Colourless Without You

Orangtuaku.

Tidak. Maksudnya, semua orangtua yang bertempat tinggal di kota ini, meninabobokan anak mereka dengan kisah turun-temurun. Sebuah kepercayaan yang berubah menjadi kenyataan ketika aku mulai bisa bertanya.

Kami—para anak—terlahir dengan kondisi buta warna. Dan, satu-satunya cara untuk bisa melihat adalah dengan menemui belahan jiwa kami. Romantis sekali, bukan. Dunia kami kelabu, dan akan tiba saatnya berubah menjadi lebih berwarna ketika kami bertemu dengan jodoh kami. Dan, aku sudah menantikan pertemuan dengan soulmate-ku selama 17 tahun. Menghabiskan sisa usia penuh warna dengan gadis yang akan memberikan sapaan di pagi hari yang dingin dengan senyum sehangat gelas teh dan pelukan yang lebih nyaman dibandingkan bergulung di bawah selimut.

Pagi itu, aku memilin lengan baju sampai ke siku dan sebuah nama tertuliskan di lengan bawah seperti menggunakan tato.

Juwita Atri Kaiswaran.

Nama yang cantik. Usai melewati beberapa tradisi sederhana setiap ulang tahun, Ayah dan Ibu membiarkanku memulai ‘pencarianku.’ Gadis pemilik nama di lenganku dan aku harus mulai mencari paling tidak sampai 10 tahun ke depan. Lebih dari itu dapat dipastikan bahwa Ayah dan Ibu akan mulai mengomel soal mau-buta-sampai-kapan?

Aku menghampiri kedai kopi yang berada di dekat komplek perumahan. Ada seseorang yang perlu kuberitahukan soal ini.

“Lihat, siapa yang datang!” Seorang pria tua berseru dari balik meja bar, rambutnya mencuat dari balik topi kecil yang mirip topi pelukis, “Selamat datang, Laks. Selamat ulang tahun!” ia mengeluarkan segelas kopi dan sepiring kue dari rak bawah meja barnya.

Aku tersenyum lebar. “Terima kasih, Kek.” Aku memposisikan diri di kursi panjang di depannya dan menyesap segelas kopi. Rasa panas yang menjalar di lidah tak serta-merta meninggalkan rasa sakit.

Aku mendecap dan meletakkan cangkirku. Martana adalah pemilik kedai kopi ini, ia sudah mengelolanya semenjak masih mengurusi skripsi. Istrinya meninggal dua tahun yang lalu, cucunya juga sudah tiada. Pergi bersama dengan anak dan menantunya dalam kecelakaan pesawat, sayang sekali jasadnya tak pernah pulang. Dan semenjak jodohnya tiada, Martana mengurus segala sesuatunya sendiri. Beruntung sekali dia karena telah bisa melihat indahnya warna-warni dunia.

“Aku ingin memperlihatkan sesuatu.”

Barista tua itu menarik tinggi alisnya, ia mengelap tangannya di celemek lusuh dan berjalan mendekat. “Apa itu?”

Sambil menarik tinggi lengan kemeja, kuperlihatkan nama yang tertulis di sana dengan senyum lebar. “Aku harus mencarinya mulai sekarang.”

Raut wajah Martana berubah perlahan, matanya membulat sempurna dan nyawanya seperti tersedot dari tubuh.

“Laksmana,” bisiknya dengan suara bergetar.

Dahiku mengernyit tepat ketika Martana memanggil namaku. Alih-alih turut bahagia, Martana menatapku kalut.

"Ya? Kakek mengenalnya?"

Martana menatapku. Dari tatapannya aku tahu kalau kini ia sedang bicara serius. Kedua matanya sedikit berkaca-kaca. Aneh. Aku melambaikan tanganku di depan wajahnya.

Martana mengusap wajahnya kasar. Lalu bangkit dan memakai jaket kulit kesayangannya. Ia sempat kembali diam, hingga akhirnya memanggilku dan menyuruhku mendekatinya.

"Kau mau bertemu dengannya, kan? Ayo."

"Tunggu, Kakek mengenalnya?"

Martana mengangguk cepat. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan kunci motor. Kemudian berjalan keluar.

"Laks, kau membawa motor, kan?"

Martana bicara seraya menaiki motor tuanya. Aku mengangguk. Ia kemudian memintaku untuk mengikutinya. Ke mana ia akan membawaku pergi?

"Laks, cepat!”

