Masa Kecil 9 (Revised)

"Cut!" teriak Sutradara dengan suara serak. Kedua alisnya mencuram, menandakan kekesalan pada sosok yang terpantul di matanya.

Zoey tertegun. Dengan pelipis berkeringat dingin, kakinya gemetaran berdiri di tengah panggung yang dikelilingi banyak orang. Gadis itu tidak bisa melihat siapa pun selain wajah-wajah gelap yang berusaha mengintimidasi dan menatapnya penuh kemarahan. Terdengar banyak suara keluhan yang masuk.

"Cepatlah menyanyi!"

"Sampai kapan adegannya mau diulang?"

"Haish, di sini panas sekali sialan!"

"Kenapa akting pemeran utama sangat buruk?"

Zoey menunduk sedalam-dalamnya tatkala mendengarkan cemoohan tersebut. Ia begitu pusing mencari jawaban mengapa aktingnya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Apakah mungkin ... karena dia bukan Zoey yang asli?

Gadis itu menggeleng kuat. Seharusnya bukan seperti ini. Seingatnya, Zoey di buku dideskripsikan sebagai aktris paling top sedunia yang mana memiliki segudang bakat. Menyanyi, menari, memainkan alat musik, memainkan bermacam-macam peran, dan semuanya bisa dia lakukan di dunia hiburan. Akan tetapi, kini terdapat pengecualian bahwa dia tak bisa menyanyi.

"Lihat, tuh! Pak Sutradara jadi melampiaskan amarah ke juru kamera," ujar salah satu penonton saat melihat Sutradara melempar botol bekas air mineral ke kameramen.

"Mungkin dia sengaja memanggang kita di ruangan ini," timpal seseorang.

"Dia kira kami gampang jadi figuran?"

"Kenapa pula Sutradara memberikan pemeran utama kepada gadis tidak berbakat sepertinya?"

"Memalukan!"

"Ganti peran saja!"

Zoey mendengar langkah sepatu yang mendekat dengan tergesa-gesa. Gadis itu sedikit mengangkat kepala, melirik takut pada manajernya yang baru saja memohon maaf pada Sutradara. Terlihat kerutan di sekitar mata sang manajer.

"Nona, lakukanlah seperti biasa." Wanita itu menepuk pelan pundak Zoey dan membuatnya menelan saliva susah.

Gadis kecil tersebut mengangguk kaku. Seperti biasa apanya?

Tangan Zoey yang gemetar masih memegang mikrofon dengan erat. Ia memandang pria berkumis panjang di depannya, berjarak tujuh meter. Dia memegang pengeras suara kemudian meneriaki Zoey agar lebih serius.

"Semua atur posisi!" perintah Sutradara tersebut.

Zoey berjengkit kaget sekaligus merasa tertekan. Semua orang bungkam. Zoey pun memejamkan mata berusaha menenangkan rasa gugup. Ruang studio yang mendadak sepi dan hening membuat Zoey kian berkeringat dingin. Sudah puluhan kali take video dilakukan, tetapi aktingnya tidak pernah memuaskan orang-orang.

"Sudah siap?" tanya Sutradara sambil menatap para kru, kameramen, termasuk para pemain satu per satu. Mereka mengangguk mantab. "Ok. Action!"

Setelah mendengar aba-aba, Zoey dengan cepat membuka mata. Ia bahkan belum mengangguk, namun panggung tempatnya berdiri semakin terang oleh lampu sorot. Zoey mendapat banyak cahaya dari berbagai sisi. Musik yang sama pun diputar kembali untuk mengantar sebuah lagu.

Mereka berteriak seperti marah, seolah ingin menenggelamkan Zoey dari panggung ini. Teriakan para penonton bukan karena mereka menyandang status penggemar, melainkan mereka hanya pemain figuran yang dibayar. Justru penggemar asli adalah 'mereka' yang duduk di kursi berderet paling belakang. Sayangnya, tempat duduk tersebut benar-benar gelap.

