Part 27 (Alone)

Malam itu adalah malam yang sangat dingin, salju berjatuhan, gemerlap lampu di mana-mana. Malam itu adalah malam di mana semua orang tertawa bahagia dengan keluarganya. Namun, tidak dengan pemuda itu, ia yang memakai jaket lengkap dengan tudungnya, hanya duduk diam di antara pepohonan di puncak bukit sambil melihat gemerlap lampu perkotaan di bawahnya.

"Indahnya, akan lebih indah lagi kalau kau ada disini, Kak.." gumam pemuda itu sambil memejamkan matanya.

Tidak berapa lama terdengar langkah kaki mendekatinya, dengan sigap ia pun bersembunyi di semak-semak yang tidak terlalu jauh dari tempat ia duduk.

Saat ia melihat ke luar semak-semak, ia melihat seseorang yang sangat ia kenali. Ia tersenyum dengan mata yang berkaca, ingin mendekat tapi terlalu takut akan membebani orang itu, ia pun memilih untuk memperhatikan orang itu dari jauh.

Orang yang ia lihat itu sekarang duduk di tempat yang tadi ia duduki, melihat gemerlap lampu kota sambil ditemani cahaya rembulan, persis seperti yang ia lakukan.

Beberapa menit kemudian, orang itu terlihat seperti berbicara sendiri.

"Hmm?"

"Aku sangat suka tempat ini, begitu pun dengannya, saat masih kecil kita selalu datang ke sini."

"Aku hanya ingin mengenangnya."

"Eh? Aku kan baru datang, kau pergi sendiri saja, Kei."

Tidak berapa lama orang itu pergi seperti ditarik sesuatu.

"Kei?! Siapa dia? Teman? Tidak ada yang namanya teman di dunia ini, kalau suatu saat aku bisa melihatnya, aku akan membunuhnya." Pemuda yang bersembunyi di semak-semak itu terdengar sangat marah, ia tidak pernah menyukai yang namanya teman, dan ia juga tidak mau siapapun mendekati kakaknya.

Musuh maupun teman, baginya semua sama saja, pada akhirnya mereka semua akan menghianati kakaknya, dan ia tidak mau kakaknya merasakannya, jadi dia harus membunuh siapa saja yang mendekati kakaknya.

***

Pemuda itu tinggal sendirian, dia hidup sebatang kara tanpa bantuan siapa-siapa—walaupun untuk beberapa bulan dia sempat ditemani seorang pria, tapi pria itu menyerah karena tidak kuat melihat kematian ibunya dan anak-anak di panti asuhan.

Baguslah. Pikir pemuda itu, dia tidak perlu susah payah menghidupi orang lain, dia hanya perlu memikirkan dirinya sendiri, tidak perlu membeli makanan untuk dua orang apalagi membeli obat-obatan yang harganya selangit agar dapat mengendalikan pria itu.

Lagi pula pemuda itu tahu, pria itu tidak akan tega melaporkannya kepada polisi, dia kan sudah dianggap adik, jadi tidak perlu susah payah merencanakan pembunuhan untuk pria itu.

Pemuda itu tidur di mana saja yang ia rasa aman, memakan apa yang saja yang boleh ia makan. Sesekali ia akan kembali ke rumahnya, sebuah bangunan besar di kota mati yang sekarang ditinggalkan para penduduknya. Pemuda itu akan kembali ke sana untuk mengambil beberapa benda yang dapat ia jual untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Tidak lupa ia senantiasa berkunjung ke ruangan bawah tanah kesukaannya. Ruangan itu mungkin berbau amis, tapi percayalah pemuda itu mencintai bau amis di ruangan kesukaannya itu.

Di sana ia dapat melihat dan memandangi foto-foto kakaknya yang ia ambil diam-diam, sambil terus menghirup bau amis dari tetesan darah kucing-kucing yang ia gantung di dinding ruangan gelap itu.

Sesekali ia berpikir ingin mengganti kucing-kucing itu dengan jasad seseorang, tapi ia urungkan niat itu karena pemuda itu takut jika ia melakukan tindakan yang terlalu berlebihan polisi akan menangkapnya dan menjauhkan dirinya dari kakaknya, ia tidak mau itu.

Pemuda itu tidak pernah menggunakan obat, tapi ia selalu merasa gelisah ketika ia berada jauh dari kakaknya, atau pun saat ia melihat kakaknya dekat dengan orang lain.

Oleh karena itu, ia selalu menyiapkan kapas yang ia bungkus menggunakan kain. Benda itu kemudian ia celupkan ke cairan berwarna merah yang ia tampung dari tetesan darah kucing-kucing di ruangannya. Ya, menghirup bau amis di benda itu selalu dapat menenangkan dirinya dari kegelisahan.

