Part 22
Rumah yang sempat ditinggali Yuza dan keluarganya dibeli langsung dari keluarga Fujiwara, tuan rumah sebelumnya.
Namun, belum sampai beberapa bulan keluarga Fujiwara sudah memutuskan untuk pindah karena berbagai keanehan yang mereka alami di rumah itu.
Mereka menjual rumah itu dengan harga yang murah, dengan syarat satu ruangan di lantai dua harus selalu terkunci dan tidak boleh dibuka oleh siapa pun.
Sebenarnya keluarga Fujiwara hanya membeli rumah besar itu karena melihat iklan di surat kabar. Sang penjual itu terkesan sangat misterius, mereka tidak pernah bertemu, tetapi hanya saling berkomunikasi melalui ponsel.
Saat itu keluarga Fujiwara tidak lagi memikirkan keanehan di rumah itu, mereka terlalu senang karena harganya yang sangat murah.
Namun, setelah satu minggu mereka tinggal di sana, hal-hal aneh mulai terjadi, diawali dengan suara-suara misterius.
Ada suara anak kecil yang selalu berlarian di lorong rumah mereka, suara anak kecil yang tertawa di halaman belakang rumah, suara tangisan di tangga, suara meminta tolong di sekitar dapur, suara langkah kaki di lantai dua, sampai suara seperti seperti seorang pria yang sangat marah dan membanting barang-barang di lantai atas, padahal saat mereka melihat ke lantai atas tidak ada apa-apa.
Perlahan mereka mulai terbiasa dan memutuskan untuk tidak memperdulikannya, dan suara-suara itu mulai menghilang. Sekitar dua bulan setelahnya, bukan hanya suara yang muncul, tapi sudah bayangan. Bayangan-bayangan itu seakan menggambarkan suara-suara yang selalu mereka dengar.
Mereka sempat memanggil cenayang, dan cenayang itulah yang mengunci ruangan di lantai atas, ia melarang untuk membuka ruangan itu. Menurut cenayang itu di dalam ruangan yang ia kunci terdapat arwah seorang pria yang dipenuhi dendam sampai ia kehilangan nyawanya.
Keluarga Fujiwara mengira itu sudah berakhir, sampai tiga bulan sejak mereka mengunci ruangan itu, hal aneh kembali terjadi.
Mereka dapat melihat dengan jelas seorang anak kecil yang menangis sambil duduk di anak tangga rumah mereka. Mereka juga dapat melihat jelas seorang anak yang bermain di halaman belakang rumah mereka dalam kegelapan malam. Anak mereka yang paling kecil kadang hilang dan selalu mereka temukan tengah bermain sendiri di sana.
Puncaknya, mereka sekeluarga setiap malam mendapati mimpi buruk yang sama, tapi mereka tetap mencoba tidak memperdulikannya.
Sampai malam itu, mereka semua melihat dengan jelas, seorang wanita yang tengah menyiksa seorang anak kecil, wanita itu menghantam kepala anak itu ke dinding, ia dibantu seorang pria yang memakai baju pelayan.
Pria itu itu lalu mencoba merusak dinding dengan pacul, dan membuat lubang besar di dalam dinding, lalu mereka berdua memasukkan anak itu ke dalam lubang di dinding.
Anak itu terlihat masih bernapas, dengan tubuh kecilnya yang lemah anak itu terus mencoba melawan. Namun, kedua orang yang menjadi lawan anak kecil itu adalah orang dewasa dan jauh lebih kuat darinya.
Besoknya setelah kejadian itu keluarga Fujiwara segera menjual rumah mereka dengan harga yang jauh lebih murah dari awal mereka membelinya, bahkan keluarga Fujiwara menceritakan apa yang selalu terjadi di rumah itu kepada calon pembelinya. Termasuk rumor yang pernah mengatakan kalau rumah itu adalah sebuah tempat pembantaian.
Awalnya mereka berpikir mustahil ada yang akan membeli rumah angker seperti itu, namun Tuan Akiyama langsung menerimanya, tanpa takut dengan cerita hantu dan rumor itu. Namun, tetap dengan satu syarat, jangan pernah membuka ruangan yang ada di lantai atas.
***
Setelah Takao menceritakan semua informasi yang ia dapatkan dari keluarga Fujiwara kepada kedua temannya, keadaan kembali hening. Tidak ada satupun yang membuka suara selama hampir tiga menit. Mereka sedikit takut, tapi juga kasihan dengan anak kecil itu.
“Yuza mungkin akan langsung percaya dengan cerita seperti ini, tapi kau Haruna, dan bahkan aku sendiri, kita bukan orang yang mudah percaya dengan hal-hal tak kasatmata seperti itu. Oleh karena itu, aku berinisiatif untuk meminta nomor telepon si pemilik rumah terdahulu sebelum keluarga Fujiwara.”
