Digondol

Orang-orang tua dulu selalu bilang, jangan keluar setelah azan Magrib berkumandang kalau enggak mau digondol sama Wewe gombel. Alhasil, anak-anak dulu selalu takut untuk main selepas azan magrib dan hanya keluar jika ramai-ramai atau mau ke masjid.

Aku adalah segelintir orang yang tidak mempercayai mitos tersebut, tetapi karena suatu cerita, pikiranku langsung berubah.

Cerita ini bermula jauh sebelum aku menjadi pengajar para siswa-siswa berkebutuhan khusus. Ini kisah sewaktu aku masih seumuran murid-muridku yang sekarang. Rumahku dulu berada di sebuah desa di kaki pegunungan, agak terpencil dari wilayah perkotaan yang padat merayap. Desa ini, sebut saja A. Desaku hanya terdiri kurang dari 100 kepala keluarga. Sebagian besar dari kami adalah keluarga. Tetangga-tetangga kami adalah sepupu atau sepupunya sepupu. Pamannya paman, saudara pamannya paman. Bibi dari Bibinya bibi. Adik tiri dari nenek, anak dari adik tirinya nenek. Kakek dari adik tirinya nenek. Yah, pokoknya begitulah kira-kira silsilah keluarga di desa ini, jadi kalau kalian berkunjung karena ingin menaiki gunung. Sebaiknya jangan coba buka percakapan soal keluarga di depan warga-warga kami.

Pada waktu itu, aku ingat sekali bahwa banyak anak seusiaku yang sering bermain dari masih panas terik sampai senja. Mereka bermain apa saja; kelereng, bola, petak umpet, polisi-maling, kotak pos, congklak; kalau cuacanya sedikit berangin ya main layangan. Kalau air kali naik sedikit, ya main perahu sama berenang (cuma untuk yang kakinya nyampe). Kalau sudah tiba waktunya panen, main di sawah atau di atas tumpukan jerami. Pokoknya mereka main-main, deh. Iya, mereka. Aku tidak pernah diajak.

Aku tidak pernah diajak, kasihan memang. Soalnya anak-anak itu tidak mau bermain dengan anak laki-laki yang tidak bisa bicara. Mereka kira lidahku dipotong karena nakal, padahal aku sudah begini sejak Ibu melahirkanku. Karena aku tidak bisa bicara, maka tidak ada juga yang mengajakku ngobrol. Apalagi semenjak Nenek meninggal, Kakekku yang sudah tua dan kesulitan bicara menyusul beberapa jam kemudian.

Nah, kejadiannya adalah saat itu.

Malam itu adalah empat puluh harian Kakek dan Nenek. Beliau berdua berasal dari pihak Ayah. Hari itu dan hari-hari sebelumnya, rumah dan keluargaku disibukkan sama acara doa yang akan diadakan di rumah kami. Ibu dan Ibu-ibu lainnya memasak-masak di dapur dari sebelum ayah berkokok. Sementara, Ayah dibantu ayah-ayah lain membangun tenda untuk menyambut keluarga dan tamu-tamu dari desa tetangga.

Anak-anak selain aku, pergi ke masjid sebelum magrib. Mereka akan datang sesudah Isya untuk mengikuti acara ini.

Aku yang tidak bisa bicara dan cuma bisa mengaji dalam hati, tidak banyak membantu. Hanya nyapu-nyapu waktu disuruh. Itu juga sudah kena omel bibinya bibi karena katanya enggak bersih. Karena enggak becus ngapa-ngapain--menurut orang-orang dewasa--aku akhirnya sedikit menjauh dari rangkaian kegiatan sebelum acara supaya tidak merusak pandangan mata siapa pun.

Sore itu masih terang, aku jalan-jalan sendiri karena emang enggak punya teman. Keliling-keliling desa, menghibur diri sambil melihat serangga melompat ke sana-sini. Mengunjungi sebuah berugak yang katanya Kakak-kakak dari kota berseragam kampus adalah Perpustakaan Mini. Aku baca buku di sana, sendirian. Karena Kakak-kaka dari kota udah pulang sebulan lalu setelah membantu desa kami macam-macam. Aku tidak begitu mengerti, tetapi mereka banyak membantu. Aku membaca berbuku-buku, mulai dari yang bergambar, yang isinya panel-panel, sampai yang tulisan semua atau banyak angkanya. Mulutku yang komat-kami terasa pegal, barulah aku berhenti. Pada saat itulah aku menyadari, bahwa matahari telah tergelincir dari langit. Baru saja hendak angkat kaki usai menyelipkan buku tadi ke dalam lemari, seseorang menyapaku lirih.

"Nak?"

Awalnya aku tidak menoleh. Tidak pernah ada yang menyapaku sebelumnya. Jadi aku lanjut saja berjalan, tetapi suara parau itu kembali memanggil. Kali ini sambil menepuk-nepuk bahuku.

"Nak?"

Akhirnya aku menoleh. Seorang wanita setua Nenek. Tubuhnya bungkuk dan seluruh pakaiannya hitam dari kepala sampai kaki. Wajahnya keriput dan kulitnya bertumpuk-tumpuk seram, meskipun begitu nenek ini tersenyum ramah.

"Nak?"

Aku hanya mengangguk dan melempar tatapan bingung. Aku tidak pernah melihat Nenek ini sebelumnya. Mungkin dia berasal dari desa lain dan melihat dari pakaiannya, sepertinya dia mau mengunjungi acara kakek-nenek.