Apakah pemuda itu merasa kesepian? Tidak juga. Ia sudah cukup bahagia walaupun hanya melihat kakaknya dari jauh.

Tepat setelah kakanya pindah ke tempat yang baru, ia dapat merasa sedikit lega karena pekerjaannya berkurang. Ia tidak perlu lagi merencanakan sebuah kebakaran, karena tampaknya semua orang sekarang sudah segan mendekati kakaknya. Jadi, ia tidak perlu menjauhkan kakaknya dari iblis-iblis berkedok mansuia.

Namun, suatu hari ia mendapati hal yang membuatnya sangat terkejut.Dia melihat ada seorang nenek tua yang memanggil nama kakaknya.

Menyebalkan. Pikirnya.

Pemuda itu terus memikirkan nenek tua itu seharian, ia mencari tahu siapa nenek itu, dan ia mendapatkannya.

"Matsumoto Ririko, rumahnya tidak terlalu jauh dari sini." gumamnya.

***

Besoknya, ketika malam tiba, ia bersembunyi di tengah kegelapan sambil melihat rumah yang ada di seberang jalan. Dari dalam jendela terlihat seorang nenek tengah berbicara dengan anak laki-laki seusianya, itu mungkin adalah cucuk si nenek.

Pemuda itu mulai tidak sabar, ia pun mendekati rumah itu dengan membawa bensin dan korek api. Kali ini ia tidak perlu lagi membuat kebakaran karena gangguan listrik atau sebagainya, lagi pula semua orang sekarang tidak mau lagi membuang waktu mereka mencari penyebab kebekaran yang ia buat. Mereka pasti tidak mau malaikat maut datang ke mereka hanya karena mereka ikut campur. Ya, pemuda itu adalah malaikat mautnya.

Pemuda itu mulai menaburi bensin di sekeliling rumah itu, kemudian membakarnya. Rumah itu adalah rumah yang hampir sepenuhnya berbahan dasar kayu, sangat mudah untuk menyebarkan api.

Pemuda itu kemudian berdiri di depan jendela untuk melihat nenek itu, ia kemudian tersenyum dengan sinis dan berkata, "maafkan aku nenek tua, tapi aku tidak mau kau mendekati kakakku seperti itu, kalian semua manusia sama saja, kalian hanya akan membuatnya tersiksa."

Seakan sudah mengetahui kematiannya, sang nenek tersenyum. Senyuman yang sangat hangat sampai membuat pemuda itu terkejut.

'Kenapa? Kenapa dia tersenyum padaku? Apa dia tidak takut? Sebentar lagi dia akan mati, apa dia tidak takut?' batin pemuda itu ketika melihat senyum sang nenek.

Tidak berapa lama banyak orang yang yang berlarian menuju ke arah rumah yang baru saja pemuda itu bakar, dia menyadarinya dan segera berlari untuk menjauhi orang-orang itu.

***

Besoknya pemuda itu sangat marah saat mendapati dua orang anak seusianya berjalan bersama kakaknya, ia bersumpah dalam hatinya ia akan melenyapkan mereka. Baginya mereka pasti akan menyakiti kakaknya, jadi sebelum mereka melakukan itu ia harus terlebih dahulu melenyapkan mereka.

Malam ini ia memilih untuk tidur di dalam bangunan apartemen kakaknya, dan menunggu waktu yang pas untuk membakar kedua orang itu. Beberapa hari ia menunggu, tapi tidak pernah mendapatkan waktu yang pas. Kakaknya tidak juga keluar dari apartemennya dan meninggalkan mereka berdua sendirian, ia pun memilih untuk terus menunda rencananya.

Suatu hari, mereka bertiga rupanya ingin pergi ke suatu tempat, tentu saja pemuda itu terus mengikuti mereka. Ia terkejut saat mendapati mereka ternyata mengunjungi rumahnya.

"Di rumah? Untuk apa mereka datang ke sini?" Ucap pemuda itu sedikit bingung.

Ia melihat kakanya meninggalkan mereka berdua, kesempatan yang bagus untuknya menghabisi mereka. Ia pun mengikuti mereka berdua.

Mereka terus masuk ke dalam lorong-lorong di rumah itu, dan terlihat ketakutan. Ia ingin tertawa tapi tidak ingin ketahuan. Namun, entah kenapa semakin mereka masuk ke dalam suasana semakin mencekam.

Tidak biasanya, kenapa malam itu berbeda? Apa karena ada kakaknya di tempat itu jadi dia merasa lebih gelisah?

