Masa Dewasa 4.2 (Kelebihan Dosis)

Ini nanti diubah urutannya, jadi biar alurnya nggak terlalu acak, tapi mungkin sedikit mundur dan maju. Lebih baik ditaruh di bab yang runtut. Atau mungkin enggak usah, ya?

Ada hari di mana Zoey bertanya pada pria berambut hitam. Edmund. "Apa kau bosan hidup?"

Jujur, ia memang bosan hidup tanpa kehadiran wanita yang telah menemaninya berjuang dari titik nol. Bridie bersikeras menyeretnya ke dunia medis dan dengan sabar menghadapi sifat Edmund yang keras kepala. Dia ingin menyelamatkan banyak orang. Begitu juga Edmund, ia ingin membantu mewujudkan keinginan Bridie.

Edmund menatap mata keruh yang dipancarkan gadis di depannya. Sama seperti dirinya. Dia memandang kehampaan seolah bosan akan hidup, tetapi juga tidak ingin mati.

"Kenapa Nona Pasien menanyakan hal itu?"

"Daritadi aku bertanya di mana Manajer Eric dan memintamu memanggilnya kemari. Aku tidak pernah menyuruhmu mengatakan omong-kosong!"

Edmund tertegun. "Saya minta maaf."

'Gadis ini ... sudah parah, Tidak bisa diselamatkan,' pikirnya.

Zoey menghela napas. "Jadi, di mana Manajer Eric?"

"Beliau keluar."

"Ke mana?" Satu alis gadis itu terangkat.

"Entahlah." Edmund menggedikkan bahu meski Zoey tidak dapat melihatnya. "Beliau hanya menyuruh saya menjaga Nona Pasien."

"Panggil aku Zoey."

"Maaf?"

"Panggil aku Zoey," ulangnya dengan nada kesal. "Dan kamu tidak perlu memakai bahasa formal saat Manajer Eric tidak di sini. Aku tahu kamu bukan perawat sungguhan."

Edmund meralat, "Saya memang bukan perawat sungguhan, tapi saya termasuk petugas medis."

"Apa?" Kali ini Zoey tersentak.

"Dan manajer Anda mungkin akan menjahit mulut saya kalau berani menggunakan bahasa informal, apalagi memanggil nama Anda secara langsung ... sama saja cari mati, " sambung Edmund pelan.

Zoey mencengkeram erat selimutnya. Ia lantas menggeleng. Sebelah tangannya terangkat ragu. "Tu-tunggu sebentar, dari mana Manajer Eric mendapatkanmu—seorang paramedis? Ini bahkan bukan rumah sakit."

Edmund terdiam. "Apa manajer Anda mengatakan kalau ini rumah sakit?"

Entah permainan apa yang sedang mereka mainkan.

Hening. Zoey tidak berniat mengangguk ataupun menggeleng. Gadis itu mengusap poni ke belakang, berpikir keras. Ia teringat perawat kemarin yang sudah lama tidak terdengar usai Manajer Eric melaporkannya ke 'pihak rumah sakit' atas tindakan kasarnya.

"Haah, gila. Jangan-jangan, mulut perawat wanita yang bisu kemarin ...."

Zoey mengetatkan bibir. Kedua pipinya menggembung seakan menahan sisa-sisa makanan yang hendak keluar. Edmund mencari wadah untuk tempat muntahan. Namun yang ia temukan hanya barang-barang aneh. Sontak bola matanya memutar sebab tidak menemukan wadah yang pas.

"Huekkk!"

Edmund menoleh cepat, lalu mendapati gadis itu telah mengeluarkan isi perutnya ke arah samping. Untung saja dia tidak mengotori bagian kasur dan selimut.

"Ugh, rasanya tidak nyaman." Zoey mengecap rasa pahit dan menjijikkan sambil memegang perut. Bau anyir yang kuat membuat lambungnya bergejolak.

"Anda mau muntah lagi?" tanya Edmund bersiap sedia membukakan kantong plastik.

"Bisa kutahan," jawabnya sambil berusaha menutup hidung.

"Mau minum?" Edmund meraih gelas kosong.

Zoey menolak. "Tidak mau."

Pria itu mengangguk, lalu memutari ranjang sampai melihat ke sisi di mana cairan biru berceceran. Ia berjongkok, memperhatikan muntahan tersebut dan membandingkannya dengan warna obat yang sempat diberikan Mr. Willson diam-diam.

