Masa Dewasa 3.4 (Ed kembali ke rumah sakit)
Perhatikan sifat karakter. Di bab ini, sifat Lucas dan Andrew kayak ketuker.
Matahari tergantikan oleh bulan. Andrew pun mengemas barang bawaan. Tidak banyak. Hanya tas sabuk kecil, sepuntung rokok, dan telepon genggam. Hari ini dia telah menyelesaikan shift pagi.
"Capeknya ...," gumam Andrew sambil merenggangkan badan. Duduk berjam-jam membuat pantatnya mati rasa.
Ia pun bangkit dari kursi dan menoleh ke samping. Di sampingnya, Melisa masih disibukkan oleh setiap panggilan yang terus saja masuk selama sehari penuh.
Melisa mendongakkan kepala. Dia bertanya, "Sudah mau pulang?"
"Iya, shift-ku sudah selesai. Kamu tidak pulang?"
Gadis itu menoleh ke sekeliling. Ia tidak menemukan siapa pun tertangkap matanya kecuali sosok Andrew. "Tapi aku tidak melihat Lucas."
"Tenang saja, Lucas sedang menuju ke sini."
Lucas adalah partner Andrew dalam pergantian jam kerja. Jika partner-nya belum datang, Melisa belum bisa tenang walaupun dia sedang dalam perjalanan.
"Maaf, bisakah kamu bersabar sedikit dan menunggu di sini sampai dia datang? Aku takut ada catatan dari panggilan pasien yang terlewat."
"Ah ...." Andrew menatap sepasang mata keruh Melisa yang tampak bergetar. Melisa masih terngiang kejadian kemarin, saat berita mobil team ambulans milik Edmund terbakar.
Dia jadi tak tega. Sejujurnya, mereka berdua tidak tahu apa yang terjadi. Andrew hanya sangat menyayangkan kematian Edmund, Bridie, dan Helen. Dia turut berduka.
Namun, Melisa yang paling terpukul mendengar kecelakaan tersebut. Alasan mengapa Melisa sampai tidak masuk kerja beberapa hari juga karena kabar itu. Dalam riwayat panggilan rumah sakit, ia menemukan nomor telepon Edmund memanggil dalam kurun waktu dua puluh satu detik.
Setelah dua puluh satu detik, panggilan diputus tanpa jawaban dari siapa pun. Melisa dapat menyimpulkan kecelakaan itu terjadi beberapa saat sebelum Melisa sempat mengangkatnya. Yaitu saat dirinya dengan sengaja melewatkan panggilan telepon untuk mencari nomor pemanggil yang sebelumnya.
"Gara-gara aku ...," tunduk Melisa setelah jenazah Bridie dan Helen dimakamkan. "Seharusnya aku mengangkat semua panggilan."
Andrew tertegun, sembari memandang foto kedua wanita dalam figura hitam yang dihiasi berbagai bunga.
"Maaf, Mel, ini salahku. Kalau saja aku tidak menyarankanmu mengabaikan telepon," ucapnya.
"Kamu—" Melisa menggeleng pelan. "Kalau saja aku tidak mendengarkanmu, mungkin kita masih bisa mendengarkan suara mereka. Ini adalah kesalahanku karena melalaikan tugas."
Andrew mengembuskan napas. Udara sekitar terasa berat untuk dihirup. Ia berada di antara tamu duka yang berdiri penuh sesak, yang semakin lama kian berkurang seiring menebalnya awan hitam.
Suara pintu dibuka membuat Andrew membuyarkan lamunan. Pria itu mengangkat kepala. "Oh?" serunya.
Laki-laki yang ditatap mengerem langkah di garis pintu, memandang ke dalam ruangan yang hanya terdapat dua orang. "Kalian masih di sini?"
"Syukurlah kamu datang, Brother! Ayo, ayo cepat kemari dan jaga pacarmu baik-baik! Sepertinya dia ketakutan kalau ditinggal sendirian." Andrew mendorong punggung besar Lucas ke arah tempat kerja, kemudian menekan kedua pundaknya agar duduk.
"Tumben sekali melihatmu di jam segini. Biasanya begitu aku datang tidak ada siapa-siapa selain Mely," cakapnya dengan tertawa tanpa suara.
"Hah, lihatlah!" dengus Andrew sembari memegang tas sabuk yang melilit pinggangnya dengan rapi. "Tadi aku sudah mau pergi, tapi Melisa menahanku. Katanya tunggu sampai kamu datang."
"Benarkah, Mely?" Lucas bertanya seraya menggeser tubuhnya ke samping.
Dengan enggan, Melisa mendorong kursi yang diduduki Lucas agar menjauh. "Ini rumah sakit, berhentilah mengaku-ngaku sebagai pacarku," ingatnya.
"Pfft!" Tanpa sadar, Andrew tertawa. Wanita perfeksionis ini bahkan lebih mementingkan integritas daripada percintaan.
Lucas berdecak, melirik pria itu dengan tatapan jengkel. "Aku sudah datang, seharusnya kamu bisa pergi."
Andrew berdeham pelan. "Baiklah. Melisa, aku duluan."
"Hati-hati!" pesan Melisa sebelum Andrew menghilang.
