Ketuk-ketuk, Cakar-cakar

Sepekan berlalu dan Adikku masih saja kesal dengan orang tua kami. Alasannya adalah karena ia tidak setuju bahwa kami pindah rumah. Rumah lama kami adalah kontrakan tua berhalaman luas yang resmi terjual beberapa hari lalu—tidak lama setelah kami pindah—setelah menempati bangunan berlantai satu tersebut, akhrinya Ayah dan Ibu mampu membeli rumah sendiri yang terletak di pinggir kota dekat dengan kantor mereka, tetapi jauh dari sekolah kami. Sebenarnya, penggunaan kata jauh sedikit berlebihan. Memang dibandingkan rumah lama yang sekarang lebih jauh, tetapi tidak jauh-jauh sekali. Tidak sampai 45 menit naik motor. Orang tuaku sedikit tidak tanggap soal ini, yang membuat Adikku semakin sebal. Jane—adikku itu—bukannya kesal karena rumah kami lumayan jauh dari sekolah, tetapi kesal karena dia harus mengepak barangnya dan meninggalkan rumah kami.

Waktu aku lahir, keluarga kami tinggal di rumah Kakek dan Nenek. Sedangkan, waktu Jane akan lahir, kami pindah ke rumah kontrakan itu. Jane dibesarkan di sana selama 16 tahun, dia yang paling merasa kehilangan. Apalagi ia cukup akrab dengan anak-anak tetangga, tidak sepertiku. Mereka biasanya pulang sekolah bersama saat petang setelah mengikuti ekstrakulikuler masing-masing, kegiatan yang rutin dilakukan itu kini harus terhenti karena kepindahan kami. Aku juga tidak bisa mengantarnya ke sekolah mulai bulan depan, karena akan melanjutkan studi di akademi kepolisian dan tinggal di asrama. Alhasil, Jane akan sendirian di rumah sepanjang hari. Ibu dan Ayah orangnya sibuk, kami tidak menyewa asisten rumah tangga. Jadi untuk mengusir kesepian dan mengobati kekesalan Jane, kami memutuskan mengadopsi seekor anjing dari penampungan.

Namanya, Silky. Bukan kami yang menamainya, tetapi pemilik Silky yang lama. Ia golden retriever ramah dan baru berusia dua tahun. Hobinya menarik perhatian anggota keluarga, terutama Jane yang paling sering abai atas tindak-tanduknya. Minggu pertama, aku yang paling banyak menemani Silky. Aku mengajaknya jalan-jalan setiap sore, sekalian berkeliling wilayah sini. Aku juga yang berusaha membuatnya terbiasa untuk tidak buang kotoran di dalam rumah. Jane hanya membantu sedikit dengan memberinya makan. Awalnya ia bersikap tak acuh, memasuki minggu kedua ia mulai membantuku merawat Silky. Kami memandikannya bersama dan akhirnya dia mau diajak keluar rumah saat waktunya mengajak Silky jalan-jalan, kurasa Jane mulai sadar bahwa ia tidak bisa terus-menerus mengabaikan anjing yang kelak akan jadi teman serumahnya.

Memasuki minggu ketiga, Jane sudah cukup akrab dengan Silky yang awalnya dianggap menyebalkan karena suka tiba-tiba memanjat tubuh seseorang dengan kaki depan dan tidak berhenti menggonggong saat dia sedang menyiapkan makanan. Saat kukira bahwa semuanya akan baik-baik saja, sebelum aku tinggal di asrama. Jane tiba-tiba bilang begini di suatu sore.

"Kurasa ada seseorang di kamarku."

Itu adalah kali pertama ia mengeluh soal kamarnya.

"Apa maksudmu?"

Jane tidak langsung menjawab. Wajahnya cemberut, bukan karena marah atau kesal. Ia terlihat gelisah. Silky melompat naik ke pangkuan Jane dan menyelip masuk ke bawah lengan, kode kalau dia minta dielus.

Orang tua kami belum pulang kerja, persiapan untuk tinggal di asrama sudah kueselesaikan beberapa hari lalu, dan Jane sedang tidak ada jadwal klub jurnalis hari ini. Jadi sekarang kami sedang leha-leha saja sampai nanti waktunya mengajak Silky jalan pukul enam sore.

"Aku sering mendengar ada yang mengetuk jendela kamarku," kata Jane. "Awalnya kudiamkan saja. tapi, lama-lama jadi makin sering. Terus kejadiannya selalu malam. Itu mengerikan dan membuatku takut."

Meskipun pecinta film horror, adikku ini aslinya sangat penakut. Kutepuk bahunya pelan dan berkata, "Sudah sejak kapan?" Daripada mengkhawatirkan ada hantu yang mengetuk-ngetuk jendela kamar adikku di lantai dua, aku lebih khawatir ada seseorang yang menguntitnya.

Di depan kamar Jane ada pohon besar—entah jenis apa, aku tidak terlalu peduli soal pengelompokan jenis-jenis pohon—Ayah bilang ia akan menebangnya sebelum musim gugur karena dahan pohon itu sedikit menghalangi cahaya matahari untuk masuk ke kamar Jane.

"Sudah lama. Sejak kita pertama pindah."

Dugaan kalau itu penguntit sedikit tidak kupedulikan. "Mungkin cuma pohon depan kamar aja, kan?"

Jane bergerak gusar dan menyandarkan punggung ke sofa. "Enggak mungkin. Orang enggak ada angin, kok. Semalam jendela kubiarkan terbuka, tetapi suara ketukannya masih ada."

"Tahu darimana itu bunyi jendela?"

"Ya, tahulah!" Jane mulai ngotot. "Itu suara kaca yang diketuk-ketuk, kok. Bukan kayu. Bunyinya aja beda. Masa aku enggak bisa bedain."

