4.4
"Terima kasih, Mr. Craig. Anda bisa mengandalkan kami." Aku menjabat tangan Holston Craig di lobi sebelum mengakhiri pertemuan kami. Pete menjabatnya juga dengan sopan.
Holston Craig berlalu melewati pintu putar gedung ME, meninggalkan aku dan Pete yang masih membeku di lobi. Ketika kami berdiri semacam ini di lobi kantor, itu adalah suatu pemandangan tersendiri bagi para karyawan wanita yang lalu lalang seraya mengangguk sopan pada kami berdua.
Aku tak akan menyalahkan mereka ketika melihat dua pria lajang berdiri berdampingan dengan prospek yang bagus untuk dilirik—hei, mereka juga sedang berusaha.
Aku dan Pete saling berpandang-pandangan. Aku menyeringai memancarkan pesona ketika melemparkan tatapan penuh arti pada adik laki-lakiku. Mengangkat bahuku, aku berbalik lebih dulu menuju ke lift, meninggalkan Pete di tempatnya.
Adik tetaplah adik yang mengekor pada kakaknya. Pete mengikutiku. "Craig terlihat terkesan," katanya berusaha memecah keheningan.
"Kita melakukannya, Pete. Kita mendapatkannya." Aku menekan sekali panel pada lift sembari menunggu angka bergerak turun. "Bisakah kau membayangkan puluhan juta dolar menanti?" Aku tersenyum bangga pada hasil kerja kerasku. Aku mendapatkan perhatian taipan Spanyol itu.
"Tentu kau melakukannya," gumam Pete.
Aku mengerutkan dahi mendengar gumaman Pete yang terdengar aneh di telingaku. Carol dan Pete kurang lebih mempunyai kepribadian serupa ketika mereka mempunyai suatu pikiran tentang lawan bicaranya. Dan kali ini, Pete memendam sesuatu tentangku. Aku bahkan bisa melihat gerigi di otaknya sedang berputar dengan sibuknya, mengabaikan posisiku di sampingnya. Pete sukses mendapatkan perhatianku. Kali ini aku menatapnya bertanya-tanya.
Pete mengalihkan pandangan, merasakan ketidaknyamanan karena aku menatapnya. Suara denting lift menggema ke seluruh lobi ME, memecah rasa penasaranku. Hingga aku hanya berdua dengan Pete di ruang berbalut baja nan sempit ini, aku membiarkan pikiranku tertiup begitu saja.
Namun kali ini, Pete bereaksi. "Ada yang ingin aku bicarakan, Johnny."
"Kau bisa ke ruanganku," kataku tenang sambil memalingkan kembali wajahku, melihat angka di atas pintu.
"Kupikir kali ini lebih baik ke ruanganku," gumamnya.
Aku beralih menatapnya kembali, kali ini dengan alis terangkat. Ini bisa saja menjadi penting. "Kenapa harus di ruanganmu?"
Ekspresinya datar dan aku tidak bisa menebak suasana hati Pete saat ini. Yang kutahu, ekspresi itu ditunjukkan ketika dia sedang gusar. Aku tak tahu apa yang salah di sini. "Aku serius, Johnny."
"Kau belum menjawabku, Pete," hardikku. "Lagi pula, kita hanya berdua di lift ini. Apa salahnya jika kita membicarakannya seperti sedang membicarakan film yang sedang diputar minggu ini?"
Pete menatapku sungguh-sungguh. "Karena ini bukan tentang film yang sedang diputar. Ini sesuatu yang serius." Dia mengusap wajahnya seolah lelah menghadapi orang seperti aku. Memang seperti apa aku ini? "Aku tak akan membicarakannya di lift sialan ini. Aku akan menjawab nanti. Sekarang lebih baik ke ruanganku. Hanya sebentar, aku janji."
Dan ketika Pete Morgan mengatakan serius dengan wajah yang serius, maka sesuatu yang serius memang benar sedang terjadi.
Sumpah. Aku tak mau disebut sebagai setengah kembarannya jika tahu wajah seriusku seperti itu.
Aku hanya mendesah tanpa menyetujui. Pada akhirnya aku tetap mengikuti Pete ke ruangannya yang masih satu lantai denganku. Berjalan ke lorong lain, mengabaikan lorongku sendiri di mana Becky mungkin sedang menungguku di depan dan akan menampilkan senyuman formal. Aku bertanya-tanya apa yang akan dikatakan Pete hingga tidak bisa dibicarakan di ruanganku.
