Di sini, Melisa masih kurang plot soal kenapa dia nggak kepo dengan cerita Mr. Willson. Mungkin bakal ada tambahan adegan entah itu Lucas atau Andrew yang ngasih tahu kalau Edmund masih hidup? Dan ada posisi dia kalut.
Dalam cahaya remang yang sunyi, jeritan pilu merayap keluar dari dalam ruangan, merobek keheningan dengan kepedihan yang menyayat telinga. Edmund mendekati sumber suara untuk memastikan siapa yang menjerit. Pria itu membungkuk. Sebuah lubang kunci dapat mengizinkan satu matanya mengintip, seorang wanita yang tidak ia kenal tengah menangis darah.
Mr. Willson tertawa keras usai menguliti wajah Aisha layaknya mengupas kulit apel. "Mau kutambah ukiran lain?"
Edmund berkedip menunggu jawaban si wanita. Namun, wanita itu tak menjawab. Dia tergeletak tak berdaya dan bersandar pada kaki kursi yang sedikit peyot. Mr. Willson menarik senyum. Tak lama setelah itu, lagi-lagi Aisha melengkingkan jeritan.
"Diam artinya iya," ucap Mr. Willson tanpa merasa bersalah.
Wanita itu memicingkan sebelah mata. Ia sudah bertahan hidup sepanjang malam, tetapi esok hari Mr. Willson masih menyiksanya. "Dasar pengecut, bunuh saja aku!"
"Aku memang mau membunuhmu, tapi ini bahkan belum sebanding dengan permohonan yang dibuat nonaku. Coba memohonlah lebih sungguh-sungguh." Mr. Willson mengangkat dagu Aisha dengan ujung pisau hingga wanita itu mendesis perih. "Lalu, aku benci wanita yang bicara kasar."
Aisha mendecih. "Dasar pengecut!" ulangnya.
"Haha! Kau hobi menantang orang juga, ya? Menarik, sangat menarik."
"Heh, saya memang menarik, tidak seperti Anda yang diabaikan oleh seseorang."
Eric terhenyak. "Siapa yang kau maksud?"
"Pantas saja dia mau kabur, kan?" seringainya. Keringat Aisha menyatu dengan darah. Sinar matanya meredup seakan mendekati kematian.
Eric mengernyit kesal. Ia pun mengangkat bilah tajam ke udara, bersiap menyerang. "Bicara yang jelas atau kupangkas lehermu!"
Edmund lekas menjauhkan wajah dari lubang kunci. Jakunnya naik turun. Pemandangan yang akan terjadi mungkin terlalu brutal. Dia mencoba mengatur napas sembari melangkah gontai ke kursi Jarinya gemetar memencet tombol-tombol angka.
"Melisa, ayo angkat." Dia bergumam.
Wanita yang dituju sedang terlelap ketika sebuah panggilan darurat itu membuatnya terbangun. Ia masih setengah sadar sehingga Lucas dengan sigap merebut telepon sebelum Melisa mengangkatnya.
"Hei!" Dia tampak protes, tetapi suaranya cukup serak untuk menerima panggilan.
Lucas mengedipkan sebelah mata nakal ke arah Melisa sembari mendekatkan lubang speaker ke daun telinga. "Selamat pagi! Terima kasih sudah menghubungi Rumah Sakit X. Adakah yang bisa kami bantu?"
"Kau Lucas? Tolong beritahu Melisa kalau Andrew celaka."
"Apa?" Lucas mencuramkan alis. Rautnya menjadi lebih serius dan nadanya terdengar syok.
Melisa yang berusaha mengumpulkan kesadaran dibuat penasaran. "Siapa?" ucapnya sambil mengucek mata.
Lucas meletakkan satu jari ke bibir, menyuruh Melisa diam sebentar. Wanita tersebut pun mengangguk dan menajamkan pendengarannya. Ia ingin tahu jelas apa yang dikeluhkan si pemanggil.
"Dengar, aku sekarang bersama Andrew. Kami terjebak di rumah Mr. Willson. Ah tidak, sebenarnya hanya dia yang terjebak. Namun mana mungkin aku pergi, kemudian meninggalkannya terluka sendirian, benar?" Sesekali Edmund menoleh ke pintu ruangan di mana Mr. Willson melakukan tindak kejatahan. Ia takut tiba-tiba pria berbahaya itu keluar dari sana sambil membawa senjata tajam.
Mendengar suara yang familier, Melisa pun membulatkan mata tak percaya. "Edmund?"
"Iya. Ini aku—Edmund."
"Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja, kan?" bisik Melisa sembari merebut alih telepon dari tangan Lucas.
Terlihat beberapa orang berseragam putih memasuki ruang kerja. Mereka melempar senyum karir untuk menyapa Lucas dan Melisa yang datang lebih awal karena shift malam. Sebagai respons, keduanya menunduk singkat.
"Aku baik, tapi Andrew tidak," jawab Edmund menggedikkan bahu. "Lengannya tertimpa lemari baja dan membuatnya terjebak. Untung saja, Mr. Willson tidak serius menghadapi bocah itu."
"Andrew? Katakan pelan-pelan, Edmund. Suaramu terputus. Bagaimana bisa Andrew bersamamu?" Melisa menaikkan sebelah alis.
Edmund menggaruk kepalanya, frustrasi. "Ceritanya panjang, Melisa. Aku malas menjelaskan karena sinyal di sini sangat jelek! Intinya, kami terjebak di rumah Mr. Willson. Kalian cepatlah kemari!"