"Mungkin suara dari rumah sebelah?"

Jane kembali bergerak gusar. Dia mirip cacing yang sedang menggeliat. Silky bergerak tidak nyaman dan akhirnya pindah ke pangkuanku.

"Ini nih, makanya aku enggak suka cerita sama cowok. Susah banget dibuat percaya."

"Yah, habisnya enggak masuk akal. Siapa coba yang mau ngetuk jendela kamar kamu? Manjat pohon setinggi itu cuma buat ngetuk-ngetuk."

Adikku menggeram. '"Tapi, itu beneran James! Aku enggak tuli. Enggak mungkinlah salah denger."

Aku menarik napas, tanganku meraih rambut pirang adikku dan mengusapnya pelan. "Terus menurut kamu itu siapa? Gimana? Kenapa? Kok bisa? Coba jelasin pake teknik 5W+1H biar aku paham."

Jane menepis tanganku kasar. "Terserah, deh." Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan. "Lagian bukan suara ketukan itu aja. Kadang-kadang ada bunyi cakaran gitu." Ia memberikan gestur dengan jari melengkung dan mencakar-cakar udara.

Aku mengernyit. Cakaran itu lebih bisa diterima otakku. "Mungkin itu Silky. Dia kan suka cakar-cakar pintu kamar kamu karena pengen masuk."

Adikku membuang napas panjang, ia tidak langsung setuju. "Awalnya aku juga mikir gitu," ujarnya pelan. Kendengarannya berat sekali baginya untuk bercerita, jadi aku beringsut mendekat dan merangkul tubuhnya yang lebih kecil. Jane menyandar padaku.

"Pelan-pelan aja."

"Sama kayak suara ketukan di jendela itu. Cakaran ini juga ada dari awal pindah," bisiknya. "Kalau bukan suara ketukan, ya bunyi cakaran. Enggak pernah keduanya sekaligus. Selalu selang-seling."

Aku tidak membalas. Kejadian ini ganjil dan sama sekali tidak bisa kuterima. Kenyataan kalau hal-hal seperti ini sudah mengganggu adikku selama hampir sebulan dan baru diceritakan sekarang juga mengganggu, padahal tidak lama lagi aku akan meninggalkan rumah ini.

"Gimana," kataku akhirnya. Jane mendongak di bahuku, "kalau kamu tidur di kamarku nanti malam?"

Kami sepakat bertukar kamar untuk hari ini. Jane mengosongkan kamarnya dari barang-barang pribadi, termasuk bantal-bantalnya sementara aku hanya bawa guling satu dan rebahan di atas boneka beruang besar milik gadis itu.

Jendela kubiarkan tertutup. Pintu kamar Jane juga terkunci. Sama seperti malam-malam biasanya anak itu tertidur. Aku sebisa mungkin membangun suasana yang sama, kalau-kalau pengganggu ini berasal dari luar, dia tidak tahu bahwa Jane sudah pindah kamar.

Tiga jam pertama setelah pukul sepuluh malam, aku belum ngantuk dan telah menghabiskan satu buku novel koleksi Jane. Sejam kemudian, kelopak mataku mulai memberat dan tayangan komplikasi misteri dunia di YouTube tidak lagi membantu. Dua jam kemudian, aku terbangun karena bunyi samar-samar kaca yang diketuk-ketuk.

Sialnya, aku tidak bisa bergerak.

Posisiku saat ini adalah membelakangi jendela dan di saat hal-hal yang kutunggu terjadi. Tubuhku kaku tidak bisa digerakkan. Parasomnia adalah keadaan saat tubuh tidak bisa bergerak karena otak masih tertidur. Jane suka menyebutnya ketindihan.

Suara ketukan itu masih terdengar. Sekali, dua kali, sampai enam puluh kali setiap menitnya. Dadaku sesak, rasanya seperti tercekik. Suaraku tidak bisa keluar dan membuka mata juga tidak mampu.

Saat akhirnya aku berhasil menekuk jari-jari kaki, perlahan kucoba membuka mata. Tubuhku langsung terasa seperti habis disiram air es. Nalar tak karuan diacak-acak. Kini di depanku ada seorang manusia berwajah seperti monyet, berjongkok di atas dada. Tubuhnya sebesar anak-anak, dia menatapku dengan mulut sedikit terbuka dan matanya yang hitam bulat menatapku lekat-lekat. Berusaha mengalihkan pandangan, kali ini kulihat seorang lagi yang berwajah sama, tetapi lebih tinggi sedang mengetuk jendela.

Ketukan dari dalam.

Ia menatapku dengan ekspresi aneh yang sama. Menatapku lekat-lekat.

Lalu suara itu terdengar, bunyi cakaran. Entah asalnya dari mana. Bisa dari pintu kamar, kolong kasur, atau di langit-langit. Aku tidak peduli lagi dan hanya menutup mata rapat-rapat. Berharap ini semua hanya mimpi.

Pagi menjemput, tidurku tidak nyenyak. Apalagi setelah mendapati bekas cakaran seukuran lengan orang dewasa di kepala kasur.

Aku menyuruh Jane untuk tidak pernah masuk ke kamarnya lagi semenjak saat itu. Semua barang selain kasurnya, aku yang pindahkan. Jane bertanya apa yang terjadi, tetapi dia tidak pernah memaksa dan hanya menurut. Sementara dia menempati kamarku, aku tidur di sofa ruang tamu. Barulah di hari keberangkatanku ke akademi, kuceritakan semuanya. Sebulan setelah tinggal di asrama, Jane mengirimiku pesan bahwa kejadian yang sama terulang kembali.

Fin.
05/08/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top