuk dengan bisnis kedai kopinya yang mulai dirintis. Kiki sering mengomel, mengatakan betapa sibuknya mereka berdua. Kiki saja yang sudah jadi CEO masih bisa menyempatkan berkunjung. Atau lebih tepatnya, kabur dari maminya. Tapi tidak masalah. Regan bisa menemui mereka nanti kalau dia pulang ke Indonesia.

   Ah iya, anak-anak panti asuhan—yang sekarang sudah besar-besar. Ada banyak penghuni baru yang belum mengenal Regan, tapi ikutan menyapa. Regan hampir tidak mengenali beberapa dari mereka ketika minggu lalu Gita sengaja datang ke panti dan berbaik hati memunculkan wajah anak-anak di layar. Gita juga mengalihkan semua uang yang diberikan Regan dulu untuk anak-anak panti. Regan senang mendengarnya.

   Sedangkan, tentang Mama ... Regan tidak tahu. Setiap kali dia hendak mendial nomor satu, keraguan melanda. Banyak sekali pertimbangan. Yang selalu berakhir dengan mendial nomor dua, tempat nomor Adriana berada. Tempat yang pernah ditempati orang lain.

   Sudah lama dia melupakan satu nama itu dan sepertinya berhasil. Namun, barangkali Regan lupa satu hal. Bahwa ada yang hilang dari hidupnya, tapi tidak dari hatinya.

***

Gedung puluhan lantai itu masih sepi. Hanya petugas kebersihan yang sibuk mengepel lantai lobi. Regan mengangguk, menyapa. Lantas masuk ke dalam lift. Menekan angka dua puluh di dinding.

Baru saja mengempaskan diri di kursi, menghidupkan komputer, satu notifikasi masuk. Panggilan Skype dari Adriana. Pas sekali. Pasti adiknya itu sudah hafal pukul berapa dia sampai di kantor.

“Dri, wajah kamu menuhin layar.”

“Iya, tahu, bentar. Mas udah sarapan?”

“Udah. Itu jerawat di pipi kok nambah?”

“Tahu nih. Sekarang gampang jerawatan, nanti deh aku ke dokter kulit.”

Layar masih penuh dengan wajah Adriana, dari hidung hingga dagu. Regan sabar menunggu. Meski dia merasa aneh dengan tingkah adiknya.

“Wajar kok jerawatan. Kamu ‘kan masih abege.”

“Abege dari mananya? Aku udah gede ya, Mas. Udah bisa cari duit sendiri.”

Melihat adiknya yang sudah beranjak dewasa, entah kenapa dia tidak rela. Tapi dia tidak menyuarakan hal itu. Justru memilih menyinggung topik sensitif. “Kamu udah kerja? Skripsi kamu gimana?!”

Mendengar kata skripsi disebut, Adriana mendadak senewen. “Draft skripsi aman di dosen pembimbing, Mas. Nggak akan lari ke mana-mana.”

“Kalau kamu tunda-tunda, selesainya bakal lama. Keenakan nyari uang terus lupa kewajiban.”

“Iya, iya, tenang. Udah sampai bab empat kok. Ngolah data. Cuma males analisisnya aja.”

“Ya makanya fokus ngerjain. Kalau niat juga selesai tuh kamu. Bulan depan bisa sidang.”

Tapi bukan Adriana kalau mudah mengalah. “Nanti kalau waktunya lulus ya pasti wisuda, Mas. Tenang. Adikmu ini pinter bagi waktu.”

Melupakan topik skripsi, Regan bertanya tak sabar. “Kamu lagi ngapain sih, Dri?”

“Bentarrrr. Awas kalau dimatiin.”

Regan sudah akan membuka mulutnya lagi ketika perlahan wajah Adriana menjauh dari layar. Adiknya itu terlihat mundur beberapa langkah. Hingga separuh badannya terlihat. Tapi bukan itu yang penting.

Tulisan di dinding itu menyita perhatian Regan sepenuhnya. Mulutnya mengeja pelan.

   Adriana’s Kitchen.

Mimpi apa Regan sampai adiknya mendirikan usaha restoran? Tunggu. Adriana bahkan tidak pernah cerita apa-apa. Regan mengusap wajah, tidak bisa berkata-kata. Terharu sekaligus kesal.

“Mas?” Ketika dilihatnya wajah Regan yang masih kaget.

  “Jahat kamu, Dri. Kok nggak cerita?”

  “Kejutan dong, Mas.”

  “Launching hari ini?” Regan bisa melihat wajah adiknya yang berbinar. Kebahagiaan tercetak jelas di sana. Bagaimana Regan bisa marah?

   “Lusa, Mas. Doakan ya. Ini aku sama Mama lagi ngecek yang kurang-kurang. Baru selesai cat ulang kemarin.”

   “Sepagi ini?” Regan melirik jam di dinding. Pukul 07.10 yang artinya di sana satu jam lebih awal.

   “Iya. Habis dari sini mau belanja segala macam. Ini Mama lagi sibuk catat-catat.”

   Fatma yang kebetulan lewat dengan buku catatan dan bolpoin, sempat melambaikan tangan. Mereka sering berkomunikasi. Entah via telepon atau Skype. Jadi sepertinya Fatma yang sibuk tidak sempat mendekat, mengobrol basa-basi. Nanti malam juga Adriana pasti menelepon Regan lagi.

   “Belum mandi ya kamu?”

   Adriana meringis. “Aku masih cantik macam Lisa, Mas, biarpun belum mandi.”

   “Lisa siapa?”

   “Blackpink.”

   Tidak mau masuk terlalu jauh dengan kehaluan adiknya, Regan mengakhiri sambungan itu. Yang sebenarnya diakhiri Adriana dengan manis.

   “Mas, jangan marah karena aku nggak cerita apa-apa soal buka restoran ini. Sebulan ini Mas sibuk banget. Aku takut ganggu. Mas sering banget ketiduran pas kita teleponan. Tapi tenang, nama Mas ada di daftar pemilik saham. Uang yang Mas kirim tiga tahun ini aku tabung. Dan apa yang Mas berikan, sudah sangat cukup.”

   Tapi bukan itu yang terpenting untuk Regan. Bisa melihat Adriana bahagia, sudah lebih dari cukup.

   “Nanti kalau restoran kamu bangkrut, Mas siap suntik dana.”

   “Doanya jelek banget ih!”

   Regan tertawa. Sambungan selesai. Seorang rekan kerja datang, menyapa Regan dan berjalan ke kubikelnya sendiri.

***

—————

Halo, haloo, halooow!

Regan datang menyapa para jomblo 🖐😂

Turut menyapa jg mama-mama yg jadi pembaca di sini. Doakan aku nyusul yaa 🖐😅 *plak

Dan juga para pembaca dari kalangan mas-mas 🖐😎

Eh iya, semangat utk adik-adik yg sedang UAS 💪🔥

Mau survey dikit, tokoh cowok di cerita trilogi ini, yg lovable menurut kalian:

1. Regan

2. Mas Kinan

3. Kiki

4. Ari

5. Mas Dipta

Fans Mas Bowo jangan bersedih, ya. Wkwk.

Aku ada niatan pengin bikin cerita salah satu dari mereka. Kira-kira enaknya siapa? *gaya bgt ya kan* 😂😂😂


Jumlah bab di DEKAP akan sama dengan dua cerita sebelumnya, antara 30-35bab. Sebenernya niatku pengin ngetik banyak dulu. Tapi baru ngetik 3 bab aku udah gatel pengin post 😭




————

Rabu, 28/11/2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top