Takao lalu mengeluarkan kertas yang sejak tadi ia simpan di saku celananya. “Ya, dialah yang menjual rumah itu kepada keluarga Fujiwara, kalau tidak salah namanya adalah Shimazaki Takashi.”
“Apa nomor itu masih aktif?” tanya Haruna terdengar ragu.
“Tadi saat di rumah keluarga Fujiwara kami mencoba menghubunginya, memang tidak diangkat, tapi nomor itu masih aktif.” Jawab Takao sembari mengangguk untuk meyakinkan Haruna.
Mereka pun memutuskan untuk menghubungi nomor yang tertulis di kertas yang diberikan Takao. Empat panggilan berturut-turut di nomor itu tidak juga diangkat, sampai akhirnya panggilan yang kelima.
“Moshi-moshi*?” sapa Haruna pelan. Sekitar satu menit tidak ada balasan dari seberang telepon. Mereka bahkan terus mengecek layar ponsel Haruna berulang kali untuk memastikan bahwa panggilan itu tidak terputus.
“Halo? Apa kami boleh-"
“Siapa ini? Aku tidak mengenal suara kalian? Siapa kalian?”
Suara Takao terpotong oleh suara seorang pria yang terdengar gemetar.
Yuza mencoba mengambil alih ponsel, dan mulai berbicara membalas pertanyaan pria itu. “Maaf mengganggu waktu Anda pak, apa kami boleh berbicara dengan seseorang bernama Shimazaki Takashi?” tanya Yuza terdengar halus.
“K-kau tahu dari mana namaku?” tanya pria itu lagi.
“Dari Fujiwara-san, mereka yang membeli rumah yang Anda jual 11 tahun yang lalu, dan saya adalah Akiyama Yuza, pemilik rumah itu sekarang, ayah saya membeli rumah itu dari keluarga Fujiwara.”
“Rumah itu? Apa soal rumah berhantu itu lagi? Iya, benar aku yang menjualnya, lalu apa? Kalian ingin menangkapku? Tangkap saja aku!” pria itu terdengar ketakutan saat Yuza sudah mulai membicarakan rumah itu.
Takao yang sejak tadi menahan rasa kesalnya langsung mengambil ponsel itu dari tangan Yuza dan mulai berbicara dengan suara yang masih halus tapi terdengar menusuk.
“Shimazaki-san? Apa kau mendengarku? Aku tidak tahu apa masalahmu dengan rumah itu, Tapi bukankah ini alasanmu terus mempertahankan nomor ini untuk tetap aktif? Kau ingin seseorang yang berhubungan dengan rumah itu menghubungimu, ‘kan? Kau ingin bercerita tentang sesuatu, ‘kan? Atau kau benar-benar ingin ditangkap dan dibawa ke polisi?”
Apa yang dikatakan Takao hanya sekedar ancaman, dia pun tahu masalah hantu-hantuan tidak akan berguna jika dibawa ke kantor polisi, tapi tetap saja dia merasa kesal karena seseorang bernama Shimazaki itu terus berbicara seperti ketakutan akan sesuatu yang bahkan tidak mau ia jelaskan.
Mendengar ancaman Takao, Shimazaki mulai terdiam, ia tidak langsung mematikan panggilan itu, dia membiarkannya terus menyala tanpa bersuara sedikit pun.
Yuza lalu mengambil kembali ponsel Haruna dari tangan Takao dan mulai berbicara dengan halus.
“Sekali lagi kami minta maaf jika kami sudah mengganggu waktu Anda, Shimazaki-san. Tidak perlu khawatir, kami tidak akan melaporkan siapa pun ke kantor polisi. Kami—saya ralat, maksudnya saya sendiri hanya ingin bertanya, apa Anda pernah mengenal seorang anak kecil bernama, Kei?’
Tidak ada jawaban langsung dari Shimazaki. Hingga beberapa menit mereka menuggu dia membuka suaranya, yang terdengar hanya isakan tangis yang tertahan dari pria bernama Shimazaki Takashi itu.
“Jika anak kecil yang kau maksud itu adalah Keith, iya, aku mengenalnya, dia adalah sahabat kecilku.”
***
Takashi mengenal seorang anak dari keluarga orang asing bernama Keith yang seumuran dengannya. Saat itu, keluarga Shimazaki baru saja pindah ke sebuah kota kecil, di kota itulah awal pertemuan Takashi dan Keith. Keith tinggal di rumah yang cukup besar, jadi ia sering mengajak teman-temannya menginap termasuk Takashi.
Di saat itulah, Takashi yang masih berusia 12 tahun melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Keith tengah disiksa seorang pelayan. Hal yang membuat Takashi bingung adalah di saat kejadian itu juga ada ibu kandungnya Keith.
