LIMURI
31/07/2021
Gaya bahasa lamaku. Huehue. Bagus 😂
[××]
Angin yang berembus kencang menggores permukaan air dengan tajam. Permukaan laut yang hitam itu menadah angin yang bertiup seperi mata tombak yang menyerang dari tiap penjuru. Ombak mengerang kencang, menabrak batu karang dan pecah. Udara berbau dingin dan garam, awan hitam seperti kain brokat yang baru direndam.
“Pasti akan badai.”
Clementine menatap langit lautan Trisanda dari atas dek, bersandar pada birainya. Rambutnya yang panjang—sampai-sampai tak bisa ditutupi oleh topi bundar yang ia lesakkan begitu dalam—dipermainkan oleh angin malam yang menampari wajah dan lehernya seperti cemeti lembut.
“Apa yang kau lakukan di sana, Nona?” Tuan Jansen berteriak dengan suara yang melengking seperti tercekik, urat-urat wajah dan lehernya tampak di bawah temaram cahaya lentera di tangan kirinya, “Jangan berdiri terlalu pinggir kalau kau sayang nyawa!”
Clementine bergidik melihat tubuh ringkih Tuan Jansen yang seolah bisa terbawa angin. Ia mengangguk cepat lantas berjalan melewati Kapten Kapal yang hanya setinggi bahunya itu.
Samar-samar ia mendengar Tuan Jansen menggerutu ketika ia melewatinya menuju dek bawah.
“Wanita itu membawa sial untuk kapal ini.”
[***]
Clementine duduk sambil memangku koper jinjing yang berisikan alat-alat lukis, di sebelah kanan ada tas lainnya yang berisikan pakaian untuk tiga hari ke depan.
Ia berada di dek bawah yang luas, tetapi sesak. Suara gaduh dari langkah kaki sepuluh orang awak kapal terdengar gaduh di atas kepalanya.
Kapal mereka berguncang dihantam ombak, tak lama setelah Clementine berjalan melewati si Tua Jansen yang pemarah menuju dek bawah. Ucapan pria tua itu membuat Clementine ketakutan.
Ia tahu bahwa pria nyetrik seperti Jansen tidak akan menerima dirinya di kapal ini, kalau saja ini bukan permintaan dari pemilik kapalnya langsung—Tuan Monte yang ramah. Duda berusia empat puluh tahun yang tinggal di samping podoknya, yang menjadi pengagum dari semua karya lukisnya. Pria itu punya banyak armada dan memperkerjakan orang-orang pulau Trisanda sebagai pedagang.
Clementine mengeratkan jemarinya pada gagang koper, ia bersandar pada dinding dek saat seorang bertubuh besar berjalan menuruni satu-satunya akses masuk ke dek bawah.
Pria dengan tato di punggung sampai lengan kanannya itu tidak mengucapkan apa pun dan langsung menarik Clementine dari tempat duduknya.
“A-apa yang kau lakukan? Lepaskan aku! Lepas!” Clementine menyetak lengan kirinya, dan memberikan pukulan di dada pria besar itu dengan koper tangannya. Pria itu bergeming. Ia menahan pukulan koper Clementine dan mengempaskan benda malang itu ke dinding kapal.
Clementine menjerit melihat isi tasnya berhamburan, “Hei! Isinya jauh lebih mahal dari gaji bulananmu!” pekiknya kesal dan semakin meronta.
Pria berkepala plontos itu tidak menyahut dan menyeret tubuh sang gadis menaiki tangga dengan langkah tak sabaran.
Clementine terjatuh berkali-kali saat menaiki kelima belas anak tangga, pria besar yang menyeretnya membawanya menghadap Tuan Jansen. Melihat kumis sabit Tuan Jansen dan sorot matanya yang seolah sedang meledek Clementine, gadis itu tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Ikat dia!”
“Apa?” Clementine memekik mendengar titah konyol sang Kapten Kapal.
Beberapa awak yang sedari tadi bertugas memperbaiki layar, menggelindingkan tong-tong minuman keras dan mengeluarkan air yang masuk ke kapal menggunakan ember mulai bergerak mendekati Clementine dengan pandangan buas. Empat di antaranya membawa tali layar.
