Part 23
Keith atau Kei adalah anak kelahiran Inggris yang mempunyai ayah bernama Kevin. Kedua orang tuanya juga berkewarganegaraan Inggris. Ayahnya mempunyai perusahaan di Jepang dan membangun rumah yang besar di Jepang. Mereka mempunyai pelayan yang banyak dan hidup serba berkecukupan.
Hidup Keith dapat dikatakan terjamin, dia tidak mengalami diskriminasi sekali pun dia bukan warga asli Jepang, justru dia memiliki banyak teman, bukan karena hartanya tapi karena sikapnya yang selalu ceria dan murah senyum.
Keith selalu menggunakan setelan baju yang sama dengan Ayahnya, sebuah topi baret, kameja putih, rompi dan celana pendek berwarna cokelat. Baginya itu membuat dia terkesan seperti orang dewasa yang berwibawa, dia juga lebih senang dipanggil Kei dibanding Keith, karena itu dapat menunjukkan sisi lainnya yang menggemaskan.
Keith setiap harinya selalu bermain di halaman belakang. Ia selalu bermain dengan para pelayan di rumah itu atau pun teman-temannya yang di ajak ke rumah. Kehidupannya berjalan lancar sampai seorang pria datang ke rumahnya dan bekerja sebagai pelayan.
Pria itu mulai menyukai Ibunya yang memang terkenal dengan kecantikannya. Awalnya Ibu Kei tidak peduli pada pelayan pria itu, tapi seiring waktu ia mulai membalas rasa suka pria tersebut, ditambah lagi Ayahnya Kei adalah orang yang sangat peduli pada pekerjaan sampai sesekali dapat melupakan keluarganya, dan selalu memilih untuk mengurung diri di ruang kerjanya.
Beberapa kali perselingkuhan mereka tertangkap oleh Ayahnya, karena marah Ayahnya akan selalu melemparkan barang-barang di lantai dua, dan selalu membentak Istrinya. Kei yang awalnya sangat ceria, saat itu hanya bisa menangis di tangga. Setiap harinya saat ia mendengar pertengkaran orang tuanya di lantai dua, ia akan duduk di tangga dengan membenamkan wajahnya, dan menangis.
Para pelayan tidak dapat berbuat apa-apa, tidak ada yang dapat mereka lakukan selain hanya berpura-pura menutup telinga dan mata mereka saat Ayahnya Kei bertengkar dengan Istrinya. Ayahnya adalah orang yang cukup emosional, tapi kadang ketika ia sangat marah ia akan mengurung dirinya, agar dia tidak menyakiti siapa-siapa.
Pada suatu malam, yang ada di rumah besar itu hanya Kei, Ayah dan Ibunya, dan Pelayan Pria yang menjadi selingkuhan Ibunya, sedangkan pelayan yang lain memilih untuk tidak tinggal lagi di rumah itu karena takut ikut campur dengan urusan rumah tangga majikan mereka.
Saat itu Kei memanggil Takashi untuk menginap dengannya, entah kenapa hari itu ia takut untuk tidur sendiri.
Pada malam itu, Ibunya kembali berselingkuh dengan pelayan itu, tapi untuk kali ini Ayahnya lebih memilih untuk mengurung diri di ruang kerjanya dari pada meladeni istrinya yang tengah selingkuh.
Kedua pasangan selingkuhan itu sekarang tengah berada di dapur.
"Kita harus mendapatkan rumah ini secepatnya." Ucap sang pria sambil membelai halus rambut Tashia—Ibunya Keith
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Kita bunuh saja laki-laki itu, otomatis seisi rumah ini akan diberikan padamu."
Di tengah percakapan, mereka tidak menyadari Kei sedang memperhatikan mereka. Malam itu Kei terbangun dari tidurnya karena haus, tapi saat ke dapur dia justru memergoki Ibunya yang tengah selingkuh.
