PROLOG
"Jadi kapan kau akan melamarku dengan cincin berlian yang itu?" kata wanita berambut pirang, lekuk tubuh sempurna, bibir sensual, mengenakan gaun merah yang memamerkan paha dan berbelahan dada rendah. Dia sedang bergelayut di lenganku, memamerkan kemesraan kami—aku tidak akan protes untuk itu—sambil menunjuk kaca pameran. Dia Janetta Cloure. Pacarku.
Jika kau mengira diriku miskin karena tidak segera berlari ke arah benda yang ditunjuk wanita ini, kau salah besar. Aku ini adalah miliyuner.
Bisakah kau artikan kata itu?
Mi-li-yu-ner.
Oh, yeah... Aku berpenghasilan jutaan dolar setiap bulannya. Dan berlian yang sedang ditunjuk Janet tidak akan mungkin mempengaruhi tabunganku, atau bahkan uang makan siangku.
Hanya saja... itu sebuah cincin. Semua orang bisa berkata bahwa benda berbentuk melingkar itu adalah jenis barang sakral yang bisa membawa suatu hubungan ke jenjang yang lebih tinggi.
Lalu apa katanya tadi?
Melamar?
Dia pasti bercanda.
Jadi aku menjawab jujur. Aku toh memang tidak suka berbohong masalah hubungan ini. "Kau ingin berlian? Pilihlah, Sayang. Tapi jika kau ingin menikah? Itu hanya akan terjadi dalam mimpimu."
Aku memang tak pandai dengan masalah komitmen. Tapi aku bukan seorang idiot yang tidak bisa menilai wanita seperti apa Janet ini. Bahkan dari tingkah laku dan cara bicaranya, orang-orang bisa dengan cepat menilai, berapa banyak yang dibutuhkan untuk mengencani wanita ini.
Sedikit informasi, aku hanya menyukai dadanya.
Janet terhenyak karena jawabanku. Dia terlihat memutar mata karena kami pun sama-sama tahu, ke mana arah hubungan ini sejak awal. Tapi dia seperti tak menerima perjanjian yang kami buat di awal.
Tidak akan ada komitmen dalam hubungan ini.
Dan akan tetap begitu.
Janet terlihat cemberut karena jawabanku. "Jadi sampai kapan kau menggantungkanku seperti ini? Aku ingin kau bertemu ayahku. Aku ingin bertemu ibumu dan keluargamu yang lain selain adik laki-lakimu," gerutunya.
Aku mendengus dan mulai menarik lenganku darinya. Aku tidak pernah benar-benar mengerti ada apa di otak semua wanita hingga menggurui pasangannya untuk menikah. Sekalipun kami telah melakukan perjanjian di awal. "Tidak akan terjadi, Janet. Aku tidak ingin berkomitmen."
Janet semakin memerah dan menggerutu. "Sampai kapan?"
"Entahlah." Aku mengangkat bahu. Sampai kapan aku tak ingin berkomitmen? Satu-satunya jawaban di kepalaku, kusuarakan. "Selamanya."
Sekarang wajah seksinya menjadi merah padam. Dia keluar dari aula pameran perhiasan itu dengan langkah menghentak. Aku sangat tahu bahwa dia ingin dikejar dan diselamatkan mati-matian. Tapi itu bukan aku. Aku juga tak akan memanjakannya. Jadi aku mengikutinya dengan langkah santai.
Saat aku berada di luar, tangannya menyilang di dadanya dan dia tidak mau menatap ke arahku. Ini membuatku tidak nyaman. Semakin wanita melakukan ini padaku, semakin aku tidak menginginkannya. Aku bisa dapat ratusan yang seperti dia. Jadi untuk apa kupertahankan?
"Kenapa kau mengikutiku?" katanya ketus sambil membelakangiku.
Aku mengangkat bahu, tidak peduli dia melihatku atau tidak. "Bukankah kau ingin diikuti?" kataku santai.
Sekarang dia meledak dan melotot padaku. "Aku menyingkirkan semua pria hanya untukmu, Johnny. Dan kau justru mengatakan padaku bahwa kau tidak ingin berkomitmen? Apa kau sinting? Apa kau mempermainkan aku?"
Sebenarnya tidak seperti itu. Aku selalu tidak sengaja melakukan itu.
"Jadi sebenarnya apa maumu?" tanyaku lagi.