"Mau ikut Nenek sebentar?"

Waktu Kakak-kakak dari kota itu kemari. Mereka belajar dan juga mengajariku bahasa isyarat, sehingga aku bisa berkomunikasi selain dengan tulis-menulis. Aku cukup pandai menulis dan berbahasa isyarat. Hendak kugunakan bahasa tanga tersebut, tetapi urung dengan dugaan bahwa Nenek ini tidak mungkin mengerti.

"Bisa ikut Nenek sebentar?" Kali ini wanita tua itu meraih dan menggandeng tanganku. Tangan Nenek ini kecil dan keriput juga. Ia menatapku dengan wajah memelas. "Ikut Nenek sebentar, ya," bujuknya dengan nada yang membuatku kasihan.

Karena tidak bisa menolak, akhirnya aku mengangguk saja dan membiarkan diriku digandeng dan dituntun Nenek ini.

Sesuai dugaan, rumah Nenek ini ada di desa sebelah. Aneh sekali melihatnya berpakaian seperti orang berkabung, tetapi justru mengundangku ke rumahnya alih-alih datang ke rumahku untuk ikut pengajian.

Rumah Nenek ini kelihatan tua, tetapi besar. Seperti dua rumah yang dijadikan satu.

"Nenek tinggal sendirian," kata Nenek lirih. Ia melihatku dengan bola mata hitam kecil yang bersembunyi di balik lipatan mata. "Enggak punya anak, enggak punya cucu. Sendirian," ulangnya. Sejak tadi, Nenek ini terus saya berbicara tanpa peduli bahwa aku tidak membalas ucapannya selain dengan gelengan dan anggukan. Kata Almarhum Kakek, setidaknya aku harus membalas omongan orang dengan cara ini.

Di dalam rumah Nenek ada ruang tamu di paling depan. Kalau berjalan lurus saja dari pintu masuk, nanti ketemu sama ruang makan yang ada di dapur. Nenek membawaku ke sana dan menyuruhku duduk di kursi meja makan.

"Nenek ini tua. Enggak mungkin bisa culik kamu. Jadi jangan takut, ya. Tapi, kalau misalnya besok ada orang asing yang nawarin ke rumah. Kamu jangan nurut."

Nenekku juga sering bilang begitu, jadi aku mengangguk.

Wanita tua itu lantas membuka tudung saji yang ada di atas meja makan. Beraneka ragam ikan, ayam, telur, tahu-tempe, sambal, jenis-jenis sayuran dan sebakul nasi putih hangat tersaji di sana. Waktu itu aku tidak berpikir, bahwa aneh saja kalau Nenek yang tinggal sendirian ini menyiapkan makanan segini banyak. Setelah diingat-ingat, waktu itu aku kelaparan sekali karena orang-orang rumah pada sibuk dan aku memutuskan pergi sampai sore dengan keadaan perut keroncongan.

"Makan ya, Nak. Habisin. Udah itu kamu boleh pulang," kata si Nenek yang langsung kuiyakan dalam hati.

Makanan-makanan sebanyak itu aku habiskan dengan lahap. Aku tidak pernah merasa selapar itu seumur hidup. Padahal awalnya sepiring saja kukira cukup, tetapi kemudian aku menambah nasi, terus dan terus. Sampai semua sajian ludes dan air di kendi tandas. Setelah bersendawa sekali dan mengucap rasa syukur, Nenek pemilik rumah menawarkanku pulang.

Waktu itu sudah malam. Sekitaran habis magrib kurasa. Di perjalanan, Nenek itu terus berpesan bahwa dia akan menemaniku di kala kesepian seperti petang tadi. Ia juga berpesan untuk tidak mengikuti orang asing seperti sekarang. Ia terus saja memberikan petuah sampai kami berdua sampai di berugak Perpustakaan Kecil.

"Nenek antar sampai sini aja, ya," katanya dengan senyum yang nyaris tidak bisa kulihat. Ia melambaikan tangan sementara aku terus berjalan. Sebelum pergi tadi, aku berpamitan dengan mengucap terima kasih dalam bahasa isyarat. Terserah jika Nenek tidak paham, yang penting aku sudah berterima kasih.

Sampai di rumah, aku tenda-tenda biru masih dipasang dan kursi-kursi plastik masih berjejer rapi di halaman. Seperti yang sudah-sudah, karena terbiasa tidak dipedulikan, aku berjalan saja masuk. Namun, kali ini berbeda.

Tiba-tiba saja Ibu berlari ke arahku dan memeluk tubuhku kencang-kencang sambil menangis. Ayah yang melihatku juga menangis dan hampir pingsan. Keduanya berulang-ulang mengucap syukur sambil berterima kasih pada Tuhan. Warga desa yang melihatku mengelus dada berulang-ulang sambil berbisik-bisik.

Aku tidak bertanya apa pun malam itu. Ibu dan Ayah menyuruhku tidur setelah memeriksa bahwa aku baik-baik saja, tanpa luka sedikit pun.

Esok paginya barulah aku dengar, bahwa di hari pengajian aku sama sekali tidak pulang selama seminggu. Para tetangga bergosip bahwa aku digondol Wewe gombel. Di usiaku yang kesebelas, aku baru tahu Wewe gombel itu apa dan hingga kini usiaku menginjak pertengahan 20, aku tidak pernah melihat Nenek baik yang memberi makan padaku itu.

fin

04/08/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top