Saat mendengar kalau mereka ingin membunuh Ayahnya, Keith langsung berteriak dan berlari mendekat ke arah pria itu, ia lalu memukuli kaki pria itu dengan tangannya. Namun, pria itu terlalu kuat, dengan mudahnya ia menendang Kei sampai Kei terhempas ke lantai.
Bagi anak yang memiliki tubuh kecil seperti Kei, rasanya pasti sangat sakit, tapi ia tetap mencoba untuk berdiri dan kembali memukul kaki pria itu. Merasa kesal pria itu langsung menghantamkan kepala anak kecil berusia sekitar 12 tahun itu ke dinding.
Awalnya Tashia sangat terkejut melihat apa yang dilakukan selingkuhannya kepada anaknya, tapi pada akhirnya ia tetaplah seorang wanita bodoh yang sudah terlena dengan cinta palsu dari seorang pelayan.
"Apa yang kau lakukan, ayo bantu aku, anak ini sudah tahu semua rencana kita, kita harus menghabisinya."
"T-tapi dia hanya seorang anak kecil, dia—"
"Hentikan sikap bodohmu itu!! Kalau ingin menyesal sekarang sudah terlambat, kita harus menyelesaikan ini!" bentak pria itu.
Tashia pun segera mendekati pria itu, "a-apa yang ha-harus aku lakukan?" tanya wanita sedikit ragu.
"Bunuh dia, aku akan membuat lubangnya." Setelah mengatakan itu, pria tersebut keluar lewat pintu dapur.
Saat itu mereka tidak menyadari ada Takashi yang sedang melihat kejahatan mereka dari balik dinding. Takashi terus menutup mulutnya, sebisa mungkin menahan agar ia tidak berteriak karena ketakutan. Di sisi lain pelayan itu kembali dengan membawa pacul dan semen yang sudah tercampur.
"Apa yang kau lakukan?! Kubilang bunuh anak itu!" bentak pria itu lagi.
Tashia lalu menghantamkan kepala Kei, anaknya sendiri, ke dinding.
"Ibu... tolong... aku..." ucap Kei dalam keadaan sekarat.
Ia dapat merasakan rasa sakit di kepalanya, tapi napasnya masih berhembus, seakan ia tidak ingin begitu saja menerima kematiannya saat itu.
Tashia terus menghantamkan kepala anaknya ke dinding, ia memejamkan matanya agar tidak melihat wajah anaknya yang tengah sekarat. Entah apa yang ia pikirkan saat itu.
Beberapa menit kemudian pria itu sudah berhasil membuat lubang di dinding.
"Anak itu belum mati? Yasudah, yang pasti kalau dia terkurung tanpa oksigen dan tidak makan, dia bisa mati sendiri." Ucap pria itu sinis sambil mengangkat tubuh kecil Kei dan memasukkannya ke dalam lubang di dinding yang baru saja ia buat.
Pria itu kemudian mulai menutup lubang itu dengan semen yang tadi ia bawa. Tashia terus melihat apa yang pria itu lakukan dengan raut wajah yang menegang. Ia ingin menghentikannya, tapi ia juga takut jika ia akan disalahkan karena telah menyiksa Kei, bahkan kemungkinan yang lebih buruk adalah Tashia juga akan menjadi korban selanjutnya.
Kei tampak terus menangis dalam keadaannya yang mulai melemah. Sebelum lubang itu benar-benar tertutup. Tashia sempat menangkap apa yang dikatakan Kei untuk yang terakhir kalinya.
'Aku selalu menyayangi, Ibu.'
***
Setelah melakukan kejahatannya, mereka berdua segera membersihkan dapur itu. Noda darah di dinding dengan cepat mereka hapus. Dinding itu kembali mereka warnai dengan cat yang berwarna sama. Mereka mencoba menghapus jejak kejahatan mereka.
Namun, sejak hari itu, Tashia malah diselimuti dengan rasa bersalah yang teramat dalam. Keceriaan yang biasa ia temui pada anaknya sekarang sudah tidak ada. Ia tidak pernah lagi mendengar tawa anaknya. Ironisnya, ialah yang telah menyingkirkan tawa itu.
