Masa Dewasa 2.7 (Z Didiagnosa)


Karakter Zoey di sini  aneh.  Dipertajam lagi cara dia interaksi sama Aisha.

Eric lekas melengkungkan senyum ketika Aisha mendongakkan kepala. Ia melebarkan celah pintu, sehingga rumah sederhana itu kini terbuka bagi siapa saja. "Silahkan masuk."

"Oh?" Wanita itu cukup terkejut. Sikap Mr. Willson cenderung arogan, tetapi dia pria yang sopan. Tarikan bibir Mr. Willson juga sangat tampan. Jantung Aisha berdesir hanya dengan menatap mata Mr. Willson yang ikut melengkung.

Mereka berdua mengekori langkah Eric yang mengarah ke ruang tamu. Dokter Miller mengamati sekeliling, di mana potret para korban yang malang sudah tidak ada. Hal tersebut membuat dahinya berkerut.

Eric menyeringai menyadari keheranan Dokter Miller. Tentu saja, sebelum membuka pintu ia lebih dulu mengecek lewat lubang kunci siapa saja yang datang. Mustahil Dokter Miller datang seorang diri apabila mengingat kejadian beberapa hari lalu. Walau ia bisa menduga sejak awal, menyingkirkan semua potret di ruang tamu dalam waktu singkat sungguh melelahkan.

"Anda baik-baik saja?" tanya Aisha khawatir, melihat keringat mengalir dari pelipis Eric.

Eric mengangguk. "Silahkan duduk."

"Di mana pasien?" tanya Dokter Miller begitu mereka menduduki sofa.

"Sepertinya Anda sedang buru-buru. Apa setelah ini masih ada agenda menjenguk pasien lain?"

Aisha menimpali, "Dokter Miller memang selalu terburu-buru. Selain jam kerja yang padat, juga masih banyak pasien di luar sana sedang menunggu kedatangan Dokter Miller. Belakangan ini saya yang membantunya."

"Begitu, ya. Jam berapa kunjungan terakhir kalian di Kota X hari ini?"

"Sekitar jam sembilan malam."

"Ah ...." Eric mangut-mangut. "Pasien ada di kamar. Saya akan segera memanggilnya kemari. Maaf karena membuat kalian menunggu."

"Tidak masalah!" seru Aisha.

Tak lama kemudian, Mr. Willson keluar dari salah satu bilik sembari memapah seorang gadis berambut pendek.

Zoey terus melihat ke bawah. Dia seperti menahan tangis. Ini pertama kali dia keluar dari kamar setelah penglihatannya pulih. Ternyata aura di luar kamar juga sama-sama mencekam. Apalagi, ia harus melakukan pemeriksaan dari Dokter Miller yang tidak tahu apa-apa. Telapak tangan gadis itu terasa lembab dan dingin. Manajer Eric sesekali mengusap telapak tangan Zoey menggunakan sapu tangan miliknya.

Gadis itu tersentak. "Jangan bertindak tiba-tiba," gumamnya.

Eric berbisik, "Tapi tangan Anda berkeringat. Boleh, kan, saya lap?"

Gadis itu menarik napas kesabaran, membuat Eric tersenyum kecil.

"Apakah ini pasiennya?" Aisha menghampiri Mr. Willson dan turut memapah Zoey dari sisi sebelahnya lagi.

Zoey mencuri pandang ke arah Aisha. Wanita matang yang cantik, begitu pikirnya. Zoey tidak pernah bertemu orang di dunia ini yang memiliki pesona kecantikan melebihi dirinya sendiri. Akan tetapi, ia sering cemburu pada beberapa aspek yang dimiliki seseorang.

Aisha tersenyum maksimal. Ia tampak antusias menjalani masa koas. Entah karena dorongan pekerjaan atau mungkin daya tarik wali pasien yang kelewat tampan. Hanya Aisha yang tahu. Namun, antusiasme tersebut menimbulkan kecelakaan besar—menurut Eric.

