Piece of Her World

Content: Yume Platonik.

Fandom: Twisted Wonderland.

Non-canon.

OC's - Satrinava Al-Karim lore.

Mention of sexual harassment. (Slight)

Characters: Kalim Al-Asim (POV), Jamil Viper, and Najma Viper.

——————

Piece of Her World

Saat menggendong tubuh sepupunya sore itu, Kalim tidak merasakan beban apa pun sekalipun badan mereka berdua hampir sama besar. Dia berjalan melintasi pasar, beberapa orang yang dikenalnya sebagai pedagang yang bekerja untuk keluarganya, menawarkan bantuan untuk mengangkat tubuh Satri dan mengantarnya pulang. Namun, Kalim menolak semua tawaran tersebut sambil tersenyum tipis. Untuk kali pertama dalam hidupnya, dia tidak punya kalimat apa pun yang bisa menghibur Satrinava.

Tubuh gadis kecil dalam dekapannya itu bergetar pelan, sesekali terdengar isak tangis yang teredam pakaian Kalim sendiri. Setiap kali dia mulai merasa kalau Satri akan kembali menangis kencang, laki-laki yang berusia beberapa bulan lebih muda dari sang gadis tersebut akan mengusap punggungnya pelan sambil membisikkan kalimat-kalimat lembut bahwa tak ada lagi yang perlu ditakutkan.

Jamil berjalan sejauh dua langkah di belakang mereka. Bubu duduk di bahu kanannya, terlihat sedih sambil tanpa henti menatap tuannya yang memeluk Kalim. Bisa putra sulung Asim itu rasakan, tangan yang melingkari lehernya erat. Sementara wajah gadis itu terbenam di bahu kiri atau dadanya bergantian.

Kalim tahu kalau Satrinava tak betah tinggal di rumahnya sendiri, karena tak seorang pun di kediaman mewah tersebut mempedulikan eksistensinya. Berbeda dari keluarga Asim yang telah mapan, keluarga Al-Karim tengah giat merintis dan membangun usaha-usaha mereka di pasar, serta menciptakan jejaring bisnis yang luas. Menurut penuturan Satrinava, keluarganya ingin membuat serikat dagang sendiri. Hal ini menyebabkan tiap insan di dalam rumah tersebut sering kali lebih sibuk daripada lebah yang membuat madu. Mengabaikan anak bungsu mereka yang perbedaan usianya jauh sekali dari kelima kakak lelakinya.

————

Jamil dengan sigap menghubungi keluarga Al-Karim, di waktu yang sama Kalim meminta para pelayannya untuk menyiapkan jamuan kesukaan Satrinava sementara lelaki itu membawa sepupunya ke kamar. Tak lama, Jamil menyusul dan menginformasikan bahwa keluarga Satri akan segera datang kemari.

“Ava, Ayah dan Ibumu akan menjemput. Tenangkan dirimu, ya. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Di sini sudah aman, aku tidak akan membiarkan hal buruk lain menimpamu, oke? Menangislah sampai puas jika itu membuatmu tenang.” Kalim mengusap rambut hitam milik Satri, sementara gadis itu merebahkan tubuh di atas karpet tebal dengan banyak bantal sambil masih memegangi pakaian Kalim.

Ibu Kalim tiba di kamar dan membantu putranya menenangkan Satri, mereka sama-sama mengucapkan kata-kata penyejuk yang akhirnya membuat Satri berhenti ketakutan dan mau meminum susu yang telah disediakan. Ketika orang tua gadis itu tiba, lengkap dengan kelima kakaknya. Satri kembali menangis kencang, kali ini di pelukan sang ibu dan ayah yang juga menangis.

“Jamil, apa ada yang bisa kita lakukan?” Kalim berbisik, matanya perih menyaksikan saudari jauhnya yang biasa tertawa terlihat hancur dan lebih rapuh daripada sayap kupu-kupu. “Kuharap bisa membantu.” Kalim menoleh ke sisi kanan, menatap lawan bicaranya yang masih terpaku memandangi sosok yang paling dia hindari.

