Bab 2 (Apa! Dijodohkan?)
Aisyah tengah sibuk berkutat dengan tepung dan teman-temannya. Tangannya begitu fasih memasukkan bahan dengan takaran imajinasi. Kali ini ia akan membuat cupcake dengan rasa bluberry. Tak hanya itu, Aisyah bahkan bisa membuat berbagai macam kue seperti, blackforest, tiramissu, cheese cake dan yang lainnya dengan berbagai rasa.
Semua adonan telah diaduk dengan rata, adonan berwarna ungu itu kemudian dituangkan ke dalam loyang yang sudah disiapkan. Senyum manis tak pernah hilang dari wajahnya ketika sedang membuat kue, bagi Aisyah hal inilah yang dapat membuat suasana hatinya kembali membaik. Dapat melupakan masalah hidupnya sejenak.
Merasa puas dengan hasil karyanya yang hanya tinggal menunggu keluar dari pemanggangan, Aisyah mendaratkan bokongnya di kursi yang memang tersedia di dapur tersebut. Baru saja Aisyah menopangkan kepalanya di atas meja, suara Salsa membuatnya kembali duduk dengan tegap.
“Syah, ini ponsel kamu bunyi terus di dalam tas.”
Aisyah pun meraih ponsel tersebut dari tangan Salsa.
“Thanks!”
Salsa hanya mengangguk lalu keluar dari dapur untuk kembali ke ruangannya.
“Bunda,” gumamnya pelan.
Aisyah menelepon kembali panggilan Fatimah yang tak sempat ia jawab.
“Halo, Bun. Ada apa tadi telepon? Aisyah lagi bikin kue,” sahut Aisyah ketika sambungan teleponnya terhubung.
“Bunda mau kasih tahu kamu, hari ini pulang dari toko langsung pulang, ya. Ayah kamu mau bicara.”
“Tumben, memangnya ada hal apa, Bun?”
“Udah kamu nurut aja. Ok!”
“Ck! Iya, Bun. Aisyah langsung pulang, deh dari toko.”
“Anak pintar! Bunda tunggu, bye, muah.”
Aisyah pun mematikan ponselnya setelah membalas kecupan jauh pada Fatimah. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menghirup udara begitu panjang lalu membuangnya dengan kasar. Pikirannya terfokus pada tujuan Abimana—Ayah Aisyah—ia tahu pasti Abimana mau membahas dan menanyakan masalah pernikahan.
Ya, ini sudah yang ke sekian kalinya. Aisyah sampai bosan mendengar Abimana terus menanyakannya ‘kapan mau menikah?’. Bukan tidak mau menikah, hanya saja Aisyah masih terpaku oleh sosok Raihan yang membuatnya begitu lama memendam perasaan.
Aisyah terlalu gengsi untuk menyatakan lebih dulu. Dan melihat perlakuan Raihan selama ini selalu baik padanya, Aisyah menganggap bahwa Raihan juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Mungkin hanya soal waktu pikir Aisyah.
Suara pengingat dari mesin pemanggang kue berbunyi membuyarkan lamunannya. Dengan segera Aisyah membukanya dan mengambil loyang berisi cupcake yang sudah matang. Aroma blueberry yang menggugah selera itu pun memenuhi indra penciumannya. Kini hanya tinggal menghiasnya dengan krim secantik mungkin.
Lupakan masalahmu Aisyah, membuat kue itu harus dalam keadaan baik, agar rasanya juga baik dan enak, batin Aisyah tersenyum dan melanjutkan kegiatannya.
☘☘☘
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul lima sore, yang artinya toko kue mereka akan segera tutup. Semua karyawan tengah bersiap-siap membersihkan toko terlebih dahulu sebelum pulang.
Melihat keadaan toko yang sudah tak didatangi oleh pengunjung, Aisyah pun membalik papan pemberitahuan yang awalnya bertuliskan ‘OPEN’ kini menjadi ‘CLOSE’ yang tertempel pada pintu kaca. Kemudian ia kembali ke dalam ruangan khusus untuk mengambil tas selempangnya.
“Langsung pulang?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Salsa yang baru saja mengemasi barang-barangnya.