“Tu-tunggu! Ini konyol, apa yang mau kalian lakukan?” Clementine meronta-ronta di bawah genggaman tangan pria besar. Ia menatap Tuan Jansen tajam, berharap bisa meludahi wajah pria itu.
Tuan Jansen tak mengacuhkannya. “Ikat dan buang dia ke lautan! Membawa wanita dalam perjalanan memang suatu kesialan.” pria itu meludah di dekat sepatu Clementine.
“I-ini konyol! Kau tidak bisa membuangku ke laut!”
Beberapa awak kapal mulai mengikat kedua tangannya di belakang punggung dengan lima kali lilitan.
Langit bergemuruh memuntahkan petir, kapal berguncang hebat dan ombak menaikkan air asinnya ke dalam kapal.
Clementine meninggikan suaranya yang terendam gemuruh petir, wajahnya sudah basah karena air hujan yang mulai menetes. “Apa yang akan kau katakan pada Tuan Monte? Ia tidak akan senang mendengar kalau awak kapalnya membunuh pelukis kesayangannya, 'kan?” gadis itu berusaha bernegosiasi walau ia tahu kemampuannya minus jika dihadapkan dengan pedagang yang sudah puluhan tahun mendulang uang dari kegiatan dagang.
Tuan Jansen tertawa, ia memilin ujung kumisnya yang seperti bulan sabit. “Kami tinggal berkata kalau kau memilih menetap di Asnington alih-alih kembali ke pulau taklukan Trisanda yang malang itu,” jawabnya enteng seolah ia baru saja diminta menghitung satu sampai sepuluh dengan mata terpejam.
Clementine terbelalak, ia menggeleng berulang-ulang ketika kakinya disatukan oleh seutas tali sama seperti tangannya. Ia menangis, menjerit, meronta-ronta.
Tuan Jansen menunjuk tepian kapal dengan dagunya. “Lempar dia, Henry!”
“TIDAK! Jangan lakukan itu! Kumohon jangan! Jangan, kumohon jangan!”
Pria besar bernama Henry itu mengangkat dirinya ke atas bahu kanan dan berjalan menuju tepian kapal.
“Tunggu, Jansen! Kumohon! Akan kuberikan seluruh uangku. Kau tahu, 'kan Tuan Monte memberikan banyak sekali koin emas sebelum aku pergi.”
Clementine bernapas lega ketika Jansen mengangkat sebelah tangannya dan Henry berhenti melangkah, ia sudah dekat sekali dengan birai kapal.
Tuan Jansen tersenyum mengejek, ia meraih dagu Clementine dan tersenyum. Menunjukkan giginya yang menghitam karena cerutu. “Kau tidak pandai bernegosiasi Nona Marlowe.”
Sedetik kemudian Henry melemparnya dari kapal.
Tubuh Clementine jatuh ke dalam kegelapan lautan, ia tak bisa berkutik dalam keadaan terikat. Tubuhnya jatuh ke dalam laut secepat batu.
Ia tenggelam.
Beberapa detik pertama gadis malang itu masih bisa menahan napas. Namun, seiring berjalannya waktu air asin mulai memenuhi telinga, juga lubang hidungnya, paru-paru menyempit, oksigennya menipis, rasanya seperti tercekik. Clementine tak bisa menahan diri untuk tidak membuka mulut. Air asin memenuhi mulut hingga terasa seperti mau muntah.
Clementine memejamkan mata, ia menggeliat seperti cacing. Perlahan-lahan oksigen mulai direngut dari rongga paru-paru, hanya sakit yang ia rasakan tiap detik saat hidung, telinga dan matanya terkena air.
“Kita tidak bisa membiarkannya mati.”
Clementine bersumpah suara itu berbisik di telingan kanannya ketika pandangan semakin gelap.
“Jangan biarkan dia mati. Selamatkan dia.”
Suara itu lagi.
“Jangan biarkan wanita yang telah melukiskan kita dengan indahnya itu tewas.”
“Tolong dia sebelum para siren mengubahnya.”
“Fee, selamatkan dia!”
Suara itu berisik, asalnya dari segala arah di sekujur tubuh Clementine. Gadis itu tak kuasa untuk sekadar berpikir siapa atau apa yang berbicara padanya. Clementine merasakan sesuatu meraih tubuh, membawanya untuk bersandar.
