A c t -002
· · ────── ·𖥸· ────── · ·
Seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya, mereka kembali melakukan ritual yang sama pada pukul sebelas malam dan sebelum itu memberikan Dean- prajurit yang kali ini menjaga mereka secangkir anggur. Melewati tangga di dalam gua, melalui hutan dan tiba di ujung dengan dua belas pria menunggu di atas perahu.
"Kau merasa suasana saat ini lebih mencekam?" tanya Ariadne pelan, seringan desau angin malam itu. Sensasi ini mirip dengan apa yang ia rasakan ketika berada di dekat Dean.
Helios termenung beberapa waktu, lalu menggeleng ragu, "kurasa sama saja. Hanya muatan kita yang bertambah." Dia menunjuk beberapa buku yang dibawa oleh Ariadne dengan dagu, membuat gadis itu terkekeh.
Benar, mungkin saja semua ini adalah efek dari ketakutan dan rasa bersalahnya- seperti yang pernah dikatakan kesebelas kakaknya dan Helios.
Ariadne menopang wajahnya, memperhatikan wajah Helios cukup menghiburnya. Pria itu memang lebih cocok disebut menggemaskan dengan senyum khas serupa kelinci, tetapi di bawah terpaan cahaya bulan, rambut hitam yang disisir rapih membiarkan dahinya terlihat jelas, dan fokus mendayung membuat dia tampak gagah dan luarbiasa tampan.
"Kau menikmati pemandangan di hadapanmu?" Helios melirik Ariadne dengan senyum geli, membuat Ariadne langsung memalingkan wajah. Menjadikan pohon-pohon lebat di sekitar sebagai objek fokus. "Sudah sampai," kekeh Helios, mengulurkan tangannya dan membantu Ariadne keluar dari sana.
Kesebelas saudarinya sudah terlebih dahulu berjalan menembus hutan dan tiba di reruntuhan istana, mereka mulai menari di atas lingkaran batu dengan ukiran bunga-bunga iris, lili, dan rosemary.
"Mau beristirahat lebih dulu?" Melihat keadaan kekasihnya yang semakin pucat membuat kekhawatiran Helios meningkat, sekalipun senyum di wajah Ariadne tidak memudar sedikitpun dia merasakan sesuatu sedang disimpannya.
Kedua insan itu duduk di atas pecahan batu, dekat dengan sumber api yang dipakai oleh Rowand sebagai tambahan cahaya.
"Kenapa kau datang ke tempat ini?" Ariadne melirik Helios, kali pertama pertemuan mereka tidak berjalan begitu baik. Helios tampak jauh berbeda saat itu dengan tatapan mata tajam, sikap acuh tak acuh, dan dagu terangkat, meski senyum kelincinya tetap berada di sana. "Kau tidak tampak seperti kakakmu yang lain, maksudku, kau tidak terlihat suka menari."
Helios memiringkan kepala, memandangi bulan dan awan yang bergerak cepat di atas akibat angin. Dia bergumam pelan, "tidak ada yang menarik di duniaku. Semuanya sekarat, kerajaan tidak stabil, kekacauan terjadi dimana-mana." Senyumnya berubah menjadi kecut, "dan ini cukup menghibur."
Ariadne sontak tertawa, mendorong pelan tubuh Helios. "Saat pertama kali melihatmu dan saudaramu yang lain, kupikir kalian akan membunuh kami," kenang Ariadne. Dia masih mengingat tatapan menusuk dan menyesakkan itu sebelum salah satu dari mereka tersenyum. Bibirnya masih tertarik sebelum secara mendadak, pasokan oksigen di sekitarnya menipis dan pandangannya menghitam.
Sesak.
Dia tidak dapat bernapas.
Ikuti aku
Tubuhnya bergerak tanpa bisa ia kendalikan, Ariadne hendak memberontak, berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar, dia berusaha menoleh, tetapi kakinya sudah menyeret tubuhnya menjauh.
"Ariadne?"
Tidak ada jawaban.
Helios memperhatikan wajah Ariadne yang semakin memucat, berjalan keluar dari reruntuhan menuju hutan dengan langkah pelan. Meyakinkan diri jika ada sesuatu yang tidak beres terjadi, dia langsung bangkit dan menarik lengan Ariadne, menghentikan gadis itu. Hal itu membuat Ariadne tersentak, dia membelalakkan mata dan menoleh, "apa aku...."
Helios dengan sigap menarik Ariadne dalam pelukan dan membisikkan beberapa kata yang tidak dimengertinya sebelum menatapnya dengan khawatir, "kurasa mereka benar-benar melakukan ini," desisnya, Helios melemparkan pandangan di sekitar mereka. Ariadne bisa melihat peluh perlahan jatuh turun dari wajah Helios dalam jarak sedekat ini.
"Apa maksudmu? Haruskah kita pergi dari sini?"
Helios menggigiti bibirnya, menggeleng pelan dengan raut bersalah. "Tidak," gumamnya. "Jika itu terjadi, mereka akan mencurigai sesuatu. Saat ini kita tidak tahu mereka berasal dari mana dan apa yang benar-benar terjadi," ucap Helios sambil memutar tubuh Ariadne lalu mengikuti pergerakan Ariadne yang teratur. Memimpin sekaligus menemani.
"Seseorang telah berada di sini." Ariadne melompat, membiarkan Helios menangkapnya dan dia kembali berputar di udara, "kau memiliki dugaan?"
Helios menggeleng, "lokasi yang paling terbuka, sekalipun istana tidak dalam keadaan kondusif, untuk masuk ke dalam perpustakaan pribadi dibutuhkan mantra tertentu. Hanya segelintir orang yang mengetahuinya."
Ariadne kini mengangkat salah satu kakinya, membentuk sudut seratus delapan puluh derajat. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan, ruangan mereka mungkin adalah tempat teraman di sepenjuru istana bersamaan dengan ruangan sang raja. Tetapi, sayembara itu mengijinkan satu orang untuk berada di sekitar mereka. Dan, jika sihir atau orang dari Yrvandale terlibat, racun dengan dosis kecil yang mereka berikan hanya seperti air jeruk yang terlalu asam.
"Kurasa, siapa pun itu berada di sekitar kami," papar Ariadne, gerakannya mulai kaku dan tubuhnya limbung. Dia hampir terjatuh jika Helios tidak segera menangkapnya, membatu Ariadne untuk duduk kembali. "Apa rencana mereka?"
"Sayangnya aku tidak tahu," gumam Helios, nadanya memelan di akhir kalimat. Dia tidak banyak terlibat dalam politik kerajaan seperti kelima kakak tertuanya, hanya mendengar dari cerita mereka ataupun mencuri bacaan di perpustakaan.
Suara desau angin di antara pepohonan membuat suasana di sana semakin mencekam bagi Ariadne. Apa yang sebenarnya akan terjadi? Dia melirik Helios dalam diam, kekasihnya mengetahui sesuatu tetapi tidak berniat membocorkannya. Dan dia berniat mencari tahu seorang diri, dia harus menghentikan sebelum sesuatu entah apa terjadi.
· · ────── ·𖥸· ────── · ·
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top