“Iya, ada urusan di rumah.”
Salsa hanya mengangguk mendengar jawaban dari Aisyah.
Setelah mereka selesai mengemasi barang masing-masing, Aisyah dan Salsa keluar dari ruangan itu. Terlihat beberapa karyawan mereka datang menghampiri untuk segera pamit. Saat semua karyawan sudah tidak tersisa, barulah mereka keluar dari toko dan menguncinya. Berjalan ke parkiran dan masuk ke dalam mobil masing-masing setelah mengucapkan salam perpisahan.
☘☘☘
Selama dua puluh menit perjalanan, mengantarkan Aisyah kembali bertemu dengan bangunan bercat putih. Bangunan berlantai dua itu adalah tempat di mana dirinya tumbuh dewasa. Aisyah memarkirkan mobilnya di halaman yang terbilang cukup luas. Aisyah menghirup udara dari hidungnya dengan perlahan, lalu mengembuskannya dengan kasar sebelum ia turun dari mobil dan menginjakkan kakinya ke dalam bangunan rumahnya sendiri.
“Asalamualaikum,” ucap Aisyah ketika dirinya sudah membuka pintu utama.
“Wa alaikum salam. Kebetulan kamu sudah di rumah, Ayah mau bicara,” Abimana menyambut kedatangan putrinya di ruang tamu dan langsung meminta Aisyah duduk di sampingnya.
Dengan langkah yang sedikit malas Aisyah menuruti Abimana. Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Seakan rasanya begitu malas jika Abimana melontarkan kalimat yang sama lagi.
“Langsung pada intinya saja. Ayah akan menjodohkan kamu dengan anak sahabat Ayah. Tidak ada penolakan besok keluarga mereka akan datang untuk melamar!”
Aisyah yang sedang bersandar terkejut dan langsung menegapkan tubuhnya dengan mata yang membulat sempurna menatap Abimana.
“Apa? Gak! Aisyah gak mau! Apa-apaan ini, Yah?”
“Ayah sudah memutuskannya! Tidak ada bantahan!”
“Tapi, Yah! Ini jaman sudah modern, untuk apa dijodoh-jodohkan segala. Memangnya Aisyah gak laku!”
“Tidak peduli sekarang mau jaman apa, itu sudah menjadi keputusan Ayah. Ini semua juga demi kebaikan kamu, Aisyah! Lagi pula usia kamu sudah sangat cukup untuk berumah tangga.”
“Kebaikan apa?! Ayah egois!”
Aisyah mengentakkan kakinya karena kesal, ia pun berjalan meninggalkan Abimana begitu saja dengan wajah penuh amarah. Berulang kali Abimana meneriakinya, Aisyah tak mengidahkannya. Ia terus berjalan menuju kamarnya lalu masuk ke dalam dan membanting pintu dengan keras.
Napas Abimana masih naik turun, guratan di wajahnya begitu tampak kalau ia tengah menahan emosinya. Dengan kasar Abimana mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Kembali duduk di sofa guna mengatur napas. Fatimah yang melihat keadaan tersebut menghampiri Abimana dan mencoba menenangkannya.
“Ini yang aku takutkan, Mas.”
“Tapi ini demi kebaikan dia, usianya juga sudah 23 tahun, sudah pantas untuk menikah. Mau sampai kapan kita menunggunya? Ini jalan satu-satunya, dan juga perjodohan ini adalah sebuah janji, Imah.”
“Iya, Mas. Aku ngerti,”–Fatimah mengembuskan napasnya–“nanti aku yang coba bicara dengan Aisyah.”
Abimana menarik napasnya lalu menganggukkan kepalanya.
☘☘☘
Aisyah membanting tubuhnya ke atas kasur yang begitu empuk, mengambil boneka kuda poni kesukaannya dan memeluknya erat. Cairan bening pun jatuh dari pelupuk mata membasahi wajahnya yang putih.
“Kenapa Ayah melakukan ini,” ucapnya sambil terisak.
Cukup lama Aisyah menenggelamkan kepalanya pada boneka kesayangannya itu, mencari ketenangan di sana.