Oh, tidak ... bibirnya gemetar lagi. Saat Zoey mendekatkan mikrofon, ia mencoba melantunkan satu baris, tetapi kata yang keluar menyerupai isak tangis anak kecil. Sontak hal itu membuat Zoey sendiri terkejut. Tanpa sadar ia menjatuhkan mic sehingga menimbulkan bunyi denging panjang yang cukup nyaring.

"Cut!!!" bentak Sutradara di saat para penonton masih menutup kedua telinga mereka. Pria berkumis tersebut membanting kertas naskah dan pergi, lalu ruang studio pun mendadak sunyi.

Denging panjang sudah tidak ada. Namun kini, beberapa figuran mulai berbisik-bisik atas perginya sutradara mereka. Zoey tidak tahu apa yang orang-orang bisikkan. Hanya saja, mereka selalu menatap sinis ke arahnya. Tatapan yang seperti predator menemukan ancaman. Gadis cilik tersebut merasa tersingkirkan.

"Nona, ayo ke ruang rias sebentar." Sang Manajer menarik lengan Zoey agak kasar, membuatnya meringis.

"M-manajer," ucap Zoey. Lirih.

Manajer tidak mendengarkannya dengan baik. Dia berjalan cepat tanpa memedulikan langkah Zoey yang terseok-seok.

"Manajer." Nadanya panik mengikuti langkah sang manajer. Arah ini bukan ke ruang rias. Ke mana manajer mau membawanya?

"Aah!"

Zoey sudah mengira akan terjadi hal seperti ini. Ia pikir akan jatuh saat pergelangan tangan dicengkeram terlalu kuat. Lalu Manajer melepas tangannya tanpa aba-aba. Lutut Zoey pun bergesekan dengan lantai kayu yang kasar. Sangat sakit sebab pipih kayu tersebut belum diamplas.

"Sakit, kan?" tanya manajer sambil berjongkok. "Apa Nona tahu betapa kesulitannya kami menerima Anda debut sebagai idola? Kami juga sakit kalau Nona tidak serius dalam menyanyi! Hanya karena Tuan Donatur menyiapkan segepok uang pada agensi, bukan berarti Nona Kecil bisa seenaknya!"

Ah, buruk sekali. Pandangan manajer tersebut gelap. Terlihat kerutan di sekitar mata dan juga dahi. "Apa susahnya sih menyanyikan satu lagu?"

"M-maaf," cicit Zoey seraya meringis sakit.

"Tuan Donatur mengatakan, suara Anda bagus."

"Ayah?"

"Iya. Beliau sering mengirim video rekaman saat Nona bernyanyi kepada saya. Meski saya belum pernah mendengar Anda bernyanyi secara langsung, tapi saya pernah mendengar rekamannya. Itu sebabnya saya menerima Nona sebagai talent."

Perlahan bulir bening menumpuk di mata. Pandangan Zoey mengabur. Bayangan manajer wanita di depannya semakin tidak jelas. "Manajer, aku sungguh minta maaf."

Manajer itu mengusap pipi Zoey. Ia jadi tidak tega kalau sudah membuat anak orang menangis ketakutan begini. "Ck, sudahlah. Jangan menangis, Nona. Besok-besok lagi tolong lakukan seperti biasa ketika Anda menyanyi di rumah."

"Iya."

"Hm, sekarang tutupi lutut Nona dengan jaket."

Pada akhirnya, Zoey dipulangkan tanpa menyelesaikan satu adegan pun. Ia termenung di dalam mobil sembari melihat pemandangan luar. Hari ini sangat melelahkan menghadapi para pemain yang seolah memusuhi Zoey. Mereka juga memasang ekspresi tidak suka karena mengingat kedatangannya yang lewat jalur belakang.

"Zoey, ada apa?" tanya Geornia yang duduk di jok depan.

Adiknya itu tersentak, padahal biasanya ia diam saja. Tatapan Geornia saat ini terlampau datar yang mana membuatnya merinding. Terlebih ia bertanya tanpa menolehkan belakang. Arah pandangnya terfokus pada kolam air mancur raksasa di depan pintu masuk studio.