Merasa terancam dengan keadaan itu ia pun berlari dan mencari jalan memutar menuju ruang bawah tanah, ruangan kesukaannya. Dia masuk ke sana untuk sedikit mencelupkan benda yang selalu ia bawa ke dalam genangan cairan berwarna merah. Sengaja dia lakukan agar bau amisnya tidak hilang.

Pemuda itu memilih tidur di ruangan bawah tanah untuk malam ini. Ia ingin meredakan rasa gelisahnya. Jadi, untuk sementara dia memilih tidak mengikuti kakaknya dulu.

***

Besoknya adalah waktu yang dituggu-tunggu pemuda itu. Malamnya ia melihat kakaknya keluar meninggalkan mereka berdua di dalam apartemen, pemuda itu pun langsung masuk ke dalam. Ia melihat cucu dari nenek yang ia bunuh beberapa hari yang lalu sedang berbaring di sofa kakaknya.

Cukup lama ia melihat wajah anak laki-laki seumurannya yang sedang tertidur lelap sambil terus memaki dalam hatinya. Untuk sesaat ia sempat bingung apakah ia harus membakar tempat itu atau membunuh dan menyiksa laki-laki itu terlebih dahulu. Ia terlalu kesal karena laki-laki itu terlalu lengket dengan kakaknya.

Tanpa pemuda itu sadari perlahan ia mulai menarik pisau di saku celananya, di saat yang sama benda berbau amis yang selalu ia bawah jatuh keluar dari saku celananya saat ia menarik pisau itu. Saat itu juga, dia berniat langsung membunuh laki-laki itu, tapi ia mengurungkan niatnya dan langsung bersembunyi karena kakaknya yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu apartemen.

Dari tempat persembunyiannya ia melihat kakaknya mulai tertidur.  Ketika ia yakin kakaknya sudah benar-benar tertidur ia pun langsung membuat gas di dapur bocor dan menyalakan api kompor untuk menyulut ledakan yang menyebabkan kebakaran.

Selanjutnya ia  mengangkat kakaknya dan membawanya ke luar gedung apartemen. Tubuh kakaknya terhitung lebih kurus dan ringan, berbeda dengannya yang memiliki tubuh sedikit lebih tinggi dan berisi—mungkin karena ia suka melakukan olahraga di waktu-waktu santainya. Ia sengaja melakukan itu secara teratur agar ia bisa menyelamatkan kakaknya, seperti yang ia lakukan saat ini.

Setelah pemuda itu membaringkan kakaknya di luar gedung apartemen, ia langsung kembali ke lantai 3 untuk memastikan ledakannya—jika memungkinkan, ia juga ingin melihat wajah putus asa dua orang yang berani mendekati kakaknya.

Seperti yang biasa ia lakukan pada korban-korban sebelumnya, ia akan menemui korbannya, meminta maaf dengan wajah sinisnya, membuat mereka ketakutan, dan membiarkan mereka terjebak di dalam kobaran api yang akan merenggut nyawa mereka.

Namun, apa yang ia perkirakan berbeda, kakaknya rupanya terbangun dan langsung berlari ke lantai 3. Sedangkan kedua temannya keluar lebih awal sebelum api benar-benar menyebar. Mengharuskan dia bersembunyi dengan menghancurkan salah satu pintu apartemen karena tergesa-gesa.

Pemuda itu sangat kesal karena rencananya untuk menjauhkan mereka dari kakaknya telah gagal. Ia kembali ke bukit yang biasa ia datangi, mencoba melepaskan amarahnya di tempat dingin itu dan tanpa sadar mulai tertidur.

Ketika ia terbangun hari sudah mulai pagi, ia akhirnya menyadari bahwa saat itu ia telah kehilangan jejak kakaknya. Ia tidak tahu kemana mereka membawa kakaknya, ia pun mulai gelisah. Kegelisahannya bertambah saat ia menyadari ternyata benda berbau amis yang selalu ia bawa telah menghilang.

Ia pun menghabiskan hari itu dengan mencari tahu di mana ia menjatuhkan benda itu. Ketika hari mulai malam ia memutuskan mencari benda itu di aparteme kakaknya, tapi saat itu ia terkejut saat mendapati mereka bertiga ternyata juga datang ke apartemen itu.

Ia pun kembali bersembunyi di balik salah satu pintu apartemen yang kemarin tidak sengaja ia rusak karena ingin bersembunyi dari kakaknya. Kegelisahannya mulai sedikit memudar karena ia kembali menemukan jejak kakaknya. Jadi, ia kembali mengikuti mereka yang rupanya menginap di rumahnya dulu sebelum pindah.