Kalim tak akan sadar kalau Jamil tidak menyukai Satri, jika bukan gadis itu yang curhat. Satrinava atau yang keluarganya kerap sapa sebagai Ava, berkata bahwa pelayan laki-laki Kalim tersebut sangat jarang tersenyum dan kerap kali bersikap kurang ramah saat berada di dekatnya. Gadis itu juga sering mendapatkan tatapan tajam atau lirikan kurang bersahabat dari lelaki tersebut.

“Sepertinya, Jamil tidak menyukaiku.” Satri menatap pemandangan halaman depan rumah Kalim yang maha luas. Mereka berdua tengah duduk di belakang pembatas balkon, sementara sosok yang dibicarakan mengambil cemilan dan minuman. “Dia sering mengabaikan ucapanku, juga berusaha tidak melakukan kontak mata. Ekspresinya berubah kalau aku datang kemari dan mengajakmu bermain.” Satri membuang napas panjang.

Kalim mengernyit. “Hmmm, kurasa Jamil hanya belum mengenalmu saja. Kalau kalian sudah dekat, kau pasti akan menyukainya juga! Dia sangat keren dan bisa diandalkan, kau tahu? Jamil banyak membantuku. Dia tahu permainan seru dan cara bersenang-senang, aku bahkan merasa kesepian jika dia sedang sekolah.” Dia menjeda sambil tertawa kecil.

“Aku yakin, dia hanya butuh waktu untuk mengenalmu. Jangan khawatir, aku akan membantumu untuk berteman dengannya, kita bertiga bisa jadi teman yang paling dekat, ya? Haha!” Kalim menepuk-nepuk punggung Satri, memberi semangat sambil terus membeberkan kelebihan-kelebihan Jamil yang Kalim yakini dapat membantu gadis itu dekat dengan pelayannya tersebut.

Saat Kalim menatap mata Jamil hari itu, dia yakin sekali belum pernah melihat seseorang yang dianggapnya sebagai saudara tersebut terlihat penuh rasa kesal, tetapi tetap mempertahankan ekspresi dan gelagat tenang di waktu yang sama. Kalim selalu merasa bahwa dirinya mahir menilai kepribadian seseorang dan dia tidak pernah melihat ekspresi tersebut di wajah Jamil.

“Tentu saja ada yang bisa kita lakukan.” Laki-laki bermata hitam itu menatap lawan bicaranya sambil mengangguk. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Jamil berbisik pada Kalim dan kedua anak lelaki itu berjalan mendekati kakak tertua Satrinava Al-Karim.

Kalim berdeham, menarik perhatian seorang pria bertubuh tinggi yang mengenakan turban warna hijau-biru. Menyadari seseorang hendak bicara, kakak lelaki Satri itu berlutut di depan Kalim. “Ada apa, Kalim? Kau pasti tahu sesuatu, kan? Bisakah kau membantuku?”

Senyum lebar Kalim muncul. “Tentu. Aku memang ingin membantu kalian dan Ava.” Dia mengangguk mantap. “Aku tahu di mana Ava ditemukan, tempatnya menangis tadi. Aku juga tahu, di mana orang-orang yang mengganggunya berada. Kita bisa pergi sekarang dan menangkap mereka.” Laki-laki bermata merah terang itu menatap Jamil, seseorang yang memberitahu informasi itu padanya tadi. “Kami bisa menunjukkan jalannya. Namun, kurasa kita tidak bisa pergi beramai-ramai sebab orang-orang itu akan sadar dan melarikan diri. Pasti sulit mendapatkan mereka lagi nanti.”

Sepasang mata cokelat terang saudara tertua Satri berkilat, dia mengangguk paham dan kembali berdiri lantas berbisik pada saudara kedua. Pria berambut cokelat pendek itu menatap kedua anak kecil di depannya bergantian lalu mengangguk pada sang kakak.

