Masa Mimpi 1.3 (Revised)

Situasi apa ini? Bibir Zoey gemetar menyaksikan tali cambuk melayang di depan matanya, kemudian mendarat keras ke punggung seorang wanita. Terdengar isak tangis dari arah seberang. Tak jauh dari posisi wanita itu, gadis belia tampak ditahan kedua lengannya oleh dua pelayan.

"Nona Besar ... jangan, Nona. Di sana bahaya." Para pelayan tampak kesusahan menghadapi perlawanan gadis tersebut.

Apakah ini mimpi lagi?

"Tidak!" teriak Geornia begitu terdengar suara cambukan.

Zoey terkesiap. Ia melihat Geornia menggeleng kuat sembari menatap penyiksaan Bibi Melisa. Dia terus memberontak. Air mata membanjiri pipi. Tangannya terulur ke depan berusaha meraih sosok wanita yang selama ini telah merawatnya.

"Bibi Melisa tidak bersalah! Ayah, saya mohon!" teriaknya lagi dengan suara serak.

Dia terlalu banyak berteriak dan menangis, seperti kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Kenapa di mimpi, Zoey selalu mendapati kakaknya menangis? Ini membuat perasaannya gelisah.

Zoey lalu mundur tanpa sadar. Punggungnya menabrak sesuatu yang keras. Ia pun menoleh ke belakang dan mendapati kaki panjang Tuan Hashe. Menyadari anak bungsunya ketakutan melihat sosok Geornia yang menurutnya kesetanan, ia pun mengangkat tangan pada seorang pelayan.

"Kurung dia di kamar."

Geornia terbelalak. "Ti-tidak,bAyah! Bibi Melisa bisa mati kalau terus dihukum seperti itu. Saya mohon ... selamatkan Bibi."

Tuan Hashe membalas, "Nia, kamu belum bisa membedakan mana baik dan mana buruk."

Geornia menggigit bibir bawah hingga berdarah. Matanya merah. 'Kenapa? Kenapa Ayah melakukan ini? Kenapa Ayah tidak percaya dengan apa yang Nia katakan? Kenapa ...."

Dia mengatakan semua itu melalui sorot matanya.

Geornia jarang menangis di depan umum. Seingat Zoey, hampir tidak pernah. Bahkan saat kematian Madam Floyen, Geornia dengan wajah datar meletakkan setangkai bunga kesukaan ibunya ke peti mati. Namun Zoey melihatnya menangis di sudut kamar, sendirian.

"Saya kecewa dengan cara Melisa mengasuh Nona Besar. Biasanya dia anak yang pendiam, tapi sekarang ...." Wanita itu sengaja menggantung kalimat, kemudian berdecak heran.

Gadis cilik itu temenung, masih mencerna apa yang terjadi. Suara wanita di samping Tuan Hashe membuat Zoey mengernyitkan alis.

"Pengasuh, bukankah kalian bersaudara? Apa Pengasuh baik-baik saja melihat Bibi Melisa kesakitan?" tanya Zoey dengan menahan rasa mual di perutnya.

Wanita itu merundukkan badan, tersenyum lebar seraya menoel hidung mungil Zoey. "Astaga, apa Nona Kecil mengkhawatirkan saya? Betapa baiknya hati Nona."

"Jawab saja," ucap Zoey dingin.

"Emm, yah. Mungkin Nona belum tahu kalau dia hanya anak angkat di keluarga kami. Kami bukan saudara kandung, jadi saya baik-baik saja," jawab pengasuh itu sambil tersenyum.

Saat itulah wajah Zoey memucat. Zoey dan Geornia juga bukan saudara kandung. Akan tetapi, ia tidak baik-baik saja melihat Geornia ditarik paksa pelayan sambil mengeluarkan air mata sebanyak itu. Tubuh Zoey merinding.

"Zoey, kamu kenapa?" tanya Tuan Hashe setengah berlutut.

Dia menangkup wajah kecil Zoey dan mengabaikan celananya yang menyentuh tanah. Gadis cilik itu tersenyum merasakan kehangatan tangan besar sang ayah.

"Kamu pucat, Nak," ujar Tuan Hashe.

Wanita pengasuh ikutan mengecek wajah Zoey. "Tuan, Nona Kecil pasti ketakutan karena melihat sikap Nona Besar barusan."

"Ti—"

Zoey ingin mengelak, tetapi Tuan Hashe memotong, "Sebagai calon penerus keluarga, sikapnya tadi memang buruk. Aku akan mendidik Nia lebih keras ke depannya. jadi, Zoey tidak usah takut pada Kak Nia."

"Ayah, Zoey baik-baik saja."

"Iya, Ayah paham." Seperti harapan, Zoey terlalu baik dan cepat dewasa dibandingkan kakaknya.

Zoey mencebikkan bibir. Jika ia berkata-kata lagi, sepertinya Tuan Hashe hanya akan tambah salah paham. Pria paruh baya itu mengelus puncak kepala Zoey, kemudian melalui lirikan, memberikan isyarat kepada pengasuh agar membawa anaknya pergi.