Wanita itu bukannya menolong anaknya, tapi ia justru membantu pelayan itu menyiksa Keith dan menguburkannya di dinding dapur di rumah besar itu.
Takashi yang ketakutan langsung berlari ke kamar tempat ia menginap. Sejak saat itu ia tidak pernah menceritakan kejadian yang ia lihat kepada siapa-siapa. Sampai beberapa hari kemudian surat kabar dipenuhi dengan berita seorang anak yang hilang.
Ya, itu adalah berita tentang Keith.
Takashi tentunya merasa bersalah jika ia tidak menceritakan itu kepada siapa pun, jadi ia mencoba menceritakan apa yang ia lihat kepada orangtuanya dan berharap mereka yang lebih dewasa dapat membantunya.
Namun, berbeda dari apa yang diharapkan Takashi, orangtuanya justru melarang ia membuka suara, bahkan mengajaknya pindah ke tempat yang jauh.
Setelah 6 tahun berlalu, Takashi yang mulai dewasa kembali teringat masa kecilnya, dan apa yang terjadi pada Keith perlahan mulai menghantui pikirannya. Ia pun kembali ke kota kecil itu, di sana ia bertemu langsung dengan Tuan Kevin, yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayah kandung Keith.
Bahkan setelah 6 tahun pria itu masih terlihat sehat dan bugar.
Namun, Takashi tahu, dalam hati pria itu tidak sebugar kelihatannya. Pria itu masih berusaha keras mencari jejak anak kandungnya yang hilang 6 tahun yang lalu. Takashi merasa tidak tega melihat pria itu yang selalu melamun sendirian di ruang perpustakaan pribadinya sambil sesekali membaca tumpukan surat kabar untuk melihat info tentang anak hilang.
Ditambah lagi ia telah kehilangan istrinya yang sakit-sakitan. Hidup pria itu sudah dipenuhi dengan kesepian selama bertahun-tahun tanpa adanya anak dan istrinya.
Suatu hari, Takashi memutuskan untuk memberi tahu fakta sebenarnya kepada Tuan Kevin. Takashi berharap Tuan Kevin berhenti mencari Keith dan dapat menerima kenyataan.
Namun, jauh dari apa yang Takashi bayangkan, bukannya menerima kenyataan, pria itu justru mencari tahu siapa pelayan itu dan langsung membantai pelayan itu beserta keluarganya. Tidak sampai disitu, bahkan Tuan Kevin setelah melakukannya, ia langsung mengakhiri hidupnya dengan meminum racun.
Sejak saat itu Takashi mulai ketakutan. Ia tidak berani lagi menceritakan fakta yang sebenarnya. Pertama kali ia memberitahukan fakta yang sebenarnya, orang tuanya malah memarahinya dan mengajaknya pindah jauh, kedua kali dia memberitahukan fakta yang sebenarnya justru keadaan semakin buruk bahkan sampai terjadi pembantaian.
Takashi mulai trauma dengan rumah besar itu sampai ia menjualnya kepada keluarga Fujiwara. Beberapa kali keluarga Fujiwara menghubunginya untuk menanyakan kejadian aneh di rumah itu, Takashi hanya menjawab dengan santai, “Mungkin itu hanya halusinasi.”
Namun, ia tidak sepenuhnya santai, dalam hatinya ia ketakutan, ia takut karena ia melihat dengan jelas kejadian tragis itu. Sampai akhirnya keluarga Fujiwara tidak pernah menelpon lagi.
10 tahun telah berlalu semenjak keluarga Fujiwara terakhir kali menghubunginya. Takashi pun juga tidak mengganti nomornya, ia berharap seseorang akan menelponnya. Ia tidak tahu apa yang ia inginkan sebenarnya, ia ingin lari dari masa lalu itu, tapi rasa bersalah seakan terus menahannya.
Usia Takashi semakin bertambah, tapi ingatannya seakan terhenti di usianya 12 tahun, Setiap hari, setiap menit dan detik, Takashi selalu terbayang kejadian tragis yang ia lihat saat itu, dimana Keith di bunuh dan dikubur hidup-hidup oleh ibunya sendiri. Hingga pada suatu waktu, seorang remaja bernama Akiyama Yuza yang mengaku mengenal Keith menghubunginya.
Sejak saat itu, waktu Takashi seakan terputar kembali. Dia pun memutuskan menceritakan semua yang ia tahu kepada remaja bernama Akiyama Yuza itu. Takashi terus menangis, bahkan di usianya yang hampir menginjak kepala 3 dia masih terkesan cengeng. Hal yang wajar, karena selama ini ia tumbuh dewasa dengan terus menyimpan masa lalu yang kelam dan tragis.
Ia berharap Yuza dan teman-temannya dapat membantu Keith, sahabat kecilnya beristirahat dengan tenang.