Ia tahu, rumah itu tidak akan bisa ia bobol karena sistem keamanannya yang canggih, jadi ia memilih mengawasi mereka dari luar.

***

Suatu hari ia mengikuti mereka yang datang ke sebuah desa terpencil. Ia terus mengikuti mereka sampai di sebuah rumah yang tampak tidak terawat, di sana ia melihat seorang wanita  tua memeluk kakaknya. Ia menyadari satu hal, itu adalah peramal yang dahulu menyuruh orang tuanya membunuh kakaknya. Saat itulah ia pun menetapkan akan membunuh wanita itu.

Besoknya, ketika kakanya pergi ia pun mulai menjalankan rencananya dengan membakar rumah itu. Sebelum api benar-benar menyebar ia masuk untuk menemui wanita itu. Wanita itu duduk sambil tersenyum padanya. Seperti neneknya Takao, sekali lagi membuat anak itu ia merasa ngeri.

"Ternyata kau benar-benar datang." Ucap wanita itu, tapi anak itu tetap diam. "Maafkan aku."

"Maaf? Kaulah yang membuat kakakku disiksa, matilah dalam penyesalan!" pekik pemuda itu lalu berlari ke luar sebelum api menyebar sepenuhnya, meninggalkan wanita itu yang masih dalam penyesalan.

***

Besoknya, ia kembali mengikuti kakaknya ke sebuah daerah. Salah satu dari mereka terlihat pergi ke dalam toilet, tapi tidak juga keluar. Tiba-tiba kakaknya dan perempuan itu terlihat cemas dan terus meneriaki nama laki-laki itu, Takao.

"Ada apa ini? Apa ada yang menculiknya? Apa dia punya musuh lain? Yasudahlah, yang lebih penting sekarang pekerjaannku berkurang." Ucap anak itu sinis.

Ia terus mengikuti mereka berdua sampai masuk kedalam kereta.

Namun, 'sialan dia menipuku, kenapa dia menyamar, ini sangat menyebalkan, aku harus membunuhnya.' Batinnya kesal saat melihat laki-laki bernama Takao itu melepaskan topi fedora dan membuka penyamarannya.

Malamnya ia sangat kesal, ia merasa gelisah, tapi benda yang selalu dapat menenangkannya hilang entah kemana, kesabarannya pun habis.

Tanpa pikir panjang ia langsung menunjukkan dirinya di balik kegelapan malam. Ia berpikir untuk membuat mereka keluar dan dia akan mudah masuk ke dalam rumah yang dulunya adalah rumah keluarganya. Namun, rencananya sia-sia, mereka tidak juga keluar.

"Sial sial sial... aku akan membunuh mereka, aku akan membunuh mereka..,"

Besoknya mereka tetap tidak keluar dari rumah itu, ia semakin kesal, tapi ia tetap menunggu sampai ada kesempatan untuk membunuh mereka berdua.

Akhirnya, beberapa hari kemudian penantiannya membuahkan hasil, mereka berdua ke luar, bahkan tanpa kakaknya. Ia tersenyum senang, ini adalah kesempatan yang sangat langkah baginya.

Ia mengikuti mereka berdua sampai ke sebuah taman, membiarkan mereka terus berbicara sambil menunggu waktu yang pas.

Awalnya ia tidak tertarik dengan apa yang mereka bicarakan, tapi ketika ia mencoba mendengarkan pembicaraan mereka dengan lebih serius, ia cukup terkejut ketika mereka berdua tengah membicarakan dirinya.

"Mereka sudah mengetahuiku?" sejenak ia merasa cemas. Butuh waktu lama untuk dia menimbang apakah ia akan membiarkan mereka kali itu atau langsung menyergap mereka saja.

Namun, akhirnya dia memutuskan untuk mendekati mereka dan memukul si perempuan.

“HARUNA!” pekik Takao saat ia melihat Haruna jatuh tersungkur karena tendangan pemuda itu.

Takao yang terkejut langsung memukul balik pemuda itu. Takao sempat melawan, cukup lama mereka berkelahi, di tambah dengan Haruna yang juga membantu Takao, tapi kemampuan pemuda itu ternyata jauh lebih menakutkan dari yang mereka bayangkan.

Pemuda itu pun menusuk pisau tepat di perut Takao, merasa tidak puas ia terus menusuknya lagi sampai 3 kali, tidak peduli jika tangannya saat ini sudah dipenuhi darah.

Pemuda itu kemudian mencabut pisau dari perut Takao, tangannya ia arahkan ke hidungnya hanya untuk menghirup aroma darah segar milik Takao yang mengalir ke tangannya. Ia bersumpah aroma itu jauh lebih menyegarkan dibanding kucing-kucing yang ia gantung di dinding ruang bawah tanah.