"Enyahlah dariku hingga kau berpikir dewasa dan siap untuk menjalani komitmen bersamaku!" katanya dengan tajam.
Dia pikir aku akan mengemis padanya? Tidak mungkin. Jadi aku hanya mengangkat bahu dan mengatakan, "Oke."
Detik itu juga satu tamparan keras melayang ke pipiku hingga berdenyut. "Dasar brengsek!" Kemudian dia menghentakkan kaki meninggalkanku. Memanggil taksi sambil menangis.
Aku tersenyum kecut menatap kepergiannya. Beberapa orang menatapku yang baru saja menerima tamparan. Aku terlalu terbiasa mendapatkan ini hingga lupa bagaimana rasanya malu.
Aku melenggang santai masuk ke aula pameran itu lagi, kali ini tanpa pasangan. Persetan dengan itu. Beberapa bulan yang kuhabiskan dengan Janet tak akan mungkin bisa meruntuhkan prinsipku untuk tidak berkomitmen. Aku pun tak pernah bermimpi menjatuhkan komitmen pada seorang seperti Janet.
Aku kembali ke ruang pameran sambil mencari-cari. Apa yang kucari? Aku tak tahu.
Saat kakiku menginjak ambang pintu ganda besar, mataku tertuju pada satu titik. Titik indah yang diturunkan dari surga. Rasanya seperti karpet merah itu terbuka hanya untukku, supaya aku bisa memandang titik itu dengan jelas. Aku merasa benar-benar beruntung malam ini.
Seorang wanita pirang berdiri di panggung. Semua mata tertuju padanya—termasuk aku. Lekuk tubuh sempurna, istimewa, luar biasa. Dia mengenakan gaun hitam yang membungkus tubuh indahnya, ketat tapi sempurna. Bahunya telanjang. Kakinya jenjang. Sepatu hak tingginya semakin membuat mata tidak ingin berpaling meneliti tiap inci tubuhnya. Di lehernya dia mengenakan kalung berlian yang sedang ditawarkan, membuatnya semakin berkilau. Dia tersenyum manis. Sangat manis. Dia bidadari. Pirang tercantik yang pernah kulihat. Aku terpikat dan jantungku siap melompat keluar.
"Kalung Star From Heaven yang dikenakan Vanessa Clarkson adalah karya Roberto Max. Saya akan membuka penawaran mulai dari 30 ribu dolar," kata pembawa acara di panggung yang berdiri di samping bidadari itu.
Vanessa Clarkson. Nama yang cantik.
"35 ribu." Sebuah suara berseru.
"35 ribu. Ada yang lain?"
"40 ribu." Suara yang lain lagi.
"40 ribu. Ada yang lain?"
"43 ribu." Suara yang lain lagi.
"43 ribu!" kata si pembawa acara.
"45 ribu."
Penawaran itu semakin naik lagi dan Vanessa yang cantik itu tertawa anggun. Aku terpana. Terpikat. Mati. Tidak bisa bernapas.
"65 ribu! Ada yang lain lagi?" kata pembawa acara lagi. Kemudian tidak ada yang menaikkan tawaran lagi. "Baiklah, maka—"
"70 ribu!" teriakku. Vanessa tersenyum padaku.
Ya Tuhan!
"70 ribu untuk pria berambut cokelat." Pembawa acara itu membuka tangannya mengarah padaku.
"75 ribu!" Seseorang menaikkan lagi tawarannya.
Sialan. Sialan.
"100 ribu dolar!" kataku lantang.
Semua orang bergumam tidak percaya dan menatap ke arahku, tidak terkecuali Vanessa. Jadi aku mengatakan "Hai," tanpa suara dari jarak ini.
Dia membalasku dengan senyum menawan.
Astaga!
Aku tidak tahu apa fungsi kalung berlian itu untukku. Aku tidak peduli. Jadi aku lebih memperhatikan wanita yang mengenakan kalung itu daripada kalung itu sendiri. Jika seratus ribu dolar bisa membawaku kencan makan malam bersama Vanessa Clarkson, maka aku akan menghabiskan sepuluh juta dolar untuknya. Aku serius.
"100 ribu untuk pria yang di sana. Ada yang menaikkan harga?" Tidak ada tawaran lagi. "Baiklah. Maka Stars From Heaven jatuh di 100 ribu dolar!"
Semua orang bertepuk tangan termasuk Vanessa. Dan dia menatapku sambil bergumam, "Hai."[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top