Masa Dewasa 3.0 (Dering Telepon dari G)
Gap waktu kurang diperhatikan. Kenapa tiba-tiba ada Eric? Wkwk, oke nanti revisi yaa.
Sayup-sayup, Zoey mendengar permintaan maaf seseorang. Ia ingin melihat siapa orang tersebut, namun kelopak matanya terasa berat dan kesadarannya kian menurun.
Hal yang ia tangkap tatkala berhasil membuka mata ialah sosok laki-laki yang tertidur pulas di sofa dekat tempat tidur.
'Jam berapa sekarang?'
Mulut Zoey terbuka hendak bertanya, tetapi urung. Gadis itu memilih duduk dan memandangi sejenak wajah damai Manajer Eric.
Tiba-tiba, ada yang bergetar di atas nakas. Getaran itu membuyarkan lamunan Zoey tentang betapa mengerikannya jika Eric terbangun.
Zoey pun menoleh ke sumber suara. Sontak matanya melebar menangkap benda genggam dengan layar berkedip-kedip. 'Telepon!' teriaknya senang dalam hati.
Zoey memandang wajah Manajer Eric lagi untuk memastikan bahwa dia benar-benar tidur. Napasnya sangat teratur, maka gadis itu meraih telepon tersebut dan melihat apa yang membuatnya bergetar.
Nona Besar.
Tertera nama kontak seperti itu di layar depan. Seketika air muka Zoey berubah drastis setelah membaca nama tersebut. Dari yang tadinya cerah berseri, menjadi pucat pasi.
Sapaan 'Nona Besar' begitu tidak asing di kediaman Tuan Hashe. Nona Besar selalu mengacu pada kakaknya, Geornia. Sedangkan sebutan untuk Zoey adalah Nona Kecil.
Ada apa Geornia menghubungi Eric begitu larut? Waktu di ponsel menunjukkan pukul setengah dua belas. Panggilannya masih terus saja berdering, seakan menunggu jawaban. Meski dia bukan Manajer Eric, tetapi ... Zoey sangat penasaran.
Ia akhirnya mengeklik tanda terima panggilan dan mendekatkan layar telepon ke daun telinga, mendengarkan dengan seksama topik yang akan Geornia bicarakan.
"Kapan kau mau membunuhnya?"
Deg.
Untuk sesaat, jantung Zoey serasa mendapat pukulan keras. Ritme detaknya menjadi lebih cepat. Zoey membekap mulut sendiri menggunakan telapak tangan, takut kakaknya akan mendengar napas yang tersendat-sendat.
Mendengar tiada balasan, Geornia membasahi bibir bawah dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu? Di mana Eric?"
Gadis itu tidak sanggup lagi mendengar suara dingin kakaknya. Ia langsung memutus panggilan tanpa mengatakan apa pun. Lalu dengan hati-hati, dia mengembalikan ponsel tersebut ke tempat semula.
Di belahan bumi lain, tepatnya di Jerman, Geornia mengembuskan titik-titik uap putih lewat mulutnya, memandang ke langit berawan kelabu dari atas balkon. Satu bintang bersinar terang di antara kumpulan bintang-bintang yang lain.
"Zoey ...." Ia bergumam.
Drrt! Drrt!
Benda di tangan bergetar, menandakan sebuah panggilan masuk. Geornia pun mengangkat ponselnya tanpa mengalihkan mata.
"Selamat malam—"
"Dari mana saja kau?" Geornia memotong cepat sapaan Eric.
"Kenapa Anda marah ...? Tumben sekali Anda membuat panggilan malam-malam begini. Tentu saja saya dari Negeri Mimpi."
"Tadi Zoey yang mengangkat teleponnya."
"Soal itu saya minta maaf. Saya sangat lelah dengan pekerjaan saya, jadi saya tidur dan lupa menyimpan ponsel."
"Oh, kau bisa lupa?" sarkasnya.
"Saya juga manusia."
Geornia terdiam. Dengan membayangkan wajah datar wanita itu, Eric bisa menebak bahwa dia sedang mempunyai suasana hati yang buruk. Ini karena pekerjaan Eric belum beres sepenuhnya.
"Omong-omong, Nona Besar. Dia masih hidup," kata Eric sambil menatap Zoey yang tidur miring membelakanginya.
Tanpa dikasih tahu, Geornia juga sudah tahu. Kalau tidak niat, seharusnya dulu ia membiarkan pengemis sepertinya kelaparan di jalan. "Terus bermain-main dengan pekerjaanmu, Eric."