“MENJAUH DARINYA PSIKOPAT SIALAN!” pekik Haruna sembari mengarahkan tendangannya ke arah pemuda itu yang dengan mudahnya ditangkis. Pemuda itu justru menendang perut Haruna dan menarik kuat rambutnya, membuat Haruna menjerit kesakitan.

Dengan sisa tenaganya, Takao merangkak mendekati pemuda itu, dan mencoba meraih kaki pemuda itu. “Ka... kakmu ak... kan sedih melihatmu men... jadi seperti ini... Vin.” Ucap Takao dengan suaranya yang terbata-bata.

Pemuda yang dipanggil Vin oleh Takao itu seketika menoleh ke bawah, ditendangnya tangan Takao, kemudian ia injak. “Tahu apa kau soal kakakku?”

“A... ku tahu, ka... rena a... ku sahabat... nya.” Mendengar itu Vin naik pitam, dia langsung menendang Takao agar menjauh darinya.

“Hentikan omong kosongmu itu! Tidak ada yang namanya teman, sahabat, apalagi keluarga. Itu hanya omong kosong yang kalian buat. Pada akhirnya kalian hanya akan menyakiti kakakku, dan membuatku terpisah lagi dengannya.” Jelas Vin dengan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun.

Vin kemudian memaksa Haruna berdiri dengan menarik kuat rambutnya. “Kau akan ikut denganku gadis bodoh, aku tahu kamu lah yang paling berbahaya bagi kakakku, kau bahkan pernah berniat membunuh kakakku, ‘kan?”

Haruna ingin melawan Vin, tapi entah kenapa kata-kata Vin membuat dia mengurungkan niatnya. Mungkin karena rasa penyesalannya yang sangat besar kepada Yuza sampai ia tidak mampu melawan Vin. Bahkan jika dilihat dari dekat, wajah Vin sangat mirip dengan Yuza, dan itu berhasil membuat Haruna bungkam.

“Kau akan kujadikan pengganti kucing-kucing kesayanganku.” Tambah Vin diiringi dengan senyum sinisnya yang sangat menakutkan.

Vin lalu merampas sebuah mobil dengan mengancam si pengemudi yang kebetulan lewat di tempat itu, dengan ia berpura-pura meminta tumpangan.

Wajahnya ia tutupi agar ia tidak dikenali. Lalu, ia pergi ke rumahnya yang berada di kota mati. Sebelumnya, Haruna ia kasih obat bius. Itu tidak sampai membuat Haruna pingsan, tapi cukup membuat Haruna tidak mampu bergerak.

Ketika sampai di rumahnya, ia lalu menarik rambut Haruna dan masuk ke dalam rumahnya, melewati lorong-lorong yang gelap, hingga menuruni tangga menuju ruang bawah tanah. Ketika masuk di ruangan kesukaannya itu ia langsung menghempskan tubuh Haruna ke lantai.

"Kau... membuat hidup Yuza menderita... selama bertahun-tahun... apa kau sadar.. akan itu... bodoh?” ucap Haruna dengan sisa tenaganya.

"Maksudmu apa? Aku tidak pernah membuat hidup kakakku menderita, aku menyayanginya, aku mencintai kakakku, semua yang aku lakukan sudah benar, aku selalu menjauhkan dia dari sampah seperti kalian.”

"Kami... bukan sampah... kami... adalah... sahabatnya—"

"TIDAK ADA YANG NAMANYA SAHABAT DI DUNIA INI!!"

Vin sudah tidak dapat menahan emosinya lagi, ia mengeluarkan pisau yang sedari tadi ia simpan, berniat menghabisi nyawa Haruna saat itu juga. Namun, Vin seketika terdiam ketika mendengar suara yang ia kenal tepat berada di belakangnya.

"Hentikan semua ini, Vin!"

Vin pun berbalik untuk memastikan siapa pemilik suara yang sangat ia kenali itu, dan ia mendapati kakaknya.

Kenapa kakaknya berada di sini? Kenapa kakaknya tahu dia masih hidup?

Sial. Pikir Vin.

Ia ingin segera mengakhiri semuanya, tapi hal yang tidak ia duga terjadi. Kakaknya saat ini tepat berada di depannya.

Untuk sesaat kehadiran sosok pemuda bernama Yuza itu membuat Vin melunak. Vin ingin memeluknya, Vin ingin merangkulnya, tapi ia merasa tidak pantas,

Tanpa Vin sadari matanya mulai berkaca. Ia menangis.

"Kak, kau datang ke sini? Untuk menemuiku?"

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top