Part 7

“Apa maksudmu, Takao? Kenapa orang itu masih ada di sini?” tanya Yuza yang mulai merinding dengan pernyataan Takao.

Tentu saja Yuza takut, dia tidak tahu apa niat orang yang disebut Takao sebagai stalker itu dengan memata-matai dirinya, Yuza yang merupakan seseorang yang dianggap sebagai kutukan? Apa lagi jika bukan ingin mencelakainya, seperti balas dendam misalnya?

Ya, itulah rasa takut yang selalu Yuza pikirkan setiap hari.

Karena dirinya yang selalu menarik orang lain ke dalam kematian, bukan tidak mungkin akan ada orang lain yang juga menyimpan dendam kepadanya.

“Kau sudah memeriksa semua tempat di sini?” tanya Takao kepada Yuza dengan suara yang lebih tenang.

Mendengar suara Takao, membuat Yuza sedikit lebih tenang dari sebelumnya.

“Belum, tadi aku hanya memeriksa tas, laci-laci dan tempat penyimpanan untuk barang-barang kecil.”

“Kalau begitu sekarang kita coba periksa kamar mandi dan kamar tidurmu dulu.” Pinta Takao yang sedang mencoba untuk meyakinkan, dan kemudian dibalas anggukan oleh Yuza.

Pertama-tama mereka mengambil benda apa saja sebagai perlindungan diri—sebenarnya hanya Yuza saja yang mengambil gagang sapu untuk melindungi dirinya, sedangkan Takao yang cukup percaya diri dengan kemampuan bela dirinya memilih untuk tidak membawa apa-apa.

Mereka pun  mulai memeriksa kamar mandi dan tidak ada siapa-siapa di sana. Selanjutnya adalah kamar tidur Yuza.

Pertama kali Takao masuk ia sudah langsung disambut oleh pemandangan kamar dengan pencahayaan remang-remang. Hanya ada satu lampu tidur dan cahaya bulan yang menembus masuk melalui jendela di kamar itu.

Diperlakukan seperti hantu, pemarah dan selalu menyalahkan diri sendiri, bebicara dengan udara, dan sekarang kamar tidur dengan nuansa gelap, itu semua sudah cukup membuat Takao beranggapan bahwa Yuza adalah seorang pemuda yang suram.

Takao lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir untuk meminta Yuza tetap diam dan tenang.

Yuza mengangguk dan mengukti Takao dari belakang.

Perasaan Takao mulai curiga ketika melihat lemari pakaian Yuza yang terletak tepat di sebelah jendela kamar.

Ia pun mulai melangkahkan kakinya mendekati lemari itu dengan sangat pelan, hampir tanpa suara.

Suara napas mereka bahkan tidak terdengar lagi ketika mereka tepat berada di depan lemari itu.

Kali ini suara detakan jantung mereka entah kenapa terdengar lebih keras dibanding suara napas mereka ketika Takao mulai membuka pintu lemari itu.

1.. 2.. 3.. dan Yuza langsung berteriak ketika mereka berdua melihat siluet seseorang yang ada di dalam lemari itu, sedangkan gagang sapu yang awalnya ia niatkan untuk melindungi dirinya malah ia buang begitu saja.

Teriakan Yuza semakin keras ketika suara perempuan dari dalam lemari itu ikut berteriak.

Takao yang mulai panik melihat keadaan itu langsung mengambil handphone Yuza yang ia ingat tadi dimasukkan ke dalam kantong celana Yuza dan segera menyalakan lampu flash di handphone itu.

Ia terkejut ketika melihat sosok perempuan yang mereka dapati ada di dalam lemari pakaian itu adalah seseorang yang ia kenal, Watanabe Koyuki.

***

Mereka bertiga sekarang duduk bersama di living room milik Yuza. Yuza dan Takao duduk berdampingan sedangkan Watanabe Koyuki duduk di sofa untuk satu orang yang berada tepat di samping Yuza dan Takao.

Di antara mereka ada Kei yang berdiri sambil menatap bingung ke arah mereka bertiga yang sejak tadi hanya diam—mungkin sudah sepuluh menit yang lalu.

Kei yang merasa resah dengan keheningan itu mulai membuat tubuhnya melayang, ia ingin mencoba ,memecahkan suasana canggung di ruangan itu.

"Lihatlah! Aku bisa terbang.” Ucapnya sambil tersenyum polos layaknya anak kecil pada umumnya.

"Kei, mereka kan tidak bisa melihatmu." Yuza sedikit prihatin dengan usaha Kei yang sia-sia.

