Ko-ee No Yo-kan (3)
Wajahnya terkejut bukan main, dia kembali terpingkal-pingkal seolah apa yang baru saja kukatakan hanyalah kelakar. Namun, tanpa adanya perubahan raut wajah berarti membuatnya berusaha menghentikan tawa. Gelaknya sepenuhnya terhenti setelah satu kali deham.
"Anda menyerahkan diri kepada seorang bandit, Putri." ucapannya serius. Sambil menatapku dengan tatapan, apakah-Anda-sehat-Putri?
Aku mendengkus. Kalau bukan karena James dengan segala sifat absolutannya itu, aku tidak akan pernah mengejar-ngejar seorang bandit nomor satu Asnington hingga rela melintasi hutan untuk sebuah permintaan konyol.
"Aku tidak bi-"
"Akan kubayar," pungkasku dan dia menyeringai.
Ia tersenyum angkuh sambil menunjukku dengan dagu. "Pakai apa?"
Tanganku meraih perhiasan yang menggantung di telinga. Meletakkan kedua benda mungil itu di telapak tangan. "Akan kubayar dengan ini."
Sinar matahari memantulkan cahayanya saat mengenai berlian yang menghiasi sepasang anting-anting tersebut.
"Bagus." Tanpa banyak bicara dia langsung meraihnya, berbalik, sambil mengarahkan benda tersebut ke matahari selama beberapa menit.
Dia pikir aku akan pakai barang palsu, begitu?
Ia mengangguk setuju dan berbalik dengan tangan terulur. "Baiklah."
Kutatap telapak tangannya yang dibungkus sarung tangan hitam yang tidak menutupi keseluruhan jemari. Memperlihatkan ujung-ujung kuku yang agak menghitam.
Aku meraih tangannya dan kami bersalaman selama beberapa detik. "Sepakat. Dengan ini, Anda resmi diculik," ujarnya konyol. "Namaku Dieter." Ia melonggarkan jabat tangan kami dan kembali mengecup punggung tanganku.
"Aku-"
"Jane, kan? Jane Asnington." Dieter menyela sambil melepas tanganku. Aku mengangguk, seluruh keturunan kerajaan diberi nama belakang mengikuti tanah tempatnya dilahirkan untuk menunjukkan identitas kerajaannya.
Dieter tersenyum lebar. "Saya pernah melihat Anda di kota," akunya. "Pada hari keenam musim panen. Anda datang ke daerah persawahan Antalusia dengan kereta biasa dan pakaian sederhana."
Aku sedikit terlonjak. "Bagaimana kau bisa tahu?"
Ini mengejutkan. Aku menghabiskan waktuku lebih banyak di area istana, daripada di luar gerbang. Mengurusi pekerjaanku sebagai akuntan dan membantu James. Jarang sekali menghadiri acara ataupun pesta-pesta sosial kalangan atas, jadi tidak banyak yang menyadari rupaku. Kedatangan mengunjungi kota bahkan bisa dihitung menggunakan jari.
Berbeda dengan kaisar, kunjungan rutin yang kulakukan tidak punya jadwal tetap. Termasuk hari itu, kunjunganku untuk melakukan inspeksi sekaligus menangani masalah irigasi, menggantikan James yang sedang mengurusi bisnis di Bestilia. Namun, aku ingat sekali. Pada hari itu, tidak disebutkan bahwa kedatangan pengganti Kaisar adalah sang putri. Hanya disebut sebagai utusan istana.
Ia menyengir, "Saya petani yang Anda wawancarai," katanya bernada jahil sambil berusaha menahan tawa.
"Sudah kuduga, jawabanmu memang tidak seperti seorang petani sungguhan." Aku bersedekap. Dugaan bahwa ia berbaur dengan mudah di tengah-tengah masyarakat kota terbukti benar.
Dieter masih tertawa, entah apa yang ditertawainya. "Anda tidak mengingat wajahku, ya?"
Aku mengangguk.
"Putri Asnington sangat jarang dipublikasikan, kudengar dia sibuk sekali dan karena statusnya sebagai putri angkat. Aku sedikit terkejut saat melihat yang datang ternyata Anda dan bukanlah Kaisar." Dieter bercerita lepas. "Sebenarnya itu melegakan, hehe. Syukurlah yang datang waktu itu adalah dirimu." Dia terkikik.
Mungkin kalau James yang datang hari itu, penyamarannya sebagai petani akan langsung terbongkar.
