Part 4

Kesepian, tidak dianggap, itulah kematian yang sebenarnya.

Bahkan jika seseorang telah tiada, itu tidak benar-benar dikatakan ia pergi jika kenangannya masih tersisisa di hati orang lain. Dia tetap akan hidup selamanya di hati orang-orang yang menyayanginya.

Jika kau ingin tahu kematian yang sesungguhnya yaitu, di saat kau dilupakan, tidak dianggap, hari demi hari terus merasa kesepian, sunyi, dingin, sedih, merana. Itulah kematian yang aku rasakan.

~Akiyama Yuza

***

Matsumoto saat ini sedang duduk di depan TV.

Benda berbentuk kotak itu ia biarkan terus menyala sedangkan pikirannya tengah menjelajah entah kemana.

Lamunan pemuda bertubuh jangkung itu kemudian dibuyarkan oleh suara seseorang yang sangat ia kenal.

"Kau sedang memikirkan apa cucuku?" tanya wanita tua yang tidak lain adalah neneknya.

"Nenek sudah pulang ya?" tanya Matsumoto sedikit terkejut.

"Pertanyaan apa itu? Tentu saja nenek sudah pulang, nenek kan ada di depanmu sekarang." ucap sang nenek membuat cucunya itu tertawa kecil.

"Ada apa Takao? Kau sedang memikirkan apa?"

"Ti-tidak nek, tenang saja, tidak ada apa-apa kok." Matsumoto tersenyum simpul kepada neneknya.

"Tapi jarang sekali nenek melihatmu melamun seperti itu. Ayo ceritakanlah, nenek pasti akan mendengarkanmu."

Awalnya Matsumoto sedikit ragu. Tapi ia pun memberanikan diri untuk bertanya pada neneknya. "Nenek sudah lama tinggal di kota ini, 'kan?"

"Tentu saja. Nenek sudah tinggal disini, dari Takao sependek ini—" ucap sang nenek sambil menggerakan telapak tangannya seperti sedang mengukur tinggi seorang anak kecil.

"Ya ampun Nek, ga perlu sedetail itu juga, hehe." ulah neneknya membuat Matsumoyo tertawa geli.

"Jadi, ada apa dengan itu?" tanya neneknya sembari mengambil tempat duduk di samping Matsumoto.

"Nenek pasti juga mengenalnya—" ada jeda dalam perkataan Matsumoto. "Akiyama Yuza."

"Iya, nenek mengenalnya." Neneknya tampak tersenyum hangat seolah sedang ingin mencairkan ketegangan yang dirasakan Matsumoto. "Bagaimana orangnya menurut nenek?"

"Dia anak yang baik. Dia sering tersenyum pada nenek. Senyumnya tipis, sangat tipis. Sampai tak ada seorang pun yang menyadari kalau ia sedang tersenyum. Hanya nenek yang menyadarinya,"

Nenek Matsumoto sejenak memejamkan matanya— "ah, benar juga, Akiyama pernah menolong nenek dari para preman yang berniat jahat pada nenek."

"Menolong nenek dari preman? Tapi, bagaimana?" Matsumoto semakin tertarik dengan penjelasan neneknya.

"Waktu itu, nenek pulang dari supermarket untuk membeli bahan-bahan makanan. Saat itu sudah larut malam. Nenek bertemu dengan beberapa preman yang membawa senjata tajam. Mereka lalu menodongkan senjata itu pada nenek. Tapi, tiba-tiba mereka lari seperti orang yang melihat hantu."—nenek Matsumoto menarik napasnya sejenak.

"Saat nenek berbalik, ternyata itu adalah Akiyama. Nenek sadar kalau saat itu dia memang berniat menolong nenek dari para preman." nenek Matsumoto tersenyum saat mengingat kejadian itu.

"Apa nenek pernah berbicara dengannya?"

"Seingat nenek tidak pernah, sekalinya nenek memanggil namanya dia akan langsung lari."

