KO-ee NO YO-kan' (4)
Kehadiran Jane membawa suasana baru di antara kami. Dia punya energi menyenangkan yang membuat anak-anak di sini merasa nyaman dan senang. Awalnya kukira akan sulit menghubungkan mereka dengan anak-anak, tetapi semuanya berjalan terlalu alami sampai-sampai aku tidak percaya.
Selain itu, dia luar biasa cantik.
Cara berbicara dan bertingkah laku, sangat elegan. Benar-benar khas seorang keluarga kerajaan. Gerakan ujung jarinya penuh kehati-hatian, tatapannya lembut, tetapi tegas dan kuat. Lalu, cara dia tersenyum ....
Astaga.
Ada berapa banyak laki-laki yang patah hati setelah dibuat jatuh karena senyuman itu.
Tulang selangka dan tulang pipinya menonjol di balik kulit berwarna cokelat muda. Rambut pirangnya sedikit berantakan, jatuh tergerai menutupi punggung. Jane bertubuh pendek, tidak seperti wanita-wanita bangsawan lain yang bertubuh tinggi-tinggi dan berbadan langsing. Jane mungil dan tidak terlalu kurus. Lengannya kecil, tetapi kakinya sedikit berisi.
Aku memejamkan mata, merasa tidak enak sudah memperhatikan orang selama itu diam-diam. Kulempar sepotong arang ke dalam api unggun. Malam ini sama seperti sebelum-sebelumnya, kami semua menyalakan api unggun selesai santap malam dan pergi tidur ketika apinya padam. Hanya saja, malam ini aku tidak merasa ingin tidur. Jadi kulemparkan saja potongan-potongan arang ke dalam api. Membiarkan nyalanya semakin terang, diiringi kepulan asap gelap yang membumbung tinggi.
Pantulan cahaya pucat bulan purnama meninggalkan kesan kelam di tempat persembunyian kami ini. Angin dingin berembus, menggoyangkan dedaunan dan menimbulkan bunyi berkersik.
Aku sedang melempar arang terakhir ketika Jane berjalan mendekat lalu duduk di sebelahku. "Ada apa?" kutepuk tangan untuk mengenyahkan debu.
Jane menggeleng. "Tidak."
Aku mengernyit, berusaha memahami makna di balik senyum tipis wajahnya. "Kenapa?"
Ia tertawa kecil, tidak berkelit lagi. "Kau dari Haspen?"
Sudah kuduga dia akan bertanya. Selama ini asal-usul para bandit memang tidak jelas, bisa dari Haspen ataupun pemberontak dari Asnington sendiri. Namun, belakangan semakin jelas bahwa orang-orangku-anak-anak ini-dan tentu saja aku sendiri, berasal dari kerajaan yang sudah runtuh tersebut. Haspen.
Tanpa mencoba untuk berbohong, aku mengangguk mantap. Aku yakin dia juga sudah tahu, hanya berbasa-basi untuk memulai pembicaraan.
"Kami semua berasal dari Haspen," kataku sambil menunjuk anak-anak yang sedang tertawa-tawa depan tendanya masing-masing.
Menyebut nama Haspen, membuka luka lama yang harusnya tidak lagi terasa sakit. Ketika membangun tabir untuk melindungi tempat ini, aku berusaha keras agar anak-anak yang ada di dalam, tidak perlu lagi merasakan perasaan ketika kami masih tinggal di Haspen. Hanya untuk mereka, tabir pelindung yang menunjukkan ketakutan terbesar tidak tampak. Karena aku tidak mau ketika mereka berusaha masuk, bayang-bayang kehancuran Haspen menghampiri seperti mimpi buruk. Bagaimana api yang seolah-olah bisa menyentuh bintang melahap rumah-rumah mereka, dan tubuh-tubuh ada di mana-mana. Hanya ada teriakan, permohonan ampun, desing pedang dan isak tangis. Beruntungnya, aku datang tepat waktu sebelum panti asuhan mereka rata dengan tanah.
Kusembunyikan mereka di bungkerkeluarga kami-tempat menyimpan anggur dan minuman --keras--selama hampir satu bulan . Sebelum kubawa mereka kemari.