Pria itu hanya tersenyum ketika menutup pintu. Sekilas ia menatap wanita yang juga menatapnya dengan sayu. Ia tahu apa yang dipikirkan Melisa.
Hubungan mereka canggung.
Melisa biasanya menceramahi Andrew saat bekerja meskipun itu menyangkut hal-hal sepele. Semenjak kemalangan itu menimpa Edmund, Melisa berhenti melakukannya. Mungkin dia masih berkabung atas kematian rekannya.
Namun, dia juga mengurangi interaksi dan seolah tidak ingin membahas riwayat panggilan yang terasa janggal. Beberapa kali Andrew mengajaknya bicara. Melisa selalu saja mengalihkan topik.
"Dia menghindariku, ya," gumamnya sedih.
Pria berkulit putih itu berbalik, meniup poni rambut kemudian dengan langkah lebar menyusuri lorong-lorong rumah sakit.
Hari ini lorong rumah sakit tampak ramai. Sebagian besar kursi tunggu diduduki oleh pasien yang akan dirawat jalan dan inap. Tidak heran mengingat berapa banyak panggilan yang masuk.
Andrew mengernyitkan dahi saat kebetulan melewati seorang pria misterius. Dia mengenakan masker, memakai topi hingga menutup setengah wajahnya, ditambah lagi kacamata hitam.
Andrew tidak berani menatap lama-lama. Ia pun melanjutkan tujuannya ke arah parkiran. Entah kenapa punggungnya terasa dingin begitu keluar dari hall. Seperti ada seseorang yang mengikuti.
Ia menajamkan penglihatan dan melirik beberapa spion motor yang terparkir. Matanya memicing. Pria misterius yang ia temui barusan terlihat berjalan di belakangnya.
'Mungkinkah dia mengikutiku?'
Andrew menggeleng pelan, berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak. Namun ia semakin mempercepat langkah.
"Andy," panggil seseorang dari belakang.
Seketika membuat Andrew menghentikan langkah. Panggilan yang sok akrab ini ... terdengar familier. Ia langsung menoleh, menatap satu-satunya pria misterius yang memang mengikutinya.
Dia tiba-tiba melepas masker, mengejutkan semua orang yang berada di parkiran. Seorang bayi menangis karena melihatnya. Mungkin orang-orang awam tidak lagi mengenal wajah pria tersebut, tetapi Andrew jelas mengenalnya.
"Edmund?" Suaranya rendah.
Sulit dipercaya. Ia bertemu orang yang masih dalam pencarian polisi. Tangisan bayi tadi semakin bising dan terlalu menarik perhatian. Ia perlu menarik temannya tersebut ke tempat sepi.
"Ke mana saja kau?" sembur Andrew, mendorong pria itu ke dinding.
Edmund meringis. Ia tersenyum perih seraya menahan cengkeraman Andrew yang mengangkat kerah bajunya.
Andrew segera melepas tangannya kasar, kemudian beralih mengusap rambut. Ia kesal dan marah.
Ditatapnya kaki kanan Edmund yang tertekuk. "Ada apa sebenarnya? Selain wajah burukmu, jalanmu juga pincang."
"Panjang ..." jawab Edmund.
Edmund tampak kesusahan mengucap satu kata itu. Ia belum bisa banyak bicara.
"Apanya yang panjang? Bicara jelas," desak Andrew, meminta penjelasan.
Edmund memutar bola mata. "Ceritanya."
"Oke. Kalau begitu, cerita lain kali saja. Pertama-tama kita obati dulu wajahmu. Sepertinya ada tanda-tanda infeksi."
"Tidak." Edmund menolak saat Andrew menjulurkan tangan.
"Ck!" decaknya. "Aku hanya ingin memastikan ulang apakah wajahmu benar-benar rusak."
Tangan Andrew mendekat dengan jari yang hampir menyentuh masker, tetapi kepala Edmund sedikit mundur.
"Coba kulihat!" desaknya sambil menekan sisi kepala Edmund, lalu menurunkan maskernya.
Tak sampai satu detik.
Tiba-tiba seseorang keluar dari salah satu bilik toilet, memandang kedua pria di depannya dengan pandangan aneh.
Andrew tertegun.
Sedangkan Edmund melotot sebab merasakan gesekan masker yang amat kentara. "Sa ... kit!"
Andrew pun menjauhkan diri dari Edmund. Ia menutup mulut usai memperhatikan area sekitar mulutnya yang merah, bengkak, dan penuh cairan nanah. Terdapat lubang-lubang hitam kecil bekas tusukan jarum, membuat pengidap trypophobia berdigik.
"Astaga ... mengerikan."
Edmund menggedikkan bahu tak peduli. Ia tahu kalau kini setengah wajahnya tampak seperti monster. Itulah kenapa dia belum mau bertemu Bridie. Bisa-bisa, tunangan yang berada di alam baka itu melempar arwahnya lagi untuk melakukan operasi plastik.
"Benar-benar mengerikan," ucap Andrew lagi.
Apa yang terjadi? Siapa gerangan yang bisa melakukan hal seperti itu pada primadona di sini? Andrew tampak berpikir keras. Pasalnya, wajah Edmund yang paling digemari di antara karyawan rumah sakit.
"George Willson."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top