“Kau bisa, kau bisa bernapas dalam air. Berhenti memikirkan udara.”
Suara laki-laki, berbisik di depan wajahnya dengan bahasa—yang anehnya—bisa ia mengerti. Clementine yakin sekali itu bukan bahasa yang dipelajari dengan alfabet. Lebih seperti getaran air laut.
Berhenti memikirkan udara,
Dengarkan kami,
Kau bisa, karena diberkati,
Oleh lautan dan para duyung,
Kaum Mer memberkati, lautan merestui.
Berhenti memikirkan udara,
Dengarkan kami,
Para duyung merestui, lautan memberkati.
Suara-suara berisik itu mengulangi kalimat yang sama, tanpa nada, tanpa alunan. Namun, indah.
Clementine tak dapat berpikir lagi. Ia bisa merasakan tubuhnya tak lagi tenggelam seperti jangkar, perlahan-lahan suara di dekatnya semakin jelas. Seperti senandung doa pemberkatan, gadis itu mulai melupakan kenyataan bahwa ia berada di dalam air lautan yang gelap. Air tak lagi terasa dingin, tak lagi menulikannya ataupun memasuki lubang telinga dan hidung.
Bersama kami, kau aman,
Terimalah anugerah ini,
Dari kekejaman lautan, menuju cinta kasih paling mulia.
Di kedalaman Lemuri,
Kau dilahirkan kembali,
Sebagai wujud dari sosok yang baru,
Hidupmu tidak akan pernah sama lagi.
Clementine membuka mata, nyanyian tadi berhenti. Kedua mata hitamnya mendapati seorang pria dengan mimik wajah khawatir.
“Kau baik-baik saja? Wow, tubuhmu tenggelam secepat batu. Perempuan macam apa yang menaiki kapal pelaut di tengah-tengah badai? Nona, kau baru saja menyerahkan nyawamu.”
Clementine mengernyit. Pria itu memiliki rambut berwarna cokelat madu dengan kedua mata cokelat gelap dan kulit yang terbakar sinar matahari.
Tubuh Clementine terasa lebih ringan dan ia menyadari bahwa lelaki serba cokelat itu kini tengah memegangi pinggangnya.
“Aku masih di laut?” Clementine berseru kaget dan langsung menutup mulut, ia tidak merasakan asin dengan air yang masuk.
Ini aneh, apakah aku sudah mati? Pikirnya ngeri.
Clementine menatap pria di depannya. Memperkirakan bahwa pria ini sama sialnya—dilempar dari atas kapal—pandangan berhenti di bagian tubuh bawah pria tersebut yang setengah ikan. Permukaannya licin dengan sirip dengan panjang menyamai sayap pesawat.
Seperti bisa membaca pikirannya pria itu menyahut, “Tidak, Nona. Kau belum mati dan aku bukan putri duyung. Secara anatomis aku pria, jadi aku bukan putri duyung.” Pria itu terus berbicara, “Kau pasti berteman dengan banyak putri, ya,” katanya, “omong-omong, tidak perlu menutup mulut seperti itu. Kau tidak akan mati.”
Clementine menggeleng dan menekan tangannya di mulut. Ia tidak bisa memercayai manusia setengah ikan yang bisa berbicara dalam air.
Tunggu sebentar.
“Nona, aku melepas ikatanmu tadi. Apa tidak ada yang mau kau ucapkan?”
“Oh, benar juga!”
Clementine terbelalak, ia menjauhkan tangan dari mulut. Menatap kedua pergelangannya yang tak lagi disatukan oleh tali-temali.
Gadis itu menatap pria di depannya.
“Apa? Tidak tahu caranya mengucapkan terima kasih?”
“Dia benar-benar bisa membaca pikiran.”
“Dengar, Nona. Orang udara mungkin tidak akan memahami bahasaku, tapi, kau tidak bisa menganggap itu sebagai suatu kemustahilan di kedalaman Lemuri. Bagaimana orang udara menyebutnya, ya,” Pria itu bergumam panjang, “ah, pamali!” Ia berseru senang.
Clementine tidak mengerti apa yang pria itu bicarakan—bukan secara harfiah—tetapi, ia mencoba untuk percaya pada penolongnya.
“Terima kasih.”