"Dieter," panggilan Keira menyadarkanku. Dengan senyum kecut kutatap wajahnya yang khawatir.
"Maaf,."
Wajahku mengernyit. "Untuk apa?"
"Untuk perang itu dan semuanya. Asnington benar-benar brutal karena sudah meluluhlantakkan Haspen dan menjadikannya abu." Jane membuang napas dengan mata terpejam.
Ini bukan salahnya, bukan salah Yang Mulia Kaisar, ataupun Asnington. Kalau ditelaah secara mendalam. Haspen-lah yang lebih dulu mengibarkan bendera perang ke hadapan Kaisar pada saat itu. Seharusnya mereka sadar bahwa kekuasaan bukanlah jaminan kehormatan, dan kini mereka sudah kehilangan segalanya karena ketamakan itu sendiri.
"Kalau saja peraturan itu tidak ada ... kamu tidak perlu mencuri untuk makan." Jane berucap sambil menatap kaki langit. Aku tertawa masam mendengarnya. Putri ini pengertian sekali.
"Iya, ya. Harusnya Anda mengatakan kepada Kaisar untuk tidak mengesahkan peraturan itu," timpalku di sela-sela tawa hambar. Peraturan yang dimaksud adalah larangan untuk menyembunyikan orang-orang Haspen-itu pun jika memang masih ada yang tersisa selain aku dan anak-anak-apabila ketahuan, hukuman berat menjadi budak sudah menanti.
Semenjak perang tersebut, Asnington dan kerajaan-kerajaan lain di Ospana-atas perintah Kaisar-menyatakan bahwa Haspen sudah tiada. Kerajaan maupun penduduknya. Bahkan wilayahnya sudah resmi menjadi milik Asnington.
Jane mendesah kecewa, keningnya berkerut-kerut. Kentara sekali raut wajahnya kusut bukan main, ia menjelaskan bahwa keberadaan kami secara ilegal di tanah Asnington dan masalah yang sudah kami perbuat di kota Antalusia tidak bisa disembunyikan lebih lama lagi. Iggvol, si kepala abu-abu yang memimpin Khaddey dan Thierus, Jenderal kerajaan sudah berunding pada Kaisar untuk mengatasi masalah ini. Kurasa sebaiknya kami pergi dari sini. Jane memberitahu mengenai rute untuk kabur ke kerajaan lain, setelah itu kami bisa mencari cara untuk menaiki kapal dagang tujuan benua lain. Jauh dari wilayah kekuasaan sang Kaisar.
Setelah membicarakan rute pelarian tersebut, aku mengalihkan topik pembicaraan ke arah alasan mengapa sang putri ingin diculik. Jane kemudian bercerita lagi soal perjodohannya dan saat kutawari maukah dia ikut kabut bersama kami, aku malah dipukul.
Malam yang menyenangkan ini terasa singkat. Obrolan kami mengalir dengan baik. Pembicaraan terus bergeser dari satu topik ke topik lainnya secara alami. Seolah kami bisa menyesuaikan ritme obrolan masing-masing dan sesekali tertawa dalam satu frekuensi.
"Putri, apa Anda pernah mengunjungi Haspen sebelumnya?" tanyaku mengganti topik lagi.
Ia tampak berpikir sejenak. "Rasanya pernah. Sewaktu masih belia," jawabnya dengan senyum. "Waktu itu aku meminta seekor naga sebagai peliharaan." Perkataan lugunya sukses membuatku terbahak-bahak.
"Anda tahu bahwa Anda tidak bisa memeliharanya, bukan?"
Jane mengangguk pelan sambil meringis. "Tentu. Karena itu naga, kan? James yang memberitahukannya."
Tawaku berhenti dan dengan nada serius kuceritakan alasan sebenarnya, "Hanya orang-orang Haspen yang bisa mengendalikan naga, Putri. Selain kepada kami, naga tidak akan mau tunduk." Senyum bangga tidak bisa dipaksa sembunyi saat aku menjelaskan hal tersebut kepada sosok putri kerajaan besar di depanku. "Karena kami adalah penguasa langit. Para Penunggang Naga, begitulah orang-orang menjuluki penghuni kerajaan kami." Aku tertawa dengan nada mengenang. Tentu saja. Jika bukan karena naga-naga itu, para petinggi Haspen tidak akan memiliki keberanian untuk melawan Asnington dengan niat menggulingkan tahta kekaisaran.
