Demon Without Evil

Jane berjalan keluar dari satu-satunya toko serba ada yang buka 24 jam. Kalau bukan karena tuntutan perut, ia enggan sekali beranjak dari rumahnya yang berjarak 500 meter dari sini.

Angin dingin bertiup, menerpa rambut pirang sependek bahu. Di atas sana, langit hitam dengan gumpalan awan kelabu menghalangi cahaya bulan. Bintang terlihat satu-dua dan kalau tidak salah ingat, jam rumahnya menunjukkan pukul 01:23 sebelum pergi tadi yang sempat membuat kakinya terasa berat. Kalau bukan akibat perut yang tidak bisa diajak kompromi untuk kesekian kali, target dietnya pasti akan berhasil bulan ini.

Dengan tangan memeluk paper bag berisi makanan ringan dan sebungkus roti yang sudah digigit atasnya di tangan yang lain. Jane berjalan santai di teras pertokoan yang sudah tutup. Tengah malam harinya terasa damai, tenang, dan biasa saja. Seperti malam-malam sebelumnya, sampai tiba-tiba seseorang memukul perutnya dengan kayu ramping dan berteriak, "KEMBALILAH KE NERAKA, IBLIS JAHAT!"

Jane menunduk, menatap pilu rotinya yang ditempeli pasir gara-gara tadi tangannya refleks memeluk tubuh. Ditatapnya laki-laki yang baru saja berteriak dengan wajah tidak peduli.

"Kembalilah ke neraka, kau iblis jahat! Kembalilah! Kembalilah! Jangan usik kami! Jangan! Jangan usik kami!"

Sekarang laki-laki bertudung itu mulai menyirami Jane dengan air dari guci kecil di tangan kirinya.

"Pergilah! Atas nama Tuhan, kembalilah ke tempatmu dan jangan ganggu kami! Jangan kembali kemari!"

Laki-laki itu sebenarnya takut. Jane bisa melihat tubuhnya bergetar-getar di balik tudung jubahnya yang longgar. Dengan badan yang seolah dapat ditiup angin itu, ia mendekati Jane dan menusuk perutnya dengan tongkat tadi.

"Akh- Apa kau tidak bisa lihat?" Jane menunjuk rotinya. "Siapa yang mengganggu dari tadi!"

Pemburu Iblis yang menusuk-nusuk Jane tadi beringsut mendekat dengan bibir komat-kamit. Ia kemudian memukul kepala Jane pelan dengan tongkatnya dan mengerang pilu. "Ke-kenapa kau tidak terbakar?" Dipercikkan lagi air dari dalam guci ke wajah gadis pirang yang tengah memunguti belanjaan yang berhamburan dari kantong kertasnya.

Jane berdecak gusar. "Kalian! Para Pemburu Iblis, bisa tidak kalian biarkan aku makan dengan tenang!" Ia berkecak pinggang. "Apa kau tidak lihat, aku sedang makan roti dengan tenang dan tidak mengganggu lalat sekali pun. Bagaimana bisa- ah, lupakan! Tinggalkan aku sendiri."

Dengan langkah-langkah panjang Jane melewati laki-laki aneh yang entah berasal dari kuil mana. Ia sudah tidak heran lagi dengan orang-orang yang tetiba saja berteriak, menusuknya dengan tongkat, melempari dia dengan bawang putih, bunga-bungaan, atau memercik dengan air seperti tadi. Bukan maunya menjadi kerabat jauh penguasa neraka.

"Ka-kau!" Laki-laki di depan Jane merentangkan lengan, menghalangi jalan sang gadis-iblis. "Bagaimana? Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kau tidak terbakar! Tidak mungkin doaku salah."

"Memangnya kau tidak lihat aku sedang apa tadi." Jane bertanya dengan nada mencibir. "Aku sedang makan roti. Apa salahnya? Apa aku tidak boleh makan roti sekarang?"

"Kau Iblis! Kau seharusnya tidak ada di sini. Kembalilah ke ne-"

"Dengar, ini sudah malam. Orang-orang akan bangun mendengar ocehanmu dan turunkan tongkat itu sebelum kuambil dan kulempar jauh-jauh."

Tanpa memedulikan pemburu iblis yang sudah menyelipkan tongkat dan guci sucinya ke ikat pinggang. Jane kembali melewatinya, tidak ia duga-duga laki-laki itu akan mengekori.

"Apa lagi?"