Setiap harinya ia hanya duduk di halaman belakang rumah dan selalu memandangi halaman itu, berharap ia dapat menemukan bayangan anaknya. Begitupun dengan Tuan Kevin yang tidak tahu apa-apa. Ia merasa sangat kehilangan akan anaknya yang dahulunya selalu tertawa dan membawa keceriaan di rumah itu.
Surat kabar dengan berita kehilangan seorang anak mulai disebarkan, tapi semua usaha yang pria itu lakukan tidak membuahkan hasil, anak semata wayangnya tidak pernah ditemukan lagi.
Di sisi lain mental Tashia mulai terguncang, ia berubah menjadi seperti orang gila. Setiap hari ia selalu duduk di depan halaman itu, bahkan tidak jarang ia akan bermalam di tempat itu, sekali pun suhu di luar sangat dingin. Ia juga selalu tertawa sendiri, lalu menangis, lalu berteriak.
Para pelayan pun satu per-satu mengundurkan diri sampai tidak ada lagi yang mau bekerja dengan mereka, termasuk selingkuhan Tashia.
Kevin sangat sedih melihat keadaan istrinya yang semakin hari semakin memburuk. Jantung Tashia semakin hari semakin melemah. Sampai pada suatu malam yang sangat dingin, kesehatan wanita itu sudah mencapai batasnya, tubuhnya sudah sangat lemah.
Di samping ada suaminya yang memeluknya. Hanya mereka berdua yang ada di luar ruangan yang langsung menghubungkan mereka dengan halaman belakang yang saat ini dipenuhi salju.
Dalam hati Tashia, ia lalu berkata, 'aku mohon, tertawalah sekali lagi, untukku.'
Tiba-tiba Tashia mendengar suara tawa seorang anak kecil yang sangat ia kenali, tawa itu berasal dari halaman di depan mereka, itu adalah suara anak mereka, Kei.
Tashia lalu menangis, ia menangis sejadi-jadinya, ia sangat menyesal, ia telah membunuh anaknya. Perlahan namun pasti matanya mulai tertutup.
Pada detik-detik terakhir hidupnya, wanita itu sempat melihat Kei, anaknya tengah tersenyum padanya sambil mengatakan.
"Aku akan selalu tertawa ibu, ibu tenanglah di sana."
***
Setelah apa yang menimpanya, Kevin merasa sangat terpukul. Setiap harinya ia habiskan untuk mencari tahu apa yang terjadi kepada anaknya, dan kemana anaknya menghilang. Setelah kepergian istrinya ia tidak punya siapa-siapa lagi, satu-satunya harapan pria itu hanyalah anaknya, Kei yang menghilang.
Sampai pada suatu hari, teman anaknya datang menemuinya, seorang remaja yang ia kenal bernama Takashi. Sejak kedatangan Takashi, ia merasa sedikit lebih ringan karena Takashi selalu membantunya mencari Kei.
Namun, sebuah fakta tragis mengejutkannya, itu diceritakan langsung oleh Takashi yang menjadi saksi bisu selama bertahun-tahun atas hilangnya Kei.
Ya, Takashi menceritakan semua yang ia lihat malam itu, penyiksaan yang Kei alami sampai keadaan tragis Kei di akhir hidupnya.
Saat itu juga, Kevin yang sudah dikuasai emosinya langsung mencari siapa pelayan yang dahulu menjadi selingkuhan istrinya.
Kevin menemui pelayan itu dan langsung membunuhnya beserta keluarga pelayan itu. Kevin terus berteriak bahwa pelayan itu adalah pembunuh keji ketika ia masih bekerja di rumahnya. Sejak saat itulah rumahnya dikenal dengan rumor rumah pembantaian.