"Lari dari nenek? Tapi, kenapa?"

"Nenek juga tidak tahu, padahal nenek berniat memberikan sup kari buatan nenek padanya. Tapi, Akiyama itu tinggal di apartemen yang tidak memiliki lift,"

"nenek sudah tidak mampu untuk menaiki anak tangganya. Nenek sudah meminta beberapa orang untuk mengantarkannya, tapi mereka bilang mereka tidak berani. Mereka terlalu takut pada sesuatu hal yang tidak masuk di akal."—nenek Matsumoto memperlihatkan ekspresi sedih di wajahnya.

"Tidak masuk akal? Apa maksud Nenek soal 'Kutukan Yuza'?" Matsumoto bertanya dengan sangat hati-hati.

"Iya, penduduk kota sering menganggapnya seperti itu."

"Bagaimana bisa?"

"Sekitar tiga tahun yang lalu, sebelum Yuza datang ke kota ini, sempat terjadi kebakaran yang melibatkan seluruh penduduk di tempat dia berasal. Banyak yang bilang kalau orang-orang itu adalah mereka yang sering menghinanya, atau hanya sekedar ingin berbicara dengannya."

"Bukankah itu hanya kebetulan? Kenapa orang-orang menganggapnya sangat serius?" Matsumoto tampak kesal karena orang-orang yang memperlakukan seorang anak seusianya seperti sebuah kutukan yang bahkan terkesan tidak nyata.

"Nenek juga berpikiran seperti itu. Tapi sepertinya Akiyama menerima segala macam tuduhan itu, dia bahkan terlihat tidak ingin berbicara dengan Nenek."

"Kalau begitu, berarti dia merasa sangat kesepian."—Matsumoto meremas telapak tangannya kuat karena merasa semakin kesal.

"Sudah pasti, dia sangat kesepian. Nenek menyadarinya saat melihat matanya."

"Bahkan jauh lebih kesepian dari pada apa yang kualami sebelum nenek membawaku kesini." Mendengar itu sang neneknya langsung memeluknya, memeberikan kehangatan kepada cucu satu-satunya.

"Nek, apa mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan untuknya?" Matsumoto menatap mata neneknya dalam.

Neneknya tersenyum, "tentu saja! Kamu adalah anak yang baik. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh anak baik sepertimu." Matsumoto lalu tersenyum lebar menanggapi perkataan neneknya.

Jika kebanyakan orang tua akan melarang anaknya untuk berteman dengan Yuza, sebaliknya dengan Nenek Matsumoto. Dia malah senang cucunya ingin menolong Yuza yang kesepian.

***

Di Sekolah Matsumoto terus mengikuti Yuza. Bahkan kali ini ia lebih terang-terangan. Mungkin karena sudah mendapat izin dari neneknya. Yuza menyadari bahwa ia sedang diikuti, tetapi sebisa mungkin dia mencoba untuk mengabaikannya. Sampai Matsumoto berbicara padanya.

"Oi, Akiyama, jangan mengabaikanku, kau tahu aku mengikutimu, 'kan?" teriak Matsumoto yang mulai kesal karena Yuza terus menjauhinya.

'Eh? Dia benar-benar memanggilku?'

Langkah Yuza terhenti ketika mendengar teriakan itu.

"Aku Matsumoto Takao, teman sekelasmu."

'Tidak apa, lanjutkan langkahmu Yuza, kau tak mendengarnya dan dia tidak berbicara padamu, dengan itu semua akan aman, dia akan baik-baik saja.' batin Yuza mencoba menenangkan dirinya.

Namun, kaki Yuza tidak mau bergerak sedikit pun. Ia seakan terpaku. Kakinya tidak dapat melawan perasaan yang ada di dalam hatinya. Perasaan yang berbeda ketika ada seseorang yang memanggilnya.

Yuza sangat senang!