"Kau sehebat yang dikatakan orang-orang." Dengan mata biru yang berkilau lucu, laki-laki di balik tudung jubah itu secara terang-terangan menunjukkan kekaguman. Hal tidak biasa yang justru membuat Jane heran sendiri. "Mereka memanggilku dari benua seberang. Katanya ada Iblis yang tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun dari generasi ke generasi. Kukira mereka hanya melebih-lebihkan, tetapi kau ... kau benar-benar tidak merasakan apa pun?"

"Sebenarnya, aku lebih merasa ngeri dengan pemburu iblis yang tiba-tiba memuji dan mengajakku ngobrol lebih dari tiga menit."

"Namaku Dieter."

"Akan coba kulupakan."

"Jane, kan? Bagaimana bisa kau bertahan dari serangan-seranganku?"

"Yah, menurutmu?"

Dieter menggeleng dengan kedua bahu terangkat. "Aku tidak tahu," katanya. "Kau memenuhi semua klasifikasi sebagai iblis. Dengan mata yang sudah terlatih ini, aku bisa melihat wujud aslimu. Seorang succubus. Apa tujuanmu?"

"Tidak menggoda laki-laki yang jelas."

"Kenapa tidak? Bukankah begitu caramu mendapatkan energi?"

"Sekarang kau tahu kenapa aku banyak makan. Lagi pula, tidak ada succubus dengan bobot 65 kg."

Dieter bergumam panjang dengan gaya menimbang-nimbang. "Menurutku kau tidak segendut itu."

Tulang keringnya ditendang.

"Apa kau akan pergi atau terus mengikutiku?"

Sambil melompat-lompat dengan satu kaki, Dieter berhasil kembali menyamai langkah Jane. "Beritahu aku!" katanya. "Beritahu aku, bagaimana kau bisa bertahan dari tiap-tiap serangan yang kami lakukan."

"Pernah berpikir tidak, kalau mungkin saja kalian hanya terlalu payah."

"Mustahil!" Dieter membantah cepat. "Orang-orang yang dikirim untuk mengusirmu adalah yang terbaik dari yang terbaik, tetapi apa pun yang kami lakukan tidak pernah berhasil."

Jane mendesah panjang. "Kenapa aku harus diusir?"

"Karena kau iblis dan iblis membawa keburukan bagi manusia. Kau merayu dan menjerat makhluk-makhluk lemah seperti kami menuju jalan yang berbahaya dan dilarang oleh-Nya." Dieter mengutip kalimat dari salah satu buku khusus yang hanya dipelajari oleh para pemburu iblis tingkat lanjut sepertinya. Ia menatap Jane keheranan, tidak bohong ataupun melebih-lebihkan soal kehebatan gadis-iblis yang mampu bertahan dari pusaka dan air suci miliknya.

Entah netranya yang terlalu lelah atau pandangan ini sedemikian nyata, tetapi gadis pirang di hadapannya kelihatan ... sedikit sedih. Dan sebagai laki-laki sekaligus pemburu iblis, Dieter dihadang dilema. Haruskah ia menghibur atau tidak? Apa menghibur iblis akan dihitung sebagai kebaikan atau kejahatan?

"Awas." Jane menarik lengan Dieter, mencegah lelaki tersebut jatuh ke dalam parit. Keduanya melintasi jembatan kayu di atas parit selebar 1.5 meter tersebut. "Kau mendadak diam atau sedang mengerahkan ilmu lain?"

"Jane, kau baru saja menyelamatkanku."

Ada nada tidak percaya dalam ucapan Dieter yang membuat Jane spontan menoleh. "Yah, begitulah. Memang kenapa?"

"Iblis tidak seharusnya membantu manusia," ucap Dieter yakin, tetapi nadanya tidak semantap pertemuan pertama mereka beberapa menit lalu.

Jane bergumam panjang dan menendang beberapa kerikil. "Kau tidak bisa begitu," katanya pelan. "Kau tidak bisa menyamakanku dengan yang lain. Apakah seorang iblis harus menjadi iblis hanya karena darah yang mengalir di nadinya. Aku tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai iblis."

"Aku juga tidak pernah mengeluh meskipun orang-orang sepertimu dan kawan-kawanmu tiba-tiba menghalangi jalan dan berteriak-teriak seperti orang sinting, sambil ... memukuli atau melempariku dengan sesuatu."

Rasanya sepeti ada yang baru saja menyentil hati Dieter ketika ia mendengar perkataan itu. Jane memang tidak mengeluh, tetapi ia melakukannya barusan. Tanpa ia sadari, mungkin. Gadis berambut pendek ini terdengar seperti seseorang yang tidak terima telah dilahirkan ke dunia. Namun, justru harus hidup sambil menerima kehidupan yang tidak pernah dimintanya.

