4.2

Liurku menetes. Secara harfiah. Ini menjijikkan, tapi aku tak bisa mencegahnya. Aku melihat pemandangan itu. Indah. Sangat.

Becky tengah berada di dapurnya memotong paprika dengan cekatan. Rambutnya tergelung asal. Masih mengenakan blazer hitam yang dipakainya seharian. Hanya saja... kakinya telanjang. Betis kanannya bergerak-gerak menyusuri betis yang lainnya. Pandanganku naik lagi hingga berakhir di pahanya yang terekspos karena dia mengenakan rok span hitam yang sangat seksi.

Apa aku pernah mengatakan bahwa aku menyukai wanita dengan hak tinggi? Aku akan menambahkan Becky Narvis sedang telanjang kaki sebagai salah satu kesukaanku yang lainnya.

Aku kelaparan.

Bukan karena Becky yang terlalu lama memasak makan malam kami. Aku kelaparan akan dirinya. Aku bersyukur Becky menolak makan malam di luar dan mengajukan diri untuk memasak. Pemandangan dirinya tengah sibuk di dapur membuat sisi jantanku menderu frustasi.

"Kau ingin tambahan merica?" tanya Becky tiba-tiba, mengembalikan pandanganku dari kakinya ke wajahnya. Dia menatapku di balik kacamatanya. Menaikkan kacamatanya dengan lugu. Riasannya telah pudar. Tapi itu tidak mengubah apapun. Dia masih mengagumkan. "Johnny?"

"Uh..." Aku membersihkan tenggorokanku. Mencari suaraku. "Ya. Tolong."

Becky tersenyum saat menata sesuatu di piring. Tangannya bergerak lincah seolah dapur itu adalah daerah kekuasaannya. Dia menghampiriku dengan hati-hati sambil membawa dua piring yang menguarkan aroma sedap. Mengambil tempat di sampingku, dan ini benar-benar terkutuk untukku.

Mataku turun menelusuri tubuhnya yang masih terbalut setelan kerja lengkap. Belum terbuka satu kancing pun. Tapi aku merasa tak sanggup lagi bertahan melawan gairah dalam tubuhku.

Aku harus menciumnya. Aku harus-

"Johnny?" Mata Becky yang polos menatapku. Tidak, tidak. Jangan tatapan itu.

Kau tidak harus melakukan apapun. Jangan jadi brengsek.

"Ah! Minumannya!" Becky beranjak dari tempatnya dan mengambil soda dari lemari es. "Aku hanya punya soda. Kau baik dengan itu?"

"Y-ya." Suara parau. Lagi-lagi.

Becky menyodorkan soda padaku. "Ini. Minumlah. Kau harus..." Becky mengusap-usap lehernya. "Menjernihkan suaramu. Maaf aku baru memberimu minuman. Aku melupakan segalanya bila sudah memasak."

Mataku mengerjap. Becky menampakkan senyum tanpa dosanya. Aku membalasnya. Dan hilang sudah semua pikiran kotor yang terlintas di kepalaku. Bersungguh-sungguh akan sumpahku untuk tidak menyakitinya.

Becky menjatuhkan diri di sampingku. Masih menyodorkan minuman kaleng itu. Aku menerimanya, membukanya, menenggaknya untuk meredakan dahaga. "Selamat makan," katanya kemudian. Memasukkan potongan daging pertamanya dan mengunyah pelan. Dia menatapku penuh harap. "Cobalah."

Aku memotong daging panggang yang dimasak Becky. Aromanya hampir membuatku mempermalukan diri karena perutku sudah protes meminta segera mencicipi masakan Becky.

Aku mengunyah pelan. Lantas tersenyum.

"Bagaimana?" tanyanya.

Aku beruntung memutuskan untuk meletakkan pantatku di sini. Menghabiskan waktu makan malam bersamanya meski hanya di atas sofa sederhana. Makanan ini benar-benar lezat. Aku akan memuja Becky Narvis setelah ini.

"Ini... luar biasa lezat, Bec!" kataku jujur. Aku memotong lagi dan makan dengan lahap. Sial, ini makanan surga.

Becky tersenyum melihat nafsu makanku. Dia memotong lagi untuk dirinya sendiri.

"Mrs. Narvis pasti seorang yang hebat."

Becky membeku. Menghentikan kegiatan makannya. Aku pun tersentak secara tak kasat mata. Dan aku tahu, aku telah melakukan suatu kesalahan. "Dia tidak sehebat itu," kata Becky lirih.