***
Mereka bertiga terdiam setelah mendengar cerita dari Shimazaki Takashi.
Cukup banyak yang ia ceritakan dan semuanya sesuai dengan apa yang diceritakan oleh keluarga Fujiwara.
Bedanya, saat itu Takashi yang masih berusia 12 tahun melihat kejadian pembunuhan itu secara langsung, Bukan hanya halusinasi seperti yang dirasakan keluarga Fujiwara.
Takao dan Haruna kehabisan kata-kata saat itu, tapi lebih dari mereka ada Yuza yang benar-benar terpukul dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak percaya jika Kei pernah mengalami hal tragis seperti itu. Ia terus bertanya dalam hatinya kenapa Kei merahasiakan hal itu kepadanya.
“Yuza? Lebih baik kamu istirahat dulu malam ini, biar yang jaga aku sama Takao.” Saran Haruna dan dibalas anggukan oleh Yuza.
Dia terlalu lelah malam itu sehingga langsung mengiyakan apa yang dikatakan Haruna.
Yuza langsung pergi ke salah satu kamar dan berbaring di ranjang kamar itu.
Apa yang ia inginkan saat ini hanya bagaiamana ia bisa tertidur lebih cepat, ia ingin berhenti memikirkan soal Kei untuk sementara, hatinya seakan tidak siap menerima semua kenyataan pahit sahabat kecilnya itu.
***
“Yuu...” suara anak kecil terus terdengar diiringi dengan tepukan pelan di bahu Yuza. Hal itu membuat Yuza kembali membuka matanya. Ketika ia melihat ke arah samping ia menemukan Kei yang berdiri sambil terus tersenyum.
Tidak. Itu bukan yang Yuza harapkan dari Kei.
Kenapa Kei masih bisa tersenyum? Dia pasti tahu Yuza sudah mengetahui semua masa lalunya, lalu kenapa Kei masih saja tersenyum kepadanya? Kenapa Kei tidak marah saja? Atau menangis?
Setidaknya itu yang Yuza harapkan dari Kei sebagai sahabatnya. Ia mau Kei terbuka kepadanya, menceritakan semua masalah yang dialami Kei kepadanya. Bukankah egois jika hanya Kei sendiri yang mendengar dan mengetahui masa kelam Yuza? Sepenting apakah seorang Yuza di mata Kei?
“Kei, kita sahabat, ‘kan?”
“Tentu saja, Yuza, kita adalah sahabat.”
“Lalu, kenapa kau merahasiakan itu semua dariku? Kenapa kau tidak pernah menceritakan itu semua kepadaku, Kei? Apakah aku tidak penting bagimu?” tuntut Yuza sembari mencoba mengambil posisi duduk di atas ranjangnya.
"Yuza. Saat kau mau menjadi sahabatku, itu sudah lebih dari cukup. Tidak perlu menyesali apa-apa, kau tidak perlu merasa bersalah atau bersedih dengan masa laluku yang tragis. Cukup aku saja yang mendengarkan kesedihanmu, bukankah aku sudah berjanji untuk selalu ada bersamamu tanpa menuntut apa-apa?”
“Iya aku tahu itu lebih dari siapa pun. Di saat aku sendiri, kehilangan adik dan keluargaku, kehilangan teman-temanku, Kei selalu ada untukku, Kei selalu ada menghiburku, Kei juga selalu ada untuk menjagaku.” Yuza menatap langsung bola mata Kei yang berwarna biru kehijauan, tanpa disadari air mata mulai menetes dari mata Yuza. Kei masih sama seperti biasanya, tersenyum kepada Yuza.
“Kei, aku tidak pernah punya sahabat sebelumnya. Kei lah sahabat pertamaku. Sekarang aku punya Takao dan Haruna, dan aku belajar sesuatu dari mereka,”
Yuza menggantung kalimatnya sejenak untuk menyaksikan wajah senyum Kei yang perlahan mulai hilang, berganti dengan raut wajah yang sedih, mencoba menebak apa yang akan Yuza katakan selanjutnya.
“Aku belajar dari mereka kalau yang namanya sahabat itu adalah saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan. Jadi jika aku memang sahabatmu, bukankah aku juga perlu mengetahui apa kesedihan yang kau rasakan, Kei?”
Kei kembali tersenyum. Bukan senyum yang sebelumnya, kali ini lebih hangat dari biasanya. Kei menyerah, tidak ada lagi yang dapat ia katakan untuk menepis perkataan Yuza.
“Baiklah jika itu yang kamu katakan, Yuza. Aku akan menunjukkanmu semuanya. Tapi sebelumnya aku minta maaf, ini akan lebih menyakitkan dari apa yang kamu bayangkan, Yuza.”
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top