Tetapi, keselamatan orang itu jauh lebih berharga dari pada rasa senangnya. Ia tidak boleh membiarkan orang itu mati sia-sia. Karena itu Yuza pun mencoba melanjutkan langkahnya.

Namun, tanpa diduga seseorang langsung menahan tangannya.

Itu adalah Matsumoto.

Sekali lagi Yuza dibuat terkejut. Begitupun semua orang yang berada di tempat itu, mereka kaget melihat Matsumoto berani menyentuh Yuza, perasaan takut juga terlihat dari mata mereka semua.

Itu wajar bagi Yuza, mengingat selama 3 tahun tidak ada yang berani mendekati Yuza selain seorang nenek yang pernah ia selamatkan.

Sekali pun nenek itu pernah memanggil nama Yuza seperti yang dilakukan Matsumoto, tetap saja nenek itu tidak pernah mengejar apalagi meraih tangan Yuza. Tapi Matsumoto justru berani menggali kuburannya sendiri, Yuza tidak habis pikir dengan itu.

"Kau ingin pergi saat seseorang berbicara padamu? Bukankah itu keterlaluan? Tidakkah kau ingin meminta maaf?"

'Ada apa dengan orang ini, apa dia sadar akan perbuatannya, dia bisa mati...' pikir Yuza yang masih terus menahan membalas perkataan Matsumoto.

Yuza mencoba untuk tidak menghiraukannya, dan menarik tangannya untuk menjauh dari Matsumoto.

"Hei Yuza! Bukankah kau harus meminta maaf padaku? Saat ini Juga!?" Takao sedikit meninggikan suaranya.

Yuza menunduk. Ini semua tidak ada gunanya, cepat atau lambat Matsumoto akan mati. Tidak ada lagi yang dapat Yuza lakukan untuk menghentikannya.

Yuza kemudian berbalik dengan masih menunduk "M-maaf..." Yuza mengatakannya dengan suara yang lirih.

Sedangkan semua orang yang tadinya ada di sekitar mereka, sekarang sudah meninggalkan tempat itu. Mereka takut terkena kutukan jika mereka terus berada di tempat itu dan melihat semuanya.

"Ya ampun, betapa susahnya berbicara padamu. Apa kau itu artis, huh? Bahkan artis saja tidak sesombong ini." ucap Matsumoto jengkel.

Yuza yang merasa kesal dikatai sombong langsung mengangkat kepalanya dan menatap Matsumoto—yang lebih tinggi darinya— "Sombong katamu?! Siapa yang kau bilang sombong?!"

"Siapa lagi? Tentu saja itu kau. Menyebalkan, seharian aku mengikutimu. Kau sadar itu, 'kan?" kali ini seolah-olah Matsumoyo menuntut ganti rugi pada Yuza.

"Ha? Kenapa ini jadi salahku? Siapa suruh mengikutiku?" Yuza memutar bola matanya kesal.

"Tentu saja ini salahmu, bodoh!" ucap Takao kesal.

"Kau—kau sadar dengan tindakanmu?"

"Ya! Aku sadar, aku barusan memanggilmu, lalu kenapa? Apa yang salah dengan itu?" Matsumoto terus mendebat Yuza seakan tidak mau kalah dalam sebuah pertengkaran.

"Kau tidak sadar sama sekali! Kau tahu, kau baru saja menggali kuburanmu. Aku tidak akan tanggung jawab dengan apa yang akan terjadi padamu setelah ini." Yuza lalu berbalik dan pergi meninggalkan Matsoto.

"Yaampun, pantas saja dia dijauhi, sifatnya saja seperti itu. Sangat menyebalkan." Matsumoto pun mengehentikan 'pekerjaannya' untuk hari ini. Setidaknya Yuza sudah mau bebicara padanya. Itu sudah cukup.

***

Takao sedang belajar di kamarnya sampai Neneknya mengetuk pintu dan memanggilnya keluar kamar.

"Maaf nenek mengganggumu belajar." ucap wanita tua itu ketika cucunya baru keluar dari kamar.