"M-manajer," rintih Zoey kesakitan. Lutut kanannya agak menekuk. Pegangan pada tangan Manajer Eric semakin ketat, sedangkan pegangan pada Dokter Aisha berusaha dia tolak.

"Dokter Aisha, bukankah Anda terlalu bersemangat? Pasien mengalami patah tulang di bagian kaki, tolong pelankan langkah Anda sedikit." Pandangan Manajer Eric berubah gelap.

"Ya Tuhan!" Aisha menutup mulut, lantas membungkukkan badan. "Maaf, maafkan saya Sir! Saya tidak tahu kalau kaki Nona Pasien sedang cedera." Wanita itu membungkuk berkali-kali, namun Eric tidak mau menghiraukannya.

"Manager Eric, aku tidak apa-apa kok. Aku sudah baikan," bujuk Zoey sambil mendongak, menatap sepasang iris cokelat tersebut.

Ini seolah Manajer Eric akan melakukan sesuatu berbahaya pada Dokter Aisha kalau dirinya tidak membujuknya seperti ini. Si empu terhenyak. Detik berikutnya, dia tersenyum miring.

"Baik, Nona. Jangan menangis."

"Aku tidak menangis!" sergahnya.

"Saya akan pura-pura tidak tahu karena 'pemeriksaan' kali ini lebih penting. Lain kali, beraktinglah sampai akhir," bisik Manajer Eric tepat di telinga Zoey, menekankan kata pemeriksaan.

Mendengar peringatan Manajer Eric, gadis itu sampai lupa berkedip. 'Bodoh,' rutuknya dalam hati.

Pria bermanik cokelat itu sudah tahu dari awal. Ia hanya memilih mengikuti permainan konyol ini agar Zoey tidak lari.

Manajer Eric membiarkan Aisha mengantar Zoey sendirian, lalu izin membuatkan minuman untuk mereka dengan dalih agar pemeriksaan tidak terganggu oleh kehadirannya.

Sekarang alasan Manajer Eric bukan lagi 'membeli', melainkan 'membuat'. Artinya permainan 'petak-umpet' di rumah sakit benar-benar selesai. Zoey kalah telak.

Dokter Aisha mengajaknya duduk, tetapi pikiran gadis itu masih tertinggal di tangan Manajer Eric. Bagaimana ia harus menghadapi manajernya setelah pemeriksaan ini?

"Anda terlihat pucat. Apa Anda merasa sakit di suatu tempat? Boleh saya cek cedera Anda, Nona Pasien? Sepertinya saya membuatnya tambah sakit."

"Nona Pasien, bagaimana bisa kaki Anda selebam ini?"

"Emm, Nona Pasien? Apa Anda mendengar saya?"

"Bisakah Anda melihat wajah saya dengan jelas?" Aisha melambaikan tangannya ke depan. Hanya pertanyaan terakhir itu yang berhasil membuyarkan lamunan Zoey.

"Saya bisa melihat Dokter Aisha," ungkap Zoey sambil manajamkan mata.

Aisha tercekat. "Apa?"

"Saya bisa melihat," ulangnya.

Daritadi mata Zoey begitu kosong dan hampa, tetapi sekarang sangat fokus dan jernih. "Mungkinkah ... Anda pura-pura buta?" tanya Aisha hati-hati, takut Mr. Willson mendengarnya.

Jika iya, menurut Aisha ini pengkhianatan yang tidak bisa diampuni. Mr. Willson sangat memperhatikan gadis itu karena tengah buta. Kalau dia tahu bahwa gadis itu telah menipunya, dia pasti marah.

Zoey menggeleng. "Tidak, tadinya saya benar-benar buta. Saya baru bisa melihat dengan jelas tadi pagi."

"Tetap saja, itu namanya pura-pura. Padahal wali Nona Pasien akan sangat senang jika mengetahui penglihatan Nona sudah kembali."