"Ini sudah kelebihan dosis," gumam Edmund.

Tapi aneh, seharusnya Mr. Willson tidak baik-baik saja karena dia juga mengonsumsi obat tersebut. Edmund melihat dengan mata kepalanya sendiri cara Mr. Willson membuat Zoey menelan obat dari mulut ke mulut.

"Kau sedang apa?" Zoey mengernyit sebab kurang jelas mendengar gumaman Edmund dari bawah.

Edmund mendongak memandang intens wajah pucat Zoey. Kalau mengatakan omong kosong lagi, gadis ini pasti tidak mau dengar. Akhirnya ia hanya menggeleng.

"Saya sedang membersihkan muntahan Nona Pasien." Sama sekali tidak ada nada jijik. Seolah, dia sudah terbiasa menghadapi situasi barusan.

"Kamu ... benaran petugas medis ya?" tanya Zoey hati-hati. Ia menggunakan sapaan 'kamu' dan bukan 'kau' karena takut menyinggung lelaki itu.

"Saya pengemudi ambulans, tapi saya juga mempelajari sedikit-sedikit tentang cara memberikan pertolongan pertama. Nona Pasien bisa menyebutnya paramedis. Namun tidak semua orang yang mengemudikan ambulans mempelajari hal yang sama."

"Artinya, kamu dari rumah sakit sungguhan? Apa kamu tahu sekarang kita ada di mana?" tanya Zoey antusias.

"Hah, Anda tidak tahu?" Edmund balik bertanya.

"Tidak. Manajer Eric hanya menyebutkan negara. Dia menyembunyikan nama kota dan tidak membiarkanku mengetahuinya."

"Saya mengerti. Itu artinya saya juga tidak bisa memberitahu apa pun."

"Hei—"

"Apa Nona Pasien masih merasa mual?" potong Edmund, berusaha mengalihkan topik.

Ia membuka telapak tangan Zoey yang mengepal menahan emosi, lalu memijatnya dengan lembut.

"Menekan titik akupuntur di bawah ibu jari katanya akan mengurangi rasa mual." Sebenarnya ini bohong.

Zoey tersentak karena tiba-tiba tangannya ditarik. Ia sempat kepikiran menolak kalau saja pijatan itu tidak membuatnya lebih rileks. Ingin sekali Zoey melayangkan tatapan tajam tepat ke arah mata Edmund.

"Bukankah perut Anda terasa lebih nyaman?"

"Ya, lumayan." Zoey seketika malas mengobrol dan memilih berbaring.

Edmund menatap kelopak mata Zoey yang perlahan terpejam. Dengan wajah pucat, entah bagaimana gadis itu bisa bertahan di tempat mengerikan ini. Terlebih lagi, bersama pria gila yang hobi mengoleksi gambar-gambar mayat.

Apakah Zoey akan menjadi koleksi yang kesekian? Kalau diperhatikan, wajah Zoey begitu halus nyaris tanpa goresan sehingga memungkinkan orang seperti Mr. Willson ingin menghancurkannya dengan benang-benang sialan itu. Membayangkan kemungkinan tersebut, entah kenapa membuat pikirannya sangat terganggu. Ia merasa wajah Bridie dan Zoey saling tumpang tindih.

Baru beberapa menit sejak Edmund memijat telapak tangan Zoey, ia langsung mendengar suara dengkuran khas orang tidur. Ternyata jiwa gadis itu sudah berada di alam lain.

"Hah, bisa-bisanya dia tidak takut bermimpi buruk," ucap Edmund menepuk jidat.

"Kakak ...." lirih Zoey ketika Edmund berusaha melepaskan tangannya.

Zoey mengambil alih genggaman tangan Edmund dengan erat, membuat pria itu kebingungan. Ia mengamati ekspresi Zoey yang berubah-ubah. Sepertinya Zoey mengalami mimpi buruk

"Nona Pasien," panggilnya berusaha membangunkan gadis itu. "Nona Pasi—"

"Jangan pergi."

Edmund terdiam beberapa saat. Setidaknya, sampai gadis itu berhenti mengigau dan kerutan sedih di dahinya menghilang. Ia mengatupkan bibir serapat mungkin, bahkan menahan napas. Detik berikutnya, ia mencoba melepas jari tangan Zoey satu per satu. Semakin dipaksa semakin erat dan tidak mau terlepas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top