Kei menyerah, senyuman di wajahnya kembali hilang, "Yasudah, kalau begitu selesaikan dulu urusan kalian, aku ingin bermain dengan teman-temanku." ucap Kei sembari menghilang dari tempat dia berada.

“K-kei?” tanya Takao yang kembali merinding melihat tingkah aneh Yuza yang berbicara sendiri.

"Ya, dia barusan pergi, katanya mau main sama teman-temannya.” Jelas Yuza singkat dan dibalas anggukan oleh Takao yang ingin mengakhiri pembicaraan itua sebenarnya ingin bertanya lebih banyak, tapi takut jika jawaban yang akan Yuza kasih malah hal-hal yang dapat membuatnya semakin takut.

“Jadi, kamu ngapain di tempat Yuza?” tanya Takao kepada Watanabe Koyuki yang sejak tadi duduk diam dengan posisi menunduk.

“Iya, kamu ngapain di sini?” tanya Yuza sedikit mendesak Watanabe, “dan kamu ini siapa?”

“Haa?!” kaget Takao dan Watanabe ketika Yuza bertanya seakan tidak mengenal Watanabe Koyuki, teman sekelasnya.

“Ha?! Kok ngga kenal sih? Kita kan sekelas.” Kesal Watanabe kepada Yuza yang sejak tadi hanya memasang wajah bingung. “Eh? Sejak kapan kita sekelas?”

“Ayolah Yuza, lakukan sesuatu dengan sikap apatismu itu.” Ucap Takao sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dia itu Watanabe Koyuki, teman sekelas kita, bahkan tempat duduknya juga di barisan belakang." Lanjut Takao menjelaskan.

“M-maaf Watanabe.” Ucap Yuza meminta maaf.

“Sudahlah lupakan saja, aku tidak mau mempermasalahkan itu.” Balas Watanabe sambil menyenderkan punggungnya ke sofa.

“Jadi, untuk apa kau menyusup ke sini? Dan melihat isi handphone Yuza?” tanya Takao to the point.

“Hm.. berhubung aku udah ketahuan, aku akan jelaskan semuanya.”

Watanabe mengehembuskan nafasnya pelan dan mulai melanjutkan perkataannya.

“Dari mana harus kumulai ya? Hmm.. baiklah, mugkin dari sini aja—mulai sekarang berhenti memanggilku Watanabe Koyuki, namaku adalah Haruna, hanya Haruna, seorang anak perempuan yang sejak lahir sudah dibuang orang tuanya sendiri, itulah aku.”

***

Malam itu adalah malam yang dingin di awal musim semi. Seorang wanita bernama Takeuchi Rin baru saja pulang dari rumah temannya.

Saat ia melewati jembatan, ia mendengar suara tangisan seorang bayi.

Wanita muda itu lalu mencari asal suara tersebut.

Suara itu berasal dari tengah jalan, dan itu adalah seorang bayi. Dengan sigap ia langsung mengambil anak itu dan membawanya ke pinggir jalan.

Takeuchi lalu memeluk bayi itu, mencoba menenangkan dan menghangatkan tubuh bayi itu.

"Siapa orang tua yang sekejam ini meninggalkan anaknya di tengah jalan? Untung saja ini sudah larut jadi jalanan tidak terlalu ramai." ucapnya sambil terus memeluk bayi itu agar mendapatkan kehangatan dari suhu tubuhnya.

Takeuchi Rin adalah wanita yang baik hati, bersifat keibuan dan sangat menyayangi anak kecil. Karena itulah tanpa berpikir panjang ia langsung membawa bayi kecil itu pulang dan merawatnya, ia bahkan memberi bayi itu nama.

Nama yang sangat cantik sesuai musim ketika ia bertemu dengan bayi itu, Haruna.

Wanita itu mulai menghabiskan hari-harinya bersama Haruna. Ia bahkan berhenti dari kuliahnya hanya untuk menjadi ibu bagi Haruna.

Kecintaannya kepada anak kecil membuat ia sedih jika melihat anak-anak yang terlantar, karena dasar itulah Takuchi Rin mulai membuka sebuah panti asuhan kecil saat usia Haruna sudah sekitar 3 tahun.

Berbekal dengan uang hasil kerja paruh waktunya ia mulai membangun panti asuhan untuk menampung anak-anak terlantar.

Sembilan tahun berlalu, panti asuhan Takeuchi sudah sangat dikenal di kota itu. Haruna juga sudah memiliki banyak teman.

Semuanya berjalan dengan baik selama enam tahun. Keluarga yang harmonis, tenang, dan hangat, setiap harinya mewarnai panti asuhan itu. Bahkan setelah kehadiran seorang anak bernama Akiyama Yuza.