"Ti, tidak apa-apa, Kakak. Zoey hanya mencemaskan Ayah. Kenapa dia lama sekali, ya?" Zoey tertawa canggung. Saat ini mereka berdua sedang menunggu Tuan Hashe untuk pulang bersama.

Detik berikutnya, Zoey meneguk saliva. Gadis cilik itu berkeringat meskipun kaca mobil sudah dibuka. Dari spion depan memperlihatkan raut wajah Geornia masih saja datar.

"Dia sedang membujuk Pak Sutradara agar tidak mengeluarkanmu dari film."

"Ba-bagaimana Kakak tahu?" Zoey dengan ragu mendongak, melihat wajah Geornia lebih jelas.

Sang kakak menghela napas. "Hanya tebakan. Aku tahu ini akan memakan waktu lama. Dia sibuk berbicara dengan pria berkumis aneh itu tentang masa depan karirmu."

Telinga Zoey menaik sebelah. "Pria berkumis aneh?" Ia membeo.

Kalau diingat-ingat, sutradara memiliki bentuk kumis seperti sikat gigi. Terkesan cukup unik. Zoey hampir saja tertawa karena Geornia barusan mengatakan hal lucu.

Suasananya agak mencair sekarang. Zoey pun memberanikan diri mencondongkan tubuh ke belakang. Ia penasaran pada apa yang Geornia lihat sejak tadi. "Kak Nia, kamu sedang lihat apa?"

"Kamu penasaran?" Geornia balik bertanya diikuti senyum tipis.

Si empu mematung dua detik. Oh, jarang sekali Geornia tersenyum. Zoey merasakan kedua pipinya memanas. Itu memerah tanpa alasan.

"Iya."

Geornia lalu diam-diam menunjuk ke arah kolam, tidak, lebih tepatnya seseorang di tepi kolam air mancur tersebut. Seorang pemuda dengan pakaian lusuh melekat di tubuhnya. Dia duduk meringkuk sembari menatap ke depan penuh kehampaan. Sepertinya dia pengemis.

"Tidakkah menurutmu kakak itu kasihan? Aku sering melihatnya setiap hari di situ. Kadang dia dilempar batu, buah-buahan busuk, atau dihajar anak-anak nakal. Aku juga tidak pernah melihatnya makan. Lihatlah orang-orang mengganggunya."

"Kasihan sekali ...." Mata Zoey berkaca-kaca.

Reaksi gadis cilik itu membuat hati Geornia puas sekaligus lega. Seperti yang diharapkan dari sang Bintang Biru, seharusnya dia memang menunjukkan sikap selembut kapas jika menyangkut hidup dan mati seseorang.

"Apa Zoey mau kasih dia makan?" Geornia mengangkat satu alis. "Sepertinya dia juga sulit mendapat makanan."

"Ya!" Zoey mengangguk antusias. Pandangannya menajam seolah ingin menyelamatkan dunia dan seisinya. Imut sekali.

"Pfft, apa kamu punya makanan?"

"Eh? Ti, tidak ...."

"Haha. Tidak apa-apa. Aku punya bekal makan siang dan masih utuh. Kamu gunakan ini saja untuk kasih makan ke kakak itu, tapi jangan bilang-bilang kalau ini dariku."

Geornia menyodorkan kotak bekal miliknya ke pangkuan Zoey, membuat gadis cilik tersebut menerima dengan pandangan tanda tanya alias kebingungan.

"Kak Nia tidak ikut?"

Geornia melengkungkan bibir ke bawah, kemudian menggeleng. "Aku sangat ingin ikut, tetapi mendiang ibuku melarangku menolong orang asing. Aku menunggu di mobil saja."

"Memangnya kenapa?" tanya Zoey mengernyit. Ia sedikit takut kalau harus pergi sendiri. Apalagi, berhadapan dengan orang asing agak menakutkan.

Geornia mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu, Zoey. Ibuku melarang dan sebagai anaknya aku hanya bisa patuh. Tapi Zoey berbeda, kan? Zoey pasti bisa menolongnya."

Zoey terdiam mengatupkan bibir. Entah kenapa punggung Zoey terasa dingin. "Baiklah."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top