“Akhirnya kau bicara juga, kukira kau bisu.”
“Aku tidak bisa beren—”
Kali ini pria itulah yang menutup mulut Clementine sambil mendecak kesal.
”Apa yang sudah kukatakan soal pamali, hm?” Ia menaikkan sebelah alis dan menjauhkan tangan kanan dari bibir mungil gadis dalam rengkuhannya. “Kau tidak diperkenankan meragukan apa pun di kedalaman Lemuri. Apalagi, kau sudah dinyanyikan dengan lagu pemberkatan. Lautan ini menyukaimu.”
Mendadak Clementine teringat dengan suara berisik dan juga lagu yang ia dengar tadi.
“Kau yang tadi bernyanyi?”
Pria di depannya tergelak. “Apa? Bernyanyi? Aku? Tidak, Nona. Aku tidak bisa menari ataupun bernyanyi. Para siren-lah yang bernyanyi, aku tidak.” ia mengibaskan tangan.
Clementine mengernyit. “Kukira semua duyung bernyanyi,” katanya.
“Itukah yang dikatakan orang-orang udara?” pria berambut cokelat madu itu menggeleng. “Kami tidak bernyanyi. Kami berkelana,” katanya dengan nada bangga.
“Aku tidak mengerti.”
Pria di hadapannya mengembuskan napas kecewa. Ia kemudian menjauhkan lengan dari pinggang Clementine dan berenang sedikit menjauh guna memberikan ruang.
Sementara itu, Clementine terpana karena dirinya bisa mengambang di dalam laut seperti seorang perenang yang andal.
“Begini ….” Pria di depannya berdeham, “di kedalaman Lemuri hidup dua makhluk. Kaum Mer—yaitu duyung, atau sebut saja aku—dan para siren yang semuanya perempuan.”
Pria itu melanjutkan, “Kaum Mer tercipta dari orang-orang yang tewas atau hilang di lautan. Kau pasti tahu, 'kan bahwa wilayan perairan lebih banyak dari pada dataran di bumi ini. Itu artinya kekuatan lautan lebih besar dari pada daratan. Dan kekuatan itulah yang memberikan kehidupan kepada jiwa-jiwa malang yang tewas di dalam laut.” pria itu menunjuk dirinya, “aku misalnya, terlahir kembali dalam wujud duyung atau lebih dikenal dengan sebutan kaum Mer. Semua kamu Mer mendengarkan lagu pemberkatan seperti dirimu. Tapi, karena kau tadi belum mati—itu karena lautan tidak membiarkanmu mati—kedua kakimu masih utuh. Paham?”
Clementine menggeleng dan pria di depannya meninju air di sisi kiri. “Bagian mananya?” Ia bertanya frustrasi.
“Kenapa lautan membiarkanku hidup?” Sungguh, itu bagian yang sama sekali tidak ia pahami.
“Oh, itu.” pria duyung itu menjentikkan jarinya dan menggaruk alis kanannya yang tebal, “kau memang belum mati, secara harfiah. Nyawamu masih ada, namun ketika jiwamu benar-benar nyaris pergi dari dalam tubuh, lautan membungkusnya dan mengembalikannya ke raga. Laut mencintaimu, karena katanya kau senang melukiskan mereka, ya? Hasilnya indah. Dan, mereka menitipkan salam kalau kau sudah sadar, aku hampir lupa.”
Pria itu menambahkan, “Aku juga dipanggil oleh lautan dan diminta menolongmu. Mereka berisik dan cerewet, jadi aku tidak bisa menolak.”
”Be-begitu, ya.” Clementine berucap pelan dan tersenyum kecil. Ia memang gemar melukis sedari belia, tinggal di pulau taklukan Trisanda juga menjadi keuntungan sendiri baginya. Objek melukisnya selama sembilan belas tahun adalah pantai yang mengelilingi pulau, ia sudah berpergian ke bermacam-macam tempat di Trisanda untuk melukis lautan dari berbagai sudut pandang.
“Terima kasih.” Clementine tidak tahu harus melihat ke arah mana saat mengucapkan rasa syukurnya tersebut, ia bisa merasakan kehangatan dan kegembiraan di dalam dirinya. Seolah-olah lautan yang berada di sekelilingnya saat ini sedang membalas perkataannya.