Teriaknya membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk-angguk. Memakai helm dan melajukan motorku.

Kami berkendara cukup jauh, lalu berhenti di pinggir jalan sepi. Martana turun dari motornya. Membiarkan benda tua itu terparkir di pinggir jalan.

Aku ikut turun dari motorku. Sedikit berlari guna mengejar langkah Martana yang cukup cepat.

"Kau akan segera bertemu dengan soulmate-mu.”

Aku tersenyum. Siapa sangka aku akan bertemu dengannya secepat itu?

Dia pasti secantik namanya.

Hingga ketika aku melihat sebuah papan bertulisan 'pemakaman', aku berhenti membayangkan rupa Juwita. Langkahku terhenti, sedangkan Martana tetap melankah maju.

Martana menunjuk salah satu batu nisan. Kemudian berjalan menuju nisan itu.

Aku mengikutinya. Tapi ketika ia berjongkok dan mengusap nisan itu, aku hanya berdiri diam di sampingnya. Martana terlihat menahan tangis.

"Kau ingat aku pernah menceritakan kalau putri dan cucuku meninggal karena kecelakaan?"

Aku mengangguk, sambil berusaha mengintip nama di batu nisan itu.

"Juwita Atri Kaiswaran ... Itu nama cucuku. Ia dan kedua orang tuanya tidak pernah kembali, jadi aku makamkan mereka secara simbolis."

Aku mematung. Jantungku betalu-talu hingga dapat kudengar suaranya. Mataku membulat, menatap lelaki tua di depanku tidak percaya. Lalu aku berjongkok di sebelahnya, menatap nisan di depanku dengan setengah jiwa pergi.

"Juwi anak yang baik. Seandainya ia diberi umur panjang, ia pasti akan senang mendapat jodoh sepertimu, Laksmana."

Aku tidak menjawab. Merasa tidak percaya dengan setiap ucapan Martana.

Martana masih berbicara, suaranya samar-samar, kabur, dan kemudian tidak terdengar sama sekali. Entahlah. Benakku berkecamuk dengan semua benang kusut di kepala. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan gadis bernama Juwita, ternyata ia sudah pergi lebih dulu. Bagaimana bisa dia menjadi soulmate-ku.

Lalu ... Apa aku akan buta selamanya?

Air mata meleleh bersama dengan isak tangis yang melesak keluar disertai nyeri di dada. Tanganku terulur dan mengusap nisan di depanku. Tetiba saja pandanganku mengabur, kemudian gelap.

Puluhan warna tiba-tiba saja tampak ketika kelopak mata terangkat. Puluhan warna yang tidak kutahu namanya, menari-nari di depan mataku mewarnai segala hal yang dahulu hanya abu-abu. Satu-satunya warna yang kutahu.

Biar bagaimanapun, aku sudah bertemu dengan jodohku.

Rasanya kepalaku benar-benar pening. Seperti komputer yang tiba-tiba macet ketika file baru yang besar ditambahkan dalam memorinya. Warna-warni ini merangsek masuk ke dalam tiap-tiap sel otak. Warna-warna yang tidak kukenali sama sekali.

Aku mundur selangkah, berusaha tidak goyah dengan berpegang pada batang pohon. Napasku tidak teratur, namun, bibirku mengulas senyum tipis.

Juwita mungkin tiada di dunia ini, tetapi ia akan selalu menjadi jodohku yang membawa anugerah kepada kedua mataku. Sekali pun dia sudah mendahuluiku, aku selalu percaya. Bahwa Tuhan akan menyatukan kami di akhirat kelak.

Kutatap nisanya dengan sedih dan beranjak berdiri. Martana mengikuti.

“Kau baik-baik saja?” Ia bertanya dengan suara parau. Aku mengangguk mantap. Sedih itu ada, terluka itu pasti. Namun, aku tidak bisa berlama-lama merasakannya. Juwita mungkin telah bahagia bersama kedua orang tuanya di sana.

“Aku baik-baik saja,” balasku tanpa menatap Martana. Mataku masih fokus pada makan di depan, kepala masih pening menerima ratusan atau mungkin ribuan warna-warna ini. “Kakek beruntung bisa hidup dengan Nenek hingga tua.”

Martana menepuk punggungku berkali-kali. “Kalau jodohmu tidak di dunia ini, maka jodohmu di akhirat.”

Aku mengangguk.

Fin.

04/08/2021

Ini juga ada prompt-nya, tapi hilang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top