"Maksudku, kalau bisa memilih. Aku tidak ingin menjadi iblis. Selama berabad-abad, para pemburu iblis memperlakukanku seperti hama yang harus diberantas. Kalian tidak pernah berhasil, kan? Pernah berpikir tidak, kalau itu terjadi karena selama ini, aku tidak pernah bertindak jahat sama sekali."

Dieter mengernyit. Ia tidak paham, tetapi bisa mengerti. Otaknya tidak bisa memahami, karena hal ini bertentangan dengan segala yang telah ia pelajari selama bertahun-tahun. Di saat bersamaan, hati nuraninya tengah mengasihani gadis-iblis di sebelah kirinya. Iblis yang tidak berbuat jahat? Bukankah merusak adalah sifat alamiah mereka, menjebloskan menuju kesesatan dan menjauhkan seseorang dari jalan yang lurus. Apa benar kegagalan mengusir Jane adalah karena dia bukan iblis yang jahat.

"Apakah itu mungkin?"

"Apanya?" Jane melirik Dieter sekilas.

"Apakah mungkin seorang iblis menjadi baik?"

Dalam jeda yang tidak terlalu lama, Jane mengembalikan ucapan Dieter dengan kalimat, "Apakah mungkin, seorang manusia sepertimu berbuat jahat seperti kami. Kaumku dan aku, yang selama ini berusaha kalian brantas? Jika mungkin, kenapa hal yang sama tidak berlaku sebaliknya. Tuhan Maha Adil, bukan? Lagi pula sedari awal, asal-usul kami adalah makhluk yang mulia." Jane menarik napas, mengembuskannya perlahan. "Memang semuanya sudah berubah, tetapi katakanlah aku ingin kembali seperti dulu atau paling tidak, dimaafkan dan punya kesempatan kedua."

Hening. Tidak ada yang bicara.

Otak Dieter berusaha memproses semua perkataan Jane yang begitu kontradiktif dari dugaan. Apakah semua perkataan ini hanya kebohongan belaka yang bersifat menjebak? Apakah obrolan ini adalah salah satu siasat licik iblis untuk menyesatkan dan mengubah pandangan manusia? Hanya Tuhan yang tahu. Sementara, Jane tidak peduli apakah omongannya bisa diterima atau tidak. Toh, itu hanya pandangan dan orang-orang tidak perlu setuju dengan pandangannya.

"Jane?"

"Hm."

"Apa aku boleh mengikutimu?"

"HAH? Kau ingin jadi pengikut iblis? TID-"

"BUKAN! Bukan! Kau salah paham." Dieter berdesis panjang. Keduanya berhenti berjalan dan saling pandang, berusaha membaca pikiran masing-masing dan menelaah bagaimana kondisi konyol tadi berakhir seperti ini.

"Aku hanya ingin tahu, apakah kau keberatan jika aku mempelajarimu dari dekat?"

Sebelah alis Jane terangkat. "Mempelajari?"

"Euh, aku tidak ahli bicara." Lagi-lagi Dieter berdesis tak nyaman. "Maksudnya, mungkin saja kau memang berbeda dan aku ingin tahu. Aku mungkin bisa membuat catatan bahwa kau sama sekali tidak mengancam, lantas menyerahkannya sebagai laporan. Dengan itu, para Pemburu Iblis akan berhenti mengganggu hidupmu lagi. Bagaimana?"

Jane tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan anggota organisasi yang memburunya dari tahun ke tahun, generasi ke generasi dengan tatapan skeptis. Setelah berabad-abad hidup dalam gangguan hingga terasa terbiasa, kini Jane dihadapkan dengan seorang laki-laki yang memberikan kesempatan padanya untuk membuktikan. Bahwa dia bukan ancaman dan ucapan bahwa ia hanya ingin menjalani hidup tenang seperti para manusia adalah benar, bukan bohong belaka.

Masalahnya, Jane tidak bisa mempercayainya.

Ia memperhatikan Dieter. Atas ke bawah, bawah ke atas. Berulang-ulang dengan pandangan menimbang-nimbang.

Suasana berubah canggung, tetapi akhirnya Jane berdeham sambil berkata, "Baiklah. Kau boleh, tetapi jika kau melakukan hal yang mencurigakan. Aku akan menyuruhmu berhenti."

Dieter mengangguk setuju dan keduanya berjabat tangan.

[END]

01/08/2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top