Setiap ada penghuni baru, mereka akan menyambutnya dengan sangat meriah, begitu pun dengan Yuza yang kehilangan keluarganya dalam sebuah insiden kebakaran.

Mereka menyambut kedatangan Yuza dengan pesta kecil-kecilan antar penghuni panti, mereka makan dan mendengar cerita bersama. Kehangatan masih sangat terasa di panti itu.

Tapi, suatu insiden mengharuskan kehangatan di dalam panti itu lenyap untuk selamanya.

Hari itu, tepatnya hari ketiga setelah Yuza tinggal di panti asuhan Takeuchi. Tepat pada tengah malam, di saat semua orang sudah tertidur lelap.

Saat itu, Rin dan Haruna sedang di dapur karena Haruna yang terus merengek untuk dibuatkan makanan, terpaksa Rin harus memasakkannya sesuatu.

Setelah Haruna menghabiskan makanannya, mereka berniat untuk kembali ke ruangan masing-masing. Namun, tanpa sengaja mereka melihat sebuah bayangan hitam di balik jendela, bayangan itu berbalik, tapi Rin tidak bisa melihatnya dengan jelas karena keadaan yang sangat gelap.

Haruna yang terus menangis ketakutan karena berpikir itu adalah hantu langsung dipeluk Rin yang ingin menenangkannya.

Sesaat kemudian tercium bau hangus di seisi ruangan, Rin awalnya mengira ia tidak mematikan api kompor, tapi ternyarta bau itu tidak berasal dari dapur, itu berasal dari lantai atas tempat anak-anak panti tidur.

Rin segera berlari ke arah tangga kayu yang menghubungkan ke lantai dua, diikuti Haruna di belakangnya. Namun sayang, Rin sudah terlambat, seluruh lantai dua sudah terbakar.

Rin tetap memaksakan diri untuk menaiki tangga, tapi api yang besar sudah menghadangnya.

Tangga kayu itu sedikit lagi pasti sudah habis dimakan api. Beberapa kayu dari sisi tangga mulai berjatuhan. Haruna terus menangis di belakang Rin, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, dan hanya menangis.

Tiba-tiba salah satu sisi penahan tangga jatuh dari atas dan hampir mengenai Haruna, jika saja tidak ada Rin yang melindunginya.

Kayu-kayu yang terbakar itu terus berjatuhan di punggung Rin, tapi ia menahannya agar Haruna tidak terluka, ia lalu berbisik kepada Haruna.

"Pergilah... kau harus tetap hidup! Maafkan aku, aku tidak bisa menyelamatkan adik-adikmu..," air mata mulai mengalir dari mata Rin.

"Tapi..." gumam Haruna terdengar lirih.

"Pergilah... tetaplah hidup ... untukku..." Ucap Rin dengan suara yang sangat pelan sambil mendorong Haruna agar keluar dari tempat yang mulai ikut terbakar itu.

Haruna pun berlari mengikuti aba-aba Rin. Sesaat Haruna melihat ke belakang, hanya untuk melihat senyum Rin yang terakhir kalinya, sampai akhirnya api benar-benar menutupi tempat itu.

Haruna keluar dengan selamat dari pintu dapur. Berkat Rin ia tidak mendapat luka sedikitpun.

Ia terus berlari, berlari dan berlari. Sampai ia jatuh lemas di depan rumah keluarga Takahashi yang tidak lain dan tidak bukan adalah rumah pamannya Yuza.

Sungguh suatu kebetulan, tuan Takahashi baru saja pulang dari kantornya dan saat ini berada di depan rumahnya.

Ia sedikit terkejut melihat seorang anak kecil tengah terbaring lemas di depan rumahnya, "nak, siapa namamu? Apa yang terjadi? ayo masuk dulu." tuan Takahashi lalu mengajak Haruna kerumahnya.

Tuan dan nyonya Takahashi saat itu juga memutuskan untuk merawat Haruna, dan mengangkat Haruna menjadi anak mereka.

Mereka memang tidak memiliki anak, sehingga mereka menyambut Haruna dalam keluarga mereka dengan senang hati.

Sampai akhirnya mereka pindah ke kota besar dan Haruna saat itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, pintar, dan baik hati.

Perlahan ia mulai melupakan kejadian-kejadian kelam yang terjadi di panti asuhan pada malam itu. Tapi, pada suatu malam Haruna tidak sengaja mendengar pertengkaran kedua orang tua angkatnya.

"Panggilan dari siapa?" tanya nyonya Takahashi yang curiga pada suaminya.

"Bukan siapa-siapa." Tuan Takahashi menjawabnya dengan perasaan gugup.

