Part 11
Mereka pun memutuskan untuk pulang sebelum ketinggalan bus terakhir malam itu. Berhubung mereka belum menjelajahi seluruh bagian rumah itu, terpaksa mereka harus kembali lagi ke tempat yang membuat Takao dan Haruna trauma pada hantu untuk pertama kalinya.
Mereka terus berjalan melalui jalan setapak yang tadi sore mereka lewati. Suasananya memang lebih mencekam saat malam hari, hanya ada kegelapan dan suara-suara hewan kecil yang terdengar di telinga mereka. Untungnya pandangan mereka terbantu dengan cahaya rembulan di malam itu.
Ketika sampai di halte bus satu-satunya yang masih berfungsi di kota, itu mereka langsung mengambil tempat duduk untuk menunggu. Cukup lama mereka duduk di sana, tapi tidak ada satu pun bus yang datang.
Setelah dua jam berlalu, mereka yang mulai tertidur di halte bus itu tiba-tiba dikejutkan oleh seorang nenek yang terus menepuk pundak mereka.
Nenek itu terlihat ramah, wajahnya tidak terlalu pucat, senyum hangat juga terus terukir di wajah nenek itu, tapi ada sedikit bau hangus yang samar-samar datang dari tubuh nenek itu.
“Apa yang kalian lakukan di tempat ini seperti ini?”
“Kami menunggu bus nek.” Jawab Takao yang masih merasa ngantuk.
Nenek itu menggelengkan kepalanya, ia kemudian tertawa kecil.
“Nak, bus di tempat ini tidak akan datang lagi setelah matahari terbenam, kalian mau menunggu disini sampai pagi?”
“Iya, kita akan menunggu di sini saja sampai pagi.” Jawab Yuza yakin tanpa memikirkan Takao dan Haruna yang saat ini shock karena mereka tidak mau terus berada di tempat seperti itu sampai pagi.
“Tidak mau mampir ke rumah nenek dulu? Rumahnya dekat kok.” Tawar nenek itu sambil terus tersenyum.
“Ti—“ baru saja ingin menolak, perkataan Yuza langsung di potong Haruna, “Mau nek, ayo kita ke rumah nenek saja!”
“Tapi sepertinya itu bu—“ sekali lagi perkataan Yuza dipotong, kali ini oleh Takao.
“Yuza, ayo kita ikut saja, lagian tidur disini tidak baik, banyak nyamuk dan sangat dingin, lebih baik kita menginap di rumah seseorang saja, lagian kan gak jauh juga dari sini.” Jelas Takao. Dengan terpaksa Yuza pun mengiyakan.
Mereka lalu berjalan mengikuti nenek itu, Haruna dan Takao tampak merasa senang, terutama Haruna yang sejak tadi terus mengajak nenek itu bercerita. Sedangkan Yuza, ia berjalan sendiri di belakang sambil terus memasang wajah was-was.
Sekitar 5 menit berjalan, akhirnya mereka melihat deretan rumah yang sama sekali tidak seperti terbengkalai. Ada lampu yang bersinar terang dari dalam rumah-rumah itu.
Aneh, mereka tidak ingat pernah melewati perumahan itu sebelumnya, tapi disisi lain mereka berterimakasih karena menemukan tempat seperti ini dan diizinkan menginap.
Mereka memasuki salah satu rumah yang cukup besar dengan halamannya sangat bersih dan terlihat rapi. Untuk sesaat Yuza sempat terdiam saat melihat rumah itu. Dia teringat pada seorang supir muda yang pernah bekerja di rumahnya sejak ia kecil.
Nama pemuda itu adalah Yamada—ia lupa apa nama panggilannya— beliau adalah orang yang sangat baik kepada Yuza. Dialah yang selalu memberikan Yuza makanan yang layak ketika Yuza diasingkan di dalam gudang.
Yuza tahu itu adalah rumah Yamada karena setiap kali ia diantar ke sekolah Yamada akan selalu menunjuk dan memberi tahu ke Yuza dan Vin bahwa itu adalah rumahnya.
"Ada apa Yuza?" tanya Takao membuyarkan lamunan Yuza. Melihat itu Yuza hanya menggeleng menandakan dia tidak apa-apa.
Ketika Yuza mulai mengikuti mereka masuk ke rumah itu, Yuza tampak kaget, ia melihat Kei sudah menunggu mereka di dalam sana. Padahal sebelumnya dia bahkan tidak ada saat mereka menjelajahi rumah Yuza.
“Kei kau dari mana saja?” bisik Yuza kepada Kei dengan wajahnya yang terlihat geram, tapi sedikit khawatir.
“Aku disini Yuza. Nenek Yamada mengajakku bermain di rumahnya. Kalian kenapa belum pulang?” tanya Kei sambil terus tersenyum melihat Yuza.
“Kami ketinggalan bus terakhir, jadi harus bermalam di tempat ini.” Keluh Yuza lengkap dengan menghembusknan napas beratnya.