"Duduklah." Pete menawarkan sofa di ruangannya. Ruang yang tidak sebesar milikku, namun interiornya khas bujangan sepertiku dengan perpaduan hitam dan silver. "Kau ingin minum sesuatu?" kata Pete sambil membuka kulkas.
Aku menggeleng. "Sebenarnya ada apa, Pete?" kataku tidak sabar. Aku ingin ini cepat selesai. Pete dan Carol adalah orang-orang yang membosankan ketika diajak ngobrol.
Pete terkekeh setelah beberapa saat menegangkan karena sejak di lobi, ia mempertahankan raut seriusnya. "Kenapa kita tidak melakukan basa-basi seperti membicarakan film yang sedang diputar?"
Aku merengut padanya. "Aku sudah menawarimu, tadi! Kau tetap dengan wajah mengerikanmu seolah aku yang bersalah. Hei, di sini aku abangnya. Aku tak mau menatap cermin jika tahu wajah seriusku akan terlalu serius seperti tadi."
Pete tergelak.
"Lagi pula, kau dan aku sama-sama tahu, bujangan dengan tumpukan dokumen seperti kita tidak perlu tahu film apa yang sedang diputar di bioskop. Berita harga saham yang meningkat minggu lalu terlalu menggiurkan daripada film cengeng itu. Katakan jika aku benar."
Pete terkekeh sambil memegangi perutnya. Dia membuka kaleng bir, menenggaknya terburu-buru. "Sial, sial. Kau benar."
"Ya! Aku bisa menerimanya." Aku menyandarkan tubuhku ke sofa, membiarkan Pete menenangkan dirinya. Tunggu. Lalu untuk apa aku di sini? "Hei, inti, Bung!"
Pete berdeham. Menimbang-nimbang seraya menatapku. Dia tengah membangun suasana serius miliknya. "Ini soal Becky."
"Ya?" Aku menanggapi setenang mungkin meski sebenarnya, aku tak menduga dia akan membicarakan Becky.
"Kau berpacaran dengannya?" tanyanya serius.
Hmm, kuharap begitu. Tapi kenapa dia menanyakan itu? "Apa masalahmu?"
"Aku bertanya, Bung."
Meski kelu seolah menjatuhkan pesona dan harga diriku, aku tak akan berbohong pada adikku. "Tidak," jawabku singkat.
Pete menatapku lebih dalam. Mencari-cari pada diriku. "Tidak?"
Aku menggeleng.
Pete menatapku tajam. Seperti menuduh. "Kau mengantar jemput dia setiap hari. Membelikannya makan malam hampir setiap hari. Mengiriminya baju. Bergandengan tangan dengannya saat masuk kantor seolah kalian pasangan bahagia, dan kau bilang tidak berpacaran dengannya? Apa kau mempermainkannya?"
Aku mendengus kesal. Sial. Apakah aura bajingan masih melekat pada diriku, setelah apa yang kulakukan untuk Becky, setelah aku hampir sebulan ini tidak pergi ke kelab atau meniduri wanita atau kencan dengan siapapun? "Demi Tuhan, aku tidak melakukan itu."
"Jangan memberi harapan padanya, Bung." Suara Pete kentara memperingatiku.
Well, sebenarnya, justru aku yang berharap padanya. Bagaimana tidak? Dengan sikap terbukanya padaku, kukira aku satu-satunya orang yang mengerti dirinya. Becky menghabiskan setiap harinya bersamaku. Aku telah memastikan bahwa dia tidak bersama dengan siapapun atau bahkan sedang mendekati seseorang. Namun kenyataannya, Becky masih bersikeras menolakku.
Ah! Kecuali ajakan kencan pagi tadi. Aku tersenyum dalam hati mengingatnya.
"Sebenarnya apa masalahmu?" tanya Pete, memecah duniaku sendiri.
"Apa?" tanyaku bingung. "Itu kau! Sebenarnya apa masalahmu? Bagaimana kau bisa mempunyai pikiran bahwa aku mempermainkannya?! Kau bahkan tahu betul motifku menjadikannya asisten sementara. Kenapa tidak kau anggap saja Becky seperti sekretaris magang di sini?"
Pete mendengus. Menenggak lagi birnya. Menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Haruskah aku menyampaikan padamu desas-desus di kantor ini bahwa Becky semacam asisten penggoda bosnya?"
Hmm, tidak pernah ada di pikiranku. Tentu saja! Becky tidak pernah menggodaku. Meski dalam hati aku menginginkan Becky menggodaku dengan manja.