"Tidak apa nek, kenapa memanggilku?" tanya Matsumoto pada neneknya yang saat itu sedang memegang sebuah rantang dengan motif bunga.

"Boleh tolong antarkan ini ke rumahnya Akiyama? Nenek ingin membuatnya merasakan ini sebelum nenek tidak akan bertemu lagi dengannya."

"Boleh Nek, tapi ngga pa-pa kalau aku tinggal Nenek sendiri?" Matsumoto sedikit ragu jika harus meninggalkan neneknya sendiri saat malam hari.

"Tenang saja, nenek kan sudah lama tinggal di sini. Ngga perlu khawatir ya.." Neneknya tersenyum simpul, seakan mengatakan semua akan baik-baik saja

"Baiklah kalau begitu, tapi aku ngga akan lama-lama ya, ngga enak ninggalin nenek sendiri di sini."

"Lama juga ngga pa-pa, biar kalian bisa temenan, hehe."

"Nenek ngomong gitu gampang, tahu ngga dia itu susah banget dideketin."

"Hahaha.. udah-udah kamu siap-siap pergi aja sekarang, takutnya dia udah tidur. Ini sekalian alamatnya."—ucap Nenek Matsumoto sambil memberikan rantang dan sebuah kertas kepada cucunya—"oh iya, Takao kalau keluar lewat pintu belakang ya. Apartemen milik Akiyama lebih cepat kalau lewat pintu belakang kita, ini alamatnya." Nenek

"Baik nek."

"Cucuku..." suara sang Nenek terdengar lirih.

Ketika Matsumoto melihat ke arahnya, tampak mata sang Nenek mulai memerah, seperti ingin menangis. Sedetik kemudian sang Nenek langsung memeluknya. Memeluk Matsumoto sangat erat seakan tidak mau berpisah dari cucunya itu.

"Cucuku, kau adalah anak yang baik, sebisa mungkin bantu Akiyama keluar dari lingkaran yang disebut kutukan itu. Ingatlah satu hal cucuku, Nenek akan selalu mendukungmu, tetap lakukan apa yang ingin kau lakukan. Nenek selalu menyayangimu."

Matsumoto terkejut dengan neneknya, ini bukan seperti nenek yang biasanya. Apa karena wanita tua itu benar-benar tidak tega dengan apa yang dialami Yuza sampai ia meneteskan air matanya? Jika itu benar maka Matsumoto sebagai cucu harus menyelamatkan Yuza dan membuat Neneknya tersenyum lagi. "Tenang saja Nek, aku akan melakukan semua yang aku bisa."

Neneknya tersenyum dan melepaskan pelukannya sambil berkata, "Terimakasih cucuku untuk segalanya."

Matsumoto tersenyum balik. Dia pun berlalu pergi meninggalkan neneknya. Tapi sebelum itu ia sempat melihat ke arah jendela. Dia sedikit ragu dengan perintah neneknya yang serba tiba-tiba, tapi akhirnya dia memilih untuk mengikuti mengikuti perintah neneknya.

***

Matsumoto akhirnya sampai di depan pintu apartemen Yuza.

Ternyata peta yang diberikan neneknya terasa lebih jauh dibanding jalan yang awalnya ingin dia lewati sebelumnya.

Namun, apapun itu yang penting dia sudah sampai dengan selamat walaupun harus menemui beberapa gangguan kecil yang sama sekali tidak mau ia ingat lagi.

Matsumoto lalu menekan bel pintunya tapi tak ada jawaban. Dia terus menekannya tapi Yuza tak juga menjawab.

Merasa kesal, ia langsung menendang-nendang pintu apartemen itu. Tidak terlalu keras tapi cukup untuk membuat si pemilik rumah kesal.

Seperti dugaannya, Yuza langsung membuka pintunya. Ia terlihat sangat marah.

"Kau mau membayarnya kalau rusak?!"