“Kalau begitu menginap saja di rumah ini sampai sebelum matahari terbit, mereka akan baik-baik saja selama mereka tidak tahu apa-apa.”
"Ba-baiklah."
"Duduklah! biar kunyalakan perapiannya dulu, ada yang mau membantuku?" tanya nenek pemilik rumah—yang dipanggil nenek Yamada oleh Kei— dengan senyuman hangatnya.
Yuza dengan sigap mengangkat tangannya membuat Takao dan Haruna kaget. "Tidak biasanya kau seperti ini." ucap Haruna bingung.
Takao dan Haruna tahu pasti bahwa seorang Yuza tidak akan melakukan sesuatu dengan seantusias itu.
"Maaf nenek tidak sempat memasak apa-apa, dan kamar mandinya juga rusak jadi kalian tidak bisa mandi disini.” Ucap nenek Yamada menjelaskan keadaannya.
“Kalau makanan kita punya beberapa makanan ringan nek, tapi kalau mandi ngga boleh diusahain nek? Pinjam kamar mandi tetangga mungkin boleh nek? soalnya aku ngga boleh kalau ngga mandi sehari.” Keluh Haruna sambil mencium kerah bajunya yang sebenarnya tidak terlalu bau.
“Haruna!” Mendengar keluhan Haruna, entah kenapa Yuza langsung menggertaknya.
“Tidak perlu dipikirin nek, kita dapat tempat menginap saja sudah berterimakasih kok.” Tambah Takao seolah menjelaskan bahwa keadaan mereka baik-baik saja.
Haruna yang tidak punya pilihan lain hanya bisa pasrah dengan rasa kesalnya.
Tanpa menengok ke arah Haruna lagi, Yuza langsung membantu nenek Yamada untuk menyalakan api di perapian. Setelah itu, ia langsung ikut duduk di kursi tempat Haruna dan Takao duduk, dan nenek Yamada duduk di kursi tunggal di sebelah Yuza.
"Jadi, apa yang kalian lakukan di tempat yang sudah dilupakan seperti ini?" tanya sang nenek membuka pembicaraan.
"Kami tadi hanya mencoba uji nyali di rumah besar itu." Jawab Takao pada sang nenek. Ia tidak ingin mengatakan tujuan utama mereka datang ke rumah Yuza, jadi dia berbohong. Walaupun merasa tidak enak karena sudah membohongi orang yang lebih tua.
“Hahaha... dasar anak muda jaman sekarang, mainnya yang seram-seram.” Nenek Yamada hanya tertawa menanggapi jawaban Takao.
"Nenek, apa kami boleh bertanya sesuatu?" tanya Takao, kali ini wajahnya mulai terlihat serius. “Apa yang terjadi pada tempat ini sebelumnya? Apa benar semua orang disini mati terkena kutukan?”
“Kutukan? Hahaha... setelah apa yang terjadi tiga tahun lalu, sekarang kami disini tidak lagi percaya dengan kutukan itu. Kami tahu itu setelah semua sudah terlambat, sekarang kami hanya bisa menyesalinya. Kami terjebak di sini dengan berbagai emosi yang kami miliki, kami tidak bisa apa-apa, ini adalah pembalasan kepada kami karena memperlakukan seorang anak kecil secara tidak adil.”
Penjelasan nenek Yamada yang berbelit membuat mereka bingung. Siapa kami yang dia maksud? Apa anak kecil yang dia maksud itu Yuza? Lalu apa artinya terjebak di sini? Mereka hanya bisa diam tanpa membalas perkataan nenek Yamada.
“Nak, nenek tidak bisa bicara banyak karena ini bukan hak nenek. Tapi jika boleh meminta sesuatu, nenek mohon bantu kami agar tidak terus terjebak di tempat ini.” Itu adalah perkataan terakhir nenek Yamada sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan mereka bertiga yang duduk diam sambil saling tatap tidak mengerti dengan keadaan yang terasa aneh itu.
"Yuza? Apa mungkin—“ pertanyaan Takao langsung dipotong Yuza.
“Takao, lebih baik untuk malam ini kita akhiri sampai disini dulu, waktunya tidur. Haruna juga. Besok aku janji akan menjelaskan semuanya.”
***
"Hei Takao, bangunlah! Kita harus pulang sekarang." Ucap Yuza sambil menampar pelan wajah Takao.
Saat itu langit masih gelap, masih ada satu jam sebelum matahari mulai terbit. Namun, Yuza sudah mulai membangunkan Takao dan Haruna.
"Ada apa Yuza? Di luar masih gelap." Kata Takao yang masih setengah mengantul sambil menggaruk-garuk badannya.
"Ayo, kita harus segera pergi dari sini." Ucap Yuza tergesa-gesa.
Dengan rasa kantuk yang masih mereka rasakan, mereka pun melakukan apa yang dikatakan Yuza untuk segera bersiap-siap pergi dari rumah nenek itu walaupun keadaan di luar masih gelap.