Lagi-lagi Jane menampilkan raut muka sendu. Rasanya Putri ini jadi sensitif sekali jika sudah mulai mengenang tanah tempatku lahir. Melihat wajah sedihnya membuatku resah sendiri. Jadi aku cepat-cepat menghiburnya. "Tidak apa-apa. Itu semua hanyalah masa lalu," kataku sambil menatap anak-anak yang mulai kelelahan. Mungkin tak lama lagi satu per satu dari mereka akan berjalan masuk ke dalam tenda dan tertidur.
Pikiranku selama lima tahun belakangan selalu dipenuhi dengan mereka. Memikirkan kapan kami semua bisa tidur dengan nyenyak di tempat yang lebih layak, tanpa perlu mengkhawatirkan apakah kami akan dipenjara, besok? Kan tidak mungkin aku membesarkan anak-anak di bawah umur ini sebagai pencopet dan pencuri ulung dengan keahlian kabur dari kejaran Khaddey terus-menerus. Masing-masing mereka mungkin belum menunjukkannya, tetapi kuyakin ada bakat terpendam.
"Aku," Jane kembali bersuara. Membuatku kembali fokus padanya. Ia menatapku lurus-lurus dengan bola yang memancarkan tekad dan kekuatan, "akan berbicara pada Ja-Maksudku, pada Kaisar. Kalian juga berhak mendapatkan kebahagian dan kedamaian setelah semua yang terjadi. Aku akan menceritakannya secara perlahan-lahan. Tanpa membocorkan rahasia tempat ini."
"Apa dia akan mendengarkanmu?" Bayangan kalau sang putri akan mendapat hukuman berat karena membela gembel Haspen seperti kami membuatku jeri. Setidaknya, kami tidak ingin orang pertama yang berpihak pada kami berakhir mengenaskan. "Apakah kau akan baik-baik saja."
Jane mengangguk mantap. "Tenang saja. Aku mungkin takut padanya. Tapi, aku tidak akan mati di tangannya atau di tangan siapa pun." Ia kendengaran serius. Setelah dipikir-pikir, apa sang putri memiliki kekuatan seperti Kakaknya, ya?
"Terima kasih banyak, Putri."
"Serahkan padaku!" Ia berucap dengan lagak sombong dan nada yang sedikit membusung. "Karena itulah, kamu harus bersedia menampungku di sini selama beberapa hari," lanjutnya. Raut bangganya berubah menjadi sebal secara signifikan. Ia benar-benar tidak ingin dijodohkan dengan penerus kerajaan Lemurian berikutnya.
Aku tertawa. "Tentu. Tentu saja."
"Oh, omong-omong." Keira tampak seperti mengingat sesuatu, "Konsumsi yang kalian ambil dari keretaku tadi siang. Mau diapakan?"
Aku bergumam sejenak. "Pastinya kami makan. Beberapa juga akan kujual ke desa-desa atau kota sekitaran Antalusia."
"Jangan menjualnya di desa. Bahan-bahan makanan itu kan berasal dari sana, kalau kau jual ke Desa tidak akan laku banyak. Jual saja di kota. Restoran, kafe, atau kedai-kedai. Masakan jadi dari koki bisa kalian makan, tapi bahan-bahannya juga kembali. Kalau kau menjualnya lebih cepat dari pemasok, para pemilik restoran akan membayar mahal juga. Apalagi gula sedang mahal-mahalnya karena ada monopoli dagang oleh beberapa keluarga bangsawan." Jane berdecak sambil memijat pelipisnya. "Aku juga tidak yakin ada gula yang dibawa dari istana. Tapi, kami punya madu. Kau bisa bujuk pemilik restoran untuk membayar madu sebagai pengganti gula. Kalau kau menjual antingku, jangan jual ke pusat lelang karena bisa dilacak. Jual saja ke toko berlian atau mutiara. Kau mungkin tidak perlu mencuri selama berbulan-bulan. Uang hasil menjual madu dan anting itu, coba kau gunakan untuk membeli ...."