Dieter mendongak, menatap teriknya matahari dengan sebelah tangan di atas alis. Ia kembali menatapku. "Nah, ayo ikut denganku tawanan." Ia memimpin jalan.
"Kita akan kemana?" Kuikuti langkah-langkah pendeknya. Dieter berhenti tiba-tiba, membuatku menubruk punggungnya.
Aku mengusap hidung. "Apa? Kenapa berhenti?"
"Kita sudah sampai." Dieter menatapku melalui bahu kanannya.
Mungkin karena pengaruh cuaca panas. Emosiku memuncak dengan cepat. "Kau bercanda?" Kuambil satu langkah mundur, menatap wajahnya yang menyebalkan sekali. Sejak tadi dia tertawa-tawa, mengakui ini-itu, tertawa-tawa, menggoda, tertawa-tawa, dan sekarang bercanda.
"Kita baru berjalan tiga langkah dan kau bilang sudah sampai?" Kurapatkan bibir dan gigi setelah mengucapkannya. Berusaha tidak mengumpat.
Dieter tertawa lagi, dan itu benar-benar membuatku merasa ingin menampar wajah seseorang.
"Saya memang suka tertawa, Putri," ujarnya memberikan penjelasan dengan senyum menawan. Berdosa sekali. Karena amarahku perlahan meluap melihat kurva indah tersebut.
"Tapi, kali ini benar-benar serius. Anda bahkan melewati batasnya." Dieter menunjuk tanah tempatku berpijak.
Aku membuang napas, berusaha keras tetap menjaga kewarasan dan tidak menyesali keputusan ini. Kutatap Dieter dalam-dalam, menunggu apa yang hendak ia lakukan.
Dieter menyeringai, menarik sarung tangannya hingga lepas. Memperlihatkan sebuah simbol hitam pada punggung tangan, berbentuk lingkaran dengan bintang di dalamnya. Ia tersenyum sembari mendekatkan jemarinya ke wajahku, berhenti beberapa senti di tengah kening.
Aku menatapnya curiga.
"Tidak apa-apa, Putri. Tutup saja mata Anda."
Aku menurut, telunjuknya menekan kening pelan. Sesaat kemudian aku mengerjap-ngerjap pelan dan sosok yang kulihat selanjutnya, benar-benar membuatku terkejut setengah mati.
James.
Rambut merah berkibar-kibar diterpap angin. Mata hijaunya menatapku tajam. Tidak pernah kulihat penguasa benua Ospana sampai semarah itu.
Tubuhku bergetar. "James ... bagaimana?"
"Kau tahu kalau api bisa melelehkan logam, kan?"
Lalu aku tersentak. Sosok James menghilang, digantikan mimik khawatir Dieter.
Senyum kecil timbul saat melihatku tersadar dari ilusi buruk. "Anda mengalaminya, juga?"
"Apa?"
"Itu ilusi, dari sesuatu yang paling Anda takutkan," paparnya, membuat punggung leherku terasa dingin.
Selama ini aku memang terkesan kurang ajar dengan James, bahkan sampai berani berpikir untuk meninju wajahnya. Banyak yang berkomentar bahwa caraku berbicara dan bersikap sangatlah tak sopan. Namun, selama ini kupikir itu wajar saja karena kami tumbuh bersama-sama. Toh, James juga tidak pernah meributkan hal itu. Aku sampai tidak tahu, bahwa jauh di alam bawah sadar, dialah yang paling kutakuti.
Dieter menjentikkan jarinya di depanku. Aku menggeleng seperti orang yang baru saja kena hipnotis.
"Tidak perlu dipikirkan, Putri," katanya dengan senyum hangat yang meninggalkan jejak menenangkan. "Itu tabir yang kupasang untuk melindungi tempat ini."
"Tempat ini?"
Dieter menyingkir dari depan.
Lahan kosong tadi berubah. Kini di tengah-tengah sana, ada enam buah tenda besar lusuh berwarna kuning. Di depan deretan tenda, ada bekas api unggun serta beberapa anak belasan tahun yang saling berkejaran. Tempat ini terlihat seperti acara kemah yang diadakan saat musim liburan sekolah tiba.
"Semuanya!" Panggil Dieter dengan kedua tangan di samping bibir, memberikan aba-aba agar anak-anak itu berkumpul.
Mereka ... kelompok banditnya?