"Maksud saya bukan begitu, Nona Besar, tapi pekerjaan yang Anda berikan benar-benar sulit," balas Eric dengan nada dibuat sedih.
"Jika besok aku tidak melihat berita tentang kematian, aku pasti mencabut semua kepemilikan yang kau dapat dari kontrak kita," ancamnya, lalu mematikan telepon.
Pria itu mengacak-acak rambutnya sendiri, lantas mengembuskan napas kasar. "Argh!"
Ia menendang sofa hingga busanya mencuat. Suara yang ditimbulkan tidak bising, tetapi karena Eric melakukannya di tengah malam yang mana senyap suara. Kebisingan sekecil apa pun mampu membuat Zoey terjingkat.
Namun, Manajer Eric mengabaikan hal itu. Pikirannya kalut. Ia tidak akan tenang hanya dengan menendang sofa. Ia harus melihat sesuatu yang berwarna merah dan cantik.
Kira-kira apa, ya?
Ah ...
Eric mendadak tersenyum miring dan menunjukkan taringnya. Dia mengingat sepasang boneka baru yang tertangkap tadi sore di ruang operasi. Meskipun sekarang warna dominannya putih, Eric akan membuat mereka terlihat sangat merah.
Dua boneka baru yang Eric maksud ialah dokter koas itu dan dokter pembimbing. Siapa lagi kalau bukan Dokter Aisha dan Dokter Miller?
Satunya boneka tidur yang cantik. Satunya lagi boneka tua yang terus terjaga sepanjang malam.
Di ruangan penuh botol kaca berisi organ dalam manusia, mereka berdua dalam kondisi terikat satu sama lain, dan saling memunggungi. Aisha masih terpengaruh obat tidur karena meminum teh buatan Mr. Willson, sedangkan Dokter Miller terus menatap pada rak-rak kayu di sekeliling sebagai wadah peletakan botol kaca. Kalau diperhatikan, semua organ itu telah lama diawetkan.
Dokter Miller justru ingin tahu teknik yang Mr. Willson lakukan untuk mengawetkan semua organ-organ tersebut.
"Anda tidak tidur, Dokter Miller?" tanya Eric sambil memiringkan kepala. Dia menatap rendah dua boneka yang bersatu dengan kursi tua karatan. Tercium bau besi yang amat kentara.
"Seperti yang Mr. Willson lihat," jawab Dokter Miller, menatap balik netra keemasan tersebut.
Eric tertawa keras. "Lucunya. Inilah yang terjadi kalau Anda menolak teh buatanku."
Kemudian, Eric menatap boneka satunya sambil berdecak tiga kali. "Apa ini, dia belum bangun juga. Apa dia babi?" kernyitnya kesal.
Eric menoleh ke samping dengan tatapan amarah, ke salah satu botol kaca yang berisi cairan merah kecokelatan. Ia meraih botol tersebut, membuka penutupnya, lalu dengan kasar menyiram wajah Aisha.
"Aaah!" Wanita itu langsung terbelalak.
Bau menyengat segera menyeruak memenuhi ruangan, menusuk penciuman Dokter Miller. Bau tajam ini sudah tercium sejak awal, tetapi kali ini lebih pekat. Sepertinya cairan itu bahan yang sama yang digunakan Mr. Willson untuk mengawetkan seluruh organ di sini.
Aisha terbatuk-batuk merasakan ketidaknyamanan pada saluran pernapasan. Visual pertama yang ia lihat adalah sepatu kulit milik Mr. Willson yang ternodai oleh cat merah.
Bukan, bukan cat merah. Aisha menggeleng kuat. Di kepalanya berputar kejadian setelah Mr. Willson mengantar pasien kembali ke kamar.
"Apa yang terjadi?" Ia bermonolog.
"Bangun juga kau," sentak Mr. Willson dingin.
Aisha sontak mengangkat wajah, kemudian tersenyum lebar pada Eric seolah sedang menemui pasien.
Ya.
Pasien sakit jiwa tentunya.
"Halo, Sir! Kenapa Anda melakukan ini? Apa kami berbuat salah? Tolong beritahu kami ...." Bagi Aisha, sangat sulit melengkungkan bibir di situasi antara hidup dan mati.
Eric menatap jijik pada senyum Aisha. Senyuman yang memperlihatkan deretan gigi. Wanita itu membuatnya tak nyaman sejak awal pertemuan.
'Wanita aneh.'
Eric memberikan tatapan mata seperti predator, mendekati wajah Aisha yang menyiratkan ketakutan.
"Wanita bodoh, kau sudah membuatnya menangis."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top