"Aku ingin menanyakan ini dari dulu, kenapa rekeningmu sering berkurang dengan sendirinya setiap bulan? Apa kau menyembunyikan seseorang dariku?"

"Kau tau dari—"

"Aku bertanya pada sekretarismu tentang pengeluaranmu."

"Aku tidak selingkuh... percayalah padaku!" Tuan Takahashi mencoba meyakinkan istrinya.

"Bukan itu! Bukan itu yang aku permasalahkan."

"Lalu... apa?" tuan Takahashi mulai khawatir.

"Anak itu, anak pembawa sial itu. Kau masih sering menghubunginya kan?"

"I-iya... tapi—"

"Kan sudah kubilang untuk tidak peduli padanya!"

"T-tapi Yuza itu kan juga keponakanmu, dia—"

"Yuza, Yuza, Yuza terus! Anak itu hanya pembawa sial! Kakakku, dan Vin keponankan kesayanganku harus mati karena dia."

Nyonya Takahashi sudah sangat kesal saat ini, "kantor polisi itu, bahkan panti asuhan tempat Haruna di besarkan juga terbakar karena dia, dia itu anak yang membawa kutukan, dan itu memang sudah ditentukan dari dia kecil."

Tuan Takahashi mengangkat tangannya, ia hampir menampar istrinya, tetapi ia menahannya. "Berhentilah bicara seperti itu!"

Haruna yang melihat kejadian itu, tanpa sengaja menyambar vas bunga di sampingnya. Tuan dan nyonya Takahashi lalu melihat ke arahnya.

Menyadari tatapan itu, Haruna langsung berlari. Ia tidak pernah menyangka kalau Akiyama Yuza adalah keponakan dari kedua orang tua angkatnya.

Seperti halnya nyonya Takahashi, Haruna juga sangat membencinya. Haruna juga menganggap kalau Yuza adalah anak pembawa kutukan.

Haruna terduduk lemas di bawah tangga, ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis. Ia kembali teringat kejadian pada malam itu, bayangan hitam itu, pengorbanan Rin demi dirinya, dan senyuman hangat Rin untuk terakhir kalinya sebelum api memisahkan mereka.

Ia tidak bisa melupakannya.

Tuan Takahashi lalu menghampiri Haruna, "Nak, kenapa menangis?" Haruna tidak menjawabnya dan hanya tetap menangis. Tuan Takahashi mulai mengelus rambut Haruna, dia juga sedih saat melihat Haruna yang sudah ia anggap anak kandungnya bersedih seperti itu.

Haruna lalu mengangkat kepalanya, ia menatap kearah tuan Takahashi. "Ayah... aku merindukan mereka..."

"Ayah mengerti, jangan menangis, besok kita akan kepanti asuhan itu. Kau ingin menaruh bunga di sana kan?" hibur tuan Takahashi sambil tersenyum untuk membuat Haruna agar lebih tenang.

"Hmm." Haruna mengangguk.

Besok paginya, Tuan Takahashi dan Haruna pergi ke kota yang dulu mereka tinggali, kota kecil yang sekarang sudah berubah menjadi kota mati. Mereka datang ke tempat itu untuk meletakkan karangan bunga White Chrysanthemum di depan sebuah bangunan tua yang tampak habis terbakar di beberapa bagiannya, tempat itu adalah bangunan beka Panti Asuhan Takeuchi.

Saat itu, Haruna mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya tentang Yuza kepada Tuan Takahashi. "Ayah... apa benar Akiyama Yuza itu keponakanmu?"

"Iya, itu benar," jawabnya sambil menunjukan raut wajah sedih.

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Dia baik-baik saja."

"Ayah pernah bertemu dengannya?"

"Tidak pernah sejak malam itu. Kami hanya berkomunikasi lewat handphone, dia melarangku untuk menemuinya."

"Begitu ya... Ayah?"

"Ada apa, nak?" Tanya Pria paruh baya itu penasaran.

"Bolehkah aku sekolah dengannya?"

"Boleh saja, tapi kenapa tiba-tiba?"

"Aku hanya ingin bertemu dengannya."

"Nak... kau jangan sampai terpancing dengan kata-kata Ibumu semalam..,"
Tuan Takahashi khawatir kalau saja Haruna ikut berpikir kalau penyebab kebakaran itu adalah Yuza.

"Tenanglah ayah, aku tidak seperti itu." Haruna lalu tersenyum manis kepada Tuan Takahashi untuk meyakinkannya, dan tuan Takahashi pun menyetujuinya.

Walaupun itu hanyalah senyum palsu.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top