Zoey menggeleng lagi. Gadis tersebut meraih genggam tangan wanita berambut ikal. Pandangan Zoey mulai kabur karena banyak menahan air asin.

"Dokter Aisha, tolong saya! Tolong katakan padanya, penglihatan saya belum pulih."

Aisha mengernyit alis, kemudian menoleh ke arah Dokter Miller. Ia tidak mengerti sama sekali.

"Tenanglah, Nona Pasien. Apa yang terjadi? Kenapa Anda meminta tolong hal seperti itu pada kami?" tanya Aisha pelan sembari mengusap aliran sungai di pipi Zoey.

Zoey menelan saliva susah. Kemudian, menghapus kasar bekas itu pada wajahnya. Jangan sampai Manajer Eric melihat dirinya habis menangis.

"Anda pasti Dokter Miller, kan? Anda pernah ke sini sebelumnya, jadi Anda pasti tahu bagaimana posisi saya."

Pria paruh baya tersebut hanya diam.

"Emm, Nona Pasien ...." ujar Aisha ragu.

"Saya tidak tahu." Dokter Miller akhirnya mengangkat suara. "Yang saya tahu, Nona, Anda hidup sehat sampai detik ini, kan? Saya senang penglihatan Anda kembali. Artinya, diagnosa saya sebelumnya sudah tepat."

Mendengar jawaban Dokter Miller, Zoey lantas mengerutkan bibir. Sedangkan Aisha mengerutkan dahi. Wanita kepala tiga ini butuh penjelasan dari siapa pun! Ia sangat kebingungan dengan topik yang hanya diketahui oleh dua pihak.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Mengapa Zoey meminta pertolongan untuk menggelapkan laporan medis, padahal Mr. Willson sangat baik?

Bagaimana bisa Dokter Miller tidak mengatakan apa-apa soal masalah ini?

Ah, tapi ... kalau diingat-ingat, Dokter Miller yang Aisha kenal begitu menjunjung tinggi kode etik kedokteran. Mencampuri kehidupan pribadi pasien bukanlah termasuk ke dalam kode etik. Memanipulasi data kesehatan pasien bisa dikenai pelanggaran berat.

"Pria gila itu akan membunuh saya," ucap Zoey. Datar.

Aisha membatu. "Nona Pasien bercanda, ya?"

"Mustahil," jawab Dokter Miller.

Zoey tersenyum sarkas. "Hampir semua orang yang saya kasih tahu mengatakan mustahil-mustahil. Tapi nyatanya, dia akan membunuh saya."

"Terserah. Jika memang demikian, itu bukanlah ranah kami. Anda bisa lapor polisi."

"Apa Anda akan membiarkan pasien ini mati?" tanya Zoey, membicarakan dirinya sendiri.

Dokter Miller menghela napas. "Aisha, tuliskan obat vitamin tulang dan pereda nyeri."

"Dokter Miller!" Suara Zoey naik satu oktaf.

"Oh? Ba-baik, Sir!" Wanita itu mengabaikan kekecewaan Zoey, lalu mengacak tas besar yang ia bawa.

Sebagai dokter koas sekaligus asisten Dokter Miller, banyak sekali dokumen pasien yang harus dibawa kemana-mana. Karena memuat daftar alergi, dokumen ini menjadi sangat penting untuk menentukan jenis obat apa yang dapat dikonsumsi pasien. Tidak mungkin Aisha menghapal alergi tiap pasien satu per satu.

"Tambahkan juga obat penghilang sakit kepala," sambung Dokter Miller.

Mereka menyibukkan diri. Zoey pun menetes air mata lagi dan lagi. "Kenapa kalian tidak mau percaya? Dokter Miller, tolong dengarkan saya."

"Aisha, kalau sudah ditulis semua kita siap-siap pergi ke rumah pasien selanjutnya." Dokter Miller tidak mengindahkan suara Zoey.

"Baik, Sir!"

"Hah, apa Anda pikir kalian bisa pulang dengan selamat setelah keluar dari rumah ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top