Kami banyak membicarakan soal bahan makanan dan hitung-hitungan ekonomi. Otakku sempat melambat untuk menyamai pembicaraannya. Untunglah, Jane menyadari kondisi itu lalu menjelaskan dengan beberapa analogi sederhana. Ah, sudah lama sekali sejak kali terakhir aku belajar soal perhitungan bisnis begini. Rasanya aneh sekaligus penuh nostalgia.
Kalau prediksi Jane benar, maka aku tidak perlu menjadi bandit. Mungkin lama-kelamaan label buronanku akan ditarik oleh kerajaan. Jika uangku cukup, kami semua bisa pergi dari Asnington menggunakan kapal seperti rencana pelarian-meninggalkan Ospana dan menjalani hidup baru di negeri yang berbeda. Anak-anak mungkin bisa aku sekolahkan atau masuk ke panti asuhan yang bisa merawat mereka lebih baik dariku. Mungkin, mereka akan mendapatkan keluarga angkat.
"Jangan khawatir, aku akan berusaha memberimu dukungan secara diam-diam. Untuk saat ini, cukup lakukan seperti yang kukatakan. Aku akan berusaha membujuk Kaisar mengenai peraturan tersebut. Jika tidak berhasil, kau sudah tahu apa yang harus dilakukan."
Aku tersenyum senang seraya menggosok tanganku semangat. Rasanya ada bara semangat yang terpercik di kedua tangan dan juga dalam dadaku saat membayangkan wajah-wajah bahagia kami di masa depan. Walau masih berupa khayalan, dan masih ada bebatuan terjal bahkan jurang yang lebar utuk mencapainya.
Aku tidak akan menyerah.
Ini adalah takdir. Pertemuan dengannya, Jane Asnington.
"Terima kasih, Putri. Terima kasih."
℘ɧąŋɬąʂıą
"Perasaanku saja atau udaranya memang jadi sedikit hangat." Jane berucap sambil menggosok kulit lengannya. Ia menatap awas ke seluruh penjuru lahan ini.
Aku ikut mengedarkan pandangan. Jane benar, suhu malam ini berubah. Kami di tengah hutan, harusnya suasana tidak perlu sepanas ini. Apalagi Asnington sedang dalam masa cuaca berangin, jadi aneh sekali. Panas ini terasa ganjil.
Gemerisik dedaunan dan ranting membuatku semakin waspada. Aku berdiri bersamaan dengan Jane. Kami saling bertatapan, sepertinya kami memikirkan hal yang sama. Ada bahaya. Bisa kurasakan ada gelenyar aneh yang menyerang punggung sampai tengkuk. Jane juga merinding.
Wanita itu menatapku khawatir. Menyadari bahwa wajahku memucat. Sebagai seorang yang membangun tabir untuk melindungi tempat ini, aku jadi yang paling peka tentang apa yang sedang terjadi sekarang.
"Putri," desisku sambil menggigit bibir bawah. Firasatku benar dan itu membuatku sedikit takut. "Tabirnya rusak-"
Tepat setelah kukatakan, bunyi seperti sesuatu yang jatuh terdengar di udara. Seperti kain yang dirobek menggunakan pedang, tabir tak kasat mata- yang kubuat untuk melindungi orang-orang Haspen yang tersisa, rusak. Terbelah menjadi dua. Hawa dingin sekaligus panas dari dunia-di-balik-tabir menyeruak masuk, memadamkan api unggun di depan kami.
Cahaya bulan dan nyala api terang-benderang membakar tabir tersebut dari atas ke bawah.
Anak-anak yang sudah terlelap di dalam tenda mereka berlari menghampiri kami. Ceri dan Ryo sudah memangis. Nick dan Lue dengan tegar berdiri di sampingku, sementara Zowi dan Von berusaha menenangkan kedua kawannya yang menangis.
