Masa Dewasa 4.6 (si Z bangun dari Mimpi buruk)
Yakk! Dari mana Zoey tahu kalau mimpi itu kepingan memori yang kabur? Revisi tuh nanti kudu dijelasin.
Zoey membuka mata, lalu menemukan langit-langit kamar yang terasa asing. Dia mengerjap beberapa kali. Perlahan mengubah posisi menjadi duduk serta memegang kepalanya yang terasa pening.
Mimpi ....
Barusan ia bermimpi buruk.
Pada dasarnya, semua adegan termasuk bagian latar yang ada di dalam mimpi Zoey adalah kepingan memori yang telah kabur.
Zoey memejamkan mata, berusaha mengingat mimpi buruknya yang cukup aneh. Di mimpi, Zoey melihat Kyle dan dirinya di bawah pohon ek dengan kolam kecil di samping. Saat itu musim gugur. Dedaunan kering yang berjatuhan menimbun permukaan kolam. Tak jauh dari taman belakang tersebut, Geornia sedang mengawasinya dari rumah kaca dan wanita itu menatap mereka penuh dengki.
Yang paling aneh, yakni kemunculan pohon ek dewasa di samping kolam ikan. Cabang batangnya lumayan banyak. Kepala Zoey seperti dirubung semut saat mencari potongan memori terkait eksistensi pohon tersebut. Seingat Zoey, tukang kebun lebih dulu menebangnya sebelum dia memiliki cabang sebanyak itu.
Lalu kemunculan Manajer Eric semakin membuatnya bingung. Pria bermanik cokelat keemasan kerap berdiri menjaga Geornia dari belakang. Selama kontrak, Zoey belum pernah melihat kedekatan interaksi keduanya secara langsung. Namun ia tahu pria itu selalu berada di pihak kakaknya, memandangi Zoey seolah musuh bebuyutan dan menjadikannya target yang harus disingkirkan.
"Kupu-kupu." Ia bergumam sembari menyentuh bibir. Telinga Zoey seakan pernah mendengar mengenai pola kupu-kupu yang Manajer Eric sarankan pada Geornia.
Zoey menelan saliva susah. Ia mulai menyapu pandangan ke sekitar, lebih tepatnya pada dinding serta perabotan yang ada, di mana terpajang foto-foto transformasi Melisa mulai dari kecil hingga dewasa. Dari sini ia dapat menyimpulkan bahwa dirinya berada di kamar Melisa. Sebuah tempat yang aman, setidaknya untuk sementara.
Terdengar pintu berderak, menandakan seseorang mendorongnya masuk. Tampak kepala Melisa menyembul ke dalam melongok kondisi gadis di dalamnya. "Oh? Sudah bangun?" tanya Melisa berjalan mendekat.
Ia menutup pintu dengan hati-hati, takut suara berisiknya mengganggu istirahat Zoey. Gadis berambut hitam hanya mengangguk.
"Aku minta maaf karena telah memisahkanmu dari Edmund." Melisa meletakkan semangkuk bubur yang dibawa ke meja nakas.
"Edmund?" beo Zoey.
"Ya. Tadi dia mengamuk saat aku melarangnya membawa kamu ke rumahnya. Kamu pasti tidak ingat karena masih tidur."
"Ah, maaf," ringisnya. Zoey menggaruk pelipis yang tidak gatal. Pijatan Melisa di telapak tangannya membuat ia nyaman sehingga tanpa sadar malah tertidur.
Melisa menggelengkan kepala. "Jangan minta maaf. Yang tadi itu bahaya sekali, Zoey. Kamu akan kesulitan menghadapi pria itu. Kalau di masa depan dia macam-macam, kamu bisa mengubungiku."
"Oke."
"Omong-omong bagaimana perasaanmu? Sudah baikan? Atau ada yang kurang nyaman? Katakan saja, biar kubantu sebisaku," cecarnya beruntun.
"Emm, belum ada. Terima kasih banyak, Melisa. Aku merasa jauh lebih baik sekarang," jawab Zoey tersenyum menunjukkan gigi serinya yang putih. Hal itu membuat Melisa memegang tengkuk, merinding. Sontak Zoey menetralkan wajah. Apakah kalimatnya barusan salah? Atau ekspresinya tidak bagus?
Menyadari kegelisahan gadis itu, Melisa berusaha mencairkan suasana dengan tertawa renyah. Ia duduk di tepi ranjang, menyentuh keningnya sebagai pengecekan. "Maaf, aku hanya belum terbiasa melihat wajah seperti itu mempunyai senyum yang menawan."
"Wajah ... seperti itu?" Zoey mengernyit kebingungan.
"Apa kamu pernah mendengar soal tunangan Edmund?"
Zoey menggeleng. Edmund jarang menceritakan hal-hal pribadi seperti hubungannya dengan orang lain. Membahas dirinya sendiri saja masih memilih-milih momen yang tepat, mana cukup untuk membahas orang lain.
"Sudah kuduga." Melisa mendecak. "Aku bisa saja kasih tahu, namun rasanya lebih etis kalau mendengar cerita dari orangnya langsung."
Zoey meringis. "Ehm, ya. Sebenarnya ... aku juga tidak terlalu penasaran. Edmund pasti punya alasan pribadi kenapa dia tidak memberitahuku."
"Terima kasih sudah mengerti." Melisa meraih genggaman tangan Zoey, membuat Zoey tersentak.
"Ini bukan apa-apa," jawabnya. "Edmund sudah banyak membantuku."