“Kau kelihatan gembira.” Pria di depan Clementine berkecak pinggang, ekornya bergerak maju mundur menciptakan gelembung-gelembung kecil.
“Namaku Clementine Marlowe. Panggil saja Clementine.”
“Ck, itu terlalu panjang. Aku akan memanggilmu Clemnt. Perkenalkan, Clemnt. Namaku, Fee. Ya, Fee hanya itu. Jangan protes. Aku tidak punya nama belakangan seperti orang-orang udara.”
“Baiklah. Senang bertemu denganmu, Fee.”
“Tentu saja kau harus senang. Aku makhluk ciptaan Tuhan yang paling indah.” Fee menyisir rambutnya ke arah belakang dengan jemari. Rambutnya yang lurus mengembang di dalam air.
Clementine tertawa kecil sedari menggeleng melihat sifat narsis Fee. Tawanya berhenti ketika ia melihat dari kejauhan, bayangan yang sangat dihapalnya walau baru kali ini Clementine melihatnya.
“Hi … hiu …,” bisiknya sambil menutup mulut dan menunjuk ke balik tubuh Fee.
[××]
“Perkenalkan, Clemnt. Ini peliharaanku, namanya X. Ya, hanya itu. Kami tidak menamai peliharaan seperti orang-orang udara.”
Fee memperkenalkan dirinya dengan seekor ikan hiu putih yang katanya adalah hewan peliharaannya? Gadis itu bergerak mendekat dengan cara aneh—khas orang yang tidak bisa berenang—yang membuat Fee menahan tawa. Mengabaikannya, gadis itu memilih untuk menyentuh moncong milik X.
Hiu putih itu tidak kelihatan buas seperti yang ia bayangkan dan justru balas menggerakan moncongnya seperti seekor kucing.
“Hai, kau ramah.” Clementine menaikkan tangannya yang lain untuk menyentuh wajah X.
“X bilang kau boleh berpegangan pada siripnya. Ia akan mengantarmu ke Asnington sebelum fajar.” Fee tiba-tiba berbicara.
“Bagai—”
“X melihat para siren menenggelamkan kapal yang kau tumpangi tadi. Mereka selalu seperti itu, dan sebaiknya kita cepat sebelum sekelompok siren menyadari keberadaanmu.” Wajah Fee nampak serius ketika ia mengatakannya.
X berenang rendah, kali ini tingginya sejajar dengan Clementine. Seolah-olah membiarkan gadis itu untuk berpegang padanya.
“Kenapa? Apa itu berbahaya?”
Dengan hati-hati Clementine meletakkan tangannya pada sirip X. Ia takut menyakiti binatang laut tersebut.
“Para Siren adalah para perempuan. Kau tahu kenapa? Mereka adalah wanita-wanita yang menjadi korban sepertimu. Dilemparkan ke laut karena dianggap kesialan, kematian mereka tak tenang. Lautan mengubah mereka menjadi sosok yang gemar membalas dendam dengan suara nyanyian mereka yang menghipnotis para pelaut.”
Clementine berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Fee. Jadi dia seharusnya berubah menjadi Siren?
X membawa tubuhnya membelah lautan, di sisi kanan ada Fee yang dengan mudah menyamai kecepatan mereka.
Gadis itu memperhatikan Fee dan ia menoleh.
Fee menjawab keraguan dalam benak Clementine tanpa perlu ia ungkapkan, “Para Siren memiliki semacam … ikatan satu sama lain. Karena itulah, ia bisa mengetahui kehadiran sosok yang seharusnya menjadi bagian dari mereka.” tatapan Fee yang semula lurus kali ini terfokus pada Clementine.
“Lautan mencintaimu, Clemnt. Mereka tidak mau kau terlahir dari pemberkatan bersama para Siren karena itulah ia membawaku padamu, dan memintaku untuk merestui kekuatan mereka sebagai perwakilan dari kaum Mer.”
Clementine tidak tahu harus berekasi seperti apa. Hening merambat di antara keduanya. Dalam diam ia mendengar bisikan dari air yang bergerak cepat di kanan dan kirinya.
Kau akan baik-baik saja bersama kami, Fee akan menjagamu.
X melambatkan gerakannya, sampai kemudian berhenti.