"A-apa yang terjadi?" tanya Nick. Tidak pernah kulihat remaja tanggung berambut hijau brokoli itu bergetar seperti sekarang.
Aku tidak menjawab, hanya menyipitkan pandangan untuk melihat ke balik kepulan asap yang mulai membumbung. Aura mengerikan dan tajam ini, cuma satu orang yang kutahu bisa menimbulkan perasaan mencekam begini hanya dengan kehadirannya. Hanya satu orang. Tubuhku bergidik.
"Nick! Lue! Bawa saudara-saudara kalian pergi dari sini!" Perintahku sedikit berteriak, membuat kedua anak tertua itu sedikit terkejut. Tanpa berlama-lama, mereka langsung menggedong Ceri dan Ryo. Sementara, Zowi dan Von membawa beberapa tas. Keenam anak itu langsung berlari ke arah belakang. Rute yang sudah lama kusiapkan jika hal-hal tidak terduga seperti sekarang terjadi.
"A-ada apa? Apa yang kau lihat?" tanya Jane. Aku yakin dia tahu siapa itu, tetapi ingin memastikannya. Wajahnya semakin kalut saat melihat api yang berkobar-kobar perlahan merayap mendekati tempat kami.
"Kakakmu. James Asnington itu ... dia datang."
Dari kejauhan bisa kulihat sang Kaisar, berambut merah dengan bola mata dwiwarna yang menyala-nyala, tangan kanannya menyeret sebilah pedang panjang yang memantulkan cahaya api. Api emosi dalam dirinya. Raut wajahnya tenang tanpa ekspresi, namun sesuatu yang sangat berbahaya dalam tubuhnya menggedor-gedor minta dikeluarkan. Emosi yang dipancarkan melalui ketenangan langkahnya yang semakin dekat benar-benar menyeramkan.
Ia seorang diri. Kemungkinan besar pasukan yang dibawanya tidak bisa menembus tabir ini. Tapi, sampai kapan? Pelindung itu sudah dibakarnya sekarang.
Jane tercekat, napasnya tersenggal-senggal melihat keberadaan sang Kaisar di sana. Sorot mata yang sejak tadi memancarkan kekuatan, kini tampak goyah seiring tubuh yang mulai limbung ke belakang. Kedua matanya menatap ngeri ke arah datangnya James. Ada jejak bersalah di matanya, ia mungkin tidak menyangka akan ditemukan secepat ini. Juga tempat yang bisa melindungi kami selama dua tahun lamanya langsung terbongkar hanya karena keberadaannya. Itulah yang kulihat di mata biru Jane yang berkaca-kaca.
Langkah-langkah Seijuuro yang meninggalkan jejak api di tanah semakin dekat. Mustahil melawannya, bukan? Itu sama saja dengan berusaha mengalahkan keempat kerajaan sekaligus.
"Put-"
"Mundur, Dieter! Kau bawa anak-anak itu pergi dari sini. Bagaimana pun caranya, jangan sampai James tahu." Itu kali pertama kudengar Jane seyakin itu. Ketakutan tadi lenyap dari wajahnya. Ia mengulurkan tangan kanan, mencegahku maju.
Tidak sulit. Membawa lari anak-anak itu sangat mudah. Ada portal yang bisa menyedot kami semua dari sini dalam hitungan detik di salah satu pohon tempat, yang kuyakini, tempat anak-anak berada sekarang. Membawa kami ke rongsokan Haspen-tempat kami dilahiran yang sudah rata dengan tanah.
"Bagaimana dengan Anda?" tanyaku tak kalah keras dari ucapannya barusan. Meninggalkannya di sini dengan seorang penguasa yang sudah hampir mengamuk adalah ide yang buruk sekali.
Keira menatapku jengkel. "Pergi! Sudah kubilang James tidak akan bisa melukaiku."
Perkataan itu sama sekali tidak cocok diucapkan sekarang. "Tidak," bantahku tegas.