Akeem Al-Karim, kakak tertua Satrinava dan Nasir Al-Karim, kakak kedua Satrinava. Kemudian menggiring Kalim dan Jamil berjalan keluar kamar sesudah memberitahukan rencana mereka pada sejumlah orang dalam ruangan. Kedua orang dewasa itu lantas menggiring dua ekor unta, terlihat pula bahwa mereka membawa sebuah pedang berukuran sedang di pinggang. Melihat hal itu membuat Kalim merasa sedikit khawatir, dia tidak menyukai perselisihan. Namun, saat menatap Jamil yang tampak mantap dan yakin, Kalim mendapatkan kembali keberaniannya. 

Aku harus melakukan ini, untuk Ava juga.

Kalim dan Bubu sudah duduk di unta yang sama dengan Akeem. Sementara itu Jamil menolak ikut. Merasa bahwa dirinya tak cukup layak untuk satu kendaraan dengan calon penerus keluarga Al-Karim. Meskipun begitu, ekspresi wajah Jamil mengatakan hal yang sebaliknya. Dia justru terlihat sangat ingin meraih uluran tangan Nasir.

“Naiklah. Tidak apa-apa, Jamil-kun.” Nasir meyakinkan. Dia sedikit membungkuk untuk menangkap tangan Jamil dan dengan mudah menarik tubuh anak lelaki tersebut ke atas untanya. Sepasang hewan berpunuk tersebut lantas berjalan cepat menuju lokasi yang ditunjukkan oleh Kalim.

Kerumunan di pasar memberi jalan begitu melihat unta mereka dari kejauhan. Sepanjang perjalanan, Kalim merasakan debaran yang sulit dijelaskan. Satu hal yang pasti, dia kesal sekali. Kalim memiliki saudari, Jamil juga sama, begitupun kelima kakak lelaki Satrinava. Mereka tentu tak terima jika sang adik menjadi korban pelecehan. Satri tadi bercerita kalau dia berhasil melarikan diri setelah memberontak beberapa kali. Dia nyaris sekali tidak selamat dan menjadi bulan-bulanan. Entah meleset beberapa detik lagi. Kalau saja gadis itu tak mampu melarikan diri, hal yang lebih buruk dari sekadar diraba-raba tubuhnya sudah pasti akan terjadi.

Kalim menunjuk sebuah kedai minuman dan meminta Akeem berhenti. Pria berusia nyaris kepala tiga itu dengan sigap turun dari untanya, hampir bersamaan dengan sang adik yang menggendong Jamil turun. Kalim masih berada di atas hewan tunggangan mereka.

“Tunggulah di sini bersama Kalim-kun. Kami berdua akan masuk.” Akeem menyerahkan tali kekang unta kepada Jamil dan anak lelaki itu mengangguk.

Keributan sempat terjadi dari dalam kedai, tetapi dua bersaudara Al-Karim tersebut berhasil menyeret keluar empat orang laki-laki berusia sekitar 18-19 tahun. Mereka lantas diikat tangannya, lalu ditarik unta tanpa belas kasih sampai ke kediaman Asim.

Kalim tak tahu apa cara cerdik yang digunakan dua bersaudara itu untuk memancing pelaku pencabulan Satri, yang jelas gadis itu menjerit tak karuan saat melihat keempat bandit pasar itu. Tanpa perlu bukti lebih lanjut, keempat orang tersebut dipastikan akan kena hukuman setimpal.

————

“Ava! Hari ini pun aku datang, hari ini kita mau main apa?” Kalim membuka pintu kamar saudarinya kasar, dia berlari masuk tanpa peduli pada omelan Jamil yang menegur tingkahnya. “Main mancala lagi? Atau kau mau main ke luar?” Kalim meletakkan papan mancala yang dia bawa ke depan Satri.

Satri yang sedang membaca buku sedikit terkejut, tetapi dia tersenyum tipis dan mengangguk. Gadis itu jadi banyak diam semenjak kasus tiga bulan lalu. Beruntung keluarganya mampu membayar jasa seorang dokter untuk membantu proses penyembuhannya.