"Nih, dari nenekku." Matsumoto langsung menyerahkan rantang yang ia pegang kepada Yuza yang masih terlihat marah karena ulahnya.

"Kau? Bukankah sudah kubilang untuk berhenti mengikutiku?!"

"Ayolah Yuza, Ini juga kemauan nenekku. Makanlah, masakan nenekku sangat enak."

"Kau? Kau baru saja memanggil namaku? Kau sadar apa yang kau lakukan? Kau akan mati? Kau bahkan akan menyeret orang-orang terdekatmu terdekatmu, apa kau sadar dengan tindakanmu?!" Yuza terus memperingati Matsumoto yang seakan tidak ada.

"Oh tolonglah! Berhenti memanggilku 'kau'! Aku ini punya nama, Matsumoto Takao, kita sekelas bahkan tempat duduk kita berdampingan, tidakkah terlalu jahat jika kau masih tidak mengingat namaku?"

"Aku ingat namamu, tapi—" Matsumoto langsung mengangkat tangannya untuk menghentikan Yuza membantah lebih jauh.

"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan, ini pilihanku sendiri. Makan lah itu, aku pergi sekarang ya, nenekku sendirian di rumah, bye." Matsumoto pun pergi meninggalkan Yuza yang dipenuhi kebingungan, dan tentu saja kesenangan.

***

Saat di jalan pulang Matsumoto mulai memikirkan Yuza. Ia tertawa geli ketika melihat Yuza yang marah tapi juga merasa senang di saat bersamaan.

Entah bagaimana caranya, ia selalu dapat menebak perasaan seseorang dari ekspresinya, sekali pun rasa senang Yuza disembunyikan, Matsumoto akan tahu itu.

Begitu pun dengan neneknya. Salah satu alasan Matsumoto tidak mau pergi lama adalah ekspresi neneknya sedikit meragukan. Seperti ada yang dia sembunyikan.

Matsumoto terus memikirkan kembali betapa anehnya tingkah sang nenek ketika menyuruhnya pergi.

Seketika langkah Matsumoto terhenti, ia mulai menyadari sesuatu yang aneh.

Tunggu dulu, kenapa aku harus lewat pintu belakang? Kenapa aku harus lewat sana?

Karena jalan pintas?

Tidak! Jalan yang dikasih nenek justru lebih jauh dari jalan biasanya!

Benar juga..

Jendela... ia jendela...

Aku tadi melihatnya...

Bayangan itu... bayangan hitam diseberang jalan...

Aku melihatnya dari jendela..

Tidak! Tidak mungkin... Tidak mungkin..

Tolong katakan padaku bahwa dugaanku ini tidak benar! Ini pasti tidak benar!

Matsumoto langsung berlari, berlari sangat cepat. Air mata mulai membasahi wajahnya. Ia takut akan apa yang terjadi berikutnya. Ia takut saat memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi. Ia terus berlari sampai di depan rumahnya.

Tapi terlambat!

Api sudah berkobar, membakar rumahnya.

"TIDAK!!! NENEK MASIH DI DALAM!! NENEEEK!!"

Teriak Matsumoto histeris. Ia berniat masuk ke dalam rumah, tapi ditahan oleh orang-orang yang ada di tempat kejadian.

"TIDAK!! NENEKKU MASIH DI DALAM!! LEPASKAN AKU!! DIA TIDAK LARI, KAKINYA SUDAH TIDAK KUAT, AKU HARUS MENYELAMATKANNYA, KUMOHON!!"

Mereka tetap menahannya, walaupun ia berteriak sangat histeris, mereka tetap tidak membiarkannya masuk ke dalam kobaran api itu.

"Nenek... aku hanya ingin menyelamatkannya, kumohon.. nenek..."

Lutut Matsumoto melemas, ia terduduk pasrah, tidak ada lagi yang dapat ia lakukan. Ia sudah kehilangan orang yang paling ia sayangi, orang yang sangat menyayanginya, dia kehilangan seorang malaikat penolongnya, neneknya.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top