Wajah Jane kelihatan murka. "Pergi! Kaburlah! Bukankah itu yang selalu kau lakukan? Kabur. Melarikan diri adalah satu-satunya cara yang membuatmu tetap hidup sampai sekarang. Karena itulah pergi saja!" Jane menggigit bibir bawahnya. Ia mencengkeram kerah baju dan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi. "Tidak sepertimu! Aku bisa menahan James dengan tangan kosong. Jadi tidak perlu merasa kasihan dengan meninggalkanku di sini. Bukankah karena aku tempat kalian jadi begini?"
"Anda bukan saudaranya, kan? Pergilah bersama kami, Putri." Kutatap dia yang seperti makhluk buas dengan sorot mata teduh. "Tidak ada yang akan Anda dapatkan jika Kaisar turun takhta. Gelarnya akan diperuntukkan bagi anaknya, bukan dirimu ataupun keturunanmu. Jadi mengapa masih berada di sini, di sisinya?" Jane menurunkanku. Tatapannya bengis seperti hewan buas, tetapi ia menunggu sampai ucapanku selesai.
"Jadi, pergilah bersama-"
Jane menamparku.
"Bodoh! Idiot! Bagaimana bisa pikiranmu begitu pendek? Bagaimana caramu bertahan hidup dengan otak sedangkal itu?" Ia mengerang frustasi. "Jadi kamu pikir alasanku bertahan adalah karena gelar dan takhta, begitu? Bodoh sekali! Apakah orang-orang Haspen sama sepertimu? Pantas saja kerajaan kalian hancur karena tidak berpikir dua kali untuk melawan kami," ucapnya marah dan berapi-api. Sepertinya kalimatku barusan benar-benar sudah menyinggung perasaannya.
"Bukan gelar atau takhta, lantas apa yang membuat Anda bertahan?" tanyaku pelan sambil menyentuh pipi kiri bekas tamparannya yang menghangat. Sesaat kukira kepalaku akan putus akibat tamparan itu.
Keira menggenggam bahu kiriku. "Rakyat Asnington adalah tanggung jawabku juga! Kau yang berada di tanah ini, juga telah menjadi tanggung jawabku." Jane mencengkram bahuku kuat-kuat hingga terdengar bunyi tulang patah.
Aku berteriak keras. Jane menghancurkan bahuku seperti mematahkan ranting.
Jane melepaskan cengkramannya dan tubuhku jatuh bertumpu dengan lutut sebelum akhirnya berbaring di atas tanah. Aku meringkuk, napasku tersengal-sengal sambil berusaha meraih bahuku dengan tangan kanan.
"Sudah kuperintahkan padamu-" Suara Jane bergetar. Aku berusaha melihat wajahnya walaupun mataku perih dan luka di bahu tadi sama sekali tidak membantu. Wajahnya terluka, sangat terluka. Seperti orang yang kehabisan akal. "Sudah kuperintahkan padamu untuk pergi!"
"Jane AWAS!" Mataku melebar dan teriakan itu keluar dengan sangat cepat saat kulihat sebilah pedang nyaris memenggal kepala Keira.
Wanita itu tersentak kaget, ia berbalik dan menahan pedang Seijuuro dengan ....
Lengannya.
Aku bersumpah, bukan darah atau potongan tangan yang kulihat. Melainkan percikan seperti ketika pandai besi memukulkan palu di atas logam panas saat membuat pedang.
"Berlutut, Jane. Dan akan kumaafkan dirimu." James berucap dingin sambil terus menekan pedang, menatap adik angkatnya itu dengan hawa membunuh yang kentara.
Jane mendecih. "Tidak. Aku hanya berlutut kepada Ayah," balasnya keras kepala.
Tidak ada perubahan signifikan dari raut wajah James, ia hanya bergumam panjang seperti permaklumam dan menarik pedangnya. "Harusnya kamu tahu. Bahwa api dapat melelehkan logam, Keira," ujarnya seraya mengambil langkah mundur sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
"Kau memang kuat." Aku mengalihkan pandangan dari Jane menjadi James, menatapnya dalam-dalam dengan seringai di wajah. Sang Kaisar menahan pedangnya di udara.
"Aura yang kamu punya mengerikan, tapi aku tidak takut denganmu."
Kulihat Jane mengumpatiku tanpa suara.
℘ɧąŋɬąʂıą
02/08/2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top