Semakin hari mental Kevin semakin menurun sampai suatu hari ia memilih menghabisi hidupnya dengan meminum racun. Bahkan sampai akhir hidupnya ia tidak tahu dimana anaknya dikubur—lebih tepatnya dia tidak mau tahu, ia tidak siap menerima fakta bahwa anaknya sudah lama mati. Maka dari itu Kevin memilih untuk menguburkan fakta itu bersama nyawanya.
Takashi, satu-satunya orang yang tahu cerita kelam di rumah itu memutuskan untuk menjual rumah itu, dan uang yang ia dapat dari penjualan rumah itu ia sumbangkan ke panti asuhan.
Namun, bahkan setelah kematiannya arwah Kevin belum tenang, ia selalu menampakkan dirinya dan membanting barang-barang di lantai dua. Hal itu merupakan cerminan dari apa yang selalu ia lakukan semasa hidupnya. Sampai akhirnya datang seorang cenayang yang mengurung arwahnya di ruang kerjanya sendiri.
Arwah Kei tidak di kurung oleh cenayang itu karena keberadaan Kei tidak mengganggu siapapun.
Alasan Kei menunjukkan kematiannya bukan karena dia Arwah yang jahat, melainkan karena keluarga Fujiwara yang selalu bertengkar.
Kei menunjukkan itu semua untuk memperlihatkan kepada mereka kalau pertengkaran itu bisa berdampak buruk bagi kelurga mereka.
Kei adalah anak yang baik, bahkan setelah kematiannya. Ia selalu merasa kasihan saat melihat anak dari keluarga Fujiwara menangis seorang diri, karena itu Kei selalu mengajaknya bermain di halaman belakang, tempat biasa ia bermain semasa ia hidup.
Setelah rumah itu dipindah tangankan kepada keluarga Akiyama, Kei tidak pernah lagi menangis di tangga atau melakukan apapun seperti yang ia lakukan pada keluarga Fujiwara.
Bagi Kei, keluarga Akiyama adalah keluarga yang sangat hangat, jadi ia tidak pernah menunjukkan dirinya kepada mereka.
Sampai ketika Yuza berusia 10 tahun. Kei melihat Yuza yang dikurung sendirian di gudang, dan itu membuatnya merasa sedih. Ia tahu bagaimana rasanya dikurung sendirian, jadi ia mencoba mendekati Yuza agar anak itu tidak merasa kesepian seperti apa yang Kei alami di detik-detik terakhir hidupnya.
Kei mencoba memberikan energinya kepada Yuza, dan ternyata Yuza juga menerimanya sehingga Yuza dapat melihatnya. Itu mungkin akan berdampak buruk bagi Yuza karena bukan tidak mungkin Yuza juga bisa melihat hantu lain yang lebih menyeramkan dari Kei, tapi itu mungkin lebih baik daripada membiarkan Yuza membusuk sendirian.
***
Tiba-tiba Yuza terbangun, ia mendapati Takao dan Haruna yang tampak sangat cemas di hadapannya.
"Akhirnya kau sadar juga." Ucap Haruna khawatir. Yuza hanya menatap Haruna bingung tidak mengerti kenapa Haruna sampai secemas itu.
"Kami tidak bisa tenang semalaman, Haruna terus mengompresmu, semalam kau terus menangis dalam tidurmu, dan suhu tubuhmu tiba-tiba naik." ujar Takao seakan menjawab tatapan bingung Yuza.
"Ini aku buatkan bubur untuk kamu sarapan." Tambah Takao sembari membantu Yuza mengambil posisi duduk.
Memang benar, kepala Yuza terasa sakit dan seluruh tubuhnya terasa berat. Pasti semalam ia terserang demam dan mereka berdualah yang merawatnya.
"Terimakasih Takao, Haruna, dan maaf sudah membuat kalian khawatir." kata Yuza sambil berusaha bangkit untuk duduk.
Yuza lalu melihat ke sisi kirinya, dan tepat di belakang Takao ada Kei yang sedang menunduk. Yuza kembali teringat mimpinya tentang masa lalu Kei. Mungkin itulah yang membuat Yuza sampai demam.