“Jamil, ayo main juga. Hari ini jangan sampai kalah, ya.” Kalim telah bersimpuh di sebelah Satri, tangannya sibuk menyusun bantuan warna-warni ke dalam lubang.

“Mancala itu kan permainan dua orang,” gerutu Jamil pelan seraya berjalan masuk. Dia mengatur posisi bersila di depan Satri.

Kalim hanya tertawa, mengabaikan ucapannya. “Harusnya kau mengajak Najma kemari. Ava pasti akan senang sekali.”

Mendengar nama teman dekatnya disebut membuat Satri tersenyum kecil. Dia melirik Jamil dan langsung menunduk begitu anak lelaki itu membalas tatapannya. Kalim yang memperhatikan interaksi dua orang terdekatnya itu masih mempertahankan senyum, menunggu jawaban positif dari sang Viper.

“Besok setelah Najma pulang sekolah, aku akan mengajaknya kemari,” ujar Jamil pelan, tanpa keraguan.

Mendengar ucapan itu, Kalim langsung memeluk leher Jamil erat-erat sambil berseru, “Wahahaha! Kau memang yang terbaik, Jamil. Terima kasih, ya! Ava, kau dengar itu, kan? Besok Najma akan datang, besok kita main berempat!” Lengan Kalim terulur, meraih leher Satrinava dan ketiganya saling merangkul diiringi tawa dan ucapan syukur penuh kegembiraan milik Kalim.

Keesokannya, Jamil benar-benar menepati ucapan. Itu kali pertama Najma dan Satri kembali bertemu setelah jumpa terakhir mereka di pesta ulang tahun Kalim. Najma langsung memeluk tubuh Satri begitu melihatnya, mengabaikan seruan sang kakak yang berkata kalau dia harus berhati-hati dalam bersikap. Namun, dua gadis itu saling berpelukan erat—sampai-sampai Satri terjatuh ke atas karpet—mereka mulai menangis pelan bersama. Membuat Jamil tutup mulut, membendung teguran yang hendak dia berikan pada sang adik.

“Tidak apa-apa, Jamil. Biarkan saja. Sebagai seorang teman, Najma pasti khawatir sekali pada Ava.” Kalim tersenyum lebar hingga kedua mata merah delimanya terpejam. Laki-laki berambut putih itu lantas berlari menuju Najma dan Satri, mengajaknya bermain di luar setelah kedua gadis tersebut berhenti menangis.

Kalim menyadari seberapa besar tragedi itu membawa dampak pada saudarinya dan meskipun tidak bisa mengubah masa lalu dan mengembalikan keceriaan Satri seperti sedia kala, Kalim tahu hal apa yang mampu dirinya lakukan saat ini. Dia bisa menawarkan banyak waktu luangnya untuk menemani gadis itu, mendengarkan sedikit cerita yang mau Satri bagi, menemani dia di saat orang-orang sekitarnya sibuk mengejar waktu dan harta. Kenyataan kalau kelima kakak lelaki Satri juga kedua orang tuanya, secara bertahap mulai menempatkan anak perempuan bungsu mereka ke dalam sela-sela waktu luang, membuat Kalim tersenyum senang.

Tidak masalah. Dia tidak masalah jika harus mengisi sebagian besar waktu yang dimiliki Satrinava. Bahkan jika gadis itu bosan dengannya, dia akan mencari cara untuk membuat Satri kembali bersemangat dan merasakan kesenangan seolah kejadian itu tak pernah terjadi sama sekali. Bagi Kalim, menunggu Satri menyelesaikan sesi pertemuannya dengan seorang psikolog menjadi salah satu hal favorit dalam jadwal hariannya sekarang.

Malam itu berhias taburan bintang, seperti manik-manik perak berkelip di atas langit yang ditutupi awan-awan kelabu menyerupai kepulan asap yang bergerombol dan bergerak perlahan tertiup angin. Cahaya putih bulan menembus sela-sela awan, sinarnya mempercantik suasana halaman depan kediaman Al-Karim yang sepi. Hari itu menjadi malam ketiga Kalim, Jamil, dan Najma menginap di tempat Satrinava.