"Yasudah, aku ingin berpamitan dulu." Ucap Haruna tiba-tiba. Dengan cepat Yuza langsung menarik tangan Haruna. "Ayo, tadi aku sudah berpamitan."
Sebelum mereka benar-benar pergi dari rumah itu, Takao dan Yuza sayup-sayup mendengarkan suara serak nenek Yamada yang mengatakan, “Akiyama dan Matsumoto, tolong bantu kami keluar dari tempat ini.”
***
Mereka akhirnya sampai di halte bus. Yuza sama sekali tidak berkata apa-apa selama mereka berjalan tadi sekali pun Haruna terus mendesaknya.
Sedangkan Takao sejak tadi hanya memikirkan apa yang ia dengar, ia masih berusaha untuk membedakan mana mimpi dan kejadian nyata yang ia alami.
“Aku boleh berbicara sekarang?” tanya Yuza ketika mereka bertiga sudah duduk di bangku yang disediakan di halte itu.
Haruna memutar bola matanya kesal, “Kau harus punya penjelasan yang masuk akal soal ini.”
“Nenek yang kita temui semalam adalah Nenek Yamada, dia adalah nenek dari mantan supirku dulu.” Yuza diam sejenak sebelum dia melanjutkan perkataanya, membuat Takao dan Haruna penasaran.
“Beliau sebenarnya sudah meninggal dalam kebakaran 3 tahun yang lalu.”
“Ha? Apa maksudmu? Jelas-jelas kita semalam nenek itu mengajak kita ke rumahnya, kita bahkan duduk dan berbaring di kursi, dan juga ada perapian kan di dalam rumah itu? Aku benar-benar merasa hangat semalam.” Sanggah Haruna tidak percaya.
"Maaf mengatakan ini, tapi sejak semalam yang kulihat hanyalah bangunan yang sudah roboh dengan bekas terbakar, kita semalam juga hanya duduk dan berbaring di atas rumput, sedangkan suhu hangat itu ada karena api unggun yang aku pasang sendiri.”
Takao mengangguk ia akhirnya paham kenapa semalam Yuza terus bertingkah aneh, dan nenek itu juga semalam kesannya sedikit mencurigakan, tentunya bukan dalam artian jahat tapi hanya terasa aneh bagi Takao, dan satu lagi, “Pantas saja tangan dan kakiku sejak tadi terus gatal, ternyata kita berbaring di rumput, ya?”
Yuza mengangguk cepat, sedangkan Haruna yang dari tadi terus membantah akhirnya mulai melunak karena ia melihat banyak terdapat ruam merah di tangannya.
Tentunya itu membuat Haruna merinding ketakutan sampai tidak berani mengatakan apa-apa lagi.
Saat itu logika Takao mulai berputar, ia kembali memikirkan apa saja puzzle yang mungkin diberikan nenek itu kepada mereka.
Anak kecil yang diperlakukan secara tidak adil, kemungkinan itu adalah Yuza. Selain itu ada satu hal lagi yang seketika membuat Takao tersenyum, “Sudah kuduga ini semua bukan kutukan.”
“Ini lagi satu tiba-tiba ngomong tibak jelas. Apa lagi sih maksudmu Takao?” kesal Haruna yang sudah muak dengan tingkah aneh Takao dan Yuza.
“Ingat kata nenek itu semalam? Ini semua bukan kutukan!” ucap Takao yakin.
Haruna menatapnya bingung. “Lalu apa kalau bukan kutukan?”
“Untuk saat ini aku tidak tahu apa motifnya, aku juga tidak tahu apakah pelakunya sama atau berbeda, tapi jika ini memang bukan kutukan, artinya ini semua adalah pembunuhan.” Takao menjelaskan logikanya.
Sejujurnya, ia tidak benar-benar kuat mengatakan itu, mengingat bagaimana jika nenek yang paling ia sayangi pergi karena dibunuh oleh seseorang. Itu sangat menyakitkan, tapi saat ini tidak ada pilihan lagi selain membuktikan bahwa neneknya tidak mati karena terkena kutukan.
”Pembunuhan? Apa mungkin aku yang melakukannya tanpa sadar? Atau—“ penyakit Yuza kembali muncul, yaitu suka menyalahkan dirinya sendiri.
Mendengar itu Takao langsung menepuk bahunya, “Tidak Yuza, kau punya alibi, kau bersamaku malam itu. Lagi pula, kau juga pasti mendengarnya, apa yang Nenek Yamada katakan sebelum kita pergi dari rumahnya.” Sekali lagi, Takao berhasil meyakinkan Yuza.
“Tunggu, apa maksud kalian keluargaku dibunuh oleh seseorang?” tampak mata Haruna mulai memerah seakan mau menangis.
“Haruna, aku akan menanyakan ini untuk terakhir kalinya, apa sekarang kau percaya kepada kami?” kali ini Takao mencoba meyakinkan Haruna. Haruna mulai menangis tanpa menjawab pertanyaan Takao.
‘Tidak! Aku tidak akan percaya pada kalian!’
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top