"Oke. Kalau begitu, kamu jangan pergi ke mana-mana karena panggilan ini akan segera disambungkan ke saluran cabang."
"Tidak! Jangan sambungkan ke saluran cabang. Aku butuh bantuan kalian untuk merahasiakan hal ini. Bisakah kalian menjemput kami saja berdua tanpa sepengetahuan rumah sakit ataupun pegawai sipil?" pinta Edmund.
Melisa mengernyit tak yakin. "Maksudmu, aku dan Lucas? Kami sedang bekerja jadi belum memungkinkan untuk menjemput kalian."
"Ayolah, Mel! Nyawaku dan Andrew di sini dipertaruhkan."
"Tapi meninggalkan pekerjaan rasanya agak—" Melisa menghentikan kalimat sebab terdengar bunyi yang menandakan bahwa panggilan tidak lagi tersambung. "Halo?"
Sambungan telepon berakhir tanpa kesimpulan apa-apa.
"Edmund meminta kita ke sana tanpa membeberkan hal ini ke pegawai sipil," ucap Melisa sambil menatap Lucas yang juga menatapnya.
Lucas menarik napas berat. Sudah menjadi kabar simpang-siur bahwa Edmund merupakan pelaku di balik kecelakaan ambulans yang menewaskan dua orang perawat. Jika hal ini sampai bocor, mungkin polisi akan langsung menangkap Edmund.
"Kalau begitu, tidak ada cara lain selain menjemputnya setelah pergantian jam kerja. Kita tunggu saja Clara dan Monica."
Melisa mengangguk. "Haruskah aku hubungi mereka berdua agar datang lebih cepat?"
"Tidak usah. Nanti yang ada mereka bertanya-tanya. Kita jangan sampai membuka mulut."
"Baiklah."
Melisa kembali menyibukkan diri dengan tugasnya. Ia sedikit khawatir, mungkin Edmund perlu bersabar dan menunggu setengah jam lagi.
***
"Kenapa lama sekali?" keluh Andrew.
Edmund sontak melayangkan tatapan elang. "Diam!"
Di tangan Zoey, terdapat komponen remot yang rusak parah. Sangat parah. Ia telah memungut tiap bagian yang tercecer, lalu menggabungkannya kembali seperti sedia kala. Namun per komponen remot itu selalu memisahkan diri lagi saat tombol kendalinya digeser. Ini sudah yang kelima kali.
"Sudahlah, aku tahu niatmu baik, tapi jangan buang-buang tenaga hanya untuk gagal." Andrew memandang Zoey prihatin.
Dari awal, ia memang tidak ingin berharap banyak kepada gadis itu. Jari-jari Zoey terlalu kaku. Padahal, saat SMA dirinya sering memperbaiki barang-barang kecil karena dipaksa keadaan. Membongkar kipas angin dan mengutak-atik mesin cuci adalah hal biasa.
"Maaf, aku sudah lama tidak memegang benda seperti ini."
Zoey tetap berusaha memperbaiki, membuat Andrew menghela napas. Alasan dia bersikeras sejauh ini karena hanya dialah yang pernah melihat remote control modern tersebut. Zoey cukup penasaran dari mana Manajer Eric mendapatkannya.
"Ah ...." Andrew meringis tatkala penumpu lemari perlahan-lahan naik.
"Andy!"
Zoey mendongakkan kepala, menatap Edmund yang lekas menghampiri Andrew dan membantu mengeluarkan lengannya dari bawah lemari. Dia juga membantu temannya itu berdiri.
"Lihat, kan? Aku bisa memperbaikinya!" seru Zoey tersenyum lebar. Ini merupakan sebuah pencapaian besar mengingat di kehidupan sekarang, ia tak pernah memperbaiki alat apa pun. Entah bagaimana ceritanya dia tadi bisa membuat remot kontrol kembali bekerja.
Andrew mengangguk jengah. "Terima kasih."
"Sama-sama, tapi kamu harus janji mendengarkan ucapanku lebih banyak ke depannya."
"Apa?" Andrew menaikkan sebelah alis. "Kenapa aku harus mendengarkanmu? Memangnya kamu siapa?"
Zoey membuka mulut, hendak menyebutkan namanya, tetapi ponsel milik Andrew berdering. Edmund pun segera mengangkatnya. "Halo, Mel."
"Aku sudah sampai. Bagaimana situasi di sana? Masih aman?" tanya Melisa beruntun.
Edmund melepas pegangan Andrew, membiarkan pria itu mandiri. "Masih. Untung saja rekan kita selamat. Dia tak lagi terjebak, lalu Mr. Willson memberikan kita kesempatan untuk kabur. Kurasa mood dia sedang bagus."
"Syukurlah. Tapi, kalian bisa keluar dari rumah itu, kan? Kami sudah tiba di dekat rumah yang kamu maksud meskipun agak jauh," ucap Melisa sambil memandang jendela rumah dengan tirai sedikit tersingkap. Gelap.
"Oke, tunggu sebentar!" Edmund mematikan telepon, kemudian mengangguk ke arah Andrew. "Melisa sudah datang."
"Melisa?" tanya Zoey kebingungan. Namanya terdengar tak asing. Bibi Pengasuh sang kakak alias Geornia juga bernama Melisa. Tanpa sadar, Zoey meneguk saliva.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top