Mati di Laut
Pemuda di atas perahu itu terus saja mengoceh. “Ibu menceritakan padaku,” katanya dengan tubuh terbaring menghadap langit-langit malam, “tentang sebuah kota kecil berkabut tipis, di mana pasarnya menerima dollar, euro, silver, golden, hati yang patah, rahasia terkelam, darah, dan usia sebagai bayarannya.”
“Apa kau tidak mengantuk?” Wanita di dekatnya bertanya. Selama berjam-jam, pemuda yang baru ditemuinya ini terus saja bercerita tentang ibunya. Tentang kota yang ia tinggali dan betapa anehnya sistem belanja di sana.
“Aku tidak tidur.” Pemuda tersebut menggeleng. Ia mendudukkan tubuh ke tepi. Perahu kecilnya bergoyang singkat. “Otakku punya kemampuan memanifestasikan hal-hal buruk menjadi semakin buruk.”
“Kau takut dengan mimpimu?”
“Iya.”
Wanita di hadapannya, secantik malaikat dengan tubuh separuh ikan. Hitam dan licin, panjang dan berminyak. Diciptakan untuk berenang di dalam air.
“Aku bisa membantumu.” Siren di hadapannya memberikan gestur mendekat dengan telunjuk.
Tanpa takut, sang pelaut mendekatkan wajahnya. Sepasang tangan pucat dan dingin menyentuh tulang pipi, mengusapnya lembut seolah ia adalah sebongkah berlian.
Sang siren berbisik, “Akan kutunjukkan, bahwa kenyataan jauh lebih mengerikan daripada mimpi.” Ia mengecup bibir sang pemuda dan membawa serta wajah berkulit cokelat mengkilap itu ke dalam laut.
Air garam mengisi kedua lubang hidung sang pemuda, setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan seolah ia sedang menghirup pasir. Paru-parunya seperti menyempit. Perahu terbalik, tubuhnya tercebur ke dalam air.
Siren tadi terus menenggelamkannya. Ia menduga bahwa sang pelaut telah tewas. Ketika korbannya tersebut justru menggenggam kedua tangan sang siren dan berkata, “Demi Tuhan! Kukira kau bisa membunuhku. Sial! 'Mati di laut itu mudah' adalah kebohongan terbesar dalam hidupku.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top