"Dengar, John." Pete kembali menarik perhatianku. "Kalau ini sampai ke telinga ayah bahwa kau punya sampingan antara kencan dan pekerjaan, dia yang akan turun tangan memperingatkanmu." Dia menghela napas. "Demi Tuhan, kau belum genap dua bulan yang lalu membatalkan pernikahan. Berita itu masih segar di seluruh kantor. Pikirkan bagaimana orang-orang melihat Becky."
Mendengar kata ayah efeknya sama ketika kau tertangkap basah melakukan sesuatu dan seseorang mengancam akan mengadukanmu kepada bosmu.
Kenapa orang-orang memikirkan aku ketika aku tidak memikirkan mereka? Aku bisa memecat mereka begitu saja, kan, jika mereka tidak kompeten karena menggosipkan bosnya?
"Becky bukan wanita seperti itu." Aku meyakinkannya. Jelas sekali nada membela dalam suaraku.
"Tidak peduli bagaimana sebenarnya Becky. Aku tahu dia gadis polos yang baru saja bertemu denganmu. Dia bahkan tak akan menatapku atau dirimu dengan terang-terangan menggoda seperti yang dilakukan kebanyakan wanita. Tapi setiap orang memiliki penilaian mereka sendiri, dan itu sesuatu yang legal." Pete mengangkat bahunya. "Jujur saja, aku juga tak menyukai desas-desus di mana kakakku ada di dalamnya. Apalagi disangkut-pautkan dengan wanita polos seperti Becky."
Aku merasa diadili. Kenyataannya, Pete memang jauh berpikiran lebih dewasa daripada aku, yang mana adalah kakaknya. Aku benci mengakuinya, tapi dia benar. Orang lain mempunyai pikirannya sendiri.
"Apa kau menyukai Becky?" tanya Pete tiba-tiba.
Aku tersentak karena pertanyaan itu. Apa aku menyukai Becky? Well, dia cantik, tak pernah membosankan, lucu, menggemaskan, membuatku selalu pernasaran dengan sikapnya yang bersikeras menolakku.
Intinya, ya, aku menyukainya. Bagaimana kedengarannya? Kutukanku belum juga berakhir. Aku di ambang suatu titik hampir menyukai Becky Narvis yang dulu kumaki habis-habisan.
Aku hanya belum bisa mengakuinya dalam sedetik. Khawatir jika aku menjatuhkan diriku dalam sedetik, detik berikutnya kesialan lain akan mengikuti. Sudah cukup itu terjadi pada pernikahanku yang batal.
"Entahlah, Pete. Dia tidak bisa dideskripsikan semudah itu. Dia mungkin berbeda, seperti katamu. Tapi... entahlah..." Aku kesulitan merangkai kata-kataku. "Oh! Ngomong-ngomong aku akan kencan dengannya malam ini."
Pete menyemburkan birnya. Dia melotot padaku. "Brengsek. Kau mengajaknya berkencan? Sial. Kau memang menyukainya."
Seringaianku redup. Aku tersenyum tipis membayangkan wajah Becky yang tanpa dosa. "Well, ya, sepertinya begitu."
"Sepertinya?"
Aku mendesah. "Aku tidak yakin, Pete. Ini begitu aneh. Dia tidak seperti gadis lain. Aku gila karena dia yang membuatku penasaran. Membuatku tidak pernah bosan melihatnya. Aku ingin setiap hari, setiap jam, setiap menit melihatnya. Aku bahkan tidak merasa seburuk ini bersama Vanessa."
"Kau mencintainya," katanya datar penuh dugaan menuduh. Itu jelas bukan pertanyaan.
Aku terkesiap. Tunggu. "Apa? Sungguh? Bagaimana itu? Cinta?"
Aku tidak pandai dengan ini. Aku tidak pernah melibatkan perasaan kepada wanita. Aku yakin aku mencintai Vanessa karena tergila-gila dengan kecantikannya. Tapi aku tak punya alasan serupa untuk Becky. Bagaimana bisa teridentifikasi dengan begitu cepatnya bahwa itu cinta? Aku tak yakin.
"Kau mencintainya." Pete tertawa keras. Dia meletakkan kaleng birnya dengan kasar. Menikmati diriku yang tercengang karena hipotesanya. "Akui saja."
Ini akan menjadi sangat rumit ketika Pete atau Carol mengetahui aku jatuh cinta. Aku bukan tipe pria yang jatuh cinta semudah itu. Benarkah aku mencintai Becky? Rasanya aneh.
Tentu saja aneh! Wanita itu Becky Narvis! Aku akan mengatakan bahwa aku menyukainya, tapi mencintai adalah sesuatu yang lain.
"Kau akan menyadarinya segera," kata Pete terkekeh sambil menepuk bahuku.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top