"Ah, Nona Kecil! Bagaimana kalau kita bermain di halaman belakang? Ada Tuan Muda Kyle di sana," bujuknya senang.

"Kyle?" Zoey berbinar.

Tidak. Kenapa dirinya begitu bersemangat bahkan di dalam mimpi? Mungkin ini karena dia sangat merindukan pangeran kecilnya.

"Mana mungkin saya bohong pada Nona? Tuan Muda sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Anda. Ayo kita ke sana!"

"Ya!"

Tuan Hashe lega melihat keceriaan Zoey kembali seperti semula. Namun detik berikutnya, ia merenung cukup lama memandangi sosok putri kecilnya yang kian menjauh. Zoey selalu bersemangat mendengar kedatangan Kyle. Anak itu terlalu menyukainya. Tuan Hashe jadi ingin memikirkan ulang tentang pernikahan Kyle dan Geornia.

***

"Kamu cantik sekali hari ini, Zoey," puji Kyle sembari memperlihatkan deretan gigi putih yang rapi.

Kata-kata manisnya cukup mengejutkan. Zoey mematung, melirik kagum anak laki-laki di dekatnya. Rambut dan kulit putih, mata biru agak perak, dan senyum seteduh awan cumulus. Tampang Kyle sekarang tampak bersinar layaknya musim panas. Jangan lupa jaket berukuran besar yang melekat untuk melindungi kulit sensitifnya itu. Ini adalah sosok Kyle saat masih kecil. Pria albino yang ia cintai, sangat imut ....

"Kenapa Kyle di sini?" tanya Zoey diikuti senyuman.

"Aku ... aku sedang menyiram pohon." Dengan pipi merona, Kyle memegang gayung air.

Zoey menatap pohon, lebih tepatnya, masih berbentuk bibit. Ukurannya bahkan tidak lebih tinggi dari tubuh Zoey. Kedua alis gadis cilik itu terangkat.

"Wah! Ini kan bibit pohon ek yang kita tanam waktu itu?"

Geornia, Kyle, dan Zoey. Mereka pernah menanam bibit pohon ek bersama-sama di perayaan hari nasional.

Kyle mengangguk. "Mm. Aku menyiramnya karena dia kelihatan layu."

Zoey hampir melupakan keberadaan pohon tersebut, sedangkan Geornia tampak tidak peduli pada taman sejak ibunya meninggal. Para pelayan pun belum berani menjamah area kolam kesayangan mendiang Madam Floyen tanpa seizin Nona Besar.

"Kasihan, ya." Pohon ini mungkin kesepian. Zoey memandang salah satu daun yang berwarna kuning kecokelatan.

"Soalnya jarang disiram," ucap Kyle.

Anak laki-laki itu mengguyur bibit tersebut dengan gayung berlubang, sehingga air yang keluar tampak seperti hujan. Entah kenapa hal itu membuat Zoey teringat akan ekspresi sedih kakaknya tatkala penghukuman Bibi Melisa berlangsung. Geornia berlinangan air mata, seperti hujan.

"Eh, Zoey kenapa?" Kyle terkejut mendengar bocah di sampingnya terisak.

Ia langsung melepas gayung air dan menghampiri Zoey. Gadis cilik itu bahkan tidak sadar kalau sedang menangis. Ia membiarkan Kyle mengusap pipinya.

"Zoey terus kepikiran Kakak yang dikurung Ayah di kamar. Dia habis menangis tadi," ungkap Zoey.

"Nia?" Kyle membeo.

Zoey mengangguk lesu.

Alasan dia datang ke kediaman Tuan Hashe adalah bertemu Geornia, tetapi gadis itu tampak mengamuk saat ia baru menginjak garis gerbang mansion. Begitu juga Zoey yang terlihat ketakutan. Seolah kedatangan Kyle sangat tidak tepat.

Kacau sekali.

"Haruskah kita kembali saja, Tuan Muda?"

Saat hendak berbalik, seorang pelayan mengarahkan dirinya ke halaman belakang sambil menunggu kondisi rumah sedikit tenang.

"Aku ingin menghibur Kak Nia," ucap Zoey sesenggukan.

"Aku juga ingin menghiburnya. Bagaimana kalau kita berdua menjenguk dia ke kamarnya?" alibi Kyle demi menemani Zoey. Kyle masih tidak percaya gadis dingin itu bisa menangis.

Tubuh Zoey gemetaran, tapi bertekad menghibur orang yang paling dia takuti setelah Madam Floyen. Kyle tidak tega membiarkan Zoey menghadapi Geornia sendirian.

"Terima kasih, Kyle."

Tangisan Zoey akhirnya mereda. Sentuhan Kyle pada kedua pundaknya membuat dia lebih tenang.

"Tidak usah," cetus suara dari belakang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top