Masa Dewasa 3.8 (Lemari Baja dan Remot)
Dialog Edmund pas Mohon-mohon kurang sreg. Aku masih bingung.
Di sisi lain, dua pria meringis kesakitan sembari berusaha menyelamatkan nyawa mereka. Yang satu menahan ngilu di tangan, sedangkan satunya lagi menahan ngilu di kaki. Entah bagaimana ceritanya lemari baja itu bisa menimpa lengan temannya. Jangankan memindahkan baja tersebut, masing-masing dari mereka saja kesulitan bergerak.
"Argh! Jariku remuk. Edmund sialan! Ini semua gara-gara aku mengikutimu, nasibku jadi buruk!"
Si empu hanya terdiam mendengar celotehan Andrew. Pelipisnya mengeluarkan banyak keringat sebab mencoba mengangkat lemari itu sendirian. Tenaga yang dikerahkan pun kurang maksimal akibat cedera kemarin. Kakinya gemetaran.
"Tahan!"
"Harus tahan berapa lama lagi?" tanya Andrew hilang kesabaran. "Percuma! Kamu hanya membuang-buang energi sejak tadi semalam. Kalau aku jadi kamu, aku akan berdiri tenang di pojok sana, menunggu si George itu datang membuka pintu, lalu meninju wajahnya sampai pingsan." Andre mengarahkan dagu ke sudut ruangan.
Edmund malah terngiang saat dirinya harus berdiri di sudut kamar Zoey. Meski Edmud hanya mengamati gerak-gerik gadis itu, tetapi dia selalu siaga kalau terjadi sesuatu.
"Hah, apa aku akan mati tengkurap seperti ini?" tanya Andrew putus asa, menatap lengannya prihatin.
Memori di kepalanya berputar pada kejadian semalam. Hari itu benar-benar gelap gulita saat Andrew dan Edmund menyusup ke rumah Mr. Willson.
"Tidak dikunci?" bisik Andrew tatkala dengan mudah memutar knop.
Edmund diam saja, membiarkan suara jangkrik membalas bisikan tersebut. Suasana di dalam rumah Mr. Willson cukup senyap selain bunyi embusan hawa dingin.
Dari pintu belakang, mereka berdua mengendap-endap. Edmund cukup hapal seluk-beluk rumah ini. Terutama bagian ruang yang sedang tidak dilalui oleh Mr. Willson. Salah satu kebiasaan pria itu adalah mematikan lampu ruangan apabila selesai digunakan. Sejauh ini, hampir semua ruangan nyaris tanpa cahaya.
"Kita ke arah mana?" tanya Andrew sambil menoleh ke belakang.
Wajah Edmund tidak terlihat, kecuali sepasang mata yang mirip kucing. Dia menampik kepala pria di depannya agar fokus jalan.
"Lurus," jawabnya.
Andrew mendengus pelan. Ia lalu menajamkan pendengaran sambil berjalan meraba tembok. Matanya terbelalak saat ujung jari menggores sisi tajam benda mengkilap tersebut. Pisau!
Sebelum mengerang, Edmund lebih dulu membekap mulutnya. "Ssst!"
Terdengar langkah sepatu dari jauh. Mereka berdua pun melotot bersamaan. Detik berikutnya, ruang tamu yang semula gelap berubah terang. Cahayanya menembus menyorot sampai ke tempat mereka berdiri.
Andrew meneguk ludah. Ia melirik ke samping, melihat sisi tembok dengan berbagai macam senjata tajam yang tergantung. Ruangan ini bahkan terlalu sederhana untuk disebut dapur.
"Diam!" bisik Edmund sembari menarik temannya itu ke tempat aman.
Mereka memutuskan bersembunyi di belakang sofa. Sementara itu, sepatu Eric terus melangkah menuju ruangan tersebut. Ia berhenti sejenak, sebelum kemudian membuka pintu tanpa ragu.
Jantung Edmund hampir lepas saat tiba-tiba Mr. Willson menekan tombol sakelar. Meski temaram, ia sedikit khawatir bayangan tubuhnya tercetak.
"Hmm, aneh. Aku seperti mendengar bunyi jatuh."
Eric memandang koleksi bilah tajam miliknya satu per satu. Semuanya aman. Ia pun menutup kembali pintu kayu tersebut.