“Dia tidak bisa menepi lebih dekat lagi, Clemnt. Sudah hampir fajar, orang-orang udara bisa menyadari keberadaannya dan menangkapnya.” Fee mengelus moncong X dan hiu putih itu bergerak menjauh.
“Aku akan menngantarmu.” Fee meraih tangan Clementine dan berenang lebih dekat, mendekati dermaga terbesar di kerajaan Asnington.
Kaum Mer itu berhenti berenang, mendongak dan kemudian menarik Clementine ke permukaan. Keduanya memunculkan kepala di permukaan dan gadis yang diberkati lautan tersebut menghirup oksigen banyak-banyak, seolah ia baru saja menahan napas sepanjang malam.
Sementara itu Fee hanya menunjukkan separuh kepalanya saat Clementine menoleh.
“Apa? Aku tidak suka udara,” gerutuannya menimbulkan gelembung-gelembung udara.
Tak jauh dari mereka ada pantai, belum ada kapal yang bersandar di sana. Mentari baru memunculkan wujudnya di garis cakrawala. Kabut juga masih melingkupi pesisirnya.
“Ke sana.” Fee menunjuk separuh jembatan yang menjorok ke lautan. Biasa digunakan para pelaut untuk menaikkan wisatawan kerajaan Asnington ini.
Keduanya berenang ke sana. Fee membantu Clementine menaiki jembatan itu dengan membiarkan sang gadis menjadikan bahunya pijakan.
“Kau berat,” protes Fee saat Clementine sudah berada di ujung jembatan.
Gadis itu tidak merasa tersinggung. Ia memeras ujung baju terusan dan rambut hitamnya. Sayang sekali topi bundarnya sudah tidak ada.
“Apa rencanamu sekarang?” tanya Fee, pria tampan itu masih menyembunyikan bawah hidungnya di dalam air.
“Aku tidak dengar.”
Fee menggeleng. Mau tidak mau ia memunculkan seluruh kepalanya di permukaan. “Rencanamu. Apa?”
“Aku akan menemui saudaraku yang tinggal di sini. Membeli beberapa pakaian dan alat-alat lukisku.” Clementine menghela napas dan mengembuskannya panjang. “Syukurlah aku masih hidup. Aku ada undangan dari keluarga kerajaan, kau tahu. Itu penting.”
Fee menggedikkan bahu. “Aku tidak tahu dan tidak peduli,” katanya.
Clementine menarik sudut bibirnya. “Yah, kau tahu. Aku bersyukur kau menolongku. Terima kasih banyak.”
“Sama-sama, dan kau dapat salam dari X. Katanya jangan lupa untuk melukisnya.”
Clementine tergelak. “Tentu saja. Itu mudah.”
Fee tersenyum, dan Clementine terpesona.
“Jangan tatap aku seolah kau mau memakanku.”
“Ap … itu tidak benar.”
Hening.
Fee berdeham. “Kalau begitu, aku akan pergi.”
“Apa kita akan bertemu lagi?”
Clementine tidak tahu kenapa ia berkata demikian. Mulutnya bekerja lebih cepat dari pada otak.
“Tentu. Kau tahu caranya.”
“Tenggelam?”
“Tadi itu kiasan, Nona.” Fee memijat keningnya. “Kau tahu, aku tidak bisa menjelaskannya. Intinya, kalau kau mau memanggilku, kau akan tahu bagaimana caranya.”
Clementine tidak mengerti, tetapi ia tidak memprotes. “Kau akan ke mana?”
“Pulang. Ke kedalaman lautan Lemuri. Palung lautan terbesar di dunia ini.” Fee tersenyum bangga.
“Begitu, ya ….” Clementine terdengar ragu, ”ada apa di sana?”
Fee terdiam sebentar. “Ada … istana?” jawabnya kedengaran ragu.
“Tunggu … jadi kau—”
“Aku memang bukan putri, tapi aku tidak pernah bilang aku bukan pangeran, kan? Sampai nanti, Clementine.” Fee melambaikan tangan dan menyelam, ekornya menyembul di udara selama beberapa detik sebelum benar-benar menghilang.
Clementine tidak sempat merespon, ia hanya tersenyum kecil.
“Sampai nanti, Fee.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top