Aku tak tahu dari mana kata-kata itu berasal. Mulut bodoh!

"Uh, Bec-"

Becky mengendikkan bahunya. "Bukan dia yang mengajariku memasak kalau kau mengiranya begitu. Aku tak punya banyak kenangan bersamanya."

"Tidak. Maksudku... aku tak bermaksud membicarakan ibumu."

Becky tersenyum sekilas. Dia mencoba mengusir kesedihannya. "Tak apa. Sejak ayahku meninggal, aku terkadang bertanya-tanya, di mana ibuku sekarang? Apakah dia masih berada di dunia yang sama denganku? Atau apakah dia juga merindukan putri kecil yang ditinggalkannya?" Dia menghela napas. "Aku tak akan mengeluh dengan apa yang terjadi pada diriku. Sekarang di sini lah aku, duduk di sofa sambil menyantap daging panggang bersama bosku."

Aku tersenyum menatapnya. Dia menaikkan kacamatanya berkali-kali dan aku benci melihat mata indah itu mulai memerah namun tetap berusaha tersenyum dan melakukan pengalihan. Ingin sekali aku merengkuhnya, membelai dirinya, membisikkan dengan lembut bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Aku harus segera menghentikan topik sensitif ini.

"Kau luar biasa, Bec."

Becky menengok ke arahku. "Orang-orang bisa dengan mudah mendeskripsikan diriku, Johnny. Tapi luar biasa adalah sesuatu yang langka. Mungkin hanya kau satu-satunya."

Tapi begitulah kenyataannya!

Becky mengernyit. "Tidak. Kupikir Chris pernah mengatakan itu padaku ketika aku bisa menjawab soal aljabarnya dengan benar."

Brengsek.

Apa?

Ada apa denganku? Hanya saja, itu terasa mengerikan mendengar Becky menyebutkan nama pria lain ketika aku berada di sampingnya.

Aku mengalihkan pembicaraan yang lebih menguntungkan bagiku. "Ceritakan tentang dirimu," pintaku. Aku mengambil lagi sepotong daging dan aku tidak akan bisa berhenti sebelum seluruh makanan di atas piring ini tandas. Ini sangat lezat.

Selezat kokinya.

Becky mengunyah perlahan makanannya. Keningnya berkerut, menandakan bahwa dirinya sedang sibuk dengan pikirannya. Tidak banyak wanita yang melakukan ini padaku ketika aku menanyakan tentang kehidupannya. Kebanyakan dari mereka akan dengan suka cita menceritakan kehidupan mereka, berbagi padaku.

"Tak ada yang spesial," kata Becky seraya mengangkat bahunya. Lalu kembali makan.

"Aku ingin tahu tentangmu, Bec." Aku masih berusaha.

"Kau sudah membaca riwayatku, Johnny. Kau ini bosku."

Aku terkekeh. "Maksudku selain yang ada pada riwayat hidup."

"Well, aku dulunya gendut dan berjerawat."

Aku tak akan membayangkan bagaimana bentuk wajahnya saat remaja. Atau aku akan mendapatkan mimpi buruk.

"Aku mulai memakai kacamata saat usiaku delapan," lanjutnya dengan suara yang hangat dan membuat diriku nyaman mendengarkan. Jangan lupakan bahwa suara Becky mempunyai nada serak pada beberapa kata di sela suara lembutnya yang seperti desahan. Suaranya benar-benar tenang tanpa dibuat-buat. "Aku benci mengenakan kacamata pada awalnya, itu membuat minusku bertambah saat usiaku sepuluh dan semakin parah saat usiaku dua belas. Sejak saat itu aku mengenakan kacamata."

Sial, itu hanya ceritanya tentang kacamata-bukan karirnya-dan itu membuatku bahagia.

"Kenapa kau tak mengganti model kacamatamu?"

Alisnya bertaut. Rautnya terlihat lucu. "Kau ingin aku menggantinya?"

"Sial. Tidak!" Benar-benar jangan. Aku suka ketika matanya melebar menjadi lebih indah di balik kacamatanya. "Kau terlihat cantik dengan itu."

Pipinya merona hingga membuatku gemas. Aku menahan diri supaya tidak menerjangnya. "Kupikir kau... menyukai lensa kontak."

Itu pun kusuka. "Well, hanya selama kau menggunakan warna transparan. Aku suka matamu yang cokelat itu."