Merasa terpanggil, keenam anak dengan warna-warni rambut mencolok tersebut dengan gegas berlari menuju Dieter sambil menyebut-nyebut namanya. Ketika sampai, mereka menatapku curiga sekaligus bertanya-tanya.
"Siapa dia?" tanya bocah laki-laki berambut kuning. Ia yang paling pertama tiba.
"Kenalkan, Ryo. Ini ...." Dieter tampak meragu, berpikir hendak mengenalkanku sebagai apa. Memberitahukan identitas asli sebagai seorang putri Asnington bukanlah ide bagus. Karena tempat ini secara sah merupakan ilegal di tanah Asnington.
Keberadaanku sebagai anggota kerajaan jelas akan menimbulkan keributan. Namun, memperkenalkanku sebagai seorang tawanan juga terdengar buruk. Walau memang itulah kenyataannya.
Seorang gadis kecil berusia sebelas tahun berdiri lebih dekat dari si kuning, rambutnya merah muda dan dikucir dua. Ia menunjukku dengan telu juk kecilnya, "Apa dia seorang putri?" Pertanyaan lugu itu sukses membungkam kami.
"Bodoh, Ceri! Sudah jelas dia gelandangan, bukan? Lihat, pakaiannya saja lusuh dan kotor begitu," cibir anak berkulit gelap, usianya mungkin dua tahun lebih tua daripada Ryo dan Ceri.
Perkataannya memang benar, kendati demikian tetap membuatku tersinggung.
"Lue, bodoh! Harusnya kamu tidak bilang begitu, cepat minta maaf!" Ceri menyikut rusuk Lue yang berdiri angkuh di sebelah kirinya. Bocah laki-laki berambut biru gelap itu mendecih dan memalingkan wajah.
Wah, apakah ini perasaan jengkel yang James rasakan saat aku tidak mau mendengarnya?
Seorang bocah laki-laki lainnya memukul kepala Lue sampai ia menunduk. "Harusnya kamu tidak bicara seperti itu!" Tampaknya dia anak yang paling tua, usianya mungkin lima atau enam belas tahun. Tangannya diletakkan di belakang leher Lue. Memaksa bocah itu untuk menunduk.
"Tidak apa-apa. Sudah kumaafkan, lepaskan dia."
Si anak-dewasa menurut, Lue menyentak tangannya lalu beranjak pergi dengan wajah sebal.
Dieter memutar tubuh, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Menghitung jumlah anak-anak di sekeliling kami. "Mana Zowi dan Von, Nick?" Ia bertanya, menatap si anak-dewasa.
"Tadi, Zowi menunggu di dapur saat kau panggil. Katanya sudah waktunya untuk makan siang. Von juga memintamu dan yang lain supaya segera menyusul sebelum makanannya dingin." Ryo justru menjawab pertanyaan itu, si kuning kelihatan senang saat Dieter mengusap rambutnya.
"Sepertinya, mereka tidak tertarik untuk bertemu Nona ini." Nick yang paling dewasa, tersenyum ramah dengan mimik tidak enak.
"Oh, begitu." Dieter terdengar kecewa akibat gagal mengumpulkan seluruh anggota pasukan kecilnya. Ia menarik napas panjang, sebelum akhirnya mengenalkanku. "Nah, Nona ini namanya Jane. Aku menemuinya di hutan dan butuh tempat tinggal untuk sementara waktu." Kawan-kawan kecilnya mengangguk-angguk paham dan tidak bertanya lebih lanjut.
Aku hanya tersenyum kecil.
"Jane, kenalkan." Dieter menatapku santai. "Ini Nick yang paling tua, Ryo itu ramah dan cekatan, Ceri satu-satunya perempuan, Lue yang paling ramah." Ia menunjuk anak-anak bergantian. Mereka membalas dengan beragam cara.
"Lalu ada juga, Zowi dan Von yang paling suka makan dan si koki," Dieter mengembuskan napas panjang dan tertawa kecil, "kurasa mereka ada di dalam tenda. Sudah waktunya makan siang," Sambung pria tersebut.
Sebelum aku sempat memberikan respons apa pun, anak-anak tadi sudah berlari menuju perkemahan mereka. Ceri menarik tanganku dengan antusias dan menjelaskan bahwa di belakang tenda-tenda itu ada tempat khusus yang mereka sebut sebagai dapur. Ia juga memperkenalkanku dengan dua anak lainnya. Kami makan dengan tenang siang itu.
℘ɧąŋɬąʂıą
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top