"Meski aku belum bisa menceritakan apa pun mengenai tunangannya, kamu bisa melihat beberapa fotonya yang kusimpan dalam album. Apa kamu mau lihat?"
"Aku?" Zoey menunjuk hidung sementara Melisa masih menatapnya penuh arti. Gadis itu tidak nyaman jika menolak. "Kalau tidak merepotkan, mungkin aku mau lihat sebentar saja."
Melisa pun beranjak mencari album foto dari rak di samping lemari, lalu menyerahkannya ke Zoey. Ia mengambil sebuah album bersampul biru polos. "Foto ini diambil saat perayaan pendirian Rumah Sakit," katanya sambil membuka halaman pertama.
Foto-foto itu memuat momen penting ketika Melisa mulai bekerja di Rumah Sakit X. Melisa berambut pirang dikelilingi orang-orang berseragam seperti dokter, suster, petugas keamanan, kebersihan, bahkan beberapa pasien. Namun, Zoey melihat dengan penuh perhatian pada sosok wanita di belakang Melisa yang muncul di beberapa slide.
"Ini ...."
"Ini tunangan Edmund," potong Melisa sambil menunjuk foto seorang wanita muda yang tampak sangat mirip dengan Zoey. Meski warna fotonya hitam-putih, tetapi ia dapat mengenali wajah itu dengan baik.
Wajah tunangan Edmund begitu familiar. Rambut hitam sebahu, mata gelap seperti malam, dan raut wajah yang jarang tersenyum. Dia terlihat acuh tak acuh. Di foto itu, tunangan Edmund tampak suram dan kurang suka bergaul.
"Aku belum terlalu dekat dengannya dan pada beberapa momentum belum pernah kulihat dia tersenyum. Mungkin karena selain beda divisi, dia juga sulit didekati bahkan bersikap cuek terhadap tunangannya sendiri—" Melisa terhenti, sebab terkejut mendengar apa yang ia ucapkan. Dengan segera wanita kurus itu menutup mulut.
Zoey terkekeh pelan. "Kasihan sekali Edmund," ujarnya prihatin. Kalau memang secuek yang Melisa katakan, tidak heran saat ia tersenyum tadi, Melisa menatapnya horor.
Zoey pun kembali menatap foto tersebut. Ia seperti melihat dirinya sendiri. Namun anehnya, ia tahu kalau itu orang lain. "Melisa, bisakah kamu mengenalkannya padaku?"
Melisa mengerutkan kening, "Aku tidak tahu apakah aku boleh mengatakan ini, tapi tunangan Edmund sudah meninggal."
Mendengar jawaban tersebut, Zoey terbelalak. Ia lalu mencoba merangkai semua ingatannya yang tercecer di rumah tua. Mulai dari kepedulian Edmund tanpa kata dan sikapnya akhir-akhir ini.
Zoey tertegun. "Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Edmund sama sekali tidak pernah bercerita."
"Kalau aku jadi Edmund, aku juga tidak akan menceritakannya padamu, Zoey. Nanti apa yang harus Edmund katakan? Soal wajah kalian yang sama mirip? Yang benar saja."
Zoey menunduk. "Ya. Kami mirip," gumamnya.
Hal ini mengingatkan Zoey tentang mimpi buruk. Sangat buruk. Ia melihat dirinya sendiri bersikap dingin terhadap Kyle. Seolah-olah, sosok Zoey yang berada dalam mimpi tersebut bukanlah Zoey yang 'asli'.
Melisa memiringkan kepala, memperhatikan perubahan ekspresi gadis itu. "Wajahmu terlihat pucat."
Zoey mengangkat kepala. "Benarkah?"
"Biar aku siapkan mobil dan segera memeriksakan kamu segera ke rumah sakit."
Zoey menahan pergelangan tangan Melisa. "Jangan," ucapnya lemah.
Tiba-tiba, kepala Zoey terasa sangat pusing. Ia tidak sanggup kalau berpergian sekarang. Ia lalu meraih kepala, berusaha menahan rasa sakit yang menyengat. Wajahnya meringis.
"Zoey, kamu tidak apa-apa?" Melisa tampak khawatir. Ia segera berdiri. "Kamu sangat pucat."
"Kepalaku pusing."
"Astaga, kita harus ke dokter!"
"Jangan ...."
Zoey merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa butir obat. "Manajer Eric secara rutin memberiku obat ini agar sakit kepalaku mereda. Mungkin kepalaku kambuh lagi karena berhenti minum," ujarnya dengan suara bergetar.
Melisa menatap obat-obatan itu dengan cemas. "Biar kulihat," katanya, mengambil butir-butir obat dari tangan Zoey dan memeriksanya dengan seksama.
Matanya melebar saat ia mengenali bentuk dan warna obat itu, tetapi ia belum sepenuhnya yakin. "Apa obat ini membuatmu kecanduan?"
Zoey merasa kesadarannya semakin lemah. Dia mengangguk singkat. "Oleh karena itu, Melisa, jangan bawa aku ke rumah sakit. Aku tidak mau punya rekam medis sebagai pecandu obat. Nanti karirku bisa hancur."
Melisa ternganga mendengar alasan Zoey menolak pemeriksaan. Edmund pernah mengatakan, bahwa Zoey adalah seorang aktris terkenal di negara asal. Namun, ayolah, yang benar saja!
"Kamu masih memikirkan karir di saat seperti ini?" tanya Melisa tak percaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top