Lagi, Becky merona. Dia menaikkan kacamatanya beberapa kali yang kupikir itu adalah suatu kebiasaannya untuk mengalihkan pandangan dan pikirannya. Dia menyuapkan kembali makanannya.

"Bagaimana pekerjaanmu?" tanyaku. Piringku sudah lebih dulu bersih. Aku berdiri berniat meletakkan piring ke mesin pencuci piring, namun Becky mencegahku.

"Biar aku saja." Becky beranjak, berjalan dengan langkah kecil ke bagian dapur. Dan aku perlu mati-matian menahan diriku supaya tidak protes meminta makanan penutup.

"Aku menyukai pekerjaanku," katanya setelah membersihkan seluruh perangkat makan malam kami. Dia masih di dapur. Menggerai rambutnya, membenarkan cepolannya. Wajahnya terangkat, tertuju padaku. "Terima kasih atas bantuanmu, Johnny."

Kenapa dia melakukan semua hal itu di depanku?

"Ya, sama-sama," kataku sesantai mungkin. Namun aku tak bisa benar-benar mendalami peranku. Aku sangat gelisah. Membutuhkan wanita. Membutuhkan Becky Narvis.

Sial. Apa itu?

Membutuhkannya?

Kutukan ini menggerogoti hidupku.

"Kau mau makanan penutup?" tanyanya. Membuatku mengerjap dan menelan ludah.

Ya. Kau.

Becky berjalan ke kulkas. Mengamati lemari pendingin dengan serius. "Es krim?"

Kau dan es krim. Lezat.

Becky menatapku dengan tanpa dosa, sementara aku sedang menumpuk dosaku dengan pikiran tak senonoh. "Kau tak suka dengan es krim?" tanyanya. Tapi aku tidak menjawab. Dia kembali fokus pada isi kulkas. "Ada krim gula dan stroberi. Bagaimana menurutmu?"

Krim gula, stroberi, dan kau. Luar biasa manis.

"Kau tak suka juga, ya?" katanya dengan nada kecewa.

Tidak tahan lagi. Aku akhirnya beranjak. "Kurasa sebaiknya aku pulang."

Becky menutupi kekecewaannya. "Oh."

"Makan malam yang menyenangkan, Bec. Sangat lezat. Aku serius."

Becky tersenyum segaris. Matanya memancarkan sesuatu penuh arti, membaur dengan tatapan tanpa dosanya. "Maaf, aku tidak punya makanan penutup yang cocok."

Tidak, tidak. Brengsek. Aku tidak ingin pergi. Aku ingin makanan apa saja, asalkan aku memakannya bersama Becky. Tapi aku harus pergi, aku tak bisa lagi menahan diriku untuk tidak menerjangnya. Jika aku bertahan di sini sedikit lebih lama lagi, aku benar-benar akan berakhir sebagai bajingan.

Aku mengusap kasar wajahku. Dengan frustasi, aku berjalan ke arahnya. Becky terlihat gugup karena aku mendekatinya. Dan salah satu hal yang kuinginkan malam ini, kulakukan. Aku menangkup wajahnya, memaksa matanya menatapku. Mata cokelatnya melebar. Aku menatapnya dalam.

"Tidak. Kau salah paham," kataku. Matanya beradu denganku. Becky tidak memandang ke mana pun selain pada mataku. "Aku sangat ingin memakan makanan penutup sialan. Aku suka es krim dan sangat menyukai krim gula dengan stroberi. Aku yakin itu akan terasa lezat setelah memakan daging panggang terbaik di dunia. Aku beruntung berada di sini malam ini."

Bibir bawah Becky gemetar. Aku pembohong besar jika berkata bahwa aku tidak tergoda. "Y-ya." Suara seraknya tidak memperbaiki keadaan.

"Tapi aku harus pergi." Yang itu tadi hanya terdengar seperti gumaman di telingaku. Aku benar-benar harus pergi.

Kulepaskan wajahnya dengan tidak rela. Aku berjalan dengan berat ketika mengambil mantelku. Becky masih mematung di sana mengawasiku. Aku merasa senang menjadi pusat perhatiannya.

Aku meraih gagang pintu. Berbalik sekali pada Beckyyan g menatapku penuh arti. Sebelum aku berubah pikiran, aku melangkah keluar setelah mengucapkan, "Selamat malam, Becky Narvis."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top