Yuza kemudian tersenyum ke arah Kei. "Kei, kau tidak perlu merasa bersalah, terimakasih sudah memberi tahukannya padaku. Lagipula aku baik-baik saja, ada Takao dan Haruna yang mau merawatku."
Mendengar itu senyum tipis mulai terukir di wajah Kei, ia seperti orang yang baru saja melepaskan beban yang sangat berat yang selama ini ia pikul.
“Yuza, apa artinya kau sudah bertemu dengan Kei?” tanya Takao penasaran, dan dibalas anggukan oleh Yuza.
“Baiklah, nanti ceritakan semuanya kalau kau sudah agak baikan, sekarang lebih baik makan dulu.” Ucap Haruna sambil menyuapi sesendok bubur ke mulut Yuza.
Mereka berdua terus menemani Yuza, bahkan sampai Yuza tertidur kembali mereka juga ikut tertidur di sampingnya.
***
Yuza terbangun di sore hari, ia juga sudah mulai merasa baikan. Jadi, ia mencoba membangunkan kedua temannya. Haruna duduk sambil menyandarkan kepalanya ke ranjang Yuza, sedangkan Takao ikut berbaring di samping Yuza. Untung saja kasur itu cukup luas untuk menampung mereka.
Setelah Yuza membangunkan mereka ia pun mulai bercerita apa saja yang ditunjukkan Kei kepadanya lewat mimpi. Cerita itu bahkan jauh lebih lengkap dibanding apa yang dikatakan keluarga Fujiwara dan pria bernama Shimazaki Takashi yang merupakan teman kecil Kei.
Setelah Yuza menceritakannya, terlihat air mata Haruna yang terus menetes, dan Takao yang masih terdiam.
"Jadi semua surat kabar itu adalah berita tentang Kei?" ucap Takao sangat pelan tapi masih dapat didengar oleh Yuza dan Haruna.
"Apa maksudmu, Takao?" tanya Yuza yang bingung.
"Surat kabar yang dipungut Haruna, semuanya berisi berita tentang anak hilang. Itu terdapat di ruang kerja milik Ayah Kei yang dikunci, berarti sesuai dengan yang kamu katakan Yuza, beliau memang banyak mengumpulkan informasi anak hilang untuk mencari anaknya."
Yuza mengangguk paham mendengarkan penjelasan Takao. Semua itu ternyata saling terhubung, bahkan Yuza sendiri tidak terlalu memperhatikan hal-hal sedetail itu.
Yuza kemudian melihat ke arah Kei yang sejak tadi juga menjaganya dari sudut ruangan.
"Lalu, Kei...” ada jeda panjang dalam kalimat Yuza, ia seperti ragu untuk bertanya.
"Kei, apa yang membuatmu belum tenang?"
Kei terdiam saat mendengar pertanyaan Yuza. Ia terus diam tanpa memandang mata Yuza langsung, seakan ingin terus merahasiakannya.
"Katakanlah, Kei! Aku, Takao, dan Haruna akan membantumu."
Kei masih diam.
"Ayolah Kei, jangan merahasiakannya lagi!" desak Yuza.
"Maaf Yuu... tapi aku hanya bisa bercerita sampai di sini. Mulai dari sini, semuanya menjadi urusan kalian yang masih hidup, jadi kalian lah yang harus mecari tahu.” Jawab Kei tegas.
"Tapi, Kei—"
"Lagi pula Yuu... aku belum mau meninggalkanmu, aku masih mau menemanimu lebih lama. Jadi, tolong biarkan aku berada di sisimu sedikit lebih lama sampai aku bisa melihatmu benar-benar bahagia.”
Yuza terdiam. Tidak ada lagi yang dapat ia katakan untuk mendebat Kei. Egois memang, tapi Yuza juga ingin sedikit lebih lama melihat Kei di sisinya.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top