Jamil sedang pergi untuk menyiapkan makan malam bersama pelayan-pelayan lain, sementara Najma menikmati waktunya berendam air panas di kamar mandi Satri selagi pemilik kamar sedang duduk bersebelahan dengan Kalim. Keduanya membicarakan tentang hal-hal yang mereka lakukan hari itu, lalu apa yang akan mereka lakukan besok. Bagi Satri, keberadaan Kalim seperti payung yang melindunginya dari serbuan rasa takut dan kegelisahan. Di bawah naungan bocah lelaki berkulit cokelat itu, dia merasakan tempat nyaman dan aman.

Bukan, bukan seperti rumah. Menurut Satrinava, Kalim itu mirip taman hiburan. Dia penuh kejutan dan keseruan yang sulit dicari tandingannya, dia menarik banyak orang di dekatnya dan membuat mereka merasakan beragam emosi; senang, kesal, berdebar-debar, penasaran, bersemangat, mungkin gabungan dari dua emosi sekaligus atau lebih. Intinya adalah Kalim Al-Asim akan membuatmu bahagia dengan beragam cara yang bisa jadi tak terduga.

“Ava, naik karpet terbang, yuk!” ajaknya tiba-tiba.

Satri mengerjap. “Sudah malam. Nanti Jamil mengomel kalau kau masuk angin atau kena flu,” tegurnya. Namun, bukan Kalim namanya jika tidak memaksa.

“Sebentar saja, aku janji kita akan kembali sebelum Jamil selesai masak.” Dia bersiul, menggunakan dua jari dalam mulut. Tak lama selembar karpet yang sedari tadi hanya bergulung-gulung saja di dalam kamar Satri memelesat keluar menuju balkon dan membungkus tubuh Kalim. Seperti sedang memeluk. Dengan cekatan, karpet terbang itu melebarkan diri di hadapan Kalim dan melayang rendah sehingga bisa dinaiki.

Begitu empunya naik, Kalim mengulurkan tangan untuk digapai. “Ayo. Kau percaya padaku?”

Satri spontan tersenyum. “Tentu saja.” Dia meraih uluran tangan Kalim dan melompat ke atas karpet. Benda itu langsung melaju cepat menuju langit begitu merasakan tambahan tubuh penumpang.

Lengan Kalim melewati punggung Satri, dia mencengkram kedua sisi karpet erat-erat sementara sepupu jauhnya tersebut sedikit bersandar di badannya, selagi mereka terbang miring sampai tinggi sekali. Alih-alih takut, Kalim bisa merasakan adrenalin keseruan bercampur gembira yang mendidih dalam diri hingga membuatnya tak bisa menyembunyikan tawa. Ketika dia melihat Satri, gadis itu pun tersenyum lebar sekali sambil memandangi bangunan-bangunan kecil di bawah mereka yang terlihat seperti bintang sekarang.

Begitu karpet tersebut terbang mendatar, Kalim merebahkan dirinya dan Satri turut serta di sisi kiri. Belum sempat lelaki itu berbicara, Satri lebih dulu angkat suara.

“Terima kasih, Kalim. Untuk semuanya. Aku tidak akan pernah melupakan ini seumur hidupku, semua yang telah kau lakukan.” Satri menoleh, sepasang netra emasnya berkaca-kaca. “Aku pasti … pasti juga akan membuatmu senang dan menjagamu. Itu sumpah.”

Kalim tertawa. Dia mengelus rambut hitam gadis itu sebentar. “Aku bersyukur bisa membantumu. Semua hal berat memang akan datang silih berganti. Aku senang bisa menjadi tempatmu berbagai dan seseorang yang kau hargai sampai seperti itu. Terima kasih kembali!” Kalim meletakkan tangan di belakang kepala dan terpejam. Tak tahu kalau Satri masih terus menatapnya selagi laki-laki itu berbicara.

Continue.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top