Aisyah mengembuskan napasnya, memperbaiki posisinya menjadi duduk. Ia meraih sebuah bingkai foto yang ada di atas nakas. Foto dirinya bersama Salsa dan juga Raihan. Dengan lembut Aisyah membelai bingkai tersebut, manik coklatnya hanya terfokus pada gambar Raihan.
“Rai, kapan kamu akan mengatakannya? Haruskah aku yang mengatakannya lebih dulu? Rai, aku mau dijodohkan oleh Ayah.”
Aisyah masih terisak, perasaannya pada Raihan cukup dalam. Lalu jika ia dinikahkan dengan pria lain, itu artinya ia tidak akan bisa menjadi istri Raihan. Aisyah tak menyangka Abimana akan mengambil keputusan seperti ini.
Matanya masih setia menatap bingkai foto, tetapi tiba-tiba suara ketukan pintu kamarnya cukup membuatnya sedikit terlonjak.
“Nak, ini Bunda.”
Dengan cepat Aisyah mengusap air matanya menggunakan punggung tangan. Ditaruhnya kembali bingkai foto pada tempat asalnya. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan membukakan pintu untuk Fatimah.
“Boleh Bunda masuk?” tanya Fatimah saat Aisyah sudah membukakannya pintu. Aisyah mengangguk, ia membuka lebar pintu kamarnya.
Fatimah berjalan masuk melewati Aisyah dan langsung duduk di tepi tempat tidur. Kemudian disusul oleh Aisyah yang juga duduk di sampingnya. Fatimah menarik napas dalam dan mengembuskannya.
“Bunda hanya ingin—”
“Kalau Bunda hanya mau bujuk Aisyah untuk menerima perjodohan ini, lebih baik Bunda tinggalkan Aisyah sendiri.”
Sambil membalikkan tubuhnya dengan posisi membelakangi Fatimah. Fatimah menghela napasnya dan tersenyum sambil membelai rambut Aisyah dengan lembut.
“Nak, ini semua demi kebahagiaan kamu, Ayah kamu—”
“Kebahagiaan apa? Kalian egois, Aisyah gak mau dijodoh-jodohkan seperti ini, Bun. Aisyah sudah mencintai orang lain!”
Fatimah tertegun mendengar pengakuan Aisyah, lalu memberanikan diri untuk bertanya, “Siapa, Nak?”
Aisyah meneguk ludahnya sendiri, ia kelepasan bicara kali ini. “Bukan siapa-siapa!” kilahnya.
“Nak, orang yang dijodohkan dengan kamu, Ayah tau benar mereka orang yang seperti apa, Ayahmu tidak akan salah pilih, Nak.”
“Tapi, Bun—”
“Sayang, selama ini kami tidak pernah meminta apa pun, kali ini saja turuti permintaan Ayahmu. Bunda yakin keputusan Ayah tidak salah. Kamu menyayangi kami, kan?” bujuk Fatimah dengan hati-hati.
Aisyah mencerna perkataan Fatimah, memang selama ini kedua orang tuanya tak pernah menuntut apa pun. Menanyakan perihal kapan menikah, itu hanya sekedar pertanyaan. Tetapi kali ini mereka memutuskan sesuatu yang tak sejalan dengan isi hatinya.
Aisyah membalikkan posisinya menghadap Fatimah, menatap wajah Fatimah yang kini masih terlihat sangat cantik walau sudah termakan usia. Terlihat jelas sorot mata Fatimah yang penuh harap.
“Pikirkan perkataan Bunda, kami bukannya mau memaksa, tapi ini semua demi kebaikan kamu, Nak.”
Fatimah mengusap lembut rambut Aisyah, kemudian beranjak dari tempat tidur dan melangkahkan kakinya hendak keluar kamar. Aisyah hanya menatap kepergian Fatimah tanpa mengatakan apa pun.
Setelah Fatimah hilang dari pandangannya, helaan napas berat pun terdengar. Aisyah langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
“Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?”
🍀🍀🍀
Masih semangat kan? 😆
Salam manis,
Mey :*
ODOC BATCH 2 DAY 2
Balikpapan, 21 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top