"Sempit," keluh Andrew setelah deritan pintu tidak terdengar. "Geser sedikit!"
Pria itu berusaha memperluas wilayah persembunyian dengan mendorong bahu Edmund. Alhasil, Edmund terdorong keluar diikuti bola mata yang memutar.
"Jangan berisik," ingatnya.
"Aku tahu. Tapi kuncinya tidak ada."
Andrew menggaruk kepala sembari mengabsen setiap tekel persegi. Dia sedang kebingungan mencari kunci mobil. Karena Edmund menariknya tanpa aba-aba, ia jadi menjatuhkan kunci tersebut. Saat Andrew hendak memungut kunci itu, Edmund malah menendangnya entah ke mana.
"Ah, di situ kau!" seru Andrew sambil merendahkan kepala hingga menyentuh lantai.
Ia lalu menjulurkan seluruh lengannya untuk meraih kunci mobil yang tersembunyi di kolong lemari. Tiba-tiba, keempat penumpu lemari itu menghilang dan membuat tangan Andrew tergilas.
"Aaargh ...!"
Manajer Eric tersenyum miring usai mengunci ruangan tersebut. Dia menatap ke dalam, dengan puas memperhatikan sosok Andrew yang mengerang sakit. Mulut Edmund terbuka saat menyadari bahwa Mr. Willson masih mengamati dari luar.
"Aaargh!"
"Andy, diam!" tekan Edmund.
"Diam pantatmu! Kamu tidak tahu rasanya lengan tertimpa balok baja rak—argh! Benar-benar, kunci sialan itu! Seharusnya bukan aku yang mengambil kunci, tapi kamu!"
"Tenanglah!"
"Tenang matamu!" teriak Andrew, suaranya menjadi lebih berat. Matanya merah.
Edmund menunduk sedikit untuk melihat raut wajah temannya itu. "Hei, kau nangis?"
Andrew tidak bisa lagi menahan ekspresi. "Jangan diam saja! Bantu aku atau lakukan sesuatu," pintanya kemudian menggigit bibir bawah hingga berdarah.
Kembali ke masa kini. Manajer Eric mendadak masuk untuk melihat penderitaan mereka. Entah apa yang akan dia lakukan dengan wajah masam begitu. Edmund menebak Zoey-lah penyebab Mr. Willson mengalami mood tidak baik.
"Siapa tikus ini?" tanya Eric datar sambil berjongkok, memandang Andrew. Salah satu kakinya menginjak punggung pria tersebut.
"Hei, turun dari atasku!"
"Daya tahan tubuhmu bagus juga. Mau kulatih kekuatan tulang sekalian?" tawar Mr. Willson mengabaikan perintah Andrew seraya mengeluarkan remot kontrol.
"Ah ...," desah Andrew lega ketika Mr. Willson menggeser tombol pengendali ke atas.
Namun tak sampai satu detik, Andrew menunduk dalam saat tombol itu digeser lagi ke bawah. Rasanya seolah roh Andrew ingin segera diangkat ke surga.
"Sialan," umpatnya, menjedotkan dahi ke lantai. "Aaargh!"
Dia berteriak bukan karena sakit di area kepala, melainkan tulang lengannya yang hampir mati rasa. Samar-samar terdengar bunyi 'krek' setiap Mr. Willson memainkan remot kontrol. Keempat penumpu akan muncul apabila tombolnya digeser ke atas dan otomatis mengangkat lemari baja itu. Sebaliknya, keempat penumpu akan menghilang apabila tombol kontrol diturunkan.
"Aaargh!"
"Berisik sekali," ucap Eric. Ia terkekeh dan menikmati suara jeritan sang korban. "Inilah akibatnya kalau kau mengambil barang yang bukan milikmu."
Apa maksudnya mengambil barang yang bukan milikmu? Kunci mobil? Ia bahkan tidak tahu menahu kalau Edmund mencurinya.
"Mr. Willson, tolong lepaskan temanku." Edmund menatap mata gelap Mr. Willson dengan berani.
"Kenapa aku?" tanya Eric sambil menatap balik.
Pria bermasker hitam itu tertegun. "Saya mohon, tolong lepaskan," ulangnya sekali lagi
"Tidak bisa."
"Saya mohon."
Kemudian Mr. Willson bangkit dengan menekan sepatu lebih keras, membuat Andrew mengedan agar otot perutnya mengencang.
Dia membanting remot lemari di hadapan mereka berdua. Pecahan remotnya menggores wajah Andrew sebagian. Pria di lantai itu ternganga lebar. Edmund bertanya-tanya, mengapa Mr. Willson merusak remotnya. Tanpa benda itu, lengan Andrew mungkin harus terjebak selamanya di sana.
Manajer Eric tersenyum miring. "Aku sudah bilang, tidak bisa. Kenapa tidak kau potong saja tangan temanmu? Aku punya banyak alat di sana. Kau bebas meminjamnya. Itu pun kalau kalian tidak ingin terjebak lebih lama di tempat ini."
Usai mengatakan itu, Eric meninggalkan keduanya dengan bibir melengkung muram. Ia tidak habis pikir kenapa tikus-tikus semakin berani mengusik wilayahnya.
Edmund bergeming, sedangkan Andrew mematung. Wajahnya pucat pasi membayangkan bagian tubuhnya dipotong. Ia menggertak sambil menatap Edmund untuk tidak menuruti keinginan Mr. Willson.
"Hei, Andy. Memangnya kamu mau terus di situ?" tanya Edmund tanpa ekspresi.
"Me-memangnya kamu mau ... apa?" Andrew berusaha bangkit, tetapi dirinya hanya bisa mengubah posisi menjadi merangkak.
Edmund menoleh pada sisi tembok di mana terdapat senjata tajam yang bervariasi bentuknya. Ia mendekati salah satu bilah tersebut, mengamati sejenak, lalu mengambil satu buah yang dinilai cukup untuk mengiris tulang.
"Jangan ngadi-ngadi!" teriak Andrew tatkala Edmund menghampirinya. Kalau saja dia tidak tertahan oleh lemari sialan ini, sudah dihajarnya wajah Edmund.
Sambil membawa golok, pria itu berpikir untuk memutus sendi lengan temannya yang terjepit. Sebenarnya Andrew tidak punya pilihan lagi. Jika ingin lepas dari sana, hanya ini satu-satunya cara. Begitulah pikir Edmund.
"Tidak, tidak, tolong jangan lakukan ini!" Andrew menggeleng lemah. Dia ingin beringsut, tetapi ruang geraknya terbatas.
Edmund tersentak. Helaan napas keluar dari mulutnya. Terdengar bunyi gemelontang sebab senjata tajam tadi ia lempar dengan kasar.
"Lalu, kamu mau aku bagaimana? Kita harus cepat menyelamatkan gadis itu." Edmund putus asa memandang ke arah pintu keluar. "Apa kutinggal saja kamu di sini?"
Andrew mendongak. "Yang benar saja? Sepenting itukah gadis yang ingin kamu selamatkan?"
Edmund tidak menjawab. Dia hanya menunduk, membalas tatapan temannya dengan ragu. Zoey terus mengingatkannya pada tunangan yang sudah mati, Bridie.
Kemudian, Andrew mendesah panjang. "Sudahlah, pergi sana! Namun sebelum itu, lakukan panggilan darurat. Melisa akan segera menjawabnya. Kita harus meminta dia untuk memanggil bantuan damkar. Atau kita langsung hubungi saja petugas damkar?"
"Tidak," Edmund menolak. "Bisa gawat kalau mereka menemukanku. Melisa juga belum tahu kalau aku masih hidup."
"Jadi, kamu mau membiarkanku menderita terus seperti ini? Aku sudah memikirkannya sejak awal, sungguh, kau itu pembawa sial tahu! Lain kali jangan mengajakku. Aku kasihan pada semua orang yang terlibat denganmu."
"Oke, aku pembawa sial. Aku pergi."
"Hei, jangan langsung pergi! Lakukan panggilan darurat!" teriak Andrew saat Edmund melangkah lebih jauh. Terlihat urat-urat halus di lehernya.
"Aku mau cari sinyal." Pria di ambang pintu pun meninggalkan Andrew yang sibuk